Selamat malam. Partner Life mulai up lagi ya. Maaf jika menggantung, author sedang sibuk dengan dunia real life. Yuk bagi gem nya jika kalian suka dengan part ini
Darren melemparkan tas selempang milik Catharina ke sebuah ranjang kecil. Pria itu sempat melirik tas tersebut sebelum akhirnya dia duduk di kursi kayu.Senyum licik menghiasi bibir Darren. "Kau pikir aku takut berurusan denganmu?"Darren melihat lampu LED berkedip-kedip, dia langsung bangkit dari duduknya dan mendekati tas itu. Darren meraih tas itu dan langsung membukanya. Darren melihat layar ponsel yang berkedip-kedip dan membuat Darren berdecak kesal."Kurang kerjaan sekali orang ini, huh!"Darren melempar ponsel milik Catharina ke meja kayu. Dia tidak peduli dengan panggilan telepon yang masuk ke ponsel itu. Tentu saja nama si pemanggil membuat Darren semakin marah."Sampai di sini seharusnya dia paham!"Darren menyepak kaleng minum yang tergeletak di lantai. Kaleng itu melesat menyentuh dinding dan memantul kembali jatuh ke lantai. Darren meraih sekotak rokok dan menyulutnya. Pria itu menikmati dan memainkan asap rokok di depan sebuah kaca."Aku paling tidak suka, jika masalah p
Tubuh itu terbaring di atas ranjang cukup lama dan di sampingnya tertidur seorang gadis dengan ke dua tangannya dijadikan sebagai bantal.Empat jam sudah Mischa tertidur setelah pria itu diberi obat oleh dokter pribadinya. Catharina terbangun dari tidurnya saat seorang pengawal pribadi Mischa membangunkannya."Nona Berntsen," katanya mengguncangkan pelan tubuh Catharina.Catharina perlahan membuka matanya. Dia lantas melihat John pengawal pribadi Mischa berdiri di dekatnya."Ada apa?" tanya Catharina sambil mengusap matanya."Nona Berntsen, anda lebih baik tidur di sofa. Biar saya yang menjaga tuan muda," lanjut John."Tapi ... ah, baiklah." Catharina akhirnya menuruti John. Dia beranjak dan melangkah menuju sofa yang tidak jauh dari ranjang. Selimut dan bantal sudah disiapkan oleh John. Catharina pun merebahkan tubuhnya di sofa empuk itu.Suasana gelap berganti terang. Pagi mulai menyapa dan menerangi bumi. Catharina menggeliat pelan saat sentuhan sinar mentari pagi meraba kulitnya. D
Marcel melangkah dengan hati yang tidak tenang. Tentu saja, hati Marcel campur aduk. Anak mana yang mau terima jika dia harus dibanding-bandingkan dengan saudara tirinya. Marcel Brown adalah anak semata wayang Gilly Brown. Gilly Brown menikahi Baren Wagner karena ada alasan tertentu. Semua mungkin tidak tahu, tapi Mischa sudah bisa membacanya. Kini, Gilly memaksa Lucy untuk mendekati Mischa. Hal itu dia lakukan untuk putra semata wayangnya, Marcel. Tentu saja Lucy tidak suka dengan ide gila dari Gilly Brown, akan tetapi akhirnya gadis itu menyetujuinya. Entah pengaruh apa yang Gilly berikan pada Lucy, sehingga gadis itu takluk dan menurutinya. Sebenarnya Lucy tidak menyukai Mischa, karena sikap Mischa yang tidak bisa ditebak. Bahkan Lucy tidak menyukai sikap kasar dan arogan dari seorang Mischa. "Bagaimana? Bukan tante tidak menyetujuimu kau mendekati Marcel, tapi tante ingin kau mendekati Mischa. Itu saja." Lucy terdiam menatap Gilly dan dia pun mencerna kalimat yang baru dia den
Mischa yang sudah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya menjadi murka. Beberapa waktu terakhir memang Mischa tidak akur dengan Baren, sang ayah. Namun, jika sesuatu terjadi pada sang ayah tentunya Mischa akan marah. Terlebih lagi cara ibu tirinya yang licik.Saat itu juga Mischa menyuruh Marsya dan ayahnya untuk pulang. Mischa pun berpesan pada Marsya jangan pernah meninggalkan ayahnya sendirian. Mischa berencana akan pulang ke rumah untuk memberi pelajaran pada wanita iblis itu.Mischa juga menyuruh Catharina untuk pulang terlebih dahulu dan Mischa kembali ke kantor untuk mengurus sesuatu yang tidak bisa dia tinggalkan. Namun, di dalam ruangannya Mischa tidak bisa fokus dengan kerjaannya. Pikiran Mischa benar-benar melayang pada wanita iblis itu."Sial. Kenapa wajah licik wanita iblis itu terus membayangiku?" Mischa menutup semua berkas yang ada di atas meja. Dia serasa ingin berteriak keras. "Ah, brengsek!" umpat Mischa.Pria itu melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul
Mischa terbangun di pagi hari karena isak tangis Catharina. Dia masih merasakan sakit di bagian kepalanya. Catharina duduk menyandar pada headboard ranjang dan dia memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Mischa yang melihatnya terlihat bingung."Ke-kenapa kau lakukan itu padaku?" kata Catharina terisak."Melakukan apa maksudmu?" sahut Mischa sambil memegangi kepalanya.henti Catharina tidak merespons Mischa, dia hanya menangis tiada henti. "Kenapa tangismu justru semakin kencang, hah? Apa kau tidak lihat aku sedang merasakan sakit kepala yang luar biasa." Suara Mischa semakin meninggi."Kau memang benar-benar tidak punya hati!" Catharina melempar satu style pakaian Mischa tepat di muka Mischa. Catharina sungguh tidak bisa membendung rasa sakit itu. "Lihatlah apa yang kau lakukan padaku semalaman? Tidak ingatkah kau melakukan apa? Kau malah meninggikan suaramu dan hanya bisa marah-marah. Kau benar-benar seperti iblis jika dalam keadaan mabuk." Catharina meraih pakaiannya yang tergeletak di l
Semua mata tertuju pada Catharina yang baru saja masuk ke dalam salon ternama di kota Berlin. Bahkan para karyawan salon memandang dengan tatapan mengejek dan menghina. Memang Catharina selalu berpenampilan sederhana. Walaupun Mischa sendiri sudah meminta dia untuk merubah penampilannya. Namun, Catharina terlalu santai menanggapinya. Catharina tipikal gadis yang tidak terlalu mengikuti mode. Dia cenderung suka berpenampilan apa adanya."Nona, mungkin anda salah masuk. Di sini bukan tempat untuk anda, karena di sini semua mahal dan berkelas."Bukannya Catharina tersinggung ataupun marah pada mereka. Justru Catharina malah tersenyum ramah."Aku tidak salah masuk salon, kok. Aku ingin pelayanan yang terbaik yang ada di salon ini," kata Catharina sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan menyodorkannya pada pegawai salon.Melihat apa yang telah disodorkan oleh Catharina, pegawai yang ada di front desk langsung buru-buru mengangkat tangan kanannya ke atas dan menjentikkan ibu jari d
Manusia memang tidak pernah luput dari kesalahan. Itu memang hal wajar, tapi jika kesalahan itu dibuat sengaja untuk keegoisan semata karena menuntut sesuatu yang memang harus dia miliki. Segala cara pasti akan dihalalkan.Hal itu yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sejak pertama dia masuk ke dalam lingkungan rumah itu, dia sudah terobsesi untuk mendapatkan semuanya. Segala cara dia lakukan, termasuk cara yang membahayakan nyawa.Gilly terbangun dengan napas tersengal-sengal dan dada terasa sesak. Manakala dia baru saja bermimpi buruk. Tangannya memegang dadanya yang berdegup kencang dua kali dari biasanya. Keringat dingin mengalir membasahi tubuhnya. Gilly menoleh menatap tempat tidur di sebelahnya. Wanita itu baru menyadari jika suaminya tidak ada di sebelahnya."Ke mana perginya laki-laki penyakitan itu? Bukankah semalam dia tidur di sebelahku, tapi kenapa sekarang dia tidak ada?" dengkus Gilly.Gilly menyibakkan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, lalu wanita itu menur
Jangan pernah bermain api jika tidak ingin terbakar. Mungkin begitulah istilah yang cocok untuk orang-orang yang suka mencari masalah atau terlalu terobsesi ingin mendapatkan apa yang dia inginkan.Begitu juga yang terjadi pada Gilly Brown. Wanita itu punya segudang obsesi sejak masuk ke dalam keluarga Wagner. Satu obsesi yang sekarang begitu sangat menggebu-gebu membuatnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.Tak hanya satu atau dua saja, bahkan dia menginginkan putra semata wayangnya yang harus mewarisi kekayaan dari keluarga Wagner. Akan tetapi hal itu ditolak oleh putranya. Sebenarnya bukan masalah menolak, tapi sang putra tidak pernah berpikiran sampai kesitu. Sang putra masih mempunyai hati sedangkan sang ibu sudah tertutup hatinya dengan keserakahan.Gilly menoleh ke arah suara yang membuatnya terkejut dan juga emosi. Bagaimana tidak, sang putra yang bernama Marcel membuatnya sangat marah."Beraninya kau bicara seperti itu pada ibumu?" sungut Gilly."Kenapa? Apakah kau