Share

Chapter 9 | In The Apartement

Setelah aku menjelaskan semuanya dengan Dareen. Begitupun dia yang telah menjelaskan bagaimana bisa dia sampai makan siang bersama Jules. Meskipun aku tidak memintanya. Aku sudah bilang untuk tidak perlu menjelaskan namun dia tetap saja menjelaskan.

Dareen dan Jules tidak sengaja bertemu di parkiran kampus. Awalnya memang Jules ingin menghampiri pamannya yang ternyata adalah rektor di kampus. Lalu, Jules mengajak Dareen untuk sekalian makan siang karena pamannya masih ada urusan. Sehingga hanya mereka berdua. Setidaknya itulah versi yang diceritakan Dareen kepadaku.

"Kau sudah mengerjakan tugas hukumanmu?" tanyanya yang berhasil memecah keheningan antara kami berdua.

"Kebetulan kau mengingatkanku. Rencana aku ingin sekalian menyerahkannya." Aku lalu memberi laporan makalahku kepadanya. Ia membuka demi lembar-lembaran.

"Kau salah dalam menganalisa pertanyaan yang di ajukan pada skala likert."

"Aku hanya menulis apa yang kupahami, lagi pula materimu belum sampai di situ juga. Setidaknya itu bonus."

"Hmm, baiklah lain kali kau jangan terlambat lagi."

Aku mengangguk.

"Bagaimana dengan data mahasiswa, kenapa kau sangat lama mengerjakannya?"

"Bukan lama, tapi tugas dari dosen lain juga menumpuk. Data mahasiswa sudah mau selesai, mungkin sekitar lima puluhan lagi."

"Kau tidak membawa laptop?"

"Tidak, untuk apa aku membawa laptop?"

"Untuk mengerjakannya."

"Aku akan mengerjakan di rumah saja."

Suasana di antara kami kembali hening dan canggung satu sama lain. Aku bingun harus berkata dan berbuat apa. Dareen juga sedari tadi mulai diam. Dia memilih untuk kembali memeriksa tugasku. Berkali-kali dia membalik lembar halaman, entah kesalahan apa yang ia cari laporanku.

"Aku sebaiknya pulang saja, jangan lupa makan supnya." Aku memutuskan pamit dari apartement dari pada berdiam diri tidak jelas.

"Biar kuantar," sahutnya.

"Tidak usah, aku bisa pesan uber."

"Tidak, aku akan mengantarmu pulang. Tunggu, aku siap-siap dulu." Dia lalu beranjak menuju kamarnya. Sekitar lima belas menit aku menunggu, Dareen sudah keluar dengan lebih dari sebelumnya. Gayanya lebih kasual.

"Ayo!" Dia memanggil dan kemudian aku mengekorinya keluar dari apartementnya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya perihal kenapa dia tinggal sendiri dan kemana orang tuanya. Tapi kupikir itu terlalu melanggar privasinya.

Aku kemudian naik di mobil Dareen, tentu saja duduk di sampingnya. Tidak mungkin duduk di belakang. Sesekali aku melihat ke arahnya ketika dia tengah asik menyetir. Baru kali ini kulihat dia berpakaian kasual. Biasanya dia berpakaian kemeja formal dengan mengenakan suit.

"Apa ada yang ingin kau tanyakan? Dari tadi kau melirikku diam-diam?" katanya yang berhasil membuat diriku terkejut.

"Ap—apa tidak. Tidak ada, aku hanya bingung kau berpakaian kasual. Apa hari ini kau tidak mengajar?"

"Tidak, hari ini aku tidak punya jadwal. Kau sendiri, apa kau ada kelas?"

"Yah sebentar siang tapi hanya satu."

"Kelasnya siapa?"

"Mrs.Nelson."

Dia hanya manggut-manggut dan kembali fokus mengemudi.

Setelah tiga puluh menit kami akhirnya sampai di rumahku. Aku menawarinya untuk singgah terlebih dahulu dan dia terlihat berpikir. Seharusnya dia menolak, lagian aku hanya basa-basi saja. Itu hanya sebagai tanda terima kasih dan hormat kepada dosenku.

"Apa Gavin ada di dalam?" tanyanya.

"Tidak ada, dia tadi pagi ada meeting dadakan."

"Kalau begitu sebaiknya aku pulang saja."

Aku kemudian turun dari mobilnya. Baru ingin kembali menutup pintu mobilnya, kudengar suara paman James keluar menuju ruang teras.

"Kau pulang, Amanda? Siapa yang mengantarmu?" Dia kemudian menyimpan kopinya di meja teras lalu berjalan menujuku.

"Ah dia dosenku. Mr.Ivander, Dad mengenalnya kan?"

"Mr. Ivander? Dareen?" Dia semakin mendekat ke arah mobil Dareen.

"Hei Dareen, turunlah dulu. Mari kita mengobrol sebentar." Terlihat paman James menyambut kedatangan Dareen. Dareen kemudian mau tidak mau ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju paman James. Ia menyalami paman James. "Mr.Ravindra lama tidak bertemu."

"Hei, jangan formal begitu. Kau temannya Gavin dan juga dosen Amanda. Panggil saja paman."

"Baik paman

James. How are you?"

"I'm good. Like you see. Ayo kita berbicara di dalam saja." Mereka kemudian berlalu begitu saja mengabaikanku. Sementara, aku hanya mengekori mereka dari arah belakang.

Dareen dan paman James kemudian duduk di kursi ruang tamu. Aku menghampiri mereka bertanya, "kalian ingin minum apa?"

"Aku tidak usah, aku sudah punya kopi," kata paman James kemudian dia beralih ke Dareen. "Dareen saja. Kau ingin minum apa?"

"Tidak usah repot-repot."

"Ayolah, tidak repot sama sekali. Kau ingin kopi atau the atau coklat hangat?"

"Coffe, please." Mendengar hal itu, aku kemudian berjalan menuju dapur. Sesegara mungkin membuatkan Dareen kopi. Lalu ibu datang menghampiriku, melihatku kebingungan.

"Apa ada tamu?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Dareen ada di sini, dia sedang bicara dengan dad di ruang tamu."

"Dareen? Dareen dosenmu itu 'kan? Yang waktu itu kita ketemu." Entah mengapa kulihat seperti ibu merasa antusias melihat kedatangan Dareen.

Aku hanya mengangguk mengiyakannya.

"Kalau begitu aku ingin kedepan." Aku mengkerutkan alisku kenapa ibu sangat bersemangat.

"Lho, ibu mau ngapain?" tanyaku. "Sudah deh bu, gak usah ibu aneh-aneh ke depan." Aku curiga ibu masih memikirkan pembicara Gavin yang tempo hari.

"Lho, aku gak aneh-aneh kok, lagian suami ibukan di depan. Ibu hanya ingin lebih mengenalnya." Ibu kemudian berlalu menuju ruang tamu. Aku hanya menghela nafas panjang yang melihat tingkah ibu. Ini semua karena Gavin si pembawa berita palsu itu. Andaikan di Indonesia, dia sudah cocok kerja bersama lambe turah.

Tidak lama kemudian, akupun menyusul ke ruang tamu, membawakan kopi Dareen. Aku lalu meletakkan gelas di meja tepat di depannya. Setelah itu, aku berpamit untuk kembali ke kamar.

"Permisi, aku ke kamar dulu."

"Duduk di sini saja, Amanda," titah paman James.

"Iya, kan ada tamu, masa kamu ke kamar." Ibu juga mulai menambah-nambahkan.

"Aku ada tugas yang harus kukerjakan." Kulihat ibu sudah memberikan isyarat matanya untuk segera duduk. Namun, aku berusaha mengabaikannya.

Tiba-tiba Dareen bersuara dan berkata, "tidak apa-apa, Amanda bisa melanjutakan tugasnya. Lagian di sini masih ada paman James. Aku juga ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan paman

James."

Aku bersyukur, setidaknya Dareen ini cukup mengerti juga. "Maaf Dareen, kalau begitu aku permisi dulu."

Dia mengangguk. "it's okay."

Aku kemudian berlalu menuju kamarku. Aku memang punya tugas, namun tugas itu masih bisa kukerjakan nanti karena pengumpulannya masih minggu depan. Aku hanya merasa canggung berada di sana. Lagian aku tidak mengerti dengan pembahasan mereka. Seperti halnya jika paman James berbicara dengan Gavin. Mereka membicarakan soal bisnis dan perusahaan. Dan bagiku mendengar pembicaraan seperti itu sangat membosankan. Aku juga tidak habis pikir, untuk apa ibu juga ikut-ikutan. Aku takut itu menyebabkan kesalahpahaman terlebih Dareen akan merasa tidak nyaman.

~~oo~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status