Share

3. Milikku

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 16:56:07

Ucapan dingin itu bagaikan palu godam yang menghantam Aveline.

((Bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam))

Napas gadis itu pun seketika tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sejenak, sebelum kembali memukul dinding dadanya dengan ritme irama yang kacau.

Aveline hanya bisa terdiam membeku untuk beberapa saat. Seolah tak percaya, dan tak sanggup mengerti dengan apa yang barusan saja ia dengar.

“... A-apa?” bisiknya pelan dan hampir tak terdengar. Kakinya yang gemetar pun refleks membawa langkah mundur yang goyah.

Tumit sepatunya berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap.

Manik birunya melebar dan bibirnya terbuka, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar.

Ia hanya bisa menatap Dominic dengan sorot tak percaya, bahwa pria itu baru saja menunjukkan wajah aslinya.

Wajah seorang yang terlalu tenang untuk disebut manusia biasa, setelah mengucapkan kalimat kejam yang tak pernah Aveline bayangkan akan keluar dari bibir sosok malaikat yang selama ini ia puja.

Sementara itu, Dominic masih tak bergerak. Ia hanya menatap Aveline dengan sorot gelap yang tetap tak terbaca.

Namun saat Aveline mundur lagi satu langkah, pria itu tiba-tiba bergerak maju.

Aveline kembali melangkah mundur, dan Dominic pun kembali maju dengan langkah lambat namun tegas, seperti predator yang sangat yakin jika mangsanya takkan bisa melarikan diri.

Aveline yang mulai merasa panik, terus melangkah mundur hingga punggungnya akhirnya membentur sesuatu yang keras dan dingin.

Aveline pun tahu ia telah terpojok dan tak lagi bisa bergerak karena tertahan oleh pintu yang tertutup rapat di belakangnya.

Gadis itu pun buru-buru mengulurkan tangannya untuk mencari gagang pintu, dan mencoba membukanya.

Tapi sayangnya, Dominic telah sampai di hadapannya sebelum Aveline melakukannya.

Hanya dalam sekejap, satu tangan pria itu telah terangkat dan menutup ruang antara mereka, serta sekaligus menahan pintu tepat di sisi kepala Aveline.

“Jangan coba-coba untuk kabur,” desisnya pelan, namun seperti sebuah bisikan dengan nada yang setajam pisau.

Aveline kini menahan napasnya. Tubuhnya semakin gemetar dalam kurungan tubuh Dominic, serta sorot manik coklat pria itu yang mengunci pandangannya.

Tatapan Dominic turun dari manik biru laut Aveline hingga ke hidungnya yang mancung, bibirnya yang tampak lembut dan rapuh, sekaligus menggiurkan.

Lalu kembali turun ke dagu lancipnya, lehernya yang putih dan jenjang.

Gadis ini memang memiliki wajah yang cukup cantik, serta tubuh yang sempurna. Tapi, sayangnya...

“Kenapa kamu mengenakan gaun lusuh seperti itu?” suara Dominic kembali terdengar, kali ini lebih tenang namun seolah menyiratkan sebuah teguran.

Matanya terus menelusuri sosok Aveline dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Bukankah aku mengirimkan cukup banyak uang setiap bulan? Apa tidak cukup untuk membeli pakaian yang pantas dan layak?”

Nada suara pria itu terdengar aneh. Bukan sekadar kecewa, tapi seolah menuntut. Menyudutkan.

Aveline pun menggigit bibir bawahnya. “A-aku... Aku masih menyimpan sisa uang dari Anda, Tuan. Aku tak pernah membelanjakan semuanya. Aku... tak ingin menyia-nyiakan sesuatu yang bukan milikku.” Gadis itu berucap dengan suara parau, namun ia tetap memaksakan diri untuk menjawab.

Mata coklat Dominic pun seketika menyipit. “Bukan milikmu?!”

Aveline mengangguk pelan, menelan ludahnya yang terasa seperti menelan sebutir batu. “Aku hanya... hanya menerimanya karena tak punya pilihan waktu itu. Tapi aku selalu berniat mengembalikannya."

Dominic kini semakin mencondongkan tubuhnya. Tangannya yang satu lagi kini ikut menyentuh pintu, dan mengurung Aveline sepenuhnya.

“Jangan membuatku kesal, Aveline. Aku tak pernah meminta pengembalian uang yang telah kuberikan padamu, bukan?” Ia menatap gadis itu lurus-lurus.

Tampak serius, namun tak terdengar emosi di dalamnya, dan justru itulah yang membuat Dominic terdengar sangat berbahaya.

Aveline memejamkan mata sejenak, tubuhnya semakin bergetar. “Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi, Tuan. Tolong... lepaskan aku...” bisiknya. “Aku tidak akan menyusahkan Anda lagi.”

Dominic menyeringai tipis, tapi tatapannya tak mencair sedikit pun. “Aku tidak bisa melepas apa yang sudah menjadi milikku, Aveline.”

Pernyataan itu membuat Aveline terkejut, dan merasakan kemarahan yang perlahan mendesak keluar dari dada.

Ia pun mengangkat wajahnya. Meski tatapan matanya masih gentar, tapi kini juga diwarnai oleh keberanian yang baru saja tumbuh.

“Aku memang berhutang budi dan sangat berterima kasih, tapi itu bukan berarti aku akan menjadi milik siapa pun, termasuk Anda, Tuan Dominic Wolfe!" Cetusnya pelan namun tegas.

Dominic tidak langsung menjawab. Hanya diam dan menatap Aveline dalam-dalam, seakan sedang mengingat setiap detail wajahnya.

Lalu masih tanpa senyum serta masih tanpa tanda-tanda emosi apa pun di wajahnya, pria itu kembali bersuara.

"Kesalahan terbesarmu adalah, ketika mengira bahwa kamu masih memiliki pilihan, Aveline.”

Perkataan dengan nada dingin itu membuat Aveline membeku dengan napas tercekat.

Dominic lalu kembali melanjutkan dengan suaranya yang tenang tapi menakutkan. “Kamu tahu, Aveline? Sejak awal aku tak pernah ingin menjadi tanpa nama. Aku bisa saja muncul sejak dulu, tapi aku memilih untuk menunggu, memperhatikan, dan mengawasi, hingga saatnya kamu telah siap untuk menjadi milikku. Bukan secara hukum atau pun secara formal, tapi secara utuh. Tubuhmu. Hatimu. Dan seluruh hidupmu.”

Aveline masih terdiam dengan benak yang kacau dan dipenuhi dengan ketakutan.

Seluruh huruf dalam setiap kata yang keluar dari bibir Dominic terdengar terlalu obsesif dan mengerikan baginya.

“Setiap langkahmu dan setiap keputusanmu, akulah yang memastikannya agar tetap berada di jalurnya. Kamu pikir beasiswa itu adalah kebetulan? Apartemen murah di lokasi elit itu adalah sebuah keberuntungan? Tidak.”

Wajah tampan pria itu kini semakin tampak lebih gelap, sebelum kembali berkata. “Aku yang mengatur semuanya, Aveline. Karena dari sejak awal, aku memang sudah memilihmu.”

Aveline memalingkan wajahnya dan berusaha menjauh, tapi dinding di belakangnya dan tubuh Dominic terlalu kokoh menghimpitnya.

“Dan sekarang,” bisik Dominic, begitu dekat hingga Aveline bisa merasakan napasnya di kulit lehernya. “Kamu tidak akan ke mana-mana, Aveline Rose.”

“Karena aku tidak pernah memilih sesuatu untuk dibiarkan pergi begitu saja.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bianca
jgn2 Dominic udah obsesif
goodnovel comment avatar
Lian Liliput
Yg namanya Dominic kyknya emang bikin ngeri yahh...🫣 penuh rahasia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pay Me With Your Body   130. Keluargaku, Keajaiban Dalam Hidupku (Tamat)

    SEPULUH TAHUN KEMUDIAN... Angin musim semi berhembus lembut di halaman luas sebuah mansion megah yang berdiri di tepian danau Michigan. Bangunan bergaya neoklasik dengan sentuhan modern itu berdiri kokoh, dikelilingi taman bunga yang selalu bermekaran sepanjang tahun karena perawatan ketat para gardener. Pilar-pilar putih menjulang gagah, sementara jendela kaca raksasa memantulkan cahaya matahari pagi. Burung-burung kecil beterbangan di udara, seolah ingin menambah kesempurnaan pagi itu. Mansion itu adalah rumah bagi Dominic dan Aveline. Setelah begitu banyak badai dan bahaya yang mereka lewati, siapa sangka takdir justru menghadiahkan mereka sesuatu yang nyaris mustahil. Yaitu sebuah keluarga kecil yang utuh. “Ayah! Ayah! Lihat, aku bisa lebih cepat daripada Henry!” teriak seorang bocah berusia delapan tahun, rambut pirangnya berantakan, kakinya berlari di atas rerumputan hijau. “Tidak bisa! Aku yang lebih cepat!” sahut adiknya yang berusia lima tahun, dengan ramb

  • Pay Me With Your Body   129. Cinta dan Pengorbanan

    Musik lembut dari orkestra masih mengalun ketika pintu ballroom terbuka kembali. Semua kepala menoleh sejenak, lalu muncul sosok perempuan anggun dengan gaun malam satin biru gelap. Rambut coklatnya ditata sederhana namun elegan, wajahnya bercahaya dengan keteduhan khas seorang ibu. Wanita itu adalah Elle Takahashi. Di kedua tangannya, masing-masing tergenggam erat dua anak kecil kembar. Akio di sisi kanan dan Ayaka di sisi kiri. Meski bukan anak kandungnya, jelas terpancar hanya kasih sayang murni di antara mereka. Mereka bertiga berjalan sambil berceloteh ringan. Tatapan polos kedua anak itu melirik ke segala arah, kagum dengan dekorasi pesta yang berkilauan. “Look, Ayaka,” bisik Akio sambil menunjuk langit-langit ballroom yang dipenuhi ribuan kristal cahaya. “Seperti bintang jatuh.” Ayaka terkekeh kecil. “Atau seperti istana putri!” Tawa kecil mereka terdengar jernih, membuat banyak tamu menoleh sambil tersenyum. Sementara itu, seorang babysitter berjalan d

  • Pay Me With Your Body   128. Pesta Pernikahan

    Malam itu, langit Chicago dihiasi gemerlap lampu kota yang seakan ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang telah melewati jalan berliku. Di sebuah ballroom megah di tepi Chicago Riverwalk, pesta pernikahan Dominic dan Aveline berlangsung dengan kemewahan yang elegan, sesuai janji yang pernah Dominic ucapkan sebelumnya. “Pernikahan di Portofino khusus untuk kita. Di kota yang kamu sukai, dan tempat kamu menari dengan bebas untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.” "Dan di Chicago, karena di sanalah seluruh hidupmu sebelumnya berada. Teman-temanmu. Kenangan masa kecilmu. Kalau kamu ingin mengundang siapa pun, entah itu teman kuliah, rekan penari, anak-anak panti asuhan bahkan teman sekolah di masa kecil sekalipun, maka lakukanlah, Little Dove." Ballroom itu dipenuhi kristal berkilauan, bunga mawar putih dan kuning yang melambangkan cinta abadi mereka, serta dentingan orkestra live yang memainkan alunan romantis. Gaun putih Aveline berkilau di bawah cahaya lampu gantung,

  • Pay Me With Your Body   127. Akhir Perjalanan

    Udara dingin dari perairan Danau Michigan menyapu dek kapal, ketika NORD meluncur perlahan mendekati garis kota Chicago. Siluet gedung-gedung pencakar langit menjulang, terpantul cahaya senja yang menguning keemasan. Riuh suara pelabuhan terdengar samar di kejauhan, namun Dominic memilih jalur yang berbeda. Ia sudah mempersiapkan sesuatu jauh sebelum kapal ini merapat. “Pelabuhan ini terlalu ramai,” gumannya seraya menatap layar navigasi. “Aku tidak ingin kamu berdesakan dengan orang asing setelah perjalanan panjang.” Aveline yang berdiri di sisinya, menoleh dengan senyum tipis. “Kamu selalu memikirkan segalanya dengan detail, ya?" Dominic hanya mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang namun penuh kendali. “Tentu saja. Aku tidak akan pernah setengah-setengah kalau menyangkut dirimu, Sayang.” Beberapa menit kemudian, terdengar suara deru baling-baling. Sebuah helikopter hitam elegan sudah menunggu di dek atas. Begitu NORD hampir mencapai batas pelabuhan, helikopter i

  • Pay Me With Your Body   126. Kembali Ke Chicago

    BEBERAPA HARI KEMUDIAN... Matahari sore merayap pelan ke ufuk barat, cahayanya redup keemasan menembus pepohonan cemara yang berjajar kaku di pemakaman keluarga Deveraux. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga lili putih yang ditaburkan di atas nisan marmer hitam. Di hadapan mereka terhampar dua makam yang berdampingan. Celeste, dan Lucien Deveraux. Aveline berdiri terpaku. Kedua tangannya saling menggenggam erat di dada, jari-jarinya pucat dan terjalin dalam posisi berdoa itu terlihat bergetar. Matanya menatap nisan itu tanpa berkedip, seolah berharap prasasti dingin itu akan runtuh dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Dominic berdiri di sampingnya dengan posisi sedikit di belakang, seolah memberi ruang bagi istrinya untuk menghadapi luka yang terlalu dalam, dan menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari hidupnya. “Ayah dan ibu…” bisik Aveline lirih. “Kalian berdua akhirnya bersama lagi. Meskipun seharusnya tidak dengan cara yang seperti ini

  • Pay Me With Your Body   125. Cinta Yang Tak Tergantikan

    Aveline terbangun dalam dekapan Dominic. Tubuhnya terasa begitu hangat, membuatnya mengira bahwa dirinya sudah mati dan kini berada di alam lain, dipertemukan kembali dengan suaminya yang lebih dulu tiada. “Dominic…?” bisiknya lirih dan serak bercampur isakan kecil. Ia menatap wajah pria itu yang begitu dekat dengannya. Mata coklat gelap dan dalam yang dirindukannya, garis rahang yang tegas, dan senyum tipis yang begitu nyata hingga terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "Apa aku sudah mati? Tapi aku tidak keberatan... jika akhirnya bisa bertemu denganmu lagi," ucap Aveline sendu dengan mata birunya yang berkaca-kaca. Dominic sempat tertegun. Sesungguhnya ia ingin segera meyakinkan istrinya bahwa ia masih ada di sini, hidup dan bernafas. Namun melihat sorot mata Aveline yang penuh keyakinan itu membuat Dominic diam-diam tersenyum nakal. Ia berniat menjahili istrinya. “Aku datang menjemputmu, sayang,” ucapnya pelan, penuh nada misteri. “Kita akan bersama di duni

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status