Share

2. Pertemuan dengan dia si Tampan

Sejam telah berlalu dan mereka telah membawaku saat aku sedang pingsan.  Pertama kalinya aku  terbangun di tempat gelap, tepat di dalam jeruji besi.  Kedua tanganku telah dirantai, dan tubuhku diikat di tiang kayu. Ini mirip seperti disalib karena melakukan dosa besar namun aku tidak berbuat kejahatan. Klek!klek! aku menggerakan rantai di kedua tanganku, kemudian seorang hakim memandangiku, dan pelayannya menyiramku dengan  seember air.

"Akkh mataku perih! menyebalkan bisa pakai cara halus tidak?" Aku melotot saat melihat mereka. Air itu masih hangat dan mengenai mataku. Pelayan dan bawahan hakim itu membawa kayu pemukul dan satunya lagi sedang memanaskan cetakan di atas bara api. Apalagi yang dia perbuat selain akan menyiksaku dengan cetakan panas itu, di wajahku atau dibagian tubuh yang lain. Empat orang lawan satu. Sangat tidak adil.

Salah satunya mulai berbicara denganku. "Sekarang mari perjelas siapa kamu dan atas suruhan siapa kamu kemari?" Kata pria   bertopi ala kepala hakim di istana  kerajaan Song, sedangkan di sampingku bawahannya  sedang bersiap mencetakku dengan  cetakan panas.

Sialan! Aku kesal! Aku bergumam dan merutuk sendiri di hati. Tindakannya itu menyebalkan hingga aku tak bisa menangis karena aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah lagi pula berusaha menangis akan terlihat palsu karena  tak ada air mata. Namun, aku juga mau tertawa karena ini mimpi. Ku pandangi satu persatu tampilan mereka dari atas sampai bawah, rata-rata mereka menggunakan rompi (baju luaran) dan penutup kepala ala Dinasti Song akan tetapi wujud mereka setengah kuda.

"Apa-apaan ini, apakah aku sedang bermimpi lagi? Hahahah! Aku mau pulang!"

"Diam. Kau sangat berisik!" Dia mencetakku, dan aku berteriak karena panas! Kulitku terbakar. Kalaupun ini mimpi harusnya tak sakit, aku tetap yakin ini sensasi dari mimpi lantaran panas dan perih aku pun mulai lelah dan memutuskan menipu mereka. Aku pun pura-pura pingsan dan tanpa sengaja pingsan sungguhan karena energiku habis. Sial! Sekarang aku butuh cahaya!

"Tuan dia pingsan."

"Jangan biarkan dia pingsan. Buka jendelanya. Aku juga mulai pengap di tempat ini." Kata kepala hakim dan entah mengapa, keberuntunganku menjadi kesialanku,  aku berpikir pingsanku berhasil mengelabui mereka tetapi setelah mendapat sinar matahari dari jendela itu aku mulai menyala lagi. Sungguh apalagi ini? Cepat sekali terisinya- hanya butuh beberapa menit, dan aku langsung melek.

Kemarin lima hari yang lalu, aku mendarat di Shanghai untuk liburan dan pergi ke desa wisata dan bermain paralayang, dan sekarang aku bertemu dengan makhluk setengah kuda.  Apa mereka sengaja memakai kostum itu? Aku tidak percaya kostum itu bisa senyata ini. Dan sensasi terbakar? Haruskah ku bilang ini? Aku mulai bangun, dan bergurau lagi.

"Ini di mana? Kalian tidak sedang acting film atau drama kan?"tanyaku bingung sambil meledak. "Haaa. Tolong ampuni akuuu! Sakit ini sungguhan lepaskan rantainya!" Rengekku.

"Tutup mulutmu, omong kosong apa yang kau bicarakan. Kau pikir kita bermain-main? Sekarang katakan yang sejujurnya jika kau tidak mau mati di sini." Pelayan hakim itu mengancam.

"Huh, tanya saja. Aku tak percaya kalian berani. Sutradara pasti akan memarahi kalian." Pelayan itu menggertakkan giginya. "Kau mau cari mati yaaaa!" Pelayan itu mencambukku dari depan, dan sontak aku merintih kesakitan. Ini benar sungguhan.

"Aaakhu minta...aku minta maaf," lidahku kelu lagi-lagi aku baru ingat rasa sakit dicetak dengan besi panas tadi, sekarang terluka lagi. Sakitnya berganda.

"Sekarang nyalimu mulai turun ya?"

Set!!!Cambukan kedua. Aku semakin berteriak histeris.

"Katakan sejujurnya." Aku pun belum membuka percakapan selanjutnya karena terlalu menyakitkan.

"Tuan sepertinya kita harus mengeksekusinya dengan keras. Agar dia mau bersuara." Salah satu rekan berbisik padanya.

"Dia sedang menguji kesabaran kita." Aku melotot karena pelayan itu belum menyudahi penyiksaan malah meminta penyiksaan lagi.

"Kau benar. Segera lakukan eksekusi." Cambukan berhenti dan dua orang bergilir mengambil paku dan palu yang akan memakuku di tembok ini. Aku terus menerus berteriak ketakutan. Ini paling sadis yang pernah kualami.

"E-eh. Kalian tidak sungguhan kan? Ge   tolong maafkan aku. Huaaaaaaaa. TOLLLLOOOONG!" Ekspresiku mulai gugup karena mereka benaran serius ingin melakukannya. 

Ku lihat kengerian di sekeliling ku, suara jerit-tangis terdengar dari segala arah, dan mereka benar disiksa kejam. Aku baru menyadarinya dan mereka bukan pemain drama atau film,  tidak ada  yang namanya sutradara, produser dan yang lainnya. Ku pikir ini acting dan setelah melihat ke sekeliling  ini adalah  dunia lain. Aku seharusnya sangat sadar kala itu dan bukan menganggapnya  mimpi terus- menerus, dan sebaliknya  berlari  dari bahaya,  sekarang aku menjadi orang yang naif. TUHAN TOLONG AKU!

Mereka mengambil perkakas mengerikan untuk menyiksaku dan tentu saja aku merasa ketakutan dan menolaknya," apa yang kalian mau lakukan, ini tidak keren. Ku mohon jangan lakukan itu."

SIAPAPUN! TOLONG AKU SEGERA DARI MAUTKU!

Akhirnya rintihanku didengar dan belum terjadi koyakan besar,  sesorang tengah berteriak dari luar sana.

Aku terperangah, " iya iya tolong lepaskan aku !!!!"

"Iya aku mau mengakui. Tolong ampuni aku pelayan hakim!!" Aku merengek.

"Gadis gila, tuan dia panggil aku pelayan!" Pelayan itu marah. "Kau mau kuhajar?" Lalu mengambil pukulan.

"Tidaaak!" Aku berteriak dan dia tak jadi memukulku karena mendengar perintah.

"Hentikan kegaduhan semua itu!"  Suara pria berteriak dari sana. Suaranya yang ngebas dan berat memberhentikan penyiksaan sejenak. Dadaku terasa berdebar-debar dan juga lega karena ada yang mau menolongku. 

"Seseorang tolong aku! HIKS!" Aku memohon bantuannya.

Sreeet!!! Salah satu kasim menggeser  pintu, dan masuk ke dalam. Aku tidak dapat membayangkannya, selangkah saja tanganku sudah hancur jika mereka tidak datang. Pelayan hakim itu sungguh mudah meledak. Dia tidak terima dipanggil pelayan, oleh sebab itu dia sangat marah, walaupun dia  menganggap dirinya bukan pelayan, namun ia tak sadar diri dengan kerjaannya. Sejauh ini kuperhatikan, dia hanya menerima perintah dari atasannya. Hakim pun juga tidak respek dengannya dan keliatannya mereka seperti ada dinding antara pelayan dengan bos- tidak benar-benar saling memahami dan akur.

"Yang - Yang Mulia." Semua di dalam ruanganku membungkuk dan menghentikan penyiksaannya. Mereka terlihat berkeringat, terutama si rekan hakim itu, dan  pasti para lelaki tampan itu  sangatlah berkuasa.

Tiga orang pun telah masuk ke dalam. Mereka tampan, tinggi dan berbeda. Salah satunya adalah dewa setengah kuda merupakan pengawal karena gelagatnya selalu bersiaga, lalu satunya lagi seorang kasim istana,  dan yang berbaju putih itu. Hmm...biar ku tebak ia pasti pangeran atau raja, karena figurnya  mulus dan putih. Namun, untuk julukan raja, ia terlalu tidak kharismatik dan  santai. Ia pasti anak raja.

"Hentikan semua ini," tiba-tiba suara lantang itu menjadi penolongku. Kasim itu melepaskan rantaiku lalu pengawal istana menghalangi palu dan paku yang akan didaratkan di pergelangan tanganku dan pelayan hakim itu langsung bersujud, lalu meninggalkan perkakasnya karena pengawal milik pria berbaju putih tersebut  telah mendorongnya.

"Jangan lakukan itu padanya. Kalian akan masuk neraka seumur hidup. Dia adalah dewi yang turun dari langit. Aku telah mendapatkan informasinya. Orang itu yang membawa burung terbang adalah dewi kebenaran, mengapa  kalian begitu lancang menghakimi sendiri?" Kata Si Kasim.

"Maksudku ini perintah Yang Mulia pangeran." Tutur lanjutan dari sang kasim setelah  berbicara mewakili pangeran. Kasim pun mundur ke belakang pangeran yang  berbaju putih, lalu diisi oleh  pengawal setianya  yang berbadan kuda itu. Sebagai bentuk jasa keamanan untuk mereka berdua. Tak hanya itu sekarang perhatianku kembali ke pria berbaju putih tersebut.

Dahi nya telah berkerut sedari tadi ia pasti sedang menahan marah, sesekali ia mencuri waktu untuk melihatku yang telah terikat tak berdaya. Ia menutup kipasnya dan mengepalnya. "Kudengar kalian benar-benar mau ambil kesimpulan sendiri? Kenapa kalian begitu lancang sekali!" Akhirnya pangeran angkat bicara.

Aku memperhatikan mereka,  dan lagi-lagi berpikir saat kasim menggantikan ucapan pangeran yang mengingatkanku pada alat rekam. Ia seperti alat rekam di ponsel.   Di zamanku, alat rekam tidak begitu keren dari seperangkat  e-mail. Aku juga penasaran apakah mereka masih menggunakan burung untuk saling bertukar percakapan, kalau itu ada itu pasti romantis. Uh! Apanya yang romantis? Bertukar surat seperti itu memakan waktu belum lagi suratnya seringkali tak sampai  dan yang ada, si penerima sudah jamuran.

"Mohon ampun Yang Mulia," aku segera melupakan pikiran ku, " saya sungguh tidak tahu jika dewi akan turun ke dunia kita menggunakan benda asing itu. Lagi pula gelagatnya mencurigakan pakaiannya pun serba hitam dia pasti klan iblis. YA-Yang Muliaaa."  Ujar si pelayan hakim yang keras kepala, dia itu yang suka meledak-ledak diantara yang lain, dan juga yang mau memukuliku.

"Lancang!!!"

Pengawal istana itu menendang dada bawahan hakim setelah mendengar kemarahan sang pangeran. Si kepala hakim terlihat takut bertindak  sehingga memilih membungkam,  sementara itu dua pelayan  yang lain lebih penakut darinya terlihat bagaimana tubuhnya yang saat ini bergetar hebat dan berkeringat.

 Aku menggumam lagi. "Apa-apaan ini, paralayang dibilang burung terbang, aku disebut dewi kebenaran? lebih tidak masuk akal mereka berlutut di depan saudara itu lalu menyebutnya pangeran dan dimarahi. Sepertinya jalan cerita mulai terasa." Si pangeran melihatku seperti sedang mengetahui jalan pikiranku saat ini, aku memaling wajah.

"Yang Mulia, coba pikirkan apakah benda itu termasuk burung?  Sementara aku sudah lihat tidak ada sayap di antara badannya." Si hakim angkat bicara meyakinkan namun terkena teguran dari si kasim, iapun beringsut takut. Ternyata mereka tahu tentang paralayang, lantas kapan mereka menyelidiku? Aku semakin tak paham.

"Omong kosong apa yang kalian utarakan, dewi begitu suci sehingga  suruhan burung itu membawanya kemari. Kau bahkan mau menyangkalnya?"

Kasim itu segera diberikan himbauan untuk berhenti berbicara oleh sang pangeran lewat gerakan tangan kanannya. "Kasim biarkan dia bicara. Katakanlah!"

"Hamba mohon ampun Yang Mulia. Dewi menurut buku kuno adalah makhluk yang hidup atau makhluk pepatah dari legenda  seribu seratus tahun yang lalu. Kemunculan nya tidak pernah ada selain saat kitab itu turun." Sambung si hakim.

" Kau lupa. Yang mulia Ratu kita pernah bertemu dengan dewi kebenaran itu, dan seseorang telah memburunya." Si kepala saling melihat satu sama lain, dan aku seperti menemukan kejanggalan.

"Tetapi, ratu sendiri bilang bahwa dia adalah suruhan Iblis." Sahut sang pelayan hakim. Pangeran pun mendengarnya langsung mengepalkan tangan, ia  seperti mendendam kepada orang-orang yang menyangkal tentang dewi kebenaran yang terdahulu.  Iapun akhirnya berkata dengan lantang.

"Tanpa pengetahuan yang mendalam kalian sudah membakarnya hidup-hidup. Apa yang terjadi setelah itu? Kerajaan kita kekeringan dan melarat. Manusia mulai menyalahkan kita. Sekarang manusia mulai melupakan kerjasama dengan para dewa. Kau mau hal itu terjadi lagi?"

"Yang Mulia, mohon ampuni kami sungguh kami tidak mengetahui itu." Seru kepala hakim berkowtow (bersujud sampai ke tanah berulang kali) bersama  dua pelayan yang pengecut itu, akan tetapi si pelayan yang satunya malah menantang perkataan pangeran dan merasa tak terima seperti mau melanjutkan perkelahian.

"Dia tetap suruhan iblis." Pangeran yang mendengar segera naik pitam dan wajahnya mulai memerah,  sebentar lagi emosinya keluar melebihi api di sini.

"Lancang, kau pelayan yang tidak mengerti aturan. Kau mau melupakan prinsip kerajaan kita karena mendengar  rumor  itu. Dengar! Hidup kita  merupakan anugrah dari dewi. Kau yang memulai pemberontakan ini! Atas nama istana ku perintahkan kalian untuk mencambuk dia sampai mati!"

"Maaf Yang Mulia, bawahanku yang tidak tau diri ini. Aku sungguh menyesal..." hakim berkowtow lagi meminta pengampunan akan tetapi usahanya malah tak berhasil.

"Kepala hakim San, kalau kau tidak mau ikut ku hukum ku peringati dirimu untuk lebih berhati-hati." Emosi pangeran sudah tahap meledak kini memerintahkan pengawalnya untuk melepaskanku, dan setelahnya kepala hakim itu menghukum pelayan dan rekannya.

"Roy cepat bawa dewi pergi."

"Baik." 

Setelah beberapa menit aku berpikir kalau mereka bertindak aneh dan aku tak henti-hentinya bergumam hingga suara ku mulai terdengar oleh mereka.

"Apakah ini mimpi? Aku dewi kebenaran? Lelucon apa ini?" Kalimat sarkasku mulai diamati oleh mereka. Si pangeran itu berhenti dan melihatku digendongan Roy lalu  tersenyum. Aku berkedip berulang kali merasa tidak nyaman digendong dan didengar oleh mereka. "Dengar, kau tidak sedang bermimpi. Ini adalah negeri peri, manusia dan dewa. Di sini kau akan berada dalam perlindunganku asal kamu dapat bekerja sama denganku."

"Ah, kalian mau konspirasi lagi ya?"

Pengawal istana itu segera memukul punggungku hingga pingsan. "Terlalu banyak bicara."

Si pangeran terkejut karena Roy langsung bertindak tanpa menunggu perintahnya.

"Apa yang hamba harus lakukan kepada dewi ini Yang Mulia?" 

"Bawa dia ke ruangannya."

"Baik." Ia langsung pamit dan pergi membawaku di punggungnya.

(Bersambung)

HMW

Ge: Sebutan kakak laki-laki dalam bahasa China. Melek: Mata terbuka.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status