Home / Rumah Tangga / Pantaskah Surga Untuknya? / Bab 4-- Ujian Keikhlasan

Share

Bab 4-- Ujian Keikhlasan

last update Huling Na-update: 2025-05-06 11:56:58

Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.

Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.

Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.

Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara.

"Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"

Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?

Sesaat bayangan Ahmad bersama Nurlaela seolah ada menari-nari di kepalanya. Suara tawa mereka. Janji-janji yang dulu hanya untuknya. Tapi sepertinya luka itu berdarah lagi.

Sulaiha menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Ia menahan isak. Namun, bahunya bergoncang.

"Aku sudah bilang. Aku ikhlas, tapi kenapa begini. Ya Allah... ajari aku sungguh-sungguh ikhlas."

Akan tetapi, di lorong rumah sakit, Bu Aminah mengintip pelan. Melihat putrinya menangis diam-diam. Sesaat ia menoleh ke Pak Iskandar--suaminya.

"Pak! Kau lihat? Anak kita itu menanggung beban berat."

Pak Iskandar mendengus pelan, sembari berucap.

"Hm... Aku bilang apa? Ini semua salah Ahmad. Andainya dia tak serakah pada perempuan. Kemungkinan hal ini tidak akan terjadi."

"Cukup, Pak.... Cukup," bisik Bu Aminah sambil menatap suaminya tajam.

"Sekarang bukan saatnya marah. Kita di sini hanya untuk mendampingi."

Pak Iskandar menahan Amarah. Napasnya berat menahan emosinya yang meluap. Tangannya mengepal. Tapi ia menunduk.

"Baik. Aku diam. Tapi aku takkan pernah benar-benar suka pada perempuan itu."

Bu Aminah menepuk lengan suaminya lembut.

"Tak apa, Pak. Tapi kita jangan menghasut anak kita menjadi pembenci. Biarkan dia bereskan sendiri jalannya."

Tak lama, Pak Iskandar menguap, dia mulai ngantuk. Bu Aminah melihat suaminya gelisah. Lalu ia tanya Sulaiha,

"Sul... Kamu mau bermalam di sini? Aku pulang dulu sama bapakmu. Besok aja bisa ke sini."

"Baiklah, Bu. Ada Nurlaela dan Akbar membersamaiku," ucap Sulaiha lembut.

***

Pagi harinya, sebelum matahari di luar rumah sakit itu bersinar cerah. Ahmad terbangun. Sulaiha sudah menyiapkan air minum. Ia membantu Ahmad duduk perlahan.

"Pelan-pelan, Mas... "

Ahmad meringis, menahan sakit.

"Terima kasih, Dinda..."

Saay itu, suara Ahmad serak. Matanya sayu. Ia menoleh ke sudut ruangan, dia melihat Nurlaela yang masih tertidur dengan Akbar.

Tiba-tiba Ahmad menunduk. Bahunya bergoncang, napasnya mulai sesak.

"Kenapa kau bawa dia ke sini? Apa kau tidak makin tersiksa, kan?"

Sulaiha menahan napas. Matanya panas, tapi teduh.

"Aku tak mau pura-pura, Mas. Ini sakit sekali. Tapi aku juga tak mau berdosa karena dendam. Aku ingin Allah ridho pada kita."

Ahmad menahan isak dalam-dalam. Air matanya tumpah lagi, tak bisa ia tahan.

"Aku ini laki-laki lemah, Dinda. Aku gagal lindungi kalian. Aku egois... "

Sulaiha menunduk. Air matanya jatuh lagi menetes ke punggung tangan Ahmad.

"Kalau kau gagal, biar kami berdua yang menuntunmu, Mas."

Menit berikutnya, Nurlaela terbangun. Matanya bengkak. Namun, ia melihat Sulaiha memegang tangan Ahmad. Nurlaela menoleh gugup. Lalu ia berdiri pelan.

"Aku... aku mau pulang dulu. Aku tak mau ganggu kalian."

Sulaiha menoleh. Menatap Nurlaela dalam-dalam.

"Tidak. Tetaplah di sini. Ahmad ayah anakmu. Dia butuh kau juga."

Nurlaela menunduk. Bibirnya gemetar.

"Tapi aku malu... aku... aku perusak."

Seketika itu Sulaiha berdiri. Ia mengusap air matanya. Lalu ia meraih tangan Nurlaela.

"Kau bukan perusak. Kalau kau mau memperbaiki. Kita sama-sama perempuan. Sama-sama ibu. Tak usah kita saling membenci, nanti anak-anak kita juga akan saling membenci."

Nurlaela menangis lebih keras. Ia terisak dalam. Bahunya tergoncang.

"Aku janji... aku akan minta maaf pada semua orang. Aku tak mau kau menderita karena aku."

Sulaihan menahan isak dan tangis. Ia menggenggam tangan Nurlaela makin erat.

"Kalau kau mau bertaubat, aku takkan menutup pintu. Tapi jangan lagi kau sakiti keluarga ini."

Nurlaela mengangguk keras. Tangisnya membanjir membasahi pipinya.

Sementara itu, Pak Iskandar yang sedang berdiri di luar pintu, mendengar semuanya. Air mukanya keras. Namun, matanya merah. Ia menoleh ke arah Bu Aminah.

"Perempuan-perempuan itu lebih kuat dari kita rupanya, Bu." gumamnya lirih.

Bu Aminah mengusap air matanya yang menetes. Kemudian ia berucap.

"Iya. Kita hanya bisa mendampingi, Pak. Doakan mereka."

Sementara itu, di dalam ruang rawat. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun. Ahmad, Sulaiha, dan Nurlaela saling menatap tanpa permusuhan. Air mata mereka mengalir deras, seolah mengalirkan duka yang mereka derita selama ini. Ada kelegahan di wajah mereka.

Namun, mereka tahu perjalanan ke depan tidak mudah. Luka tak sembuh seketika. Hati tak bisa langsung bersih. Tapi di sana sudah ada niat untuk saling mendukung, saling menahan amarah, saling belajar mengalah.

Karena mereka tahu, surga tak murah harganya. Dan ikhlas bukan hanya kata manis--tetapi ujian terberat untuk hati.

Akan tetapi, mereka memilih untuk terus mencoba melangkah. Demi anak-anak. Demi akhirat. Demi cinta yang lebih suci daripada sekedar nafsu.

Mereka sadar; jalan menuju ridho Allah adalah jalan air mata--tetapi juga jalan penuh cahaya.

Namun, ketiga insan-insan ini hatinya pernah terluka, kini berangsur-angsur bisa sembuh, walau belum sepenuhnya pulih.

Akan tetapi, apalah Pak Iskandar dan Bu Aminah juga pernah terluka, pernah dendam, bisa sembuh? Ataukah mereka tetap menyimpan dendam, dan sewaktu-waktu bisa meledak?

Jawabannya ada di bab-bab selanjutnya.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 6 -- Benteng yang Retak

    Sepulang dari rumah sakit, suasana di dalam mobil, mereka merasa tegang, ada perasaan berat. Akan tetapi, hujan baru saja reda, membuat jalanan menjadi licin, udara lembab, dan awan kelabu yang belum benar-benar pergi.Ahmad duduk di kursi depan, masih lemah, menatap kaca jendela dengan mata sayu. Di kursi belakang, Sulaiha menopang Akbar yang tertidur, sementara Nurlaela menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Perasaannya gelisah.Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanya bunyi mesin mobil dan tarikan napas berat yang sesekali pecah menjadi isak tertahan.Sulaiha meremas jari-jemari sendiri. Ia sudah menyiapkan diri untuk hujatan orang-orang sekitarnya. Namun, ia tak pernah membayangkan suasananya akan seberat itu.***Detik demi detik berlalu, sampailah mereka di rumah orang tua Sulaiha. Mobil berhenti perlahan. Penumpang turun satu per satu. Pak Iskandar sudah berdiri menunggu di teras. Tubuhnya tegap tapi wajahnya keras seperti batu. Bu Aminah pun di sampingnya, matany

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 5-- Pilihan yang Mengguncang Takdir

    Hari itu, pagi menjelang siang. Cuaca di luar rumah sakit mulai cerah. Angin bertiup agak kencang, turut menderitlan pintu. Akan tetapi, di dalam hati Sulaiha, langit belum sepenuhnya biru. Masih ada mendung-mendung tipis, menggantung seperti kenangan yang belum selesai diurai.Ahmad, kesehatannya mulai membaik. Wajahnya terlihat sedikit segar. Akan tetapi, masih ada luka di tubuhnya, bukan itu yang paling dalam. Namun, yang lebih pedih adalah luka di hatinya, dan luka yang ditinggalkan di hati orang-orang yang mencintainya.Sulaiha menyiapkan makanan bubur lembut dan menyuapi Ahmad dengan sabar. Kadang mereka saling berpandangan lama, seakan mencoba membaca kembali cinta yang dulu pernah kuat, lalu retak, lalu ingin dipungut lagi dari serpihannya."Dinda... " suara Ahmad pelan, nyaris tak terdengar.Sulaiha menoleh, pandangannya lembut, teduh, tapi tegas."Ya, Mas?""Apa kau benar-benar... masih ingin bersamaku?" Ahmad menunduk. Suaranya getir. "Setelah semua ini? Setelah pengkhianat

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 4-- Ujian Keikhlasan

    Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara."Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?Sesaat bayangan Ahmad bersam

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 3 -- Sulaiha Berdamai

    Hari-hari berikutnya, Ahmad tenggelam dalam kesedihan. Ia duduk termenung di kantor. Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Kantong matanya dalam.Malam itu Ahmad pulang larut. Di jalan sepi, tia-tiba dua motor menghadangnya,"Berhenti!"Mereka preman kampung. Tanpa banyak bicara, mereka tarik Ahmad keluar. Tinju menghantam wajahnya. Tendangan mengenai perutnya. Ahmad roboh. Darah mengalir dari pelipisnya.Tasnya dirampas. Laptop kantor hilang. Ponsel ikut raib. Para preman kabur.Ahmad terbaring di aspal, setengah sadar. Pandangannya kabur. Hanya lampu jalan yang redup menemaninya.Tak lama, sepasang warga menemukan Ahmad. Mereka memanggil ambulance. Ia dilarikan ke rumah sakit.Kabar itu sampai ke telinga Sulaiha. Ia menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca."Ibu... aku harus menjenguk Mas Ahmad. Dia ayah Nadia."Bu Aminah menghela napas berat. Ia akhirmya mengangguk pasrah."Baik. Tapi hati-hati."Sulaiha dan orang tuanya pergi ke rumah sakit. Begitu melihat suaminya terbaring lemah, Sula

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 2-- Rumah Tangga Tergoncang

    Waktu demi waktu berlalu. Ahmad sering keluar rumah tanpa alasan yang jelas. Ia terlihat gelisah. Bahkan saat menjawab telpon pun selalu sembunyi-sembunyi.Dan pada suatu malam, seorang ART di rumah melihat Ahmad menerima telepon dengan sikap mencurigakan. Ia mengadu pada ART pria. Kabar itu kemudian sampai ke telinga Pak Iskandar dan Bu Aminah.Sehingga kecurigaan berubah menjadi penyelidikan.Sulaiha diam-diam meminta bantuan dua sahabatnya--Gita dan Sofiah. Mereka menggandeng Rudi dan Randi, dua sahabat Ahmad.***Hingga suatu siang, saat Ahmad menerima telepon dari Nurlaela yang panik karena bayinya demam tinggi, ia akan pergi ke rumah sakit.Tapi Rudi dan Randi mengikuti dari belakang.Ketika Ahmad hendak mengantar Nurlaela dan bayinya ke rumah sakit, Rudi dan Randi sudah berdiri di gerbang."Ahmad!"BRAK!Sebuah tinju mendarat di wajah Ahmad."Apa maksud semua ini?" bentak Rudi.Ahmad berdarah. Tapi ia tetap tenang. Lelah.Dan akhirnya, ia mengaku segalanya."Aku terjebak... Aku

  • Pantaskah Surga Untuknya?   Bab 1-- Surat Nurlaela, Kepada: Ahmad, Dari: Nurlaela

    Hujan deras disertai petir seolah menggetarkan rumah Ahmad. Tangannta gemetar memegang surat itu. Nama yang seharusnya sudah terkubur dalam ingatan Ahmad bertahun-tahun yang lalu. Akan tetapi, nama iru muncul lagi, bak bom akan meledak. Dan akan menjadi ancaman dalam diri Ahmad.Sulaiha--istri Ahmad duduk terpaku di ujung sofa, sorot matanya tajam penuh tanya dan kecemasan."Ahmad... siapa Nurlaela itu?"Ahmad hanya menunduk. Dadanya terasa sesak. Namun, ia harus menjawab dengan jujur agar perasaan istrinya menjadi tenang."Nurlaela... adalah bagian dari masa laluku yang paling sulit," ucapnya lirih.Ahmad termenung sejenak, ingatannya berkelana mengenang masa lalunya yang kelam. Awal bertemunya Nurlaela.Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum Ahmad mengenal Sulaiha, sebelum hidupnya berubah lewat pendidikan dan kerja keras. Ada seorang gadis yang pernah hadir dalam hidup Ahmad: bernama Nurlaela.Ia adalah putri dari seorang saudagar kaya yang tinggal di kota sebelah. Saat itu, Ahmad

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status