แชร์

4. Takdir

ผู้เขียน: Black Aurora
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-10 07:19:37

Aveline kembali mencoba memutar gagang pintu kamar mewah itu untuk kesekian kalinya, tapi hasilnya tetap sama.

Terkunci. Tak bergeming.

Ia memukulnya dengan kepalan tangan, menendangnya kuat dengan kaki telanjang, hingga akhirnya tubuhnya pun limbung karena lelah yang menyerang.

Sebelumnya, Dominic telah membopong tubuhnya dari ruang kerja ke dalam kamar ini dengan tiba-tiba, mengabaikan semua jeritan serta pukulan Aveline di tubuh pria itu.

Meskipun berusaha sekuat tenaga meronta-ronta, namun Aveline tetap saja tidak bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman Dominic, hingga akhirnya pria itu membawanya ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar tanpa berkata-kata.

Udara di dalam ruangan ini begitu hening, seolah ikut menikmati penderitaannya.

Padahal kamar ini terlalu indah untuk disebut sebagai kurungan.

Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap, dinding putih berlapis panel kayu mengkilat, karpet lembut yang mahal, dan ranjang berkanopi dengan tirai renda yang menjuntai anggun.

Tapi bagi Aveline, semuanya hanyalah sebuah ironi yang kejam.

Ruangan ini adalah sangkar emas yang luar biasa mewah, tapi tetap saja seperti penjara.

Ia telah mencoba segalanya. Mencongkel kunci jendela dengan gagang sisir perak, menyeret kursi ke arah jendela besar dan mencoba memecahkannya dengan vas bunga dari besi.

Tapi sayangnya tak ada yang berhasil. Kaca jendela itu terlalu tebal, membuat Aveline curiga jangan-jangan juga tembus peluru.

Ketika ia berteriak minta tolong, tak ada satu suara pun yang menjawabnya.

Dengan napas memburu dan tubuh yang mulai bergetar karena kelelahan, Aveline pun akhirnya terduduk di atas lantai.

Ia meremas rambutnya kalut . Takut, marah, bingung, semuanya menyerbu dalam satu waktu.

“Kenapa aku begitu bodoh… Kenapa aku begitu nekat ingin tahu siapa orang di balik semua donasi itu…” bisiknya lirih, dengan suara hampir tak terdengar di tengah keheningan yang menyakitkan.

Ia menengadah wajah menatap langit-langit, lalu menutup mata rapat-rapat saat bayangan pria itu muncul begitu jelas di kepalanya.

Dominic Wolfe.

Tatapan dingin pria itu ketika memandangi tubuhnya dengan tak senonoh sekaligus penuh penilaian, serta ucapannya…

((Kamu akan membayarnya dengan tubuhmu, Aveline))

Kalimat itu terasa menusuk lebih dalam dari pisau tajam.

Aveline merasa kotor. Seolah harga dirinya telah diremukkan hanya dalam sekejap.

Gadis itu pun kembali bangkit dengan tubuh yang gemetar hebat penuh amarah.

Ia menggedor pintu lagi, memukul dengan kedua tangan hingga kulitnya memerah. Ia menjerit, berteriak sampai suara seraknya berubah menjadi isakan tak bertenaga.

Hingga akhirnya tubuhnya tak sanggup lagi untuk menopang dan kembali jatuh tergelincir di atas lantai yang dingin.

Dan meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan karena ditinggalkan sendirian di tengah hutan.

***

Suara langkah pelan dan sentuhan di bahunya membuat Aveline terbangun.

Ia membuka mata dengan panik, serta deru napasnya yang cepat dan tersengal.

Di hadapannya telah berdiri tiga wanita berpakaian seragam berwarna gelap, dengan wajah mereka yang tanpa ekspresi dan dingin seperti batu.

Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka mulai mendekat.

“Apa yang kalian lakukan?” teriak Aveline parau.

Ia berusaha bangkit dan bergerak mundur, tapi belum sempat ia melakukan apa pun, tiba-tiba terdengar suara "klik" yang aneh.

Seketika Aveline menatap kakinya, dimana sumber suara itu berasal. Dan ia pun bergidik.

Borgol. Melingkar dingin di kedua pergelangan kakinya..

Aveline memandang benda logam itu dengan ngeri, dan tambah menggigil ketika melihat ketiga pelayan wanita itu yang semakin mendekat.

“Tidak! Jangan sentuh aku! Lepaskan!” jeritnya, namun Aveline pun tak berkutik ketika dua orang memegangi tubuhnya, sedangkan satu orang mengacungkan sebuah gunting besar, dan mulai menggunting pakaian Aveline dari atas ke bawah.

Seketika gaunnya terbelah dua, membuat Aveline semakin menjerit histeris. Namun tak satu pun dari ketiga wanita itu yang tampak terpengaruh.

Sisa harga dirinya telah tergerus dengan perlahan saat tubuhnya dibersihkan, lalu dipakaikan sebuah gaun malam berwarna merah gelap, dengan potongan dada yang rendah dan belahan tinggi di paha.

Kainnya mahal, lembut seperti sutra, dan jatuh mengikuti lekuk tubuhnya.

Aveline tak lagi melawan ketika dua wanita lain mulai menyisir rambutnya, membentuknya menjadi sanggul elegan, dan mengaplikasikan riasan tipis ke wajahnya.

Ia hanya diam, tak sanggup berpikir lagi.

***

Dengan borgol masih membelenggu kakinya, Aveline dibimbing untuk turun dari kamar.

Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi para pelayan itu terus memeganginya dengan tenang, seolah dirinya adalah seorang putri.

Putri tawanan, alih-alih putri raja.

Mula-mula Aveline tak mengerti ke mana mereka membawanya, sampai akhirnya mereka melewati pintu besar di lantai dasar Mansion dan...

... sebuah helikopter hitam mewah telah menunggu di halaman depan.

Udara sore menerpa wajahnya, namun itu tak cukup untuk meredakan debar yang terus memenuhi dadanya.

Aveline pun dibimbing oleh pelayan saat memasuki helikopter.

Ia nyaris terjatuh saat menaiki tangga menuju kabin karena langkah canggungnya dengan borgol kaki, namun untung saja para pelayan bergerak sigap menahannya.

Dan di dalam helikopter... Aveline melihat Dominic.

Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna dan terlihat mahal, duduk tenang dengan satu kaki disilangkan, serta tatapan matanya yang langsung tajam menghujam pada Aveline.

Sorot dinginnya mengitari tubuh wanita itu dengan ekspresi puas.

“Sekarang penampilanmu tampak jauh lebih pantas untuk menjadi milikku,” cetusnya ringan. Seolah kalimat itu bukan penghinaan, tapi adalah pujian.

Aveline menatapnya dengan wajahnya memerah karena amarah dan rasa malu. “Kenapa Anda memborgolku? Apa ini sebuah lelucon sadis?!”

Dominic menoleh pelan, sorot matanya penuh ancaman namun tetap tenang. “Bukan lelucon, Aveline. Aku hanya memperlakukanmu dengan selayaknya seseorang yang tidak tahu batasan. Jika kamu ingin kebebasan, maka kamu harus belajar satu hal yang penting, yaitu PATUH.”

Dan helikopter pun mulai mengudara membawa mereka pergi dari Mansion, serta dari satu-satunya harapan Aveline untuk melarikan diri.

Angin menerpa wajahnya dari jendela kecil di sisi kabin, dan saat itu juga Aveline pun tersadar…

Bahwa ia sedang dibawa menuju takdir yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
Prita Anindya
wah dibawa kemana Aveline
goodnovel comment avatar
Lian Liliput
langsung dibawa ke yacht nihh ... ckckck
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Pay Me With Your Body   65. Seindah Cinta, Segelap Rahasia

    Langit Portofino di hari menjelang siang itu berwarna biru pucat, dan jalanan kota tua yang sempit penuh kelok itu seperti lukisan klasik yang hidup. Di balik kemudi mobil sport hitam matte miliknya, Dominic Wolfe tampak begitu tenang. Namun tetap saja ia tak pernah benar-benar bisa untuk tidak melirik wanita cantik di sampingnya.Dengan hanya satu tangan yang cekatan di atas setir, tangan lain pria itu pun menggenggam jemari Aveline dengan erat, seolah gadis itu akan menghilang seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata jika ia melepasnya.Lalu Dominic sedikit menunduk untuk mengecup punggung tangan Aveline dengan lembut."Aku ingin seperti ini selamanya," gumannya tanpa menoleh dengan suara dalam dan rendah. "Kamu ada di sini, dan tanganku tidak perlu mencari, karena kamu selalu bisa kugenggam."Aveline tertawa kecil. Ia lalu membalikkan telapak tangannya agar bisa menyentuh jemari Dominic lebih erat. Matanya menatap profil tampan pria itu yang tetap fokus pada jalanan, n

  • Pay Me With Your Body   64. Sepasang Mata Di Dalam Kegelapan

    Langkah Dominic memasuki galeri seni kecil di ujung distrik Portofino ibarat badai yang tenang tapi mendebarkan. Setelan gelapnya menyatu dengan aura kuat yang membuat orang-orang secara refleks menyingkir dari jalannya. Beberapa wanita yang sedang menatap lukisan di sisi kanan pun spontan menoleh, mengikuti sosok tinggi dengan rahang tegas serta sorot mata tajam itu dengan kagum. Namun Dominic tak mempedulikannya, karena matanya hanya mencari satu sosok. Aveline. Dan saat ia menemukan gadis itu berdiri manis di depan lukisan, seraya berbincang hangat dengan pria paruh baya yang tampaknya kurator galeri ini, Dominic pun langsung merasa dadanya terasa kaku karena cemburu. “Little Dove,” suaranya terdengar rendah dan dalam, membuat Aveline menoleh cepat. “Astaga, Dominic. Kamu~” Sebelum sempat Aveline menyelesaikan kalimat, tubuhnya tiba-tiba ditarik pelan ke dalam pelukan hangat Dominic, yang langsung mencium mesra bibirnya di hadapan si pria tua berkacamata itu. Ciuma

  • Pay Me With Your Body   63. Lukisan Lain

    “Kecelakaan itu tidak wajar,” ujar Clarissa, nada suaranya dingin menusuk. “Dan menurutku… satu-satunya orang yang diuntungkan dari kematian Serena adalah kamu.” Serta-merta Dominic pun berdiri tegak dari kursinya dengan sorot dingin yang terpancar kuat dari matanya. “Itu tuduhan yang sangat serius, Clarissa,” balasnya dengan suara dalam. “Dan kamu seharusnya tidak melontarkan kalimat seperti itu tanpa bukti apa pun.” Clarissa pun menyilangkan tangan di dada. “Kalau kamu tidak bersalah, kenapa kamu memalsukan dokumen penerima donor? Kenapa kamu berusaha mengubur nama Aveline Rose dari catatan rumah sakit?” “Karena aku ingin melindunginya,” Dominic menjawab mantap. “Bukan karena aku membunuh Serena.” “Lucu,” guman Clarissa sinis. “Sebab Serena tewas tepat di hari dia tahu tentang Aveline. Dia tahu kamu mencintai gadis itu. Dan tak lama setelah itu, bam! Mobilnya pun hancur di tikungan, tanpa saksi, tanpa jejak.” Dominic menggeleng pelan. “Kamu boleh menuduh apa saja. Tapi

  • Pay Me With Your Body   62. Kebenaran Yang Terpendam

    Satu jam kemudian, ruang tamu pribadi di sisi timur Mansion Wolfe telah disiapkan dengan rapi. Langit Portofino kini berangsur mendung, seolah ikut merasakan beratnya atmosfer yang akan menyelimuti pertemuan itu. Dominic berdiri di dekat jendela besar, matanya menatap kosong ke taman yang mulai diterpa angin. Suasana sunyi di dalam ruangan itu membuat segalanya seolah membeku, hingga kemudian terdengar suara langkah sepatu berhak tinggi yang memecah keheningan. Clarissa Blaine masuk dengan langkah tegas dan aura dingin yang menggantung kuat di udara. Ia tampak anggun, namun kaku dalam balutan mantel wol panjang berwarna abu, Rambut hitamnya yang agak pendek diikat rapi ke belakang. Dan sorot matanya… seperti menyimpan dendam. “Clarissa,” sapa Dominic singkat. Ia berbalik dan mengamati wanita itu dengan tatapan tenang tapi penuh kewaspadaan. “Terima kasih untuk berkunjung jauh-jauh ke Portofino. Kukira kamu akan selalu menghindari namaku.” Clarissa tak menjawab sap

  • Pay Me With Your Body   61. Dua Kota Yang Berbeda, Satu Janji Yang Sama

    Pagi di Portofino masih menyisakan kabut tipis yang menari pelan di antara cahaya matahari. Dari balkon lantai dua Mansion Wolfe, aroma laut berpadu dengan keharuman mawar kuning yang merekah sempurna. Seolah seluruh dunia telah berkonspirasi untuk menciptakan satu pagi yang tak mungkin dilupakan. Aveline duduk santai dengan kaki terlipat naik di atas kursinya, mengenakan gaun tidur sutra berwarna peach pucat yang membelai kulitnya setiap kali angin laut datang menyapa. Di tangannya, secangkir teh melati mengepulkan uap yang lembut Jemarinya yang lentik sejak tadi memutar-mutar pelan sebuah cincin mewah yang melingkar di jari manisnya. Senyum lembut menghiasi bibirnya, seolah ia belum sepenuhnya percaya bahwa semua ini sungguh nyata. Dominic duduk di hadapannya, mengenakan setelan kasual berwarna putih gading. Seperti biasanya, pandangan pria itu sejak tadi tak pernah lepas dan berkedip sedetik pun dari wajah Aveline. Setiap gerakan kecil gadis itu, setiap kerut

  • Pay Me With Your Body   60. The Proposal

    Setelah menutup telepon dari Edgar, Dominic segera menekan nomor pribadi lain yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya. “Samuel,” ucapnya cepat, saat panggilan itu telah diangkat. “Siap, Tuan Wolfe,” jawab suara berat dari seberang. “Aku butuh bantuanmu sekarang juga. Bawakan mobil ke rumah kaca, dan setelah itu kamu segera kembalilah lagi ke Mansion dengan membawa kudaku. Tambatan talinya masih ada di sisi timur rumah kaca.” “Baik. Dimengerti, Tuan.” Dominic menutup telepon dengan satu tarikan napas berat. Matanya kembali menatap pintu kaca bening tempat Aveline masih tertidur di dalam sana. Gadis itu tak tahu apa pun. Tentang Serena. Tentang transplantasi. Tentang Clarissa Blaine. Dan ia ingin menjaga semua itu sebaik mungkin, selama ia masih bisa. Dominic masuk kembali ke dalam rumah kaca, dan sejenak terdiam di depan sosok cantik yang tertidur lelap di atas sofa panjang, hanya diselimuti oleh kaus polo-nya yang terlalu besar untuk tubuh mungil Aveline. “

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status