Malam di Chicago menyelimuti kota dengan gemerlap lampu yang tak pernah tidur. Di dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang melaju di jalanan pusat kota, Dominic Wolfe duduk dengan tenang. Satu tangannya menggenggam kemudi, sementara yang lain memutar pelan cincin pertunangan di jarinya. Lalu tiba-tiba telepon genggamnya bergetar pelan. Saat ia melirik ke layar, nama Serena yang muncul di sana. Dominic tersenyum tipis sebelum mengangkat. "Dominic?" suara Serena terdengar lembut di ujung sana. "Ya, Serena." "Kamu sedang dalam perjalanan pulang?" "Hm. Baru saja keluar dari kantor." Serena tertawa kecil. "Aku tidak sabar untuk besok. Akhirnya aku akan resmi menjadi istrimu." "Aku juga," jawab Dominic, suaranya tenang namun tak sepenuhnya yakin. Lalu mereka berbincang sebentar, tentang bunga, tamu, tempat pernikahan, dan harapan-harapan. Ketika telepon ditutup, Dominic pun menghela napas panjang. Bukan karena Serena, karena wanita itu sangat baik, cerdas, dan
Semilir angin malam merambat dingin di sepanjang jembatan DuSable, atau yang dulu dikenal sebagai Michigan Avenue Bridge, yang membentang di atas sungai Chicago yang deras. Lampu-lampu kota memantul gemerlap di permukaan air, menciptakan pendar samar yang menawan. Namun keindahan malam ini tak mampu meredam badai emosi yang melanda hati Aveline. Waktu menunjukkan hampir tengah malam, saat sebuah taksi berhenti di tepian jembatan. Aveline pun turun dengan langkah goyah dan berjalan gontai. Kostum balet putih dan sepatu merah mudanya masih dipeluk erat di dada, seperti kenangan yang menumpuk berat dan memeluk tubuhnya. Matanya sembab dengan air mata yang mengalir deras membasahi pipi pucatnya. Hawa malam ini sangat dingin seolah mampu meresap ke dalam tulang, ikut menegaskan sebuah keputus-asaan. Angin yang berhembus pun seakan membawa aroma sungai yang pedih dan menyesakkan dada. Dan di antara semua gemuruh emosi itu, satu suara kecil di dalam diri Aveline terus
Seminggu telah berlalu sejak Aveline Rose berada di rumah sakit. Kini, sinar matahari lembut yang menyelinap dari balik jendela menyinari wajahnya yang mulai bersemu warna. Kesehatannya mengalami peningkatan yang menggembirakan. Meskipun jantungnya masih lemah, tapi mulai merespon dengan baik pada pengobatan intensif dan istirahat penuh. Dokter Mia Caldwell, kardiolog yang menangani Aveline, akhirnya memperbolehkannya pulang. Namun tentu saja dengan syarat, berobat jalan harus tetap dilakukan tiga hari sekali tanpa absen. Kini Aveline duduk diam di kursi roda di kamar rawat VIP yang akan ia tinggalkan. Rambut pirangnya diikat longgar ke belakang, wajahnya terlihat bersih dan lebih segar, meski ada bekas kelelahan yang belum sepenuhnya hilang. Ia memandangi layar televisi yang menyala di dinding seberang ruangan, tapi matanya tak sungguh-sungguh melihat. Tatapannya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Mama Corrine yang sejak pagi sibuk berkemas dan memastik
Seluruh dinding kamar rawat VIP yang berlapis panel kayu maple itu terasa hangat dan harum, sangat berbeda dari dingin serta gemerisik di ruang ICU. Seseorang mulai menyibakkan tirai jendela dari kain linen warna krem, membiarkan cahaya pagi musim dingin Chicago terlihat menumpuk lembut di atas selimut tebal tempat Aveline berbaring. Gadis remaja itu pun perlahan mulai siuman. Pertama-tama ia mendengar suara desis mesin infus dan bip halus monitor portable, lalu menghirup sedikit aroma antiseptik yang dibungkam oleh seikat mawar kuning di vas kristal. Dan yang terakhir, ada rasa getir di tenggorokan. Kelopak matanya bergetar sebelum kemudian setengah terbuka. Melihat bayangan pertama yang terpatri adalah sosok perempuan setengah baya mengenakan gaun abu-abu sederhana, duduk di kursi samping ranjang dengan mata terpejam dan bibir bergerak merapal doa. “Ma… Mama Corrine?” Aveline berbisik serak. Mama Corrine menegakkan punggungnya, dan wajahnya langsung diselimuti ole
Tunggu. Apa yang barusan ia pikirkan? Sebuah ruang untuk dirinya?? Kening Dominic seketika mengernyit, ketika benaknya mengulang kembali kalimatnya sendiri. Logikanya yang tiba-tiba hadir pun kemudian segera mematahkan semua angan-angan semu itu. Ini tak pantas. Aveline masih terlalu belia. Apa yang ia harapkan? Dirinya yang jelas-jelas pria dewasa berusia tiga puluh tahun dapat menjadi sosok 'terdekat' untuk gadis remaja berusia lima belas tahun? Fuck, dia bukan pedofil! Seketika Dominic pun merasa jijik pada diri sendiri, yang bisa-bisanya berharap para sesuatu yang tak patut seperti itu. Harga dirinya bahkan tak mengijinkannya untuk menuruti hasratnya sebagai lelaki, yang untuk kali ini sungguh tak ia sangka akan jadi seperti ini. Dominic kembali menatap lekat wajah mungil itu, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan gemuruh yang beradu dalam dada. Kemudian ia berguman, seolah tengah berbicara pada ruang yang diam. “Bangunlah, gadis kecil. Karena jika pangg
“Kardiomiopati…? Apa Anda yakin, Dokter?” Dominic Wolfe menautkan alisnya tajam. Nada suaranya rendah, tetapi getarannya mengungkapkan badai yang bergulung di dalam dada. Ia berdiri di depan meja jaga Unit Kardiologi, setelan gelapnya tampak kontras dengan tirai hijau pucat di ruang konsultasi kecil itu. Dr. Mia Caldwell, kardiolog bertubuh ramping dengan rambut disanggul rapi, menutup map rekam medis Aveline Rose dan menahan embus napasnya. “Saya tidak akan mengucapkannya kalau belum memiliki bukti kuat, Tuan Wolfe. Ekokardiografi awal kami memperlihatkan dinding ventrikel kiri Aveline menebal, dan fungsi pompa jantungnya menurun. Diagnosis kerja kami adalah kardiomiopati hipertrofik.” Seketika Dominic merasakan ruangan itu menjadi mengecil. Sekilas, ia teringat kembali pada gadis berambut pirang yang baru saja menari dengan sayapnya yang tak kasat mata di atas panggung... lalu roboh bagai boneka kehabisan tenaga beberapa menit kemudian. “Jelaskan,” desak Dominic den