"Iya, Sayang. Aku nggak macam-macam kok di sini, kamu tenang aja, ya. Cintaku tetap untuk kamu," ucap Gilang dengan senyum tipis.
"Janji, ya?" tanya wanita itu dari ujung sana dengan suara manja."Iya, Sayang. Aku janji, kamu kapan pulang? Aku udah kangen nih.""Masih lama, kemarin aku janji sama kamu cuma sebulan kan? Kayaknya diundur deh. Manager aku bilang kalau aku di sini selama tiga bulan. Kamu nggak marah, kan?"Gilang tersenyum kecut, pria itu menyugar rambutnya dengan kasar. Sudah dia duga kalau ujung-ujungnya akan berakhir seperti ini."Ya ... mau gimana lagi, nasib punya pasangan model, ya harus seperti ini," jawab Gilang pada akhirnya."Tapi kamu nggak apa-apa, kan?" tanya wanita itu sekali lagi."Nggak apa-apa, santai aja.""Beneran? Kok kamu tumben banget sih jawab kayak gitu. Biasanya juga selalu merengek nyuruh aku balik. Atau yang lebih parahnya malah nyuruh aku pensiun jadi model.""Berkali-kali aku nyuruh juga nggak bakalan kamu turutin, kan?" tanya Gilang sarkas. "Jadi untuk apa membahas itu terus, ujung-ujungnya nanti kita berdebat, aku nggak mau kayak gitu. Capek, Ra," keluh Gilang."Iya, aku paham kok. Cuma, aku nggak suka aja sama kamu yang terlihat pasrah. Kayak aku tuh udah nggak ada gunanya lagi."Gilang tersenyum tipis. "Tenang aja, nama kamu selalu di hatiku, kok. Nggak bakal hilang.""Beneran loh, ya. Awas aja kalau kamu sampai macam-macam. Aku akan beri kamu pelajaran," ancam wanita itu.Bukannya takut, Gilang malah tertawa terbahak-bahak.'Main-main sesekali juga nggak apa-apa. Lagian aku juga butuh menyalurkan hasratku, Ra. Nggak mungkin aku betah puasa, menunggu kamu selama itu,' batin Gilang."Oh, ya, Sayang. Kamu lagi apa?""Santai aja, kenapa? Mau nemenin?""Boleh deh, aku ganti video call, ya?"Seketika wajah Gilang menjadi pias, dia menatap tubuhnya dari atas sampai bawah, baru menyadari kalau dirinya tak memakai sehelai benang pun.'Mampus, apa yang harus aku lakukan sekarang?'"Eeeee ... jangan sekarang ya, Sayang. Soalnya aku lagi di kamar mandi, lagi buang air besar," dusta Gilang."Nggak apa-apa, bukannya kita udah terbiasa seperti itu, ya? Bahkan aku sudah sering melihatmu tidak memakai pakaian satu pun, kenapa harus malu?""Masalahnya bukan gitu, aku ... aku lagi ... diare, ya ... diare. Aduh, sakit banget perutku. Yura, nanti aku telepon lagi, ya. Bye, Sayang. Aku cinta kamu."Gilang cepat-cepat mematikan sambungan teleponnya, menatap wajahnya dari kaca lalu menghela napas dengan kasar.Wajahnya berubah menjadi sendu. Dia memiliki segalanya. Uang, kekayaan, semua dia punya. Hanya saja hidupnya selalu kesepian.Wanita yang selama dua tahun ini bersamanya, menemani hari-harinya, selalu sibuk sendiri dengan dunianya.Memang sudah risiko Gilang mempunyai pasangan wanita karir, terlebih lagi seorang model. Namun, dia tidak pernah menyangka jika hidupnya selalu dilanda kehampaan. Seandainya saja mereka sudah memiliki anak, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini.Sayangnya, Yura, wanita itu tidak mau memiliki anak terlalu cepat, wanita itu berkata ingin fokus dengan karirnya lebih dulu, dan juga wanita itu berpikir jika mereka masih terlalu muda untuk memiliki anak."Aku ini manusia biasa, Yura. Pasti memiliki batas kesabaran, bagaimana jika aku ...."Gilang menggantungkan kalimatnya, matanya membulat ketika dia baru mengingat ada seorang wanita yang saat ini mungkin tengah menunggunya."Ya Tuhan, Kasih," gumam pria itu.***Gilang tertegun ketika melihat Kasih tampak tertidur pulas dengan memakai selimut sampai ke lehernya.Gilang sangat yakin jika saat ini Kasih belum memakai pakaiannya kembali.Tanpa sadar pria itu mendekat, lalu membelai wajah Kasih dengan perlahan. Tak tega melihat bagaimana wajah wanita itu begitu polosnya ketika terlelap.Jauh di lubuk hatinya, dia juga menyesal karena sudah menjebak Kasih. Menjadikan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya. Namun, di sisi lain dia juga bangga karena bisa membantu wanita itu yang tengah kesusahan ekonomi.Pria itu tersentak ketika melihat pergerakan kecil dari Kasih, dia buru-buru melepaskan tangannya dari wajah wanita itu."Sudah bangun?" tanya pria itu lembut."Ya, maaf aku ketiduran," jawab Kasih, wanita itu berusaha untuk duduk."Apa karena terlalu lama menungguku?"Kasih tersenyum canggung. "Sepertinya tidak, akulah yang terlalu mengantuk. Akhir-akhir ini aku kurang tidur, mungkin karena itu aku ketiduran," kata wanita itu beralasan.Gilang mengangguk paham, lalu menatap Kasih dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.Kasih yang ditatap seperti itu seketika merinding.'Apakah dia akan melanjutkan yang tadi sempat tertunda?' Batin Kasih bertanya-tanya. 'Kenapa dia menatapku seperti itu,' keluhnya lagi."Apa kamu ingin melanjutkan aktivitas tadi?" tanya Kasih malu-malu dengan kepala tertunduk."Kasih," panggil Gilang."Ya?""Kenapa terus menunduk?""Tidak apa-apa.""Tatap mata aku ketika aku sedang mengajakmu berbicara," titah pria itu.Dengan gerakan lamban, akhirnya Kasih pun memberanikan diri menatap pria itu."Ada apa?" tanya wanita itu gugup."Apa kamu sangat membutuhkan uang?""Ya, sangat!" jawab Kasih tegas.Gilang tersenyum lebar, sayangnya Kasih salah mengartikan senyuman yang pria itu berikan. Dia mengira jika Gilang tengah mengejeknya.Mungkin Gilang tidak mengatakan, tapi dalam hatinya, pasti pria itu berkata jika dirinya adalah wanita murahan, begitulah pikirnya."Aku paham dengan apa yang kamu pikirkan."Gilang mengerutkan keningnya, tak paham dengan ucapan Kasih."Maksud kamu?""Pasti kamu berpikir jika aku ini adalah wanita ja-- ehem, ya ... seperti itulah intinya.""Ja? Apa?"Kasih mengibaskan tangannya. "Lupakan saja. Jadi, ini aktivitas tadi mau dilanjut atau tidak? Kamu nggak risih dengan penampilan kita sekarang? Tanpa memakai busana."Detik berikutnya Kasih menutupi mulutnya karena sudah berbicara terlalu frontal.'Ya ampun, pasti dia semakin menduga kalau aku beneran wanita yang nggak benar,' decak wanita itu dalam hati."Bagaimana kalau kita lanjutkan?" tawar Gilang."Begitu, ya?" tanya Kasih. "Ya sudah, baiklah."Seketika tawa Gilang pecah ketika mendengar jawaban dari Kasih.'Nih cewek beneran lagi ngebet kayaknya. Akibat kurang belaian dari suami, makanya diajak ayo-ayo aja. Berkedok demi uang, padahal juga butuh pelepasan. Aish! Nggak ada bedanya sama aku. Bukannya aku juga kurang belaian? Sialan.'"Kenapa? Apa ada yang lucu?"Gilang menggeleng. "Pakai baju kamu lagi, aku tidak jadi menagihnya sekarang. Mungkin nanti.""Loh? Tapi, kan--""Kamu tenang aja, uangnya aku kasih sekarang. Saat ini kesehatan ibu kamu lebih penting, jadi aku harus memakluminya. Aku orangnya nggak setega itu kok. Udah, cepat pakai baju kamu sebelum aku berubah pikiran.""Terima kasih," ucap Kasih dengan antusias. Wanita itu penuh semangat memakai pakaiannya.Sebelum Kasih pergi, wanita itu kembali mendekati Gilang."Terima kasih karena sudah mau menolongku. Tapi, rasanya tidak etis kalau sudah mendapatkan uang tapi kamu belum mendapat imbalannya. Jadi ...."Kasih tak melanjutkan ucapannya, dia menatap Gilang dengan ragu. Entah keberanian dari mana, dia tiba-tiba saja mendaratkan bibirnya di bibir Gilang.Awalnya hanya sekadar menempel, lalu Kasih melumatnya sebentar, yang langsung dibalas oleh Gilang. Sayangnya ciuman itu hanya berlangsung sebentar, karena Kasih melepas ciuman itu secara paksa."Sampai jumpa, Gilang. Aku pergi dulu."Gilang hanya menatap Kasih dengan wajah melas. Menyesal karena sudah melepaskan wanita itu begitu saja."Kasih, cepat kembali!" panggil pria itu dengan suara nyaring.Hening, tak ada sahutan dari luar."Kasih?" panggil Gilang sekali lagi, kepalanya menyembul dari pintu untuk melihat keberadaan wanita itu."Sial! Cepat banget dia pergi. Mana burungnya udah berdiri gini. Arggghhhh! Lagi-lagi terpaksa main solo."Kasih tersenyum lebar ketika melihat ibunya sudah sadar, senyumannya makin mengembang ketika netranya bertemu pandang pada ibunya yang saat ini tengah tersenyum padanya."Kasih," panggil wanita paruh baya itu."Ibu, akhirnya aku kembali melihat senyumanmu, aku sangat merindukannya," ucap Kasih sambil mendekap erat tubuh wanita itu, sesekali terdengar Isak lirih dari Kasih."Ibu sudah tidak apa-apa, Nak. Terima kasih karena sudah mau memperjuangkan Ibu."Kasih menggeleng, dia sama sekali tidak setuju dengan ucapan ibunya."Sudah sepantasnya aku sebagai anak harus mengurus Ibu, kenapa Ibu malah bicara seperti itu?" tanya Kasih agak ketus.Ditanya seperti itu wanita paruh baya itu hanya tertawa pelan. Namun tak lama kemudian dahinya berkerut, lalu menelisik ruangan itu dengan seksama."Ada apa, Bu?" tanya Kasih cemas. "Apa Ibu masih merasakan sakit?" tanyanya lagi.Mutia menggeleng, dia menatap Kasih dengan tajam."Dari mana kamu mendapatkan uang, Nak? Apa mungkin dari Dani? Tapi ... apa
[Sampai jam segini kamu belum datang? Apa kamu ingin bermain-main denganku, Kasih?]Kasih menelan salivanya dengan susah payah ketika mendapat pesan dari Gilang.Memang dia berniat tidak akan mendatangi pria itu. Alasannya karena hari ini mood dia benar-benar buruk karena ulah suaminya.Beberapa kali Gilang menghubunginya, tapi selalu Kasih abaikan. Dia pikir nanti ketika ditanya oleh Gilang, dia bisa saja mencari alasan.Tapi, isi pesan Gilang kali ini mampu membuat nyalinya menciut. Sepertinya Gilang mengetahui kalau dirinya tengah menghindari pria itu.[Aku sedang tidak enak badan. Lain kali saja aku menemuimu.]Tangan Kasih gemetar ketika mengetik pesan tersebut. Dia sangat berharap jika Gilang akan mengerti. Namun, matanya terbelalak ketika dia mendapat balasan pesan dari Gilang.[Benarkah? Aku sudah berada di depan rumahmu, cepat buka pintunya, jangan banyak alasan!]Kasih langsung beranjak dari tempat tidurnya, dia mendekati jendela untuk melihat apakah benar Gilang berada di d
Kasih masih terdiam ketika Gilang sudah menoleh ke arahnya. Wanita itu menatap Gilang dengan tatapan tak terbaca, begitu pun sebaliknya, Gilang juga menatap Kasih dengan senyum seringainya."Sudah siap?"Kasih menelan salivanya dengan susah payah, dia ingin berkata tidak, tapi tidak bisa, suaranya tercekat.Gilang yang melihat wajah Kasih tampak tegang pun mengerutkan keningnya."Are you oke? Apa kamu beneran tidak enak badan?"Kasih menggeleng, dia berdeham kecil untuk mengubah ekspresi wajahnya, berusaha keras untuk tersenyum, walaupun kaku."Nggak, nggak apa-apa.""Kalau tidak bisa jangan dipaksakan," tegur pria itu."Apa boleh lain kali saja?" tanya wanita itu dengan wajah berbinar. Ucapan Gilang merupakan angin segar untuknya."Sayangnya tidak bisa. Karena aku sudah ngebet banget pengin kawin," sahut Gilang dengan santainya.Senyum Kasih perlahan memudar, dia menatap pria itu dengan malas.'Tau gitu kenapa tadi ngomong seperti itu, kalau hasilnya juga sama aja,' gerutu Kasih dala
"Hai, Sayang. Tumben cepat banget pulangnya," ucap Gilang.Dahi pria itu tampak berkeringat karena terlalu panik. Dia berusaha keras menutupi kegugupannya."Kenapa? Kok kayak nggak suka gitu kalau aku pulang? Terus ngapain kamu ada di kamar tamu?"Gilang mengusap keringatnya, terdiam cukup lama untuk memberi jawaban yang tepat untuk Yura, istrinya."Nggak ada sih, tadi aku kecapean. Mau ke kamar kita rasanya malas, makanya aku istirahat di ruang tamu," kata pria itu beralasan."Masa sih, terus kenapa kamu keringetan begitu?""Itu, AC di dalam kamar mati. Kenapa sih, kok kayak curiga gitu?"Yura menggeleng pelan, dia mengedikkan bahunya. "Nggak apa-apa sih, cuma tanya aja."Tiba-tiba wanita itu mendekat sambil tersenyum nakal. Yura merangkul pundak Gilang."Sayang, aku kangen," ujar wanita itu manja."Iya, sama. Aku juga kangen banget sama kamu."'Sial, kenapa tubuh Kasih masih terbayang jelas di pikiranku,' keluh pria itu dalam hati."Kita main yuk. Terserah deh mau berapa lama. Pokok
Sepanjang ia berjalan, pria itu tak pernah berhenti mengulas senyum. Rasanya beban yang dia rasa di badan telah musnah. Itu semua berkat wanita itu, ya dia adalah Kasih.Gilang menghela napas panjang ketika sudah mencapai di pintu kamarnya. Membuka pintu itu secara perlahan, kemudian kembali menutupnya dengan amat sangat pelan.Dilihatnya sang istri sedang tertidur, pria itu mendekati Yura, mengelus rambutnya dengan pelan.'Maaf, kamu pasti sangat lama menungguku, sampai-sampai ketiduran,' batin pria itu.Kendati demikian, Gilang sama sekali tidak menampilkan raut wajah merasa bersalah karena telah membuat wanitanya menunggu, lebih parahnya lagi, dia sama sekali tidak menyesal karena sudah bercinta dengan wanita lain dalam satu atap yang sama.Pria itu merebahkan tubuhnya di samping Yura, menatap langit-langit kamar sambil tersenyum lebar. Rasa penasarannya pada Kasih telah terbayarkan, dan sesuai dugaannya, jika wanita itu sangat memuaskan."Hah! Leganya," gumam pria itu."Lega kenap
"Seperti biasa, kau selalu memukau."Kasih mengernyit heran. Entah mengapa, dia merasa kalau Gilang akhir-akhir agak lebay. Ya, semenjak mereka sudah melakukan hubungan terlarang, Gilang selalu bertindak berlebihan.Seperti tadi contohnya, tiba-tiba saja pria itu memuji kecantikannya."Untuk apa menyuruhku datang menemuimu?" tanya Kasih to the poin."Santai dong, buru-buru banget. Nggak sabar banget ya pengin ke kamar."Kasih memutar bola matanya malas. Heran dengan pria itu, otaknya selalu saja tidak jauh-jauh dalam urusan ranjang. Sebelumnya Gilang tidak seperti ini.'Cih, ganteng doang. Otak mesum!' umpat Kasih dalam hati.Karena melihat Kasih diam saja, akhirnya pria itu berdeham sejenak. Berniat mengutarakan tujuannya."Jadi, ada yang mau aku omongin sama kamu." Suara Gilang kali ini cukup serius.Kasih mengangguk paham, pertanda dia siap mendengarkan ucapan Gilang."Tentang hubungan kita kedepannya."Kasih masih menatap Gilang dengan sorot mata tajam."Hubungan?" ulang wanita it
"Hai, Sayang. Sudah selesai?" tanya Gilang sambil mencium pipi Yura."Hemm, kenapa jemputnya lama sekali," gerutu wanita itu."Oh, aku baru saja selesai berolahraga.""Pantas saja, wajahmu terlihat sangat segar," puji Yura, menatap suaminya dengan takjub."Benarkah?""Ehem-ehem. Yang lagi mesra-mesraan, tolong dong ditunda dulu, kasihan nih ada jomblo di sini."Gilang dan Yura langsung mengalihkan pandangannya, menatap ke arah sumber suara.Tatapan Gilang terlihat bingung, Yura pun akhirnya menjelaskan."Dia Dea, temanku. Dan Dea, kenalkan, dia suamiku.""Hai," sapa Dea sambil mengulurkan tangannya, sayangnya tak dibalas oleh Gilang."Apa sesi pemotretannya sudah selesai?" tanya Gilang mengalihkan pembicaraan."Sudah, kamu mau langsung pulang atau mau mampir ke suatu tempat dulu?""Sepertinya langsung pulang, tapi sebelum pulang aku ingin ke toilet dulu."Dea yang melihat sikap dingin Gilang hanya mampu menggigit bibir bawahnya.Terlihat sangat jelas kalau wanita itu begitu terpesona
Seminggu telah berlalu, Kasih bisa bernapas lega karena sampai saat ini Gilang tidak pernah datang menemuinya.Entah apa yang terjadi dengan pria itu, mungkin tengah sibuk dengan istrinya. Kasih sama sekali tidak mempermasalahkannya, dia malah senang jika pria itu tidak datang padanya, bahkan dia juga berharap Gilang sama sekali tidak akan menemuinya lagi.Hari ini dia berjanji akan mengajak ibunya berbelanja bulanan. Kasih mengatakan bahwa dia diberikan sedikit bonus oleh bosnya karena beberapa kali lembur, tentu saja itu hanya akal-akalan Kasih."Kamu belanjain Ibu banyak banget, Kasih. Apa uangmu nggak habis?" tanya Mutia dengan dahi berkerut.Kasih tersenyum. "Kan, tadi aku bilang kalau bos aku ngasih bonus. Dia baik banget, kan, Bu. Belum ada sebulan aku kerja udah dikasih uang," celetuk Kasih beralasan agar tak menimbulkan kecurigaan."Memangnya pekerjaan kamu itu apa sih, Nak?" "Ya biasa, kalau asisten rumah tangga pastinya selalu beres-beres rumah, Bu."Mutia tersenyum tulus,