Nuning terlihat begitu cantik dengan kebaya barunya. Dia merias wajahnya sendiri. Toh, dia sudah ahli sekarang. Bisa karena terpaksa, lalu jadi terbiasa. "Cantik banget anakku," puji Bu Parmi di ambang pintu. Menatap Nuning yang sedang memoles sentuhan terakhirnya.
"Emak juga cantik." Nuning memuji Bu Parmi melalui pantulan cermin. Emaknya memang memakai kerudung untuk menutupi kepalanya yang masih gundul. Tapi wajahnya terlihat sangat segar karena sentuhan make up yang menutupi kerutan tua di wajahnya.
Bu Parmi tersenyum dengan tatapan berkaca-kaca sambil mendekati Nuning. "Akhirnya, hari ini datang juga," desahnya lega. Sambil mengusapi pundak Nuning dengan sepenuh kasih. "Kamu layak bahagia, Nduk. Dengan pria yang kamu cintai, dan juga mencintaimu," ujar Bu Parmi lirih bagai rapalan sebuah doa.
Nuning ingin menangis, tapi ditahannya, demi make up yang sudah sempurna. Dia tak boleh merusak kesempurnaan hari ini dengan air mata. Dia suda
Nuning melepas cincin dari Jaka, meletakkannya kembali ke dalam kotak Tiffany Blue dan menyimpannya ke laci. Meraih ponsel, lalu menelepon. "Halo, Nyonya Vincent? Tumben meneleponku?" sapa suara bariton di sana terdengar ramah. "Aku kalah taruhan. Jadi, sesuai kesepakatan ... aku akan menjadi pembantumu selama setahun, gratis. Kau tak perlu membayarku sepeser pun. Aku bisa bekerja mulai besok," kata Nuning tanpa basa-basi. Lama tak terdengar suara. Nuning pikir sambungan teleponnya mati. "Halo? Vin? Kau mendengarku?" tanyanya sambil mengecek layar ponsel, ternyata masih tersambung. "Telepon Pak Suryo agar menjemputmu di bandara," jawab Vincent tak seriang tadi. "Oke," jawab Nuning singkat. Mematikan telepon, dan mulai mengemasi pakaian dan beberapa barang pribadinya ke dalam kopor. Terdengar pintu kamarnya berderit, tapi Nuning tak menoleh. Melalui ekor mata, dia bisa menangkap sosok tubuh tambun emaknya memasuki kamar.
Jaka berlari-lari kecil menyusuri lorong Rumah Sakit. Menuju kamar perawatan Erna. "Saya sudah hampir sampai, Pak. Sebentar lagi," katanya, menjawab telepon dari Pak Kun yang terdengar tak sabar menunggunya. "Jak!" panggil bapak-bapak berkepala botak itu sambil melambaikan tangan, di ambang pintu kamar perawatan Erna yang sedang tertutup. "Gimana kondisi Erna, Pak?" tanya Jaka dengan napas terengah usai mengebut dari rumah bibinya menuju ke mari. Pak Kun mengelap keningnya yang berkeringat karena stres. "Lambungnya sudah selesai dikuras. Untung saja obat-obatan yang ditelannya tak terlalu banyak, tapi tetap saja berbahaya. Syukurlah dokter bilang masa kritisnya sudah lewat. Sekarang dia sedang tidur," jelasnya sambil geleng-geleng kepala, mengusir pikiran buruknya yang berandai-andai Erna tak selamat. Bisa-bisanya puterinya itu mencoba bunuh diri untuk kedua kali! "Aaah. Aku bisa gila!" Pak Kun memekik tertahan, sambil mengusapi kepalanya yang b
Pak Suryo sudah menunggu di bandara. Sopir berpakaian safari itu lekas menghampiri begitu melihat kemunculan Nuning. "Selamat pagi dan selamat datang kembali, Nyonya," sapa Pak Suryo seraya lekas mengambil alih sebuah kopor besar dari tangan Nuning. "Ini saja, Nyonya?" tanyanya ingin memastikan. Nuning menjawab hanya dengan anggukan kecil. Nuning terdiam sepanjang perjalanan. Pasrah ke mana Pak Suryo akan membawanya pergi. Vincent sudah mengatur semuanya, di mana ia harus tinggal dan mulai menjalani tugasnya sebagai pembantu gratisan selama setahun ke depan. Tak sampai sejam kemudian, kedua sudut bibirnya berkedut dan menarik segaris senyum saat Camry yang membawanya mulai memasuki kawasan Pantai Indah Kapuk. Nuning tahu ke mana tujuan ini akan berakhir. Mungkin orang-orang sering mendengar pulau reklamasi yang belakangan sering menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. Nah, Nuning sedang menuju kawasan itu, tepatnya menuju sebuah hunian prestisius dengan view
"Ada apa dengan istri saya, Dok? Kenapa dia sebenarnya? Apa sakitnya parah dan berbahaya?" desak Vincent saat sudah berdua saja dalam ruangan dokter Jinot. Vincent was-was, ada apa sampai dokter itu menyuruh perawatnya keluar dulu dari ruangan agar mereka bisa bicara empat mata saja. "Vin," panggil dokter Jinot seraya memandanginya dengan senyum, yang sanggup bikin perempuan tergila-gila melihatnya, untungnya Vincent bukan perempuan. Dia laki-laki normal. Dan laki-laki ini sedang gelisah memikirkan Nuning yang ia temukan pingsan setibanya Vincent di rumah. Mengacaukan kejutan yang sudah direncanakannya. "Katakan saja, Kak," jawab Vincent mengubah panggilannya kepada dokter Jinot menjadi Kakak, sebab mereka memang pernah sedekat itu. Calon kakak ipar tapi nggak jadi... Dokter Jinot berdeham sejenak. Lalu melipat tangannya di meja. Menatap Vincent dengan sorot keseriusan. "Dalam sebulan ini, apakah kau pernah menemui Nuning?" tanyanya membingungkan. "Ka
Vincent memandangi wajah pucat Nuning yang tengah tertidur pulas. Wanita itu terlihat kurus, wajahnya pun tampak tirus. Menggilas sosok Nuning yang selama ini menancap dalam memorinya. Nuning yang selalu diingatnya selama di Milan, bukanlah seperti ini. Seketika, tangannya terkepal. Rahangnya mengeras dengan tatapan murka menyala-nyala. Entah mengapa, ia merasa seperti dikhianati. Meski tiada ikatan jelas di antara mereka, setidaknya jangan sampai seperti ini. 'Apa yang harus kulakukan kepadamu, Ning?' batin Vincent bimbang. Dia bukanlah lelaki dalam cerita roman, yang rela begitu saja menampung wanita yang telah dihamili pria lain. Tidak, dia bukan pendeta atau pria suci pemaaf yang rendah hati. Dia lelaki yang juga berego tinggi jika menyangkut harga diri. Terlebih, Nuning hanyalah wanita biasa dan juga dari kalangan biasa saja. Sementara, dia adalah Vincent Alessio, pria yang sejak lahir sudah tajir. Terkenal cerdas, tampan, dan banyak uang. Latar belakang keluar
"Vin, maafin aku. Aku nggak tahu tentang ini, sungguh. Apa kau akan mengusirku? Kumohon jangan, demi bayi ini. Izinkan aku tinggal. Aku, ... tak punya tempat lain lagi." Vincent tercekat mendengarnya. "Kau, ... sungguh to the point," desisnya, antara takjub sekaligus kesal, seraya menatap Nuning lekat-lekat. Dan kali ini, wanita itu tiada sekejap pun memalingkan tatapannya. Justru membalas tatapan Vincent dengan lebih tenang dari sebelumnya. Seteguh tekadnya untuk tetap bertahan. Vincent membuang napasnya yang terasa berat. Haruskah ia mengusirnya? Dan, nuraninya yang pertama kali menggeleng pelan. Bagaimanapun, ada bayi tak berdosa dalam rahimnya. Hati seperti apa yang sanggup melakukan pengusiran sekeji itu? Saat ia memiliki tempat tinggal yang layak untuk menampungnya. Atas dasar kemanusiaan, Vincent mencoba berbesar hati menerimanya. "Lagipula, kau kalah taruhan, jadi pembantuku selama setahun," jawabnya acuh tak acuh. Nuning mendesah lega
Pembantu. Ah, sompret! Perempuan itu jadi mengingatkan Nuning soal taruhannya, tepat di saat ia kepingin rebahan. Mau nggak mau, Nuning kudu melakoni taruhannya mulai sekarang. Untung sarapannya sudah kelar. Sudah minum obat dan vitamin, juga asam folat yang sangat penting bagi janinnya. Sesuai nasihat dokter Viona. "Selamat pagi." Nuning menyapa tamunya. Memaksa bibirnya tersenyum meski sebenarnya ogah. Apalagi perempuan cantik di depannya itu malah membalasnya dengan tatapan mencela. "Tolong bikinin aku lemon tea, tanpa gula. Aku sedang diet," jawab perempuan itu tanpa benar-benar menatapnya. Sebab rumah Vincent lebih indah untuk dikagumi dan dilihat-lihat daripada repot-repot memperhatikan seorang pembantu. "Baik. Lalu, Anda ingin minum apa, ... Pak?" tanya Nuning kepada Vincent yang lekas mengalihkan tatapannya saat pandangan mereka beradu. 'Sombong amat!'pikir Nuning yang cuma bisa mencebik dalam hatinya. "Ayo," ajak
Nuning menguap panjang lalu melirik jam digital di atas nakas yang menunjukkan angka dua belas. "Wah, aku tertidur dua jam. Lumayanlah," gumamnya sambil menendang selimut yang menutup tubuhnya. "Eh, kayaknya aku tadi tidur nggak pakai selimut deh," gumamnya lagi dengan kening berkerut. Tapi, kalau bukan dia sendiri, memang siapa yang kurang kerjaan menyelimutinya? Vincent? Ah, nggak mungkin! Lalu mengedikkan bahunya acuh tak acuh. Pasti dia tak sadar menyelimuti dirinya sendiri di tengah tidurnya tadi.Nuning menuruni tangga dengan hati-hati, nggak bisa pecicilan kayak dulu lagi. Sebab, ada janin yang harus dilindunginya sekarang. "Vin?" panggilnya saat merasakan suasana rumah yang sepi. Ia pikir, Vincent masih sibuk di ruang kerjanya. Jadi dia tak memanggil lagi, takut mengganggu."Ah, capek-capek masak malah nggak dihabisin. Dasar, ngerjain orang hamil aja," gerutunya sambil membawa dua piring nasi goreng yang cuma disentuh sedikit saja. "Bikin mubazir aj