Home / Romansa / Patah / 2. Penghilang Emosi

Share

2. Penghilang Emosi

last update Last Updated: 2021-07-24 09:02:53

DI sinilah dia sekarang, di sebuah hotel bintang lima yang pertama dia lihat dari dalam taksi. Tidur telentang menatap marah langit-langit kamar. Berkali-kali dia memukul ranjang empuk tak bersalah denga tangan terkepal. Jengah sendirian menahan emosi, dia menyambar ponsel. Mencari satu nama teman, lalu menelepon nama itu. Suara ingar-bingar entakan musik menyambutnya. Membuat Nayara bersemangat, langsung duduk bersila di ranjang.

“Woy, di menong?” tanyanya sambil berteriak.

“Tempat biasa. Lu ke sini ya.” Temannya balas berteriak dari seberang sana.

“Biasa yang mana, Nyong. Pangkalan lu banyak.”

“High Five.”

“Oke, gue ke sana sekarang.” Dia langsung melesat dengan hanya menyambar sling bag.

Tempat yang dia tuju adalah hiburan malam yang biasa dijadikan tempat mereka—dia dan teman-temannya—mencari hiburan. Dia sering ke tempat semacam ini. Baru mendekati lokasi saja adrenalinnya terasa melonjak. Dan ketika dia masuk disambut entakan musik, dia merasa inilah dunianya. Tak perlu lama mencari teman-temannya, dia tahu di mana mereka berkumpul di tiap tempat langganan mereka.

Melihat Nayara berusaha melewati tubuh-tubuh liat yang bergerak acak, tujuh tangan melambai bersemangat memanggil Nayara. Membuat Nayara mempercepat langkah meski itu berarti dia harus menerobos tubuh-tubuh orang lain.

Sebuah kursi sudah disiapkan untuknya. Nayara langsung membanting bokongnya ke kursi itu.

“Senep amat tu muka. Butuh setrika?” Seorang dari mereka menyambutnya.

“Biasa deh. Bonyok bkin ulah.” Nayara mendengus kesal.

“Kan sudah biasa, kenapa harus dipikirin lagi?”

“Kali ini luar biasa. Gue kabur dari rumah.”

“Hah? Gimana ceritanya?”

“Sudah ah.” Nayara melambai mengusir angin, “Gue suntuk, nggak mau bahas itu.”

“Oke, Darla…” Seorang teman yang lain langsung memeluknya dari belakang. “Minum dulu,” dia langsung menempelkan gelas cocktail di depan bibir Nayara membuat Nayara memundurkan kepala, menjauhi gelas itu. “Minum, biar tenang.” Dia masih memaksa sambil terbahak diiringi tawa lepas temannya yang lain.

Tangan Nayara melambai ke arah pelayan yang lalu lalang. “Soju leci.”

Pesanan itu membuat semua temannya terbahak makin keras.

“Nay, malu sama umur. Masa masih minum soju sih. Coba ini dong.” Lagi-lagi gelas cocktail mendekat ke bibirnya.

“Sumpah, gue nggak sanggup hang over.”

“Lu harus latihan. Naikin dikit-dikit lah. Kalau soju terus kapan naiknya.”

Pesanannya datang dan dia langsung menyesap minuman itu. Aroma dan manis leci menggoda lidahnya. Dan kandungan alkohol di dalamnya tetap membuatnya sadar meski agak melayang. Isi gelasnya belum kosong ketika ada yang menarik tangannya.

“Turun yuk,” ajaknya sambil terus menarik tangan Nayara.

Nayara menyesap santai sojunya. “Duluan gih, gue habisin ini dulu.”

“Oke.”

Dia sendirian sekarang mengisi meja itu. Diam melihat gerakan liar teman dan semua isi ruang, dia tak sadar ketika seorang lelaki mendekat.

“Turun yuk,” ajak lelaki itu.

Seorang lelaki muda dengan tampilan menggoda dan tatapan mengundang langsung duduk di sampingnya.

Dan tanpa berpikir panjang, Nayara menandaskan isi gelas dengan satu tegukan lalu membanting gelasnya ke meja.

“Ayo.” Dia langsung berdiri dan lelaki itu langsung merangkulkan tangan ke bahunya. Lalu berdua mereka menikmati musik dengan caranya. Bergerak liar terbahak dan bergembira. Alhokol dalam tubuhnya memang rendah, tapi untuk Nayara yang rendah itu sudah membuatnya agak melayang.

Agak melayang saja. Dia masih sepenuhnya sadar ketika lelaki itu makin berani dengan tubuhnya. Tangannya tak hanya melekat di bahu atau di pinggul Nayara tapi berusaha menggapai bagian yang lain yang lebih pribadi. Gerakan tubuhnya pun mendekat dan mengundang. Awalnya Nayara memaklumi, ini memang tempat manusia-manusia liar yang bebas di alamnya. Tapi ketika gerakan itu makin tak sopan, dia semakin jengah. Dan ketika tangan lelaki itu jelas meraba bokongnya, Nayara tidak bisa diam lagi.

PLAK.

Sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki yang langsung berjengit terkejut. Lebih terkejut lagi ketika Nayara meninggalkannya sendirian di tengah lantai. Nayara langsung kembali ke meja. Tatapannya sempat melihat tajam dan marah ke arah lelaki itu. Tapi yang ditatap hanya mengedikkan bahu lalu pergi. Mungkin mencari mangsa baru. Hal seperti itu biasa saja. Mereka hanya saling menebar jala. Jika ada yang terjerat, selanjutnya terserah mereka. Jika ada yang tidak setuju, semua bisa saja terjadi termasuk penolakan ala Nayara tadi. Kejadian itu tidak menjadi adegan serius yang bisa mengalihkan perhatian yang lain. Semua tetap bersemangat bergerak. Hanya satu dua orang yang menoleh ke sumber suara tamparan, tak lama, mereka kembali ke pasangan masing-masing, melanjutkan hidupnya sendiri.

Melihat kejadian itu, teman-temannya langsung mendatangi Nayara.

“Kenapa, Nay?”

“Biasa lah. Tangannya terlalu aktif. Dikasih semeter minta sehektar.”

Seluruh temannya terbahak. Masing-masing mereka sudah menemukan pasangannya.  Meski beberapa dari mereka baru saling kenal, tapi mereka sudah santai saling melekatkan tubuh.

“Orang baru tuh. Dia nggak kenal lu, Nay. Perawan High Five.” Ucapan dari salah satu temannya itu berhadiah toyoran sadis di dahinya dari Nayara.

“Nay, lu susah dapat cowok bener di tempat kayak gini. Lu cari di masjid sana.” Temannya yang lain ikut menanggapi.

“Gue nggak cari cowok woy. Gue cuma mau senang-senang. Eh, tu cowok mikir yang lain kali.”

“Lah cowok mah lihat cewek enak aja diajak turun ya mikirnya nggak jauh-jauh dari selangkangan buat ganti oli. Itu senang-senang ala cowok dan cewek. Tapi lu kan bukan salah satu dari gender itu. Lu kan Nayara.”

“Ck.” Nayara berdecak.

Yang lain terbahak.

“Perawan expert. Perawan High Five.” Seorang menepuk keras bahu Nayara.

“Sampai kapan tu segel mau dilepas? Gue kepo pengin tau cowok kayak apa yang bisa nembus lu.” Teman yang lain bersuara.

“Apaan sih!” Nayara makin jengkel. “Gue nggak butuh.”

“Lu belum rasain aja nikmatnya, Darla. Kalau sudah, lu bakal ketagihan dan bisa aja nyamber sembarang tongkat.”

“Kalau nggak ada, dildo pun jadi,” sambar yang lain.

Koor tertawa kembali terdengar. Mereka memang sering mengganggu Nayara dengan prinsipnya ini. Mereka menganggap Nayara terlalu kolot untuk ukuran mausia milenial. Nayara terlambat lahir satu abad.

Yang mereka tidak tahu adalah alasan kenapa Nayara seperti anti pada lelaki. Mereka memang temannya, tapi teman untuk bersenang-senang saja. Nayara tidak menceritakan semuanya. Yang mereka tahu hanya lapisan luar saja. Di dalam diri Nayara, apa pun itu, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu. Nayara menyimpannya rapat. Dia menunggu seorang sahabat yang bisa menjadi tempatnya bercerita tentang gejolak jiwanya.

Jiwa yang tadi gelisah dan marah ternyata tidak menemukan ketenangan di tempat seramai ini. Membuat Nayara jengah.

“Gue cabut dulu ya.” Dia langsung berdiri.

“Lha, bentar amat. Lu tuh ke club, bukan ke toilet.”

“Gue ngantuk. Dagh.”

“Ya sudah, nanti gue yang traktir.”

Nayara melambai berterima kasih lalu pergi.

***

Kembali ke hotel, dia kembali melamun.

Now what?

Haruskah dia menyesali keputusan spontannya pergi dari rumah?

Bagaimana besok?

Pergi dari rumah berarti hidup sendiri dan itu berarti tidak boleh ada uang papa Jaya—Satria Jayantaka, abangnya—yang dia pakai. Bukankah selama ini dia membenci Mama yang tidak bisa lepas dari jerat suaminya hanya karena meteri?

Dia tidak mau menjadi seperti mamanya.

Dia harus bisa membuktikan dirinya bisa hidup tanpa uang dari papa Jaya

Bah!

Bahkan menyebutnya sebagai papanya sendiri pun dia enggan. Dia selalu menyebut Harsa dengan frasa itu, papa Jaya, papanya Jaya.

Alkohol yang dia minum memang berkadar rendah, dan itu membuat dia bisa tetap sadar memikirkan masa depannya di malam pertama dia memutuskna meninggalkan rumah papa Jaya.

Meninggalkan rumah berarti melepas kemewahan limpahan materi dari papa Jaya. Alangkah lucunya jika dia tetap menikmati harta papa Jaya sementara dia sudah keluar dari rumah itu tanpa izin.

Berarti tidak akan ada lagi kemewahan.

Menyadari itu, dia melayangkan pandangan ke seluruh ruang. Kamar mewah ini… harganya permalamnya bisa berarti makan berapa lama? Dia tidak tahu. Tapi dia yakin, harga kamar ini bisa ditukar ransum makan berhari-hari. Bahkan mungkin lebih lama jika dia bisa super berhemat. Dan bagaimana caranya berhemat jika seumur hidup dia tidak tahu bahwa kata itu diciptakan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Haruskah dia menyesali keputusannya? Lalu menggeret lagi kopernya melewati pintu rumah papa Jaya. Mendengar lagi suara-suara saling berteriak tak terkendali. Melihat lagi mamanya menangis seperti keledai bodoh yang jatuh berkali-kali di lubang yang sama. Merasai lagi atmosfer rumah yang penuh kehampaan dan terisi kekosongan. Hidup bersama dengan orang yang disebut keluarga dalam bangunan yang sama yang disebut rumah tapi saling abai nyaris tak mengenal satu sama lain.

Hidup yang seperti itu?

Kembali ke hidup yang seperti itu?

Sampai kapan?

Hah!

Mengingat itu, Nayara menegaskan hati. Itu tidak akan dia lakukan. Dia tidak akan kembali ke rumah dengan semua kemewahan yang ditawarkan papa Jaya. Dia lebih memilih berhemat  sampai titik darah penghabisan daripada kembali ke neraka itu.

Lelah badan dan lelah berpikir dan merasai, Nayara jatuh tertidur saat menjelang pagi.

***

Bersambung

Author’s note

Ahayyy… ternyata Nayara anak ajeb-ajeb ya. Cerita ini masih panjang. Masih mau anteng di sini kan? Ditunggu komennya ya. Semangatin Emak dong, jangan Nayara aja disemangatin. Love, subscribe, dan follows biar Bang Notif segera sampai di ponsel kalian.

Thx & happy reading. 😍😍😘😘

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yozi Vionita
Bgusss bAnget cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Patah   118, Di Hari yang Sama

    MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal

  • Patah   117, Siang Pertama [17+]

    DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere

  • Patah   116, Jobless

    NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.

  • Patah   115, The Truth

    MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin

  • Patah   114, Permintaan Manggala

    DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay

  • Patah   113, Hadiah Dari Mama

    “APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status