Share

Pawang Cinta Presdir Misterius
Pawang Cinta Presdir Misterius
Author: Haryulinda

1. Terjebak Pilihan

Seorang wanita tengah terduduk lesu di pinggir trotoar. Sebuah map berwarna merah yang dipegang adalah penyebabnya. Di dalam map itu terdapat pernyataan yang mengharuskan dirinya mengambil sebuah pilihan yang sulit yaitu mempertaruhkan nyawa ayahnya.

"Tidak ada pilihan lain, aku harus melakukan sesuatu!" gerutu wanita itu sembari beranjak dari pinggir trotoar. Langkah kakinya menuntun ke sebuah tempat. Ia tidak peduli dengan teriknya sinar matahari yang membakar kulit.

Tempat yang dituju yaitu sebuah cafe yang tak jauh dari trotoar tersebut. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tempat.

Ketika membuka pintu, wanita itu sudah disambut tatapan sinis.

"Ada apa kau kemari, Erin? Aku sudah tidak bisa memberimu uang lagi!" Seorang wanita paruh baya berkata dengan nada ketus.

"Tante Desi... aku mohon ... beri aku pinjaman uang lagi. Aku janji akan membayar semua hutangku." Erin meraih tangan tantenya seraya menatap penuh harap menginginkan kebaikan hati tantenya.

"Tidak bisa! Bayar semua hutangmu dengan lunas dulu! Baru kau bisa berhutang lagi padaku!" Tante Desi melepaskan tangan Erin dengan kasar, lalu mendorong Erin keluar dari cafe.

"Tante ... Erin mohon ... beri kesempatan lagi ...." Erin bersujud di kedua kaki tante Desi.

Tante Desi nampak panik dengan apa yang dilakukan Erin, karena ada pelanggan yang menatap ke arah mereka.

"Ikut, Tante!" Tante Desi membungkuk sembari membantu Erin berdiri dari posisinya.

Erin hanya mengangguk. Ia kemudian mengikuti tante Desi. Erin merasa ada sebuah harapan baru baginya. Ternyata tante Desi masih memiliki kebaikan dalam hatinya.

Saat ini Erin telah berada di ruangan tante Desi. Wajah murungnya berubah menjadi berseri-seri.

Tanpa ada perkataan apapun, tante Desi mengeluarkan sebuah berkas. Berkas itu diserahkan pada Erin.

"Ini apa, Tante?"

"Baca saja!"

Erin membaca setiap kalimat yang ada di dalam berkas yang diserahkan oleh Tante Desi. Seketika Erin membelalakkan mata melihat rincian hutang yang ada di sana. Ia tidak menyangka jika selama ini ia mengangsur beberapa hutangnya, tidak membuat hutangnya berkurang. Ternyata tante Desi sudah memberikan bunga yang besar setiap bulan.

"I ... ini ... maksudnya apa, Tante?" Erin menunjuk pada sebuah kalimat yang janggal yang ada di dalam berkas.

"Apa kau tidak bisa membaca? Di sana sudah tertulis jelas, kalau kau ingin berhutang lagi sebelum membayar hutang sebelumnya, berarti kau harus menjadi wanita penghibur di club malamku, sampai semua hutangmu lunas!"

Erin meneguk ludahnya susah payah. Ternyata ia tidak salah membaca kalimat yang tertera di dalam berkas itu.

"Cepat tanda tangani!" Tante Desi memberikan pulpen pada Erin.

Erin hanya termenung menerima pulpen dari tante Desi. Pikirannya kacau. Memang setelah menandatangani berkas itu, nyawa ayahnya bisa terselamatkan. Namun, di sisi lain, harga diri Erin harus dikorbankan.

“Cepat tanda tangan! Kau mau membayar dengan tubuhmu, atau membiarkan ayahmu mati?”

Bukannya tanda tangan, Erin justru kabur dari hadapan tante Desi.

“Sialan kau! Jangan kabur!” teriak tante Desi.

Erin berlari keluar dari cafe. Ia harus menyelamatkan diri sebelum menentukan pilihan.

Usai merasa cukup jauh dari cafe, Erin berjalan tanpa tujuan. Tatapannya berubah kosong ketika memandangi map yang diberikan tante Erin.

Dug!

"Aw!"

Kaki Erin tak sengaja tersandung kursi yang ada di pinggir taman kota. Ia kemudian tersadar dari lamunannya.

"Astaga ... aku ternyata sudah ada di sini." Erin menatap sekeliling.

Kini Erin duduk di kursi yang tak sengaja ditabraknya. Erin menundukkan kepala sembari mengembuskan napas berat. Sesekali Erin meremas berkas yang ada di tangannya sejak tadi.

Perlahan air mata Erin terjatuh di pipinya. Ia sudah tak kuasa menahan rasa sedihnya. Bayangan ayahnya yang tengah terbaring koma selama bertahun-tahun yang membutuhkan pertolongannya untuk tetap hidup, bercampur aduk dengan harga diri yang harus dipertaruhkan.

Erin bisa saja mengorbankan harga dirinya demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun ia tidak ingin memberi luka lain pada ayahnya jika terbangun nanti. Erin tidak ingin ayahnya terbebani dengan kenyataan pahit.

Tak ingin menjadi pusat perhatian orang lain lebih lama, Erin menghapus air matanya dengan kasar. Ia sudah memikirkan jalan terakhir yang mungkin bisa memberi harapan.

Erin beranjak dari kursi. “Ya Tuhan … aku mohon … ubahlah hati ibuku untuk bisa membantuku,” ucap Erin sembari menatap langit. Usai melakukan permohonan, Erin menelepon ibunya. Sayangnya panggilan langsung ditolak oleh sang ibu. Detik berikutnya muncul pesan dari sang ibu yang berisi akan melaporkan Erin ke polisi kalau mengganggu kembali.

'Kemana lagi aku harus meminjam uang? Ibuku bahkan sudah tidak peduli lagi padaku. Pasti ibu lebih senang melihat ayah mati,' batin Erin. Hanya embusan napas pasrah yang dikeluarkan oleh Erin. Rasa Frustrasinya semakin menumpuk. Kepala Erin rasanya ingin pecah. Air mata Erin menetes kembali ketika mengingat kenangan bersama sang ayah. Tidak sanggup rasanya Erin harus membiarkan ayahnya pergi dengan cepat.

"Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mencari cara lagi," ucap Erin meyakinkan diri. Ia kemudian berjalan kembali.

Bugh!

Erin bertabrakan dengan seseorang. Tanpa melihat keadaan orang yang ditabraknya, Erin segera menunduk dan meminta maaf berkali-kali.

Tak ada respon dari seseorang yang ada di depannya. Hal itu membuat Erin menatap orang tersebut.

“Ikut denganku!” Seseorang itu menarik lengan Erin.

“Siapa kau?” tanya Erin sembari mencoba melepaskan diri.

Seseorang yang menarik Erin adalah seorang pria. Namun Erin tak mengenalnya. Perasaan Erin semakin tidak enak. Erin mencoba melepaskan diri tak bisa terlepas, karena cengkeraman tangan pria itu cukup kuat.

Pikiran Erin tertuju pada tante Desi. Mungkin orang yang di depan Erin adalah orang suruhan tante Desi untuk menangkapnya.

Erin menatap sekeliling. Ia melihat dari kejauhan terdapat orang yang sedang berkumpul di area perumahan ibunya.

“Tolooooongg! Toloooongg!” teriak Erin dengan cukup keras.

Pria yang menarik Erin nampak panik ketika melihat orang yang mendengar teriakan Erin menatap ke arahnya.

Erin mengambil kesempatan yang ada di depan matanya. Ia segera melepaskan tangannya dari cengkeraman pria itu.

Usaha Erin berhasil. Ia terlepas dan segera berlari menjauh, tanpa menoleh ke belakang. Pedoman Erin hanya suara hentakan kaki dari pria yang menariknya tadi.

‘Aku harus kabur! Tuhan ... aku mohon ... selamatkan aku,’ batin Erin di sela-sela berlari. Ia kemudian mencari jalan yang bisa membawanya ke jalan raya.

“Hey bocah! Tunggu!” teriak pria yang mengejarnya.

Erin tak mempedulikan panggilan pria itu. Ia semakin mempercepat kecepatan larinya. Ketika melihat dirinya akan sampai di ujung perumahan, Erin berbelok ke arah kanan. Beruntung dirinya ingat di mana arah yang membawanya ke jalan raya.

Dug!

Erin tersandung. Ia langsung panik, lalu menoleh ke belakang. Pria yang mengejarnya tak jauh dari dirinya terjatuh. Tak ingin tertangkap, Erin langsung bangkit kembali. Kaki Erin juga tidak terluka parah atau terkilir, sehingga tidak membuat hambatan yang berarti.

‘Jika aku terus berjalan lurus, pasti akan mudah tertangkap. Lebih baik aku menyeberang jalan saja,’ yakin Erin. Mata Erin menatap ke arah zebra cross yang tak jauh darinya. Ia segera menambah kecepatan larinya.

Erin melihat tanda lampu hijau untuk menyeberang menyaja sejak pertama kali melihatnya. Ia segera berbelok ke kiri untuk menyeberang.

“Nona awas!” teriak beberapa orang yang melihat Erin menyeberang.

Erin terkejut ketika melihat ada mobil yang mengarah padanya. Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Bugh!

Erin terjatuh dengan mata tertutup. Ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Pria yang mengejar Erin bergegas pergi ketika melihat Erin tak muncul lagi saat mobil melaju ke hadapan Erin. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kecelakaan yang menimpa Erin.

“Nona! Nona! Anda tidak apa-apa?” ucap seorang pria yang mengemudi mobil mengguncang tubuh Erin.

Erin perlahan membuka matanya. Ia bersyukur jika masih hidup. Hanya rasa perih yang dirasakan Erin saat ini. Lulut dan lengannya tergores aspal.

"Maaf. Saya tadi tidak terlalu fokus. Mari saya antar ke rumah sakit." Pria yang mengemudikan mobil mengulurkan tangan pada Erin.

'Apakah aku harus ikut dengannya?' tanya Erin dalam batinnya yang masih ragu. Mata Erin menatap sekeliling mencari pria yang mengejarnya. Erin langsung panik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status