“No!”
Avanthe berontak hebat. Darah keemasan menciprat, merembes deras dari pangkal leher yang terputus. Kepala ayahnya baru saja bergelinding sampai ke sudut ruangan. Bagaimana mungkin itu terjadi secepat kilat menyambar. Avanthe tak menyangka Hores dengan keji melakukan tindakan demikian setelah menipu berkali – kali dan memberi harapan yang begitu sia – sia.Otot kaki Avanthe melemah. Dia segera bersimpuh. Air di mata telah berurai. Bunyi gemerincing rantai menghias isakan tangis, tetapi itu tidak memberi Hores pengaruh. Kerapuhannya adalah gersang yang tersiram oleh tumpukan es bagi pria itu. Hanya seringai puas dan hasrat membara berkilat di mata gelap Hores.“Bawa sampah – sampah ini pergi.”Perintah tersebut ditujukan kepada sang prajurit supaya segera membebaskan dua tubuh Ellordi yang terpisah.Tidak!Avanthe tersaruk – saruk berusaha merangkak mendapati tubuh ayahnya. Dia nyaris menyentuh bagian pergelangan yang terikat. Namun, Hores yang kejam menghentikan tindakan tersebut. Avanthe meringis saat tungkai kaki Hores menekan punggung tangannya dengan kasar.“Sebagai seorang selir kau harus melayani-ku.”Nada bicara Hores terdengar nyaris berdecih. Tidak sedikitpun terlintas puncak pernyesalan. Justru nyata – nyata, saat melihat Avanthe terluka, pria itu makin mengobarkan api ke dalam gairah.“Menangislah, Ava. Tangisanmu seperti suara mendesah. Aku suka mendengarnya.”Dengan segala cara Avanthe menyingkirkan keberadaan ujung kaki Hores. Lengannya ditarik cepat—di sana tersemat memar. Avanthe langsung beringsut mundur ketika pria itu membuka jubah yang membalut khusus di tubuh raja.Dia tidak mengatakan apa pun. Matanya kalut saat bertemu mata gelap Hores. Pria itu bersikap persis seperti predator; menganggap kegetiran Avanthe sebagai mangsa yang lezat.Betapa Avanthe tidak bisa meninggalkan setiap pergerakan Hores. Pria itu telah bertelanjang utuh dengan satu tangan mengurut kejantanan yang besar dan keras. Langkah Hores tentatif menepis jarak di antara mereka.Avanthe semakin takut. Bahunya menghantam dinding dengan keras. Rantai – rantai besar berontak mengikuti pergerakan tangan secara spontan.“Hores, aku mohon jangan seperti ini. Kau seharusnya mengerti kalau aku, aku baru saja kehilangan.”“Itu juga yang aku rasakan saat melihatmu menembak senjata ayahku ke tubuhnya.”Dengan situasi dan kondisi berbeda tentunya. Avanthe merasa ingin mengomentari pemikiran Hores. Pria itu tidak bisa memukul rata semua hal. Kebutuhan antara dia dan Hores jelas berbeda. Hores bahkan tidak menganggap bahwa tindak pembunuhan yang dilakukan sudah menjadi bayaran besar.Pria itu masih tidak merasa setimpal. Avanthe mendapati peringatan berkala dari cengkeraman Hores. Dia berusaha menatap ayah dari putri kecil dan janin di kandungannya dengan sudut pandang berbeda. Hasilnya; kebencian Hores seliar api di dalam bara. Menyakitkan.“Hores, berhenti.”Lengan Avanthe terpacu menghindari tiap gerakan Hores. Dia benci bahwa sesekali rantai di tubuhnya menambah beban agar tetap berada di tengah kendali Hores. Pria itu menggeram marah. Merobek gaun pengantin di tubuh Avanthe, tidak peduli rantai teremuk menjadi keping – keping, karena tenaga dalam sang raja yang dahsyat.Avanthe memang ingin rantai itu menghilang, tetapi bukan kebebasan sekaligus ketidakberdayaan yang dia harapkan. Hores telah menggapai tubuhnya. Ujung jari pria itu meraba brutal celah di ceruk kaki Avanthe.“Hores—““Jangan memanggil namaku!”Satu bentakan kasar. Avanthe terdiam. Air matanya merembes di sudut mata. Dia seperti dirancang untuk disetubuhi tanpa ampun. Hores sama sekali tidak memberi Avanthe sebuah kesiapan. Kejantanan pria itu langsung menembus ke dalam dirinya. Dia merasakan sakit, sementara Hores masih memasuki Avanthe tanpa ampun.“Aku siapa, Ava?”Butuh waktu cukup lama agar Avanthe memahami pertanyaan tersebut. Hores sedang menunjukkan siapa yang sedang berkuasa. Pria itu mendesis; menikmati kenikmatan sendiri, tanpa pernah peduli Avanthe terendap oleh kegilaan yang telah pria itu mulai.“Hores ....”“Jangan pernah memanggil namaku!”Avanthe mengerti.Yang Mulia, Raja ....Seharusnya yang seperti itu. Avanthe menelan ludah kasar.“Yang Mulia ... hentikan!”Bukan apa – apa. Hores terlalu kasar dan itu sangat menyakitkan. Avanthe merasakan golakan hebat, tetapi Hores menumbuk lebih kuat, membuat hentakan dahsyat seolah ingin meluluh-lantakkan seluruh tubuh Avanthe.“Oh ....”Suara Hores mendesis untuk sekali lagi mendesak Avanthe. Mata gelap Hores bisa melihat kehancuran Avanthe. Pelepasan itu telah mencapai puncak. Hores segera menyingkir, kesempatan yang sama segera Avanthe lakukan. Dia nyaris terkulai lemah, memaksakan diri merenggut sisa percah gaun pernikahan demi menutup separuh tubuh telanjangnnya.Setelah Hores meninggalkan ruangan. Avanthe bergetar tak terkendali. Sakit sekali menghadapi perubahan pria itu secara drastis. Dia dihancurkan menjadi keping – keping. Nyawa ayahnya telah terenggut, sekarang apa yang Avanthe harapkan di sini? Tetap menjadi selir?Dia mencemooh keputusannya yang bodoh. Akhirnya pelan – pelan beranjak bangun. Tulang punggung Avanthe terasa dingin ketika bersandar di tembok usang. Pelbagai upaya telah dia usahakan agar tubuhnya berhenti gemetar. Rasa sakit di antara ceruk kaki seperti dipaksakan terus berdenyut. Ragu – ragu Avanthe memeluk kedua lutut tanpa suara. Mata keunguan miliknya kemudian memutuskan untuk menatap ke satu titik dengan kosong.Tanpa isakan panjang Avanthe membiarkan waktu berlalu begitu hening. Lelah membuat dia terpejam, tetapi hanya sebentar ketika hentakan kaki yang keras menggema di remang – remang ruangan. Avanthe merasakan semua itu dengan nyata.Ada yang akan datang.Ada yang akan kembali melukainya.Benak Avanthe bertanya – tanya, apa lagi yang akan dia terima?“Kau benar – benar akan pergi meninggalkan istana, Hores?” Mata gelap Hores menatap setengah kosong ke depan. Dia telah mengambil keputusan dan menyiapkan segala sesuatu untuk berkelena. Mungkin butuh beberapa waktu sampai benar – benar bisa melupakan kematian Avanthe. Sudah tepat seminggu ... tidak ada petunjuk. Hores tidak sanggup bertahan di sini lebih lama. Dia tak bisa terus dibayangi keberadaan Avanthe di wajah anak – anak. Aceli dan Hope merefleksikan sebuah senyum yang pernah begitu indah. Itu sangat menyakitkan. Hores tidak tahu bagaimana cara melupakan. Berharap dengan berpegian akan menyeretnya keluar dari jurang terjal. Dia ingin menjadi musafir yang lupa arah jalan pulang. Ingin meninggalkan pelbagai macam ingatan di masa lalu, seperti permintaan Avanthe; saat di mana wanita itu pernah begitu ingin agar dia melupakan masa kelam yang menyatukan mereka. Andai saja. Hores menarik napas panjang setelah mengemasi seluruh kebutuhan untuk memulai. Dia menatap Raja V
“Sudah tiga hari, Hores. Kau menghabiskan darahmu di sini. Jika kau memang mencintai Ava. Biarkan dia bereinkarnasi, dia akan hidup kembali. Berharaplah akan menjadi manusia. Tapi, dengan menyimpan jasadnya kau tidak akan mendapat apa pun. Selain itu, apa yang kau lakukan bisa membuatmu terbunuh. Kau satu – satunya yang kumiliki. Aku tidak ingin kehilangan dirimu.” Raja Vanderox menjulang tinggi di belakang, menatap sebentuk bahu Hores yang lunglai ketika pria itu bersimpuh di depan peti tembus pandang, sambil meletakkan tangan ke dalam. Darah terus dibiarkan menetes supaya mengisi penuh dan merendam tubuh kaku Avanthe sebagai proses pengawetan. Tidak ada yang tahu kapan semua berakhir seperti semestinya. Sebagian dari mereka menyimpan pengetahuan berani bahwa Avanthe jelas – jelas tidak akan kembali. Tidak termasuk ke dalam pengecualian. Bagaimanapun, Raja Vanderox tak sanggup melihat putranya menderita. Hores seperti hilang arah; tersesat; melupakan bahwa pria
Avanthe menjulang dengan pandangan lurus ke bawah. Ujung pedang ... menancap di telapak tangan Margarheta Bell kembali ditarik. Wanita itu lagi – lagi mendesis, tetapi dia tak peduli. Tujuannya pasti. Margarheta Bell harus membayar setiap penderitaan Hores, yang menjadi rasa takut terdalam di pikiran pria tersebut. Untuk memusnahkannya; mereka perlu melenyapkan sumber utama. Telah begitu dekat. Hampir. Avanthe menyeringai tipis. “Aku akan membunuhmu,” ucapnya diliputi serangan konkrit dan menghujam perut Margarheta Bell. Dia tak ingin wanita itu terburu mengembuskan napas terakhir. Harus ada penderitaan lain, yang belum terbayarkan. Ingin mendengar teriakan lebih keras ketika Margarheta Bell mengerang kesakitan. Ada kepuasann di mana Avanthe menekan ujung pedang dan membuat wanita itu terlihat diliputi kecenderungan untuk menahan diri, atau memang Margarheta Bell berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu memegangi luka lubang menganga di perutnya sambil mendedika
Kai .... Pria itu ada di sana, berdiri nyaris tanpa diberi jarak dari Margarheta Bell. Sebuah pemandangan yang membuat perasaan Avanthe seperti ditikam. Dia dirampas, kemudian dilempar ke tepian untuk menyadari bahwa Kai tidak sebaik dari yang pernah dibayangkan. Mengapa seperti ini? Benak Avanthe bertanya – tanya kapan? Apakah ini bagian rencana awal yang tidak sama sekali dia ketahui, bahwa Kai bukan benar – benar seorang teman. Pria itu sama sekali tidak memberi petunjuk. Tak ada yang sanggup menyadarinya atau malah Hores .... Wajah Avanthe berpaling ke arah pria, persis menjulang tinggi di sampingnya. Hores tidak diliputi ekspresi terkejut, atau sebenarnya .... “Kau tahu ini dari awal?” tanya Avanthe nyaris tak percaya. Hores melirik singkat, tetapi anggukan luar biasa samar seperti menamparnya dengan keras. “Mengapa kau tidak sedikitpun bicarakan ini kepadaku?” “Berharap kau akan pe
“Aku tidak menginzinkanmu pergi, Ava. Kau tidak boleh ikut berperang. Ada risiko yang kau tahu kita tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin sesuatu terjadi kepadamu. Kau adikku.”Avanthe tersenyum tipis menanggapi pernyataan Kingston. Dia akan baik – baik saja, meski merasa getir mengenai apa yang menjadi keputusan; menitipkan anak – anak, lalu berniat kembali ke dunia mereka sesungguhnya. Ini sudah termasuk sebagai keputusan yang bulat. Avanthe tahu betapa mereka akan menghadapi risiko riskan, tetapi terus menyaksikan Hores terluka adalah rasa sakit tak terungkap. Makin mencekik jika dia berusaha bersikap tak peduli. Malah, benaknya terus menaruh desakan khawatir mengenai pria itu. Hores sudah menghadapi masa – masa sulit. Dia tidak ingin berakhir terlalu jauh. “Aku akan baik – baik saja. Tidak usah takut. Kau tahu aku tidak lemah, bisa menjaga diriku dengan baik. Hores dan ayahnya mungkin akan kalah pasukan. Kita tidak tahu seberapa jauh Margarheta Bell menyiapkan perang i
“Hores ...,” panggil Avanthe lirih. Dia dengan gemetar mengusap rahang kasar pria itu. Berharap akan ada prospek bagus, tetapi tidak. Hening terasa penuh gemuruh. Rasanya benar – benar menyakitkan. “Aku bicara denganmu, Hores ....” “Hores tidak akan mendengarmu. Dia sedang masa pemulihan saat ikut berperang. Aku mengingatkannya supaya tidak ikut. Putra-ku sangat keras kepala. Dia tetap melibatkan diri, sampai mereka menemukan kelemahannya dan menghajarnya tanpa ampun.” Kelemahan? Di mana sebenarnya Hores juga sedang terluka? Dan mereka, siapa pun mereka, memanfaatkan situasi ini untuk menikung di belakang? Avanthe mengetatkan pelukan secara naluriah. Dia hanya ingin melarikan diri dari cengkeraman Hores, bukan dengan sengaja membuat pria itu terluka parah. Hores menghadapi risiko besar, karena berusaha memulangkannya ke neraka berbentuk mewah, berusaha mengembalikannya ke Meksiko dan anak – anak akan itu serta. Namun, semua berubah
“Hores?” Seperti ada gemuruh besar dengan segala bentuk sambaran mengerikan. Avanthe menatap wajah Ellordi penuh tanda tanya. Dia tak ingin percaya terhadap apa pun itu. Tidak ada penjelasan gamblang mengenai keadaan Hores saat ini, tetapi mengapa rasanya seperti telah membawa dia menghadapi pendekatan yang jelas, di mana kekhawatiran berakhir sebagai rayuan tidak masuk akal. Hores baik – baik saja ... akan selalu begitu. Pria itu harus kembali untuk anak – anaknya. Bukankah Aceli sudah menunggu? Meminta supaya Avanthe membangunkan ketika Hores datang? Sekarang apa yang bisa dilakukan setelah semua terasa mengejutkan? Avanthe menatap ayahnya sambil menggeleng samar. Bagian paling penting adalah menyingkirkan tumpukan air yang membentuk percikan kaca. Dia melihat semua dengan buram, sama seperti berjuang keras meyakinkan perasaannya, meski tidak ada harapan tersisa. “Jangan katakan itu, Papa,“ ucap Avanthe mendeteksi akan ada suatu informasi u
Pernyataan Hores mengenai perang di wilayah pria itu menjadi suatu bagian paling nyata, bahwa mereka ... meski tidak terlibat; juga mengalami dampak serius. Suara – suara ledakan hingga guncangan yang sesekali terasa begitu keras merupakan prospek terburuk. Avanthe bertanya – tanya pertempuran seperti apa, atau barangkali perebutan hak dari mana sehingga nyaris tidak ada damai di Kerajaan Bawah Tanah. Dia khawatir mengenai Hores, takut jika akan terjadi suatu hal tak diinginkan dan berakibat fatal. Rasanya sesuatu di dalam diri Avanthe seakan ingin memberi petunjuk. Dia tak ingin terlalu memikirkan hal tersebut, hanya tidak tahu bagaimana caranya, tidak tahu apakah seharus ini mendambakan Hores baik – baik saja, maka pria itu akan kembali mendatangi anak – anak, apalagi ... jika secara ajaib mereka bisa berdamai. Membayangkan andai perasaan mereka kembali utuh. Anak – anak juga akan menyukainya; tidak ada pemisahan dan pelbagai hal lain yang menjadi masalah besar.“Mommy,
Pernyataan Hores terdengar penuh pengalihan serius. Perkara pancake itu lagi dan permasalahan yang selalu sama ....Avanthe diam beberapa saat, terpaku, memikirkan kembali pengajuan Hores sebagai berikut;Apa yang dia ingin pria itu katakan?Tidak banyak, tetapi Hores telah mengatakannya. Ya, setidaknya Avanthe mengerti ... betapa dia perlu menyadari bentuk kesalahpahaman yang menyemat di sana dengan suatu pengakuan nyata. “Dan kau percaya aku akan melakukannya?” tanyanya sarat ekspresi nanar. Ini lebih buruk dari membayangkan Hores telah sadar dari setiap tindakan buruk. Avanthe ingin tahu, adakah cara ampuh untuk menarik Hores ke permukaan, memberi pria itu petunjuk, atau sejenis lainnya, tetapi bagaimana? Dia belum menemukan cara. Dengan desakan putus asa dalam dirinya, reaksi Avanthe yang paling murni adalah menunduk saat Hores seperti tidak memiliki niat menanggapi. Pria itu selalu percaya terhadap apa yang menurutnya benar, tetapi lupa bahwa logika juga h