Malam itu, di rumah sakit terasa lebih sunyi daripada biasanya. Ahmad sudah tertidur, ia kelelahan oleh sakit dan air mata yang tak lagi bisa dibendung. Hanya suara alat monitor berdetak pelan, tanpa perhatian sang perawat.
Saat itu, Sulaiha duduk di kursi samping ranjang, tempat Ahmad terbaring lemah. Matanya mulai redup menatap suaminya lekat-lekat. Namun, tangannya masih memegang jari-jari Ahmad yang hangat, tapi lemah. Sesaai ia menoleh ke samping.
Terlihat olehnya di kursi lain, ada Nurlaela juga tertidur sambil memeluk Akbar. Bayi itu tampak tenang dalam dekapan ibunya.
Sulaiha menarik napas panjang. Air matanya jatuh tanpa suara.
"Ya Allah... aku sudah berusaha... tapi kenapa hatiku masih sesak?"
Ia menunduk lebih dalam. Hatinya berperang, tapi seolah ada seberkas cahaya harapan menantinya. Ia sudah mrngajak Nurlaela berdamai. Sudah membawanya ke sini. Tapi ia belum bisa mengusir semua amarah. Ia belum bisa sepenuhnya ikhlas. Entah, kenapa demikian?
Sesaat bayangan Ahmad bersama Nurlaela seolah ada menari-nari di kepalanya. Suara tawa mereka. Janji-janji yang dulu hanya untuknya. Tapi sepertinya luka itu berdarah lagi.
Sulaiha menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Ia menahan isak. Namun, bahunya bergoncang.
"Aku sudah bilang. Aku ikhlas, tapi kenapa begini. Ya Allah... ajari aku sungguh-sungguh ikhlas."
Akan tetapi, di lorong rumah sakit, Bu Aminah mengintip pelan. Melihat putrinya menangis diam-diam. Sesaat ia menoleh ke Pak Iskandar--suaminya.
"Pak! Kau lihat? Anak kita itu menanggung beban berat."
Pak Iskandar mendengus pelan, sembari berucap.
"Hm... Aku bilang apa? Ini semua salah Ahmad. Andainya dia tak serakah pada perempuan. Kemungkinan hal ini tidak akan terjadi."
"Cukup, Pak.... Cukup," bisik Bu Aminah sambil menatap suaminya tajam.
"Sekarang bukan saatnya marah. Kita di sini hanya untuk mendampingi."
Pak Iskandar menahan Amarah. Napasnya berat menahan emosinya yang meluap. Tangannya mengepal. Tapi ia menunduk.
"Baik. Aku diam. Tapi aku takkan pernah benar-benar suka pada perempuan itu."
Bu Aminah menepuk lengan suaminya lembut.
"Tak apa, Pak. Tapi kita jangan menghasut anak kita menjadi pembenci. Biarkan dia bereskan sendiri jalannya."
Tak lama, Pak Iskandar menguap, dia mulai ngantuk. Bu Aminah melihat suaminya gelisah. Lalu ia tanya Sulaiha,
"Sul... Kamu mau bermalam di sini? Aku pulang dulu sama bapakmu. Besok aja bisa ke sini."
"Baiklah, Bu. Ada Nurlaela dan Akbar membersamaiku," ucap Sulaiha lembut.
***
Pagi harinya, sebelum matahari di luar rumah sakit itu bersinar cerah. Ahmad terbangun. Sulaiha sudah menyiapkan air minum. Ia membantu Ahmad duduk perlahan.
"Pelan-pelan, Mas... "
Ahmad meringis, menahan sakit.
"Terima kasih, Dinda..."
Saay itu, suara Ahmad serak. Matanya sayu. Ia menoleh ke sudut ruangan, dia melihat Nurlaela yang masih tertidur dengan Akbar.
Tiba-tiba Ahmad menunduk. Bahunya bergoncang, napasnya mulai sesak.
"Kenapa kau bawa dia ke sini? Apa kau tidak makin tersiksa, kan?"
Sulaiha menahan napas. Matanya panas, tapi teduh.
"Aku tak mau pura-pura, Mas. Ini sakit sekali. Tapi aku juga tak mau berdosa karena dendam. Aku ingin Allah ridho pada kita."
Ahmad menahan isak dalam-dalam. Air matanya tumpah lagi, tak bisa ia tahan.
"Aku ini laki-laki lemah, Dinda. Aku gagal lindungi kalian. Aku egois... "
Sulaiha menunduk. Air matanya jatuh lagi menetes ke punggung tangan Ahmad.
"Kalau kau gagal, biar kami berdua yang menuntunmu, Mas."
Menit berikutnya, Nurlaela terbangun. Matanya bengkak. Namun, ia melihat Sulaiha memegang tangan Ahmad. Nurlaela menoleh gugup. Lalu ia berdiri pelan.
"Aku... aku mau pulang dulu. Aku tak mau ganggu kalian."
Sulaiha menoleh. Menatap Nurlaela dalam-dalam.
"Tidak. Tetaplah di sini. Ahmad ayah anakmu. Dia butuh kau juga."
Nurlaela menunduk. Bibirnya gemetar.
"Tapi aku malu... aku... aku perusak."
Seketika itu Sulaiha berdiri. Ia mengusap air matanya. Lalu ia meraih tangan Nurlaela.
"Kau bukan perusak. Kalau kau mau memperbaiki. Kita sama-sama perempuan. Sama-sama ibu. Tak usah kita saling membenci, nanti anak-anak kita juga akan saling membenci."
Nurlaela menangis lebih keras. Ia terisak dalam. Bahunya tergoncang.
"Aku janji... aku akan minta maaf pada semua orang. Aku tak mau kau menderita karena aku."
Sulaihan menahan isak dan tangis. Ia menggenggam tangan Nurlaela makin erat.
"Kalau kau mau bertaubat, aku takkan menutup pintu. Tapi jangan lagi kau sakiti keluarga ini."
Nurlaela mengangguk keras. Tangisnya membanjir membasahi pipinya.
Sementara itu, Pak Iskandar yang sedang berdiri di luar pintu, mendengar semuanya. Air mukanya keras. Namun, matanya merah. Ia menoleh ke arah Bu Aminah.
"Perempuan-perempuan itu lebih kuat dari kita rupanya, Bu." gumamnya lirih.
Bu Aminah mengusap air matanya yang menetes. Kemudian ia berucap.
"Iya. Kita hanya bisa mendampingi, Pak. Doakan mereka."
Sementara itu, di dalam ruang rawat. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun. Ahmad, Sulaiha, dan Nurlaela saling menatap tanpa permusuhan. Air mata mereka mengalir deras, seolah mengalirkan duka yang mereka derita selama ini. Ada kelegahan di wajah mereka.
Namun, mereka tahu perjalanan ke depan tidak mudah. Luka tak sembuh seketika. Hati tak bisa langsung bersih. Tapi di sana sudah ada niat untuk saling mendukung, saling menahan amarah, saling belajar mengalah.
Karena mereka tahu, surga tak murah harganya. Dan ikhlas bukan hanya kata manis--tetapi ujian terberat untuk hati.
Akan tetapi, mereka memilih untuk terus mencoba melangkah. Demi anak-anak. Demi akhirat. Demi cinta yang lebih suci daripada sekedar nafsu.
Mereka sadar; jalan menuju ridho Allah adalah jalan air mata--tetapi juga jalan penuh cahaya.
Namun, ketiga insan-insan ini hatinya pernah terluka, kini berangsur-angsur bisa sembuh, walau belum sepenuhnya pulih.
Akan tetapi, apalah Pak Iskandar dan Bu Aminah juga pernah terluka, pernah dendam, bisa sembuh? Ataukah mereka tetap menyimpan dendam, dan sewaktu-waktu bisa meledak?
Jawabannya ada di bab-bab selanjutnya.
***
Langkah Ahmad dan Nurlaela masih terhenti di depan café itu. Anak kecil yang berlari masuk sambil memanggil ibunya, kini berdiri manja di pelukan Indah. Senyum Indah mengembang, meski matanya sempat menatap tajam ke arah Ahmad. Ada sesuatu yang berat menggantung di udara—pertanyaan yang tak terucap, kebenaran yang seakan siap pecah kapan saja.Namun, sebelum Ahmad melontarkan pertanyaan, Indah menunduk, lalu meraih tangan mungil itu dan menggandengnya pergi. Tak ada penjelasan. Hanya meninggalkan bayang-bayang yang terus menghantui pikiran Ahmad dan Nurlaela.***Tak lama Ahmad dan Nurlaela akan pulang ke rumah. Ahmad meraih tangan Nurlaela,“Yuk, kita pulang.” Nurlaela pun menurut, tanpa kata-kata ia hanya mengikuti Ahmad melangkah ke mobilnya.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumahnya. Mereka disambut oleh gadis kecil, imut-imut dan mungil itu. Gadis mungil yang tumbuh seperti dongeng indah layaknya Cinderella. Akan tetapi, dunia yang dimilikinya jauh berbeda. Sejak Sulaiha—
Langit sore itu mendung. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Ahmad melangkah pelan menuju sebuah cafe kecil di sudut kota, tempat yang disebut Indah dalam pesannya. Ia melangkah berat, seolah kakinya terikat rantai masa lalu.Tak lama Ahmad tiba di depan café itu. Ia memarkir mobilnya lalu melangkah akan masuk. Saat pintu cafe terbuka, Ahmad berdiri sejenak di ambang pintu, pandangannya langsung tertuju pada sosok perempuan di pojok ruangan. Indah, ia duduk sendiri, kepalanya tertutup jilbab berwarna biru tua. Tatapannya tajam, tapi dalam, seakan menyimpan ribuan rahasia yang akan terbongkar.Saat Ahmad melihatnya, sepertinya tenggorokannya tercekat. Bibirnya nyaris tak mampu menyebutkan namanya.“Indah…”Perempuan itu seketika menoleh. Senyum tipis terukir, tapi justru membuat dada Ahmad semakin sesak.Indah membuka mulut,“Akhirnya kita bertemu lagi, Mas. Duduklah!”Ahmad duduk berhadapan dengannya. Perasaannya gelisah, berulang kali meremas ja
Malam itu, ketika seorang perempuan misterius datang. Ahmad membuka mulutnya, tapi hanya satu kata yang lolos, terdengar begitu berat, seolah menyingkap rahasia yang selama ini terkubur:“Indah…”Nama itu meluncur lirih. Namun, cukup untuk membuat Nurlaela terperanjat, tubuhnya hampir goyah.Nama itu yang keluar dari bibir Ahmad, mengguncang Nurlaela seperti petir di tengah malam. Sejak malam itu, hidup Ahmad seolah memasuki lorong panjang penuh teka-teki.***Setahun sudah ia menjalani hari-hari sunyi tanpa Sulaiha—bidadari yang telah kembali ke sisi Ilahi. Kekosongan itu masih terasa, meski di rumah ada Nurlaela. Statusnya sebagai istri kedua hanya sebatas nikah siri. Secara hukum negara, hubungan itu rapuh, tak tercatat, seolah bisa runtuh kapan saja, tapi punya pesona mengguncang hati Ahmad.Namun, bagi Ahmad, tak ada satu pun yang mampu menggantikan Sulaiha. Cintanya pada sang bidadari dunia terlalu dalam. Kenangan tentangnya abadi, sementara kehadiran Nurlaela lebih sering mengh
Malam itu Ahmad masih sulit memejamkan mata. Pertemuan tak terduga dengan sosok dari masa lalu seakan membuka kembali pintu kenangan yang telah ia kunci rapat-rapat. Di kamarnya yang sepi, lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Pandangannya berkelana dari sudut ke sudut, hingga akhirnya tertambat pada sebuah foto berbingkai indah di dinding.Di dalam foto itu, Ahmad tidak sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya, dengan senyum canggung dan tatapan yang seolah enggan diabadikan kamera. Namun, bagi Ahmad, justru itulah pesona yang membuatnya jatuh cinta.Hatinya bergetar. Luka lama kembali berdarah.“Seandainya kau tahu, betapa aku mencintaimu…” bisiknya lirih, jemarinya menyentuh dinginnya kaca bingkai.Kenangan itu menyeretnya jauh ke masa lalu. Saat awal pertemuan yang sederhana, sekadar sapaan singkat di sebuah kantor. Gadis berkacamata tebal itu menunduk malu ketika Ahmad memujinya. “Ternyata di gedung ini ada makhluk cantik,” katanya waktu itu, tulus, tanpa basa-basi.Reaks
Sejak kepergian Sulaiha, rumah itu tak lagi ramai. Sunyi terasa menekan, dinding-dinding seolah ikut meratap, dan setiap sudut masih menyimpan jejak kenangan yang membuat dada Ahmad sesak. Namun, di tengah kabut duka yang menyelimuti, ada satu jiwa mungil yang kini rapuh—dan sekaligus menjadi alasan Ahmad untuk tetap berdiri: Nadia, putri kecilnya.Gadis itu berusaha tegar, meski hatinya hancur. Tangannya sering gemetar, keringat dingin membasahi telapak, dan matanya sembab karena air mata yang tak pernah benar-benar kering. Ada haru, takut, dan kehilangan yang bercampur aduk dalam dirinya. Nadia kini berada di ambang masa depan—sebentar lagi ia akan tamat SMP. Namun, justru di titik inilah ia kehilangan sosok penyemangat hidupnya, sang bunda yang selama ini menjadi cahaya dalam kegelapan.Sejak ibunya tiada, Nadia kerap termenung sendirian. Nafsu makannya hilang, semangat belajarnya redup, bahkan sudah sepekan ia tak menginjakkan kaki ke sekolah. Kamar yang dulu riuh dengan tawa kec
“Dunia Ahmad Runtuh! Kehilangan Bidadari yang Dicintainya…”Lelaki itu bagaikan kaca rapuh, sewaktu-waktu bisa pecah berkeping-keping ketika terbentur musibah. Itulah Ahmad—seorang suami yang kini hatinya hancur setelah ditinggal pergi oleh belahan jiwanya.Sejak kepergian Sulaiha—sang bidadari dunianya, Ahmad hidup bagai jasad tanpa ruh. Duduk termenung sendiri, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Nafsu makan hilang, gairah hidup lenyap. Sulaiha—cahaya yang selalu menyinari langkahnya. Kini benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi.Di depan jasad istrinya, Ahmad berusaha tegar. Namun, tangis yang berusaha ia tahan akhirnya pecah juga. Air matanya tumpah, membasahi wajah yang biasanya gagah. Berlembar-lembar tisu habis, hanya untuk menyeka derasnya duka saat itu.Ketika ibunya dulu meninggal tertabrak truk, ia hanya termangu tanpa setetes air mata. Tapi kali ini… Ahmad tak mampu lagi berpura-pura kuat. Kepergian Sulaiha benar-benar merobek seluruh