SUARA-suara itu lagi…
Sebenarnya suara-suara itu sudah sangat biasa dia dengar. Sangat terbiasa sampai dia merasa bosan dan merasa hidupnya hanya berisi suara-suara itu. Sangat terbiasa sampai seribut apa pun suara-suara itu tidak bisa mengganggu kehidupannya. Jika suara itu mengganggu alunan musik yang sedang dia dengar, dia cukup membesarkan volume suara pemutar musiknya saja. Atau memakai head set.
Suara kedua orangtuanya ribut.
Ah, paling Papa ketahuan selingkuh lagi.
Iya. Itu sudah kebiasaan lelaki yang dengan sangat terpaksa dia panggil Papa—Harsa Barata. Kebiasaan yang membuat mamanya—Lily Barata—selalu berurai air mata. Tapi itu juga yang membuat Nayara marah pada mamanya. Kenapa harus bertahan dengan pasangan seperti itu? Kalau menikah dengannya adalah sebuah kesalahan lalu kenapa harus dipertahankan? Perbaiki saja kesalahan itu dengan pergi. Lalu memulai hidup baru. Tak peduli ada tiga anak yang harus dihidupi. Orangtua seperti orangtuanya selalu beralasan bahwa mereka bertahan demi anak-anaknya tetap memiliki keluarga yang utuh.
Utuh apanya?
Secara fisik memang utuh, ada ayah dan ibu. Tapi apakah mereka sadar, keributan yang mereka hadirkan nyaris setiap hari justru mencabik-cabik jiwa anak-anaknya? Nayara yang sekarang berusia 22 tahun sudah terbiasa dengan itu. Tapi adiknya?
Ah, adiknya.
Ini pun sebuah kesalahan.
Kenapa bisa sampai bisa lahir anak ketiga dengan kondisi pernikahan seperti itu? Tak cukupkah dua anak yang menderita sampai harus ada yang ketiga? Adisty sekarang belum lagi 16 tahun. Walau dua kakaknya berusaha sekuat tenaga menjaga perasaannya, tetap saja jiwa anak menjelang remaja itu terguncang. Seterguncang dua kakaknya. Tapi dua orang ini sudah lebih bisa mengendalikan emosinya. Mereka terlihat baik-baik saja.
PRANG…
Suara benda jatuh—entah apa—tidak membuat Nayara peduli. Dia tetap asyik dengan gadgetnya sambil bersandar nyaris rebah di kepala ranjang. Tapi ketika suara melengking ketakutan dari mamanya dia baru merasa ada yang aneh. Biasanya tidak semelengking itu. Ketakutan yang berbeda. Nayara mulai bersiaga. Dia duduk tegak di tepi ranjangnya.
“BANGSAT!!!”
Mendengar itu Nayara langsung terbang menerjang pintu. Itu suara Jaya—Satria Jayantaka—abangnya. Dia tak pernah masuk di keributan orangtuanya. Ada yang tidak beres…
“JANGAN….!!! Itu suara ibunya.
Nay berlari turun sepanjang tangga. Tapi di tengah tangga dia melihat semuanya. Jaya sudah nyaris menusukkan pisau ke perut Harsa jika saja tangan Lily tidak menahan lengannya.
Ini tidak seperti biasanya…
Nayara mempercepat langkahnya begitu dia kembali tersadar. Lalu segera bergabung dengan ibunya menahan tangan Jaya.
“PERGI CEPAT, PAH!!” teriak Lily. Suaminya masih terhenyak, tak bisa bergerak. “PERGI! SEKARANG!”
Lalu, seperti ada pecut mengenai bokong Harsa, mendadak dia bergerak—lari—ke depan rumah. Jaya semakin menggila. Dua wanita sampai kelimpungan. Lalu tiba-tiba Nayara tersadar, buat apa dia membantu mamanya? Bukankah akan lebih baik jika papanya Jaya—dia selalu menyebut Harso dengan frasa itu—mati?
Iya, Nayara sejahat itu.
Tiba-tiba dia melepaskan pegangannya dari tubuh Jaya, membuat dua tubuh ambruk bertindihan. Jaya bergerak cepat, tapi Lily lebih cepat menindih anaknya. Lalu ketika suara mobil menderu di luar, Jaya berhasil membebaskan diri. Tapi terlambat, pagar yang terbuka lebar tak menyisakan apa-apa selain bau asap knalpot. Jaya yang lari dari ruang tengah rumah mewah itu tak sempat mengejar mobil Harsa.
Terengah, Jaya terbungkuk, tangannya menyangga di lutut. Dua wanita berlarian di belakangnya. Lily bersimpuh begitu berada tepat di belakang Jaya, sementara Nayara berdiri berkacak pinggang.
“Ada apa lagi sih, Bang?” tanyanya nyaris datar. Seharusnya datar, tapi dia terengah, engah itu yang membuat suaranya tak sedatar biasanya ketika menghadapi keributan orangtuanya. Kali ini bahkan dia merasa jengkel karena keributan itu mengganggu waktu santainya sampai membuatnya berlari sepanjang tangga.
“Kali ini dia nggak bisa dibiarkan, Nay.” Jaya sudah berdiri dan berkacak pinggang. Napasnya masih menderu. Entah karena marah atau karena lelah. Atau bisa juga keduanya.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu aja lu ngamuk kayak tadi?” Nayara mendengus.
“NAYARA!!” teriak Lily yang masih bersimpuh terengah mengatur napas.
“Kalian itu seharusnya saling bunuh aja. Daripada bikin kami tiap hari pengeng dengar suara orang berantem.” Tak ada ekspresi di wajah Nayara. Dia sudah kembali ke dirinya lagi.
“NAYARA! Biar gimana dia papamu!”
“Papanya Jaya,” balasnya santai. “So,” dia menelengkan kepalanya ke arah Jaya. “Kenapa?”
“Adisti—”
Jaya tidak bisa langsung menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya sanggup menyebut nama adik bungsunya sebelum kembali mengamuk menendang apa pun yang ada di sekitar kakinya. Termasuk pot bunga dan mobilnya. Membuat alarm mobil berbunyi.
Yakin tak bisa mendengar penjelasan Jaya, Nayara menarik lengan Jaya menuju rumah, membiarkan alarm ribut sendirian.
“Disti kenapa?”
“Kamu nggak tau Adisti kenapa?”
“Memang kenapa?” Selama ini adiknya baik-baik saja. Baik untuk ukuran Adisti adalah diam di kamar dengan permintaan yang wajar untuk usia anak-bukan-remaja-juga-tidak.
“Adisti diperkosa!” Jaya menggeram. Wajahnya memerah ketika berbicara. Nayara kehilangan suara. “Yang perkosa Tomo.” Dia harus mengatur napasnya.
“Tomo? Hastomo, teman bisnis Harsa?” Mendesis.
“Yang bikin gue marah banget, si Harsa nggak mau lapor polisi demi bisnisnya.”
Nayara menarik rambutnya sangat keras. Lalu berlari ke dalam. Tapi tangannya tertahan tarikan Jaya.
“Kamu mau ke mana?”
“Ke Disty.”
“Dia sudah nggak di sini. Gue bawa ke save house. Di sana dia ngaku siapa yang perkosa dia.”
“Ayo kita cari si Harsa!” Ganti Nayara menarik tangan Jaya. Tapi saat mereka akan keluar, Lily masuk.
“Mau ke mana?” tanyanya sambil berdiri di tengah pintu. Menghalangi akses keluar.
Dua manusia yang ditanya abai.
“Ma, Mama sudah tau soal Disty? Mama mau belain dia lagi?” Nayara bertanya dengan mendesis sinis. Yang ditanya malah tersedu menangis. Tangis yang sangat Nayara benci. Air mata palsu. Terlalu sering keluar sehingga tak berharga lagi. Air mata kebodohan. Terlalu bodoh karena sering sekali keluar dengan alasan yang sama.
“Biar gimana dia papamu, Nay…”
“Ma! Nggak ada orangtua yang rela anaknya digituin kecuali kalian!” Suaranya mendesis untuk menghindari melengking. Tapi matanya mendelik sempurna dengan wajah memerah dan hidung yang menderu mengeluarkan napas kasar.
“Mama bisa apa? Kalau lapor polisi pasti bakal heboh…” Lily menangis lebih keras. Meraung.
Oke, cukup.
Nayara berbalik cepat. Dia lari ke atas. Kembali menerjang pintu dan membanting pintu itu sekuat yang dia bisa. Dia juga melakukan yang sama dengan pintu walk in closet-nya. Di sana dia langsung menarik koper, mengangkatnya ke atas meja di tengah ruang, lalu mulai memasukkan barang-barangnya secepat kilat. Koper langsung penuh yang butuh tenaga gadis marah agar bisa terkunci rapat. Masih kurang, dia menyambar ttavel bag, lalu kembali mengisi tas itu.
Setelah semua terkancing, dia bergegas berganti pakaian. Menyambar jeans teratas dari susunan jeans tanpa memperhatikan jeans yang mana. Menyambar t-shirt, menyambar hem, menyambar hoodie, termasuk menyambar kaus kaki. Semua dia kumpulkan di tengah lalu mulai menyalin pakaian dari tubuhnya dengan semua yang sudah dia siapkan. Lepas urusan koper, travel bag, dan berganti pakaian, dia menarik koper yang tertindih travel bag keluar walk in closet setelah sebelumnya menyusupkan kaki ke sepatu terdekat dengan pintu.
Di kamar Nayara langsung menyambar backpack yang biasa dia pakai untuk kuliah. Menjejalkan laptop, tablet, dan pernak-pernik dari meja belajar sementara ponsel dia pegang terus. Dia menyempatkan diri menyambar beberapa tumpuk uang dari laci yang lain lalu menjejalkan semuanya ke dalam backpack. Sebuah slig bag dia sambar. Dia langsung memasukkan ponsel ke dakan tas yang langsung dia selempangkan di bahu. Semuanya dia lakukan dalam waktu tak sampai lima belas menit.
Setelah semua siap, dia langsung keluar kamar. Langkahnya tidak stabil ketika mengangkat koper. Tak dia angkat, dia menyeret koper sepanjang tangga. Membuat koper melonjak-lonjak sepanjang menuruni anak tangga dan berakhir dengan jatuh berguling sepanjang sisa tangga. Berlomba dengan travel bag. Nayara tidak peduli selama isinya tidak terburai. Dia tidak merasa perlu memeriksa kondisi kopernya. Dia hanya langsung membenarkan posisi koper kemudian menaikkan travel bag di atas koper lalu bersiap menariknya ketika Lily sudah di depannya.
“Mau ke mana, Nay?” Suara khawatirnya masih tersamar isak.
“Dari dulu Nay ajak Mama pergi. Tapi Mama nggak mau. Ya sudah, Nay aja yang pergi. Terserah Mama mau bertahan sama penjahat kelamin itu apa nggak!”
“Nay!”
“Mama ikut apa nggak?” bentaknya sadis melupakan adab anak pada orangtua.
“Mama—“
“Nggak bisa kan?” Sesaat Nayara menunggu respons Lily. “Ya sudah. Nay pergi, Ma.”
Lily berusaha menahan Nayara, tapi Nayara mengibas kasar tangan ibunya.
Jaya hanya melihat keributan itu dari ruang tengah sambil meneguk sekaleng softdrink sambil berdiri. Punggungnya bersandar di dinding dengan sebelah tangan tenggelam di saku celana.
Merasa tahu usahanya tidak akan berhasil, Lily menyerah. Membiarkan Nayara menarik koper, menjinjing travel bag, mencangklong backpack, menyelempangkan sling bag, melewati pintu dan gerbang, membelah malam lalu hilang dari pandangan ibunya.***
Bersambung
Hai... gimana part ini? Mengentak? Kalau suka, ditunggu komennya ya. Sekalian love & subsnya juga. Biar langsung update. Thx 😘
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu