Mysha melangkah masuk ke kantornya gontai dan menghempaskan dirinya di atas kursi kerja yang nyaman, mengistirahatkan kepala dan pundaknya yang pegal. Oh, seandainya saja ada pria tampan yang memijatnya….
Stop!
Pikiran liar membuat wanita itu mengingat kembali alasan mengapa dia tiba di kantor pagi buta, sebelum semua orang yang cukup waras bangun. Ia bahkan melihat wajah terkejut satpam ketika dia meminta kunci gedung. Ugh! Mysha tidak bisa tidur semalaman, memikirkan hal yang nyaris saja dia lakukan bersama Axel, pimpinannya. Tanpa sadar Mysha menyentuh bibirnya yang dipulas lipgloss dan pelembab, apa harusnya dia menerima saja ciuman Axel?
Tidak!
Mysha menggelengkan kepalanya keras-keras, mengusir bayangan keluar dari otak. Dia punya alasan mengapa dia harus bertahan dari pesona Axel bagaimana pun caranya, salah satunya adalah ajaran keras dari ibunya untuk menjaga harta paling berharga seorang wanita dan hal lain adalah karena dia belum pernah berciuman. Bagaimana kalau Axel tahu betapa bodohnya dia, lagipula tangannya sudah menampar Axel. Demi Tuhan, hari pertama kerja, dia sudah membuat masalah. Bagaimana kalau setelah ini ada surat pemecatan?
Beberapa kali menepuk pipi, Mysha mengingatkan dirinya kalau dia di sana untuk bekerja. Nanti sajalah dia memikirkan akibat dari perbuatannya. Dalam waktu beberapa menit, dirinya sudah berkutat dengan tumpukan kertas dan data. Ada banyak hal yang harus dipelajari sebelum dia dapat berfungsi sempurna di perusahaan besar itu.
*
Mysha merenggangkan badan dan melirik jam tangan berwarna putih dengan aksen krem yang manis. Sudah jam delapan, itu berarti lebih dari empat jam dia menelan data-data penting tentang kegiatan internal kantor mulai dari data karyawan bermasalah sampai prosedur standar operasional yang berjilid-jilid. Makin besar perusahaan, makin rumit birokrasinya.
Mysha menghela napas, harusnya sekarang para karyawan mulai masuk dan--astaga! Dia harus meletakkan hasil laporan yang diminta Axel di mejanya, laporan yang membuatnya terjebak dalam situasi semalam. Gelombang panik lain menerpa dirinya, bagaimana dia harus bersikap di depan Axel? Jangan sampai pria itu mendapat tambahan alasan untuk memecatnya. Mysha berdiri dan mondar-mandir di ruangan, hanya untuk menyadari bahwa dia sudah membuang waktunya yang berharga. Dia bisa meletakkan laporan itu di ruangan Axel, sebelum sang CEO tiba.
Segera saja, Mysha melakukan ide cemerlang dan brilian miliknya, setara dengan buah pemikiran pemenang hadiah Nobel. Bunyi heels terketuk lembut sepanjang koridor dan tak lama kemudian dia sudah berada di depan pintu kayu dengan plakat emas, Axel Delacroix. Baguslah, si sekretaris sinis itu belum muncul. Mysha segera membuka pintu dan menyadari pintunya terkunci.
Bodoh!
Mysha lagi-lagi memaki diri. Mana ada orang yang meninggalkan ruangan berisi dokumen penting terbuka?
*
Jika seseorang ditatap tajam oleh Axel, itu biasa. Jika salam resepsionis tidak dibalas, itu juga biasa. Namun, hari ini terjadi sesuatu yang membuat lobi CLD gempar. Axel, pria yang dinginnya melebihi suhu Kutub Selatan, membentak office boy yang lewat.
"Tidak punya mata?!"
Suara baritonnya menggelegar membuat beberapa karyawan yang melintas berhenti dan menoleh, mendapati seorang pemuda yang baru saja lulus sekolah menengah atas tengah berhadapan dengan sang pemangsa. Anak itu sepertinya tidak mengetahui mengapa dia menjadi sasaran amarah Axel. Dirinya hanya bisa menunduk dalam, membiarkan bosnya terus memuntahkan hinaan.
"Apa kau mau merusak setelan jas seharga lima tahun gajimu?!"
Lawan bicaranya menggeleng pelan. Axel nyaris meluapkan segala rasa frustrasinya sebelum dia menyadari dirinya menjadi pusat perhatian dan terlebih lagi, dia melihat William turun dari mobil Maserati Quattroporte hitam, membiarkan supir membawa mobil classy tersebut ke parkir VIP.
Axel hanya berdecak sambil melengos pergi, meninggalkan office boy yang ketakutan dan heran, sementara William berjalan masuk dan membalas sapaan pegawainya dengan anggukan. Berharap tidak bertemu dengan direkturnya dalam kondisi berantakan, Axel menyelinap ke dalam lift dan langsung menekan lantai tempatnya bekerja.
Di dalam lift, dia menghantam dinding besi itu geram. Pikirannya masih berputar pada kejadian kemarin malam. Semua rencananya membawa Mysha ke atas tempat tidur gagal total. Wanita itu berani menolak, menampar, dan melukai egonya! Mengingat itu, Axel kembali menghantam dinding lift sekali lagi, membiarkan rasa sakit berdenyut. Semalaman pikirannya kalut, rasa marah naik hingga ke ubun-ubun dan frustrasi membuatnya menerima ajakan tiga wanita berturut-turut demi memuaskan hasratnya.
Namun, semuanya itu justru membuat Axel makin geram karena yang dia inginkan adalah Mysha. Dia harus menyeret dan membuat wanita itu bertekuk lutut di bawah kakinya, menatap dengan tatapan memuja. Lalu ketika hal itu terjadi, dia akan menghempaskan wanita kurang ajar itu, menghancurkan dirinya hingga tak bersisa.
Sebuah seringai muncul di wajah tampannya, memikirkan rencana balas dendam berhasil membuat kemarahan surut. Axel menghela napas sambil merapikan jas dan cufflink. Ketenangannya kembali dan pikirannya mulai bergerak mencari cara agar Mysha takluk. Ingat, dia adalah Axel Delacroix, tidak ada seorang wanita pun yang tahan dengan pesonanya.
Sebuah denting lembut memberi tahu bahwa Axel sudah tiba di lantai yang dituju. Dia menunggu pintu terbuka sempurna sebelum melangkah keluar. Hari ini akan ada meeting penting dengan investor asal Arab, deal yang tidak boleh dilewatkan dan Axel harus tampil prima untuk meyakinkan para penguasa minyak itu bahwa CLD adalah perusahaan yang tepat untuk membiakkan uang mereka.
Langkahnya membelok dan tiba-tiba saja pemandangan di depan membuatnya kaku. Mysha, sedang berdiri membelakanginya, berusaha membuka pintu yang terkunci. Kemarahan mulai naik tapi dengan cepat dia padamkan.
Ingat rencana balas dendammu!
Benar, dia tidak boleh hilang kendali. Untuk melakukan pembalasan, dia harus tenang dan berakting. Menahan ujung bibirnya dari senyuman, Axel berjalan mendekati wanita berambut perak itu perlahan, nyaris tak bersuara hingga jarak mereka sangat dekat. Axel dapat mencium parfum beraroma manis menguar dari tengkuk yang terekspos. Memabukkan. Khayalannya tiba-tiba mengembara bebas.
"Pagi-pagi sudah membongkar kantor atasanmu?" bisik Axel dekat dengan telinga yang begitu ingin digigitnya.
Wanita itu langsung berbalik dan menghadap Axel, bibir mereka nyaris bersentuhan, membuat Axel panas dingin membayangkan rasanya. Pria itu mati-matian menahan diri, mengingatkan bahwa saat ini mereka bukan berada di dalam kantornya yang aman dan ada kamera CCTV mengawasi di kanan atas. Lagipula, terlalu cepat untuk rencananya. Dia harus membuat Mysha menyerahkan diri ke dalam pelukannya, sebelum menghempaskan wanita itu.
"A-aku tidak bermaksud--" Mysha gelagapan dan Axel menyukai gesturnya, sama sekali tidak ada sisa keberanian dari orang yang menolaknya semalam. Wanita itu menghela napas untuk lebih tenang. "Saya hanya ingin menyerahkan dokumen yang Anda minta."
Ujung bibir Axel berkedut menahan senyum. Dia sengaja mencondongkan tubuhnya, menghirup lebih dalam aroma manis dan membuat Mysha mundur selangkah hingga punggungnya menabrak pintu kayu. Pria itu menikmati wajah panik Mysha ketika tubuh mereka makin dekat sebelum terdengar suara elektronik keluar dari sensor sidik jari dan kunci terbuka.
"Terima kasih." Axel menarik badannya dan mengambil map yang ada di tangan Mysha, sebelum membuka pintu dan melewati wanita itu seakan tidak terjadi apa-apa.
Tanpa menoleh ke belakang, Axel menutup pintu, meninggalkan Mysha menatapnya melongo. Sial! Bibir yang setengah terbuka itu menggodanya.
Axel menghela napas lagi. Dia akan mendapatkan General Manager-nya dalam pelukan. Permainan baru saja dimulai.
*
Mysha merasa kalau keputusannya untuk bekerja di Crown Land Developer adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Sikap Axel kepadanya barusan membuat detak jantungnya tidak terkendali. Oh ayolah! Dia baru dua hari di sini dan sudah mendapatkan perhatian yang tidak perlu. Apa ini balas dendam Axel karena kemarin malam?
Mysha lebih suka menghadapi Axel yang murka daripada tersiksa perlahan seperti ini, menahan gejolak untuk jatuh dalam dekapan kuat milik pria itu. Wanita itu mengambil napas dalam untuk mengembalikan kesadaran lalu berbalik untuk kembali ke ruangannya, merasa lebih aman di sana. Kepalanya mencatat untuk membatasi hubungan dengan CEO kecuali masalah pekerjaan. Cukup sudah jantungnya bekerja ekstra. Di sisi lain, Mysha bersyukur dia masih bisa bekerja di perusahaan multinasional seperti itu dan sepertinya Axel tidak berminat memecatnya setelah kelancangannya semalam. Wanita itu merasa, dia akan melakukan sesuatu yang lebih .... Bulu kuduk Mysha berdiri.
Ah, sudahlah. Mysha berusaha menghibur diri, yang penting saat ini dia masih bisa bekerja. Wanita itu kembali menenggelamkan dirinya ke dalam dokumen dan surat yang harus diperiksa hingga pintu ruangannya diketuk lembut, membuatnya sadar bahwa sudah waktunya makan siang.
"Masuk," ucapnya, mengangkat kepala dari tumpukan binder, sambil bertanya-tanya siapa yang datang.
"Halo." Sesosok pria berkacamata muncul di baliknya. Senyum hangatnya seketika membuat Mysha meleleh.
"Michael?!"
Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan. "Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha. "Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap. "Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut. Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru
Tak sampai dua menit Axel sudah berdiri di antara Mysha dan Michael. Sontak wanita berambut panjang yang digelung bawah itu terkejut dan menarik tangannya segera. Mysha bisa merasakan hawa penuh kemarahan ditujukan ke arahnya. Mata biru Axel terasa membekukan. Hanya ada kebisuan yang merebak di antara mereka selama beberapa saat. "Ikut aku!" Tanpa basa-basi Axel menarik tangan Mysha untuk bangkit berdiri. Membuat wanita itu tersentak naik dalam keterkejutan. "What are you doing?!" Michael turut bangkit dan menahan tangan Axel untuk menarik Mysha lebih jauh. "It's my business. Jangan ikut campur!" Masih terus menatap Mysha, Axel memuntahkan ketidaksukaannya. "No, you're not! Mysha sedang makan siang bersamaku, jadi ini urusanku juga!" Meski Michael memiliki suara selembut sutra, baru kali ini Mysha mendengarkan nada tegas melindungi yang begitu kental. Mysha bisa merasakan tangannya bergetar ketika kedua pria di hadapannya berusaha saling posisi dengan sikap yang tetap terlihat e
Mysha menahan napas ketika Axel mengecup tangannya. Seketika getaran aneh menjalar ke seluruh badannya, membuat bulu kuduk meremang sementara jantungnya berdegup kencang. Kaki wanita itu terasa lemas. Ingin sekali dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Axel, tapi dengan cepat dia mengumpulkan kembali tekad dan kekuatan, memaksa logika bergerak mengalahkan dorongan untuk melempar diri dalam pelukan kukuh pria yang kini sedang menggodanya. Bagaimana pun juga, dia memiliki prinsip yang teguh dalam hidup, tidak ingin berakhir sama seperti ibunya yang trauma dengan pria. "Sir," ucap Mysha dengan nada terkendali, tegas dan berwibawa, sambil menarik tangannya dari genggaman Axel. Dia harus tenang walau dadanya berdebar keras dan tubuhnya mendamba sentuhan dari atasannya tersebut. "Anda tidak bisa memaksa saya dan ingat, ruangan ini dipasang CCTV." Sekuat tenaga, Mysha mendorong dada Axel. Tidak diduga, pria itu menurut, walau matanya berkilat menatap Mysha. Pandangan yang membuat sebuah sensas
"Kau akan ikut ke Bangkok besok. Axel," ulang Mysha, sekali lagi membaca secarik kertas di tangannya. Pesan itu begitu singkat. Tanpa basa-basi. Di dalam amplopnya terdapat sebuah tiket pesawat tujuan Bangkok untuk sekali pergi. Netra emasnya melebar, tubuh wanita itu mendadak terasa lemas. Mysha terduduk di kursi. Sebelah tangannya memijat kening yang tiba-tiba terasa pening. Mysha tak mengerti dengan perasaannya sendiri saat ini. Amarah dan gairah melesak di dadanya, membuatnya sesak. "Bagaimana mungkin Axel memutuskan hal ini tanpa bertanya lebih dulu kepadaku?" tanya Mysha geram. Jangan-jangan ini hanya siasat CEO tampan itu untuk menjebakku agar bisa bersamanya, atau mungkin dia benar-benar menyukaiku? Bukankag kemarin dia dengan angkuh menyatakan bahwa aku miliknya? Suara batin Mysha berperang. Jujur ia tak yakin jika sang Penakluk Wanita itu menyukainya. Namun gagasan itu sangat menggoda. Mysha kembali memandangi tiket pesawat di tangannya. Bangkok. Mengeja kata itu membawa
"Damn it!" Axel hendak menggebrak meja dan melangkah tergesa keluar ruangan. Ia nyaris kehilangan kontrol tepat ketika dirinya dan Mysha bersirobok. Axel menarik napas panjang dengan sangat perlahan. Nyaris tak terlihat. Ia berusaha memadamkan semua kemarahan yang sempat berkobar di dadanya. Rahang yang sedari tadi kaku, kini sudah kembali tenang. Axel berjalan dengan tegap keluar ruangan. Pandangan matanya begitu dingin seolah bisa membunuh seseorang dengan tangannya sendiri. Langkahnya begitu cepat tapi tak terlihat terburu-buru. Bulu kuduk Mysha meremang. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ini baru pertama kali Mysha merasa tekanan yang menakutkan alih-alih pikiran liar mendominasi. Wanita itu berjalan tergesa meski ia bisa merasakan aura mengerikan menguar. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Mysha terus berdoa di dalam hati. Axel bahkan tidak memedulikan larangan sekretaris William ketika menerobos masuk ke ruangan. Membuka pintu lebar-lebar tanpa peduli untuk menutupnya k
Mysha terdiam ketika mobil sedan putih membelah jalanan New York. Wanita itu menenggelamkan dirinya ke dalam lautan warna-warni lampu kota yang berlari dari balik jendela, membiarkan pikirannya melayang, berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi. Tangannya tanpa sadar memeluk diri lebih erat. Axel memaksanya untuk ikut ke Bangkok dan Michael membelanya. Perdebatan mereka membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Setiap perkataan yang terlontar membuat Mysha menahan diri untuk tidak berharap lebih. Axel membutuhkan dirinya. Mengulang kata-kata itu dalam kepala membuat desiran di dadanya makin menjadi dan telinganya terasa hangat. Benarkah yang dikatakan oleh Axel? Apakah pria itu membutuhkan dirinya sebagai wanita atau sebagai General Manager? Mysha menutup mata erat, berusaha mengusir ilusi bahwa Axel mencintainya. Dari perlakuan pria itu, lebih tepat bila Axel hanya ingin memiliki tubuhnya. Demi Tuhan! Getaran gairah langsung menjalar ketika Mysha membayangkan dirinya ber
"DAMN!" Axel memaki kebodohannya. Setelah selesai bicara dengan William dan membereskan dokumen-dokumen penting yang diperlukan di Bangkok, Axel buru-buru mengendarai mobilnya. Tentu saja bukan untuk langsung kembali ke apartemen. Entah hal apa yang memicunya, tiba-tiba ia sudah berada di area parkir apartemen Mysha. Buat apa malam-malam ia pergi ke apartemen Mysha? Memintanya menjelaskan detail profit analysis planning jelas hanyalah kamuflase. Axel sedang tidak mood untuk melampiaskan hasratnya dengan wanita lain. Ia mulai bosan dengan tipikal wanita di sekelilingnya yang dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Mysha berbeda. Gadis itu berani menolak, bahkan menamparnya. Padahal sangat jelas gairah yang membara di mata gadis itu, tapi dia mampu memegang kendali dirinya. Dan itulah yang membuat egonya sebagai pria tertantang untuk menaklukkan gadis itu. Sayang kedatangannya di sana benar-benar tidak tepat waktu. Mood yang sudah jatuh akibat pertengkaran di kantor dengan Micha
Mysha tertegun melihat benda yang ada di tangannya. Dalam kotak beledu indah, napasnya tercekat, tidak menyangka akan mendapat benda tersebut. "I-ini untukku?" tanya Mysha, tangannya gemetar menyentuh garis halus anting emas berukiran rumit khas Thailand. Ada giok berbentuk ular melingkar di tengahnya. Ego Axel melambung membuat ujung bibir berkedut menahan senyum. Taktiknya kali ini berhasil. Tidak ada wanita yang tidak menyukai perhiasan, bunga, dan coklat, termasuk Mysha yang selama ini sulit ditaklukkan. Pria itu dapat melihat sorot kagum dan gembira di mata emas Mysha, dalam hati merekam baik-baik ekspresi wanita yang selama beberapa hari terakhir memenuhi pikirannya. Kali ini dia pasti berhasil. Axel tidak menjawab. Dia hanya mendorong kotak itu lebih dalam ke genggaman Mysha, tetap mempertahankan wajah dinginnya. Namun tiba-tiba dia tersentak, ketika Mysha mendorong kembali kotak merah dengan ukiran perak yang menunjukkan pengrajin pembuatnya. "Aku tidak bisa menerimanya," u