Ketika aku sibuk mengerjakan tugas pendataan mahasiswa milik Dareen, aku tiba-tiba mendengar suara Alex yang menangis dengan kencang. Aku langsung berlari menuju kamarnya. Sesampaiku di kamarnya, terlihat Alex sudah tergeletak di lantai. Kutebak, sepertinya Alex terjatuh dari tempat tidur. Aku lalu menggendongnya sambil menenangkannya.
"Hust.. diamlah, aunty di sini sayang." Alex semakin menangis dengan kencang. Aku kemudian mengusap punggung dan sesekali menepu-nepukknya agar ia tenang.
"Ada apa, Amanda? Alex kenapa?" tanya paman James langsung dengan khawatir, begitu ia ada di kamar Alex. Di belakangnya ada ibu dan juga Dareen.
"Sepertinya Alex jatuh," jawabku yang masih berusaha menenangkan Alex. "Apa dia baik-baik saja?" tanya ibu.
Aku mengangguk. "Ia hanya sedikit terkejut." Aku kemudian baru menyadari jika ternyata Natalie tidak berada di rumah. "Natalie mana?" tanyaku.
"Dia ke rumah sakit menjenguk adiknya yang baru saja kecelakaan," jawab ibu.
"Aunty, cakit." Alex berkata seraya memegang bokongnya.
Aku lalu mengusap-usapnya. "Tenang sayang, Alex 'kan kuat."
Tidak lama kemudian Alex sudah mulai berhenti menangis dan yang lain pun sudah kembali ke ruang tamu, aku kemudian membawa Alex menuju ruang tengah untuk bermain di sana. Aku berencana menemaninya bermain seraya menonton kartun kesukaannya.
Kini dia mulai terlihat tenang, aku kemudian berlalu menuju pantry untuk membuatkannya susu. Arah pantry berdekatan dengan kamar mandi dan Dareen baru saja keluar dari kamar mandi. Dia kemudian menghampiriku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
"Aku membuatkan Alex susu," jawabku yang masih sibuk membuatkan Alex susu. Aku kemudian beralih melihatnya yang masih memperhatikan setiap pergerakanku. "Apa kau ingin sesuatu? Kau ingin minum? Biar aku buatkan."
"Tidak usah, kopi yang kau buat masih ada." Aku hanya manggut-manggut.
Setelah selesai membuatkan Alex susu, aku kemudian berlalu kembali menuju ruang tengah. Kulihat Dareen juga mengekoriku. Dia lalu bergabung denganku dan juga Alex.
"Aku tidak menyangka kau sangat lihai dalam mengurus anak kecil," katanya begitu dia mendaratkan bokongnya yang juga ikut melantai.
"Tentu, dia 'kan juga anakku—" Aku menjeda perkataanku yang hampir saja kelepasan bicara. "Maksudku, dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri."
Sejujurnya aku masih merasa bersalah jika tidak mengakui darah dagingku sendiri. Aku sangat ingin berkata kepada semua orang jika Alex ini anakku. Aku sangat ingin mendengar jika Alex memanggilku 'ibu' tapi, itu harus aku urungkan, mengingat diriku yang diketahui adalah berstatus lajang. Aku juga tidak ingin Alex dikenal sebagai anak tanpa ayah atau hasil sebuah kesalahan.
"Kau penyayang anak kecil rupanya." Dareen berkata seraya menarik lengkung bibirnya tersenyum.
Aku merasa ia memujiku dan aku tersanjung akan hal itu. Seketika diriku merasa besar kepala. "Tentu saja, aku adalah wanita idaman."
Dia terkekeh mendengar hal itu. "Kau juga rupanya orang yang memiliki tingkat kepecayaan diri di atas rata-rata."
"Percaya diri itu harus. Kalau bukan aku yang percaya sama diriku sendiri siapa lagi?"
Dia tertawa seraya manggut-manggut mendengarku. "Tapi, menaruh kepercayaan yang terlalu berlebihan bisa mengakibatkan kekecewaan yang besar."
Mendengar kata-katanya mengenai efek samping kepercayaan tinggi hanya mampu membuatku menghela nafas panjang seraya berkedip dengan malas. Ponselku lalu bergetar, kulihat ada notifikasi masuk dari Mrs.Nelson. Ia memberi tahu kalau kelas hari ini ditiadakan karena tiba-tiba saja ia ada urusan yang mendesak. Aku lantas dengan sangat beryukur bersorak gembira karena itu artinya hari ini aku libur dan bisa bermalas-malasan di rumah bersama Alex.
"Kau kenapa terlihat bahagia begitu?" tanya Dareen.
"Mrs.Nelson hari ini tidak masuk," jawabku antusias.
Ibu lalu muncul dari arah ruang tamu bersama paman James.
"Kau di sini rupanya Dareen, pantas saja aku menuggumu untuk kembali ruang tamu tapi kau singgah di sini. Aku kira kau tersesat mencari toilet," kata paman James.
"Maaf paman, aku penasaran dengan anaknya Gavin," kata Dareen.
"Amanda, kau belum bersiap-siap. Bukannya kau ada kuliah siang?" tanya ibu kepadaku.
"Dosennya tidak masuk karena ada urusan, jadi hari ini aku libur." Aku berkata dengan antusias.
"Kalau begitu ajak Alex jalan-jalan ke taman. Dari kemarin dia ingin bermain di taman," titah ibu.
"Kau ingin membawanya ke taman? Biar aku antar sekalian." Tiba-tiba saja Dareen menyedorkan dirinya.
"Apa? Tidak us—"
"Yah, itu ide bagus. Dareen sekalian kau temani mereka ke taman." Paman James justru menyela perkataanku. Dia sepertinya sengaja melakukan hal itu.
"Betul itu." Ibu pun menambah-nambahi. Aku rasa paman James dan Ibu bersengkongkol agar diriku menjadi dekat dengan Dareen. Aku merasa tidak enak dengan Dareen yang terlihat seperti mengambil kesempatan. Dia bisa saja terganggu atau risih jika terus begini.
"Hmm.. tidak usah, itu bisa merepotkan Dareen." Aku berkata dengan masih berusaha agar Dareen tidak usah menemani kami berdua.
"Tidak merepotkan, aku tidak merasa begitu. Kau ingin pergi sekarang. Ayo!" Aku mengangkat alisku sebelah merasa tidak percaya dengan situasi sekarang. Kenapa Dareen justru tidak menolak. Ah aku lupa ini juga berawal dari Dareen yang tadi menawarkannya terlebih dahulu. Apa dia tidak punya pekerjaan lain?
"Amanda bergegaslah bersiap-siap. Ganti sana pakaianmu!" perintah ibu. Aku hanya membuang nafas panjang lalu beranjak menuju ke kamar untuk mengganti pakaianku.
Setelah selasai berganti pakaian dengan mengenakan celana jeans dan juga baju kaos lengan panjang. Aku lalu menuju ruang tengah. Dareen terlihat sudah menunggu, anehnya kulihat pemandangan Alex yang duduk di pangkuan Dareen. Terlihat Alex begitu nyaman bersama Dareen. Bahkan kulihat sesekali Alex tertawa.
Aku lama memperhatikan interaksi mereka berdua. Alex dengan cepat akrab dengan Dareen. Aku senang melihat hal itu, namun disisi lain juga aku membayangkan andai saja yang duduk di situ adalah Rafael, ayah kandungnya sendiri. Aku menggeleng kepalaku membuah jauh-jauh pikiranku dari sosok Rafael. Ia pasti tidak peduli dengan keadaannya anaknya sekarang. Kuingat jelas jika ia menganggap Alex hanyalah aib untuknya.
"Kau sudah selesai?" Suara Dareen membuatku sadar. Aku mengangguk lalu berjalan menuju ke arahnya.
"Ayo!" seruku. "Sini biar aku menggendongnya." Dareen lalu berdiri menyerahkan Alex kepadaku.
"Kau benar-benar ingin ikut ke taman?" tanyaku untuk memastikan ulang. "Aku merasa tidak enak kepadamu."
"Berhenti merasa tidak enak kepadaku, lagian hari ini aku tidak ada jadwal sama sepertimu hari ini aku libur."
Aku mengangguk. "Terima kasih kalau begitu."
Dia kemudian berlalu menuju keluar. Di ruang tamu kulihat ibu dan ayah sedang berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya cukup serius.
"Kami pamit dulu," pamitku.
"Kami pamit dulu paman James, Ms.Ravindra." Dareen juga ikut berpamitan.
"Hei, kalau James kau panggil 'paman' maka kau juga harus memanggilku 'bibi' santai saja kepadaku, Dareen." Aku memutar mata malas mendengar ibu. Mereka terlihat jelas sedang berusaha untuk aku dengan Dareen. Aku hanya mampu menghela nafas panjang melihat tingkahnya.
"Baik, Bibi." Dareen berkata demikian.
Kulihat Dareen biasa-biasa saja dan terima-terima saja dengan tingkah ibu dan paman James padahal menurutku itu sangat terlihat jelas jika paman James dan ibu sedang mendekatinya. Apa dia tidak merasa terganggu dengan hal itu? Aku saja merasa tidak enak dengannya. Kenapa dia terlihat biasa-biasa saja.
~~oo~~
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,