Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat.
"Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya.
"Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?"
"Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran."
"Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berpacaran. Sudah kuduga kalau Noah itu menyukai Jessica hanya saja dia sedikit jual mahal.
"Kemarin siang dia resmi menyatakan perasaannya kepadaku. Ohya aku lupa, kemarin juga aku bertemu Mr.Ivander di kedai dekat kampus. Dia terlihat bersama wanita dewasa dan bingungnya aku, dia bilang kenapa aku tidak makan siang bersamamu."
Gawat Dareen mengetahui kalau aku berbohong, sekarang aku sangat tidak enak hati. Tapi, dia juga datang bersama wanita lain. Apa dia Jules? Wanita yang waktu itu? Kalau dilihat sepertinya mereka punya hubungan khusus.
"Terus apa yang kau bilang?"
"Tentu, aku bilang kalau aku merasa tidak ada janji bersamamu."
"Gawat, Jess. Aku harus pergi." Aku berlalu meninggalkan Jessica menuju ke ruangan Dareen. Aku takut dia memikirkan yang tidak-tidak. Bisa-bisa terancam nilaiku di mata kuliahnya.
Tok.. Tok..Tok.
"Siapa?" teriaknya dari dalam ruangannya.
"Ini aku Amanda."
"Masuklah." Aku kemudian membuka pintu ruangannya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia sepertinya terlihat sibuk dengan laptopnya. Mungkin, dia punya banyak pekerjaan. Apa benar jika aku membahas hal sepeleh seperti itu. Aku juga bingung kenapa aku langsung berlari ke ruangannya dan di sini aku malah pusing mau berkata apa.
"Ada apa?" tanyanya datar. Dia masih sibuk menghadap ke komputernya.
"Ehm—Aku.. aku ingin menanyakan perihal tugas yang anda berikan." Aku mengutuk diriku sendiri. Buat apa aku menanyakan hal itu padahal tugasnya sudah sangat jelas.
"Apa yang kau mau tanyakan?" tanyanya kembali. Entah mengapa, aku merasa aura Dareen kali ini berubah. Dia terlihat dingin terhadapku, apa dia benar-benar marah terhadapku?
"Apa aku harus menggunakan satu aplikasi atau—"
"Terserah kau saja." Bahkan dia menjawab sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku. Aku kemudian diam dan hanya menunduk. Aku sudah tidak tahu harus berkata apa. Biasanya dia banyak bicara dan ramah kepadaku meskipun sedikit menyebalkan. Tapi kali ini dia sepertinya mendiamiku.
"Apa masih ada yang ingin kau tanyakan?"
"Ehm—aku—"
"Kalau tidak ada, kau bisa keluar!"
"Aku ingin minta maaf perihal kemarin."
Dia kemudian berhenti dari aktivitasnya dan melihat ke arahku. "Kemarin? Kau kemarin kenapa?"
"Kudengar kau bertemu dengan Jessica."
"Yah aku bertemu Jessica dan dia bersama pria tidak bersamamu lalu dia bilang tidak punya janji denganmu."
"Aku minta maaf karena sudah berbo—"
"Aku tidak mengerti denganmu Amanda, kenapa kau harus bohong kepadaku. Kalau kau tidak ingin, kau bisa menolak. Tidak usah dengan cara bohong!"
"Aku merasa tidak enak."
"Tidak enak menolakku?" Dia kemudian menyeringai. "Jadi, kau lebih suka bohong?"
"Kenapa anda sangat marah? Aku sudah minta maaf akan hal itu. Aku juga tidak bermaksud untuk bohong sama anda. Aku hanya merasa tidak enak jika menerima ajakan anda." Aku tidak mengerti kenapa dia begitu marah hanya karena masalah sepeleh seperti ini.
"Tidak enak? Untuk apa kau merasa tidak enak?"
"Aku hanya merasa tidak nyaman jika terus berada—"
"Kau tidak nyaman? Apa aku membuatmu tidak nyaman?"
"Bukan begitu, hanya saja apa kata—"
"Kalau begitu saya minta maaf Ms.Malik karena sudah membuatmu merasa tidak nyaman. Silahkan keluar!"
Dareen terlihat begitu kesal. Bahkan dia memanggilku dengan nama belakangku untuk pertama kalinya. Dia bahkan mengusirku dan tidak mau mendengarkan penjelasanku dengan lengkap. Dia selalu memotongnya.
Aku yang juga sudah malas melihatnya memilih untuk melangkah keluar dari ruangannya. Sebelum menyampai gagang pintu, aku kembali berbalik dan berkata, "sebenarnya anda tidak perlu terlalu marah. Kudengar juga kalau anda makan siang dengan wanita lain kan? Apa dia Jules? Jadi, kurasa tidak ada yang perlu sebenarnya dipermasalahkan."
Kulihat dia terkejut mendengarkanku mengatakannnya. Setelah itu, aku segera keluar dari ruangannya. Dasar menyebalkan sekali orang itu, kalau dipikir-pikir dia sangat kekanak-kanakkan. Memangnya dia anak kecil yang selalu ingin ditemani makan.
***
Kini aku sudah berada di rumah, kulihat ibu dan Natalie sedang bermain bersama Alex. Aku kemudian, menghampirinya ingin ikut bermain bersama.
"Hei, kau ini pergi mandi dulu baru memeluk Alex," tegur ibu kepadaku.
"Apasih, Bu. Aku ini tidak bawa virus," gerutuku.
"Tetap saja, sana kau pergi mandi!" Aku kemudian beranjak menuju kamarku untuk membersihkan diriku. Setelah selesai mandi aku kembali bermain bersama Alex. Alex sudah mulai mengenal angka meskipun hanya sampai tiga. Tapi, itu kemajuan yang pesat menurutku mengingat dia baru berusia tiga tahun.
"Wan.. tuu.. tri..." Alex terus mengulang-ngulang hitungannya sampai tiga. Hal ini membuatku tertawa karena setiap selesai angka tiga dia kembali lagi ke angka satu.
Hari sudah gelap, Natalie telah menidurkan Alex. Sementara, Gavin belum juga pulang. Entah kemana pria satu ini sudah hampir tengah malam namun belum juga pulang. Kasian Natalie menunggunya. Awas saja kalau dia sampai bermain wanita akan kuputus lehernya.
"Gavin belum juga pulang?" tanyaku.
"Belum, tadi dia bilang masih menemani mitra bisnisnya. Tapi, itu sudah sekitar tiga jam yang lalu dan sekarang Gavin tidak mengangkat telponku."
"Sebaiknya menginap lagi saja di sini." Semenjak paman James tidak di rumah, Natalie dan Gavin sering menginap di sini. Aku lalu menemani Natalie untuk menunggu Gavin, sekitar satu jam lebih akhirnya dia telah pulang.
"Kukira kau sudah lupa pulang?" sindirku kepada Gavin. Sementara Natalie meraih jas dan tas Gavin. Dia kemudian, membuatkan coklat panas untuk Gavin.
Aku lalu mendekat ke arahnya dan berbisik, "kenapa kau lama sekali, kau tidak main wanita kan?"
Dia langsung menatapku tak percaya dengan apa yang kubilang. "Enak saja! Ini semua karena kau."
Aku mengernyit bingung. "Aku? Kenapa aku?"
"Saat aku menemani mitra bisnisku untuk hari perayaannya yang aku juga tidak tahu itu apa yang jelas dia merayakannya di club." Dia kemudian mengecilkan suaranya, "jangan bilang Natalie kalau aku dari club."
Aku kemudian mengangguk.
"Jadi, pas di club aku melihat Dareen. Ketika acaranya sudah selesai, aku kemudian menghampirinya. Dia mabuk berat dan anehnya dia bergurau soal membuatmu tidak nyaman. Aku juga kurang mengerti maksudnya. Dia hanya bilang kalau dirinya sudah membuatmu tidak nyaman. Kalian sebenarnya ada apa? Apa kalian bertengkar? Kalian punya hubungan apa?"
"Tidak! Itu hanya salah paham saja." Aku terkejut kenapa dia sampai di club. Apa karena aku? Tidak mungkin hanya karena masalah sepeleh dia begitu kan.
"Terus ada apa? Kenapa dia bisa menyebut-nyebutmu?" Gavin menatapku curiga.
"Tidak ada. Sumpah!"
Gavin hanya menatapku menyipit penuh selidik.
"Aku serius, terus bagaimana keadaannya?"
"Harusnya baik-baik saja. Aku sudah mengantarnya pulang."
"Kau? Kau tahu rumahnya?"
"Tidak, aku meminta dia menunjukkannya kepadaku. Meskipun setengah sadar dia masih mampu menunjukkan arah tempat tinggalnya, yah meskipun begitu juga dia sempat salah arah. Ah sudahlah aku sangat lelah."
~~oo~~
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,