Share

Chapter 8 | Bring Him Soup

"Morning!" sapaku begitu melihat semua mereka di meja makan.

"Kau sudah bangun?" tanya ibuku.

Aku mengangguk, kemudian aku melihat paman James keluar dari kamar mandi. "Paman—ehm maksudku, Dad. Kapan Dad datang?"

"Aku baru saja tiba sekitar satu jam yang lalu. Apa kabarmu, beauty?"

"Tentu baik."

"Dia sedang dekat dengan Dareen," sahut Gavin. Aku melihat ke arahnya yang mengeluarkan kalimat hoax. Dia betul-betul cocok jadi lambe turah, membawa berita tanpa bukti yang konkrit.

"Hei, penyebar fitnah yah anda!" Aku menantapnya tajam.

"Dareen? Dareen Ivander? Waw, itu bagus. Aku mendukungmu, Amanda. Ternyata kau pintar juga memilih seorang pria."

"Oh tidak, Dad. Gavin itu berbohong, Dareen hanya dosen di kampusku."

Dia kemudian manggut-manggut. "Oh, begitu rupanya. Padahal aku sangat berharap kalian berdua ada sesuatu." Entah mengapa aku merasa ekspresi paman James terlihat kecewa. "Kau ini Gavin jangan membawa berita asalan!"

Gavin terkekeh. "Hahaha. Sorry, Dad! Aku hanya bercanda, lagian aku juga berharap mereka berdua bersama. Tapi kenapa aku merasa si Dareen itu bukan hanya menganggapmu sekedar mahasiswanya. Aku begitu yakin kalau dia ada perasaan terhadapmu, Amanda."

Aku yang tadinya minum kini tersedak mendengar Gavin. "Kau ini masih pagi sudah berpikir aneh-aneh saja. Mana mungkin itu terjadi, lagian Dareen itu ada sesuatu dengan teman wanitanya yang pernah kita temui waktu itu. Kalau tidak salah namanya Jules 'kan?"

Gavin hanya mengedikkan bahunya lalu melanjutkan sarapannya.

"Ohya Amanda, mom memasak sup. Bisakah kau membawakan Dareen?" pinta Gavin secara tiba-tiba.

Aku mengkerutkan alisku menatapnya. "Kenapa aku harus membawakannya sup? Untuk apa?"

"Dia itu sudah minum, semalam mabuknya cukup berat, dan dia tinggal sendirian di apartementnya. Aku kasihan melihatnya."

"Apartement? Tinggal sendirian? Memangnya kemana orang tuanya."

"Aku tidak tahu, sudah, kau bawakan saja! Kau 'kan mahasiswanya."

"Kenapa tidak kau saja?"

"Aku buru-buru, ada meeting dadakan. Kau bawakan saja, tidak baik menolak permintaan tolong orang terlebih kakakmu sendiri."

Aku merasa kurang yakin untuk ke apartementnya membawakannya sup mengingat kemarin dia marah kepadaku dengan permasalahan yang sepeleh. "Aku—aku tidak bisa!"

"Kau ini, bawakan saja! Aku tahu kelasmu siang, makanya bawakan saja dia, please!"

Aku hanya mampu menghembuskan nafasku berat, mau tidak mau aku harus melakukannya. "Hmm.. baiklah! Tunggu aku siap-siap dulu."

"Aku sudah kirim 'kan kau alamatnya, aku berangkat Mom, Dad." Dia kemudian mencium kening Natalie. "Bye Hon. Bye my hero. "

Setelah melihat Gavin pergi begitu saja, aku tidak berhentinya mengumpat dalam hati. Aku heran kalau Dareen yang mabuk kenapa Gavin yang pusing. Memangnya kita keluarga, yang harus membawakannya sup jika dia sudah minum.

Aku kemudian beranjak bersiap-siap untuk ke apartement Dareen. Aku mengecek ponselku melihat alamat yang dikirim Gavin kemudian aku memesan uber. Kalau di Indonesia punya Gojek, kalau disini aku menaiki uber.

***

Kini aku sudah berada di depan apartement Dareen, aku kembali mengecek ponsel memastikan jika aku berada di nomor unit yang tepat. Aku kemudian mulai menekan bel apartement beberapa kali. Lalu kudengar suara dari arah speaker bel apartementnya. "Siapa?"

"Permisi, Mr.Ivander. Ini aku Amanda." Awalnya aku ragu menyebut namaku namun apa boleh buat tidak mungkin aku bilang delievery.

Tidak lama kemudian pintu apartement Dareen terbuka. Menampilkan Dareen yang hanya mengenakan kaos abu-abu dengan bawahan celana pendek selututnya. Rambutnya sedikit berantakan, dari wajahnya aku menyimpulkan dia baru saja bangun.

"Mau apa kau kesini?" tanyanya datar.

Aku kemudian mengangkat sedikit totebag makanan yang kubawa. "Aku disuruh Gavin membawakanmu sup."

Dia lalu membuka lebih lebar pintunya. "Masuklah!"

Aku kemudian masuk ke dalam apartementnya yang dipenuhi nuansa hitamm, putih, dan abu-abu. Dari warna desain apartementnya, kusimpulkan Dareen adalah orang yang sederhana.

"Duduk!" Dia kemudian mempersilahkanku duduk meskipun terkesan memerintah.

"Ohya ini sup nya." Aku kemudian memberikannya sebelum berlalu menuju ruang tengah. Karena ini apartement jadi ruang tengah dan ruang tamunya menyatu lalu tidak jauh dari arah dapurnya. Apartement Dareen juga minimalis namun tetap terlihat elegant.

"Kau ingin minum apa?" tanyannya.

"Tidak usah repot-repot, air biasa saja sudah cukup." Dia lalu berjalan menuju pantry. Aku menghela nafas dengan berat merasa sangat canggung berada di sini.

Tidak lama kemudian dia datang membawakanku air mineral bersama dengan totebag dan juga tupperwear yang sudah ia cuci. Ia lalu menyedorkanku. "Minumlah!"

"Terima kasih." Aku kemudian mengambil gelas tersebut lalu meneguknya. Sesekali aku melihat ke arah Dareen yang cukup berantakan. Biasanya dia berpenampilan sangat rapi. Dari wajahnya juga terlihat seperti banyak pikiran. Sepertinya memang begitu, buktinya semalam dia sampai minum-minum. Aku penasaran hal apa yang membuatnya begitu banyak pikiran. Gavin bilang Dareen minum sambil menyebut-nyebut namaku. Tapi rasanya tidak mungkin, lagian permasalahan kami hanyalah masalah sepele.

"Kenapa kau melihat-lihatku?" Aku tersedak mendengar Dareen. Aku merasa malu seperti ketahuan mencuri saja.

Dareen kemudian menepuk-nepuk pundakku, membantuku yang batuk karena tersedak. "Kenapa kau suka sekali tersedak."

"Kau membuatku kaget."

"Aku hanya bertanya, bukan mengagetkanmu."

Dia lalu menyedorkan kembali air minum kepadaku. "Minumlah, untuk menetralkannya."

"Terima kasih," ucapku kepadanya. Setelah selesai meminumnya, aku kembali meletakkan gelas itu di meja.

Aku kemudian beralih menatap Dareen. "Dareen, aku ingin bertanya."

"Bertanya soal apa?"

"Gavin bilang kau minum-minum semalam? Katanya kau mabuk berat. Kau sedang banyak pikiran?"

"Tidak—apa urusannya denganmu?" jawabnya datar.

"Ak—aku hanya tidak menyangka kalau kau adalah tipikal orang suka minum minuman yang beralkohol."

"Memangnya kau pikir aku orang yang seperti apa?"

Aku hanya menggeleng tidak bisa menjawabnya.

"Kau tidak tahu 'kan? Makanya jangan suka menilai orang terlalu cepat," ucapnya tajam.

"Maaf kalau kau merasa—"

"Merasa apa? Apa kau juga mau menyimpulkan perasaanku?!" Aku heran kenapa dia menjadi marah.

Aku memutar mataku. "Kenapa kau menjadi marah?"

"Aku tidak marah!"

"Anda membentak saya tadi!"

"Sekarang kau yang membentakku."

Aku membuang nafasku berat. "Apa kau masih marah perihal kemarin?"

Dareen hanya diam tidak menanggapi.

"Dareen, aku benar-benar minta maaf. Tapi dengar dulu penjelasanku, aku bukannya merasa tidak nyaman denganmu. Aku merasa tidak enak."

"Tidak enak kenapa?"

"Aku merasa tidak enak jika kita terlihat terlalu sering bersama di area kampus atau sekitaran kampus terlebih masih jam kuliah dan juga kita tidak membahas permasalahan kuliah. Aku ini hanya mahasiswimu. Aku hanya khawatir kalau ada berita yang menjelek-jelekkanmu. Meskipun aku ini adik temanmu."

"Aku tidak berteman dengan Gavin!"

"Gavin bilang kalian cukup akrab dan juga dia yang mengantarmu pulang semalam."

Dareen kembali diam.

"Dareen, aku minta maaf. Aku tidak pernah ada maksud untuk berbohong denganmu."

Dia mengangguk seraya berdehem. "Asal kau tahu saja aku makan dengan Jules itu kebetulan."

Aku bingung kenapa Dareen mengatakan hal itu, aku memang sempat menyinggungnya waktu itu tapi bukan berarti aku mempermasalahkannya. Kini dia berkata seakan-akan melakukan klarifikasi terhadapku.

~~oo~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status