Share

Bab 6 - She's Mine!

Michael mendorong pintu ruang kerja Mysha, kemudian masuk dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di depan meja kerja General Manager itu, bahkan sebelum dipersilakan.

"Ini, minumlah!" Michael menyodorkan segelas hot espresso yang dibawanya. Aroma nikmat kopi menguar, menggelitik saraf-saraf indera penciuman Mysha.

"Untukku?" tanya Mysha. Pertanyaan bodoh, pikir Mysha. Jelas tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan itu selain mereka berdua. Lagi pula jika bukan untuknya, mengapa Michael menyuruhnya minum. "Eh-maksudku, kau tak perlu repot-repot." Mysha tergagap.

"Tak masalah. Aku dengar dari security, hari ini kau datang jam empat pagi. Demi Tuhan, Mysh! Kau tak harus bekerja terlalu keras. Aku tak ingin melihat kantung mata yang semakin dalam di sini," ujar Michael sembari menyentuh bagian bawah mata Mysha dengan lembut.

Mysha refleks menarik mundur wajahnya dari jemari kukuh nan lembut itu. Ia tak ingin ada gosip-gosip yang menyangkutpautkan Michael dengan dirinya. Apalagi ia baru dua hari bekerja di kantor ini. Selain itu, ia baru membuat masalah dengan CEO-nya, jangan sampai ia terlibat lagi dengan pengacara kantor. Meskipun keduanya sama-sama tampan, ia tahu sikap mereka berbeda. Michael selalu bersikap manis, lembut, dan pengertian, tidak seperti Axel yang dominan, dingin, dan penuntut.

"Sorry," ucap Michael saat menyadari reaksi Mysha.

"It's okay. Aku hanya tak ingin ada gosip tentang kita," jelas Mysha.

"Ya, kau benar. Bagaimana hari pertamamu? Apa kau sudah bertemu dengan Will?" tanya Michael.

"Everything went well. Lalu ya, kemarin aku bertemu dengan Mr. Davis saat mengantar laporan untuk Mr. Delacroix. Jujur saja aku terkejut, kupikir direktur utama CLD sudah berumur, ternyata masih sangat muda. Beliau ramah, efisien, dan sangat profesional," terang Mysha.

Tentu saja ia menyensor beberapa kejadian yang bisa mempermalukan dirinya, termasuk kejadian bersama Axel tadi malam.

"Kau satu-satunya wanita yang bilang William ramah," ujar Michael mengulum senyum. "Tapi syukurlah jika semua baik-baik saja. Aku sempat mengkhawatirkanmu, apalagi setelah kau tersungkur di ruang Axel." Kali ini Michael tak bisa menahan tawanya.

"Michael...! Please, jangan ingat-ingat lagi kejadian itu," sembur Mysha. "Aku terjatuh karena tak terbiasa memakai high heels."

Michael masih ingin menggoda Mysha saat ponselnya berdering. Ia buru-buru meninggalkan kantor Mysha setelah menjawab telepon itu.

"Mysh, I gotta go. Will sudah menungguku," kata Michael sebelum membuka pintu kantor Mysha.

Mysha mengangguk dan tersenyum sebagai tanda ia mengerti.

*

Begitu Michael meninggalkan ruangan, Mysha bangkit dari kursinya. Kini ia hanya perlu berkonsentrasi untuk menyusun anggaran dana investasi pembangunan apartemen dan hotel di Asia Tenggara seperti yang diminta William.

Gadis berkacamata itu baru saja membaca kembali rangkuman seluruh laporan keuangan yang kemarin ia berikan kepada Axel. Ia juga telah menamatkan seluruh dokumen-dokumen kegiatan internal perusahaan, birokrasi, serta kewajiban-kewajiban perusahaan yang harus dibayarkan setiap bulannya.

Mysha meminta kopi lagi pada office boy. Ini cangkir kopi ketiga yang bakal diteguknya selain kopi yang dibawakan Michael tadi. Saat ini ia benar-benar membutuhkan kafein untuk tetap berkonsentrasi.

Mysha memasang earphone yang disambungkan ke laptop untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaannya. Lagu-lagu upbeat yang ceria akan meningkatkan mood-nya. Meskipun, ia tidak bisa mendengar dengan suara keras saat sedang bekerja. Jangan sampai ia tidak menyadari jika ada suara telepon berdering atau pintu diketuk.

Dengan teliti ia mulai menyusun anggaran berdasarkan perhitungan para insinyur sipil dan arsitek yang telah memberikan cetak biru desainnya. Kemudian ia menghitung perkiraan harga jual dan margin keuntungan yang akan didapat, serta break event point.

Mysha memasukkan poin demi poin ke dalam rencana anggarannya, menghitung dengan teliti segala kemungkinan fluktuasi yang bisa terjadi. Dengan asumsi perhitungan divisi Design and Engineering benar, Mysha berani menjamin laporan yang diselesaikannya dalam waktu lima jam itu tepat dengan tingkat akurasi mencapai 95 persen.

Akhirnya selesai! Segera ia mencetak hasil kerjanya dalam tiga rangkap. Setelah ini ia akan memberikannya pada William dan juga Axel.

Menyebut nama Axel mau tak mau membawa pikiran Mysha kembali mengembara. Ia masih ingat aroma maskulin pria itu saat tubuh mereka berimpit di depan kantor Axel tadi pagi. CEO itu tampak gagah dalam balutan jas hitamnya. Meskipun jika boleh meminta, ia lebih suka melihat penampilan Axel dengan kemeja panjang tanpa jas yang lengannya digulung sampai siku. Ah, sepertinya tubuh Axel memang cocok untuk memakai pakaian apa saja atau bahkan bertelanjang dada.

Mysha meremang. Digeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir bayangan Axel dari pikirannya.

*

Mysha mengerjap ketika terdengar suara pintu diketuk. Dengan enggan ia berdiri untuk membukanya. Dan betapa terkejut saat ia mendapati Michael di baliknya.

"Hai! Sudah selesai meeting-nya?"

Senyum Michael mengembang menjawab pertanyaan Mysha. “Apa aku mengganggu pekerjaanmu?”

"Tidak sama sekali,” jawab Mysha cepat. “Anyway, ada perlu apa denganku? Kupikir kau akan langsung kembali ke kantormu."

"Aku ke sini untuk mengajakmu makan siang. Ayolah, temani aku, please!" pinta Michael.

Makan siang?! Mysha melirik jam di sudut laptopnya. Ya Tuhan, ini memang sudah jam makan siang. Ia benar-benar tak sadar. Pantas perutnya mulai memberontak. Namun printer-nya masih menyala, memuntahkan kertas-kertas laporan yang dicetaknya.

"Sorry Michael, aku benar-benar berharap bisa menemanimu. Tapi, aku harus menyelesaikan laporan rencana anggaran yang diminta oleh Mr. Davis. Maybe next time," tolak Mysha halus.

"Please, Mysh. Apa kau tega membiarkanku makan siang sendiri? Kita hanya akan keluar makan siang, tak sampai satu jam kau sudah akan ada di ruangan ini lagi," bujuk Michael. Ia memasang tampang memelas.

"Baiklah, baiklah. Tapi sebentar saja," ujar Mysha. Tak tega juga ia menolak Michael yang selama ini begitu baik padanya.

*

Michael dan Mysha berjalan beriringan menuju tempat parkir VIP. Dengan cekatan ia membukakan pintu mobil Mercedes S Class putihnya untuk Mysha sebelum duduk di balik kemudi. Ia menjalankan mobil perlahan, menembus lalu lintas kota New York.

Restoran yang dituju sebenarnya hanya tiga blok dari CLD Tower di Midtown Manhattan.

Michael memarkir mobilnya di depan Darbar Grill. Sebuah restoran yang nyaman dan tenang, menawarkan cita rasa masakan India yang lezat berempah. Begitu pintu dibuka, deretan meja dengan taplak putih lengkap dengan perlengkapan makan tertata rapi langsung terlihat. Suasana temaram dengan penerangan minim ditambah lilin paraffin di atas meja menambah kesan yang romantis.

Aroma rempah-rempah dan daging panggang menguar dari masakan yang tersaji di meja yang telah ditempati pelanggan. Pada waktu makan siang, restoran ini selalu dipenuhi oleh pelanggan dari berbagai ras dan bangsa.

"Reservasi atas nama Michael Johannson," ujar Michael saat seorang karyawan menyambutnya.

Mereka diantar ke sebuah meja yang cukup memberi privasi. Seorang pramusaji memberikan buku menu dan menjelaskan promo serta rekomendasi menu kepada mereka.

Sambil menunggu hidangan datang, Mysha dan Michael mengobrol ringan tentang pribadi mereka.

"Jadi kau anak tengah dari tiga bersaudara? Pasti menyenangkan punya banyak saudara. Rumah terasa ramai," seru Mysha antusias. Seakan ada lubang di hatinya yang diisi kembali tiap kali mendengar cerita keluarga teman-temannya. Mysha tak pernah merasakan kehangatan keluarga. Sebagai anak dari orang tua bercerai dan tak menikah lagi, Mysha selalu hidup kesepian.

"Ramai memang, tapi tak selalu menyenangkan. Keluargaku bukan kalangan berada. Masa kecilku dihabiskan dengan bekerja untuk sekadar bisa makan dan sekolah. Ayahku pecandu alkohol. Beliau lebih sering menghabiskan waktunya untuk keluar masuk penjara daripada mengurus anaknya. Mungkin itu sebabnya aku memilih sekolah hukum." Michael tertawa pedih mengingat masa lalunya.

Tanpa sadar Mysha menggenggam tangan  pengacara tampan di hadapannya. Seolah dengan merengkuh erat jemari itu ia bisa mengangkat sedikit kesedihannya.

Michael tersenyum. Sebelah tangannya yang bebas berada di atas tangan Mysha.

"Nasibku sungguh mujur. Suatu hari aku yang sedang bekerja mengantar susu, hampir membeku di tengah musim salju. Dermawan yang ternyata pemegang saham terbesar CLD menemukan dan menolongku. Beliau pula yang akhirnya mengadopsiku, menyekolahkanku, bahkan memasukkanku ke dalam jajaran staf elit perusahaannya.”

Pramusaji menyajikan pesanan makan siang mereka. Rasmalai dan Chicken Samosa untuk appetizer, Darbar Lamb Biryani Specialty dan Tandoori Lamb Chops untuk main course dan Kulfi Ice Cream untuk dessert.

"Lalu bagaimana dengan keluargamu?" tanya Mysha ingin tahu.

"Ibu membawa mereka setelah bercerai dengan ayahku. Sampai saat ini aku tidak pernah bertemu lagi." Ada nada sedih dalam suara Michael, membuat Mysha mengeratkan genggaman tangannya.

Mereka masih asyik melanjutkan obrolan seputar keluarga sambil menikmati menu yang tersaji. Kali ini giliran Michael yang menanyakan keluarga Mysha.

"Aku hanya hidup berdua dengan Mom. Bagiku Mom adalah segalanya. Saat aku berumur delapan tahun, orang tuaku bercerai, sejak itu aku tak pernah lagi melihat ayahku. Meski kadang tak bisa kumungkiri aku juga merindukan ayahku, tapi Mom tak pernah suka jika aku bertanya tentang Dad." Giliran Mysha bercerita tentang keluarganya.

"Bagaimana kehidupanmu setelah orang tuamu bercerai? Kalian tinggal di mana? Ibumu bekerja di mana?" tanya Michael ingin tahu.

Mysha tertawa mendengar nada penasaran dalam suara seringan kapas itu.

"Mom kembali ke tempat orang tuanya di kota kecil, Oregon. Ia membuka restoran tachos yang selalu ramai. Kehidupan kami sederhana, tapi tidak kekurangan," kenang Mysha.

Obrolan mereka terus berlanjut, suasana akrab makin terasa. Saling tersenyum, melempar canda dan tertawa. Sejenak Mysha lupa pada deadline tugas-tugasnya.

*

Axel sukses menggaet investor asal Arab Saudi. Kontrak kerja sama telah mereka tanda tangani. Saat mendekati waktu makan siang, Axel mengundang koleganya itu makan bersama untuk menjalin keakraban.

Tak banyak restoran halal di sekitar gedung kantor mereka. Salah satu yang Axel tahu ada sebuah restoran India di daerah 55th Street. Bukan restoran mewah, namun menu yang ditawarkan cukup variatif, menggabungkan cita rasa tradisional dan modern dan lezat tentunya. Restoran itu biasanya ramai saat jam makan siang, karena itu Axel telah meminta sekretarisnya melakukan reservasi via telepon.

Sial! Mata birunya terpatri pada pasangan yang sedang asyik berdua. Mereka saling memandang, tersenyum, dan sesekali tertawa.

Kebahagiaan jelas terpampang di wajah keduanya. Mysha dan Michael terlihat begitu akrab. Tangan Michael tampak menggenggam erat tangan Mysha. Kebahagiaan yang justru membuat hati Axel panas. Dadanya bergemuruh menahan amarah.

Tak bisa dibiarkan, ia harus mengambil tindakan! Bergegas Axel meninggalkan mejanya menuju ke tempat Michael dan Mysha.

Shireishou

Wah, Axel ngamok! Kira-kira bakal ngapain, ya?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status