Share

5. Makan Malam

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-10 07:53:55

Deru baling-baling helikopter mulai melambat, ketika akhirnya kendaraan udara itu mendarat mulus di atas geladak kapal pesiar yang luar biasa besar.

Aveline, yang duduk diam di sisi Dominic sepanjang perjalanan, seketika membelalakkan mata saat melihat ke luar jendela.

Kapal itu… lebih mirip istana yang terapung di lautan.

Kilauan lampu-lampu hangat di sepanjang sisinya memantul di permukaan laut malam yang tenang.

Struktur bertingkatnya menjulang anggun dengan garis desain modern, elegan, dan mahal. Aveline pun baru sadar jika yang ia lihat bukankah yacht biasa, melainkan superyacht!

Ada kolam renang, bar terbuka, dan tempat berjemur serta bersantai di salah satu dek yang bisa ia lihat sekilas dari atas.

Aveline bahkan nyaris lupa untuk bernapas saking terkesimanya.

Helikopter itu belum sepenuhnya berhenti, ketika dua orang wanita berseragam putih khas staf kapal mulai membuka pintu.

"Selamat datang di NORD, Tuan Dominic dan Nona Aveline," ucap salah seorang wanita seraya tersenyum kepada Dominic dan Aveline, seraya menyebutkan nama superyacht ini.

"Mari kami bantu Anda turun, Nona." Kedua wanita itu segera bergerak untuk memegangi Aveline.

Tapi dengan tangan dan kaki yang masih terborgol, turun dari tangga helikopter setinggi itu bukanlah perkara mudah.

Aveline pun sempat ragu, dan gadis itu hanya berdiri canggung di pintu.

Matanya melirik ke bawah, dan berpikir bahwa kakinya pasti tidak akan bisa menjejak dengan stabil.

Dominic menoleh ke arahnya. “Cepat turun, Aveline. Jangan membuatku kehilangan kesabaran.” Nada suaranya dingin, tajam, dan penuh tekanan.

Aveline menggeram pelan. Rasanya ia ingin sekali berteriak dan memaki, namun akhirnya memilih diam dan menahan emosi.

Dengan susah payah serta dibantu oleh staf kapal, ia pun akhirnya berhasil turun.

Langkahnya terseret karena belenggu di kakinya membatasi geraknya. Setiap gerakan terasa kikuk dan lambat.

Dominic menghela napas keras. Jelas sekali pria itu merasa tak sabar melihat Aveline, tapi kali ini ia memilih untuk bungkam.

Tatapannya tetap saja tajam dan menusuk, seperti menahan emosi yang siap meledak kapan saja.

Mereka kemudian masuk ke dalam area dalam kapal yang lebih sepi dan tertutup dengan hembusan angin AC.

Dominic pun menekan tombol lift, sementara Aveline masih berusaha menata napasnya yang terengah.

Manik biru laut gadis itu memandangi dinding logam berkilat dan interior mewah yang detail di setiap sudut. Bahkan lantai lift pun terbuat dari marmer.

Lalu saat lift berhenti di lantai teratas dan pintunya terbuka, Aveline kembali terkesiap.

Tampak langit malam terbentang luas di atas kepala mereka, dengan angin laut menerpa lembut wajahnya.

Di atas dek paling tinggi yang tersusun layaknya rooftop garden, terbentang meja bundar elegan yang sudah ditata dengan lilin, kristal, dan dua kursi berlapis beludru hitam.

Cahaya lembut dari lampu-lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis yang tak terbayangkan olehnya.

Makanan beraroma lezat tersaji di atas meja, menguarkan aroma yang membangkitkan selera.

Tapi Aveline tak merasa lapar. Yang ia rasakan hanyalah campuran antara kemarahan, ketakutan, dan kebingungan.

Ia menoleh dengan ekspresi tak percaya ke arah Dominic. “Anda membawaku ke kapal sebesar ini… hanya untuk makan malam?”

Dominic balas menoleh, dan menjawab dengan datar, “Kamu tak layak untuk duduk di mana pun selain di tempat yang terbaik, jika sudah resmi menjadi milikku.”

Seketika Aveline merasa mual dan ingin muntah. Rasanya ingin sekali ia berlari, tapi belenggu yang di kakinya tak bisa ia ingkari.

Hatinya kembali diliputi oleh penyesalan. Betapa bodohnya… kenapa ia harus mencari tahu siapa pria misterius ini?

Kenapa ia harus membuka pintu pada seseorang yang ternyata jauh lebih jahat dari semua pria yang pernah ia kenal?

Aveline mencoba menahan air mata, berdiri di sana dengan tubuh yang masih gemetar dan hati yang hancur secara perlahan.

***

Ia telah duduk dengan kaku di kursinya, berhadapan dengan Dominic di meja makan mewah yang terletak di rooftop kapal pesiar.

Cahaya lembut dari lampu gantung bergoyang pelan diterpa angin laut, dan bintang-bintang di langit malam seakan ikut menyaksikan makan malam paling aneh dan ter-absurd di dalam hidupnya.

Awalnya Aveline hanya menatap datar pada piring di depannya, bersikeras tidak akan menyentuh makanan yang tersaji.

Tapi aroma steak wagyu panggang, asparagus dengan saus lemon butter, dan segelas anggur merah yang jernih, perlahan-lahan mulai mengikis tekadnya.

Perutnya yang kosong sejak pagi mulai menggerutu pelan, mengkhianati harga dirinya.

"Aku butuh tenaga untuk menghadapi ini semua," gumannya lirih, sebelum akhirnya mengambil garpu dan mulai makan walaupun dengan enggan.

Selama beberapa menit, hanya suara alat makan yang terdengar. Tak ada sapaan, basa-basi, atau pun sekedar senyuman.

Dominic makan dengan tenang, seperti seorang raja yang terbiasa dilayani oleh dunia.

Mata coklatnya kadang menatap lekat pada Aveline, meskipun ekspresinya tetap saja dingin, misterius, dan penuh kendali.

Setelah beberapa suapan, Aveline pun meletakkan garpunya. "Sampai kapan Anda akan menahanku seperti ini?" tanyanya dengan suara pelan tapi tegas, seolah mencoba menyembunyikan kegugupan di balik keberaniannya.

Dominic mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Aveline, lalu tersenyum miring.

"Kamu lulusan terbaik, Aveline. Seorang mahasiswi cerdas yang katanya berpikiran kritis. Tapi kenapa untuk hal yang bahkan sesederhana ini kamu masih belum mengerti juga?" cetusnya sarkas, sinis, dan mengintimidasi

Dominic meletakkan garpu dan pisau di atas piringnya dengan rapi, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Ia menatap Aveline dengan penuh klaim.

"Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak hari ini, tidak besok, dan mungkin tidak akan pernah," ucapnya tenang namun tajam seperti belati.

Lalu ia mencondongkan tubuh sedikit, dan menatap Aveline lebih dekat. "Tapi kalau kamu beruntung, mungkin saja aku akan bosan suatu hari nanti dan melepasmu. Kemungkinan itu tetap ada, meskipun sangat kecil prosentasenya. Karena aku tidak terbiasa kehilangan sesuatu yang sudah jadi milikku."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rini Djatmiko
maaf cerita yg gak nyaman buat di baca , sereeem....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   102. Seseorang Yang Sangat Berkuasa

    Di dalam pesawat pribadi dengan kabin mewah berlapis kulit putih gading dan detail emas, sepasang suami-istri itu pun duduk berdampingan. Dominic menggenggam tangan Aveline, lali mencium punggung tangannya dengan lembut. "Aveline." "Hm?" "Apa pun yang menunggu kita di Prancis... Clarissa, polisi, media. Tolong jangan pernah ragu padaku." Aveline menatap suaminya dalam-dalam, lalu menyandarkan diri ke bahu kokoh itu. "Aku tidak akan pernah ragu. Tapi, aku mungkin akan tetap menggoda kalau ada yang memanggilmu 'Ayahku'." Dominic menoleh, menatap tajam istrinya yang masih saja memggodanya. "Jangan buat aku mencium bibirmu keras-keras di depan pilot." Aveline mengedikkan bahunya, lalu berjata pelan namun menantang, "Silakan." Dan di detik berikutnya, kursi pesawat itu pin menjadi saksi betapa seriusnya Dominic menanggapi sebuah tantangan di depannya. *** Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara kecil di Vesgos, Dominic langsung berdiri dari kursinya. Aveline ya

  • Pay Me With Your Body   101. Dua Arti Dalam Hidupku

    Lokasi : Bandara Internasional Pau Pyrénées Desing baling-baling helikopter terdengar mengeras saat rotor perlahan melambat. Helikopter hitam matte dengan logo La Maison du Nord itu mendarat mulus di lapangan helipad khusus milik Bandara Internasional Pau Pyrénées, gerbang terdekat menuju wilayah Vesgos di barat daya Prancis. Angin dari baling-baling mengacak rambut pirang Aveline yang kini ditata rapi dalam ponytail, membuat beberapa helai melambai liar sebelum Dominic mengulurkan tangannya, membenahi rambut istrinya dengan lembut. "Pegangan." Suara Dominic terdengar pelan di tengah bisingnya mesin yang masih menggerung. Ia membantu Aveline turun dari helikopter terlebih dahulu, lalu menyusul dengan langkah tenang dan penuh kontrol. Tiga mobil hitam Mercedes Benz V-Class menanti mereka di sisi landasan, diiringi petugas berseragam khusus dari bagian penerbangan privat. Tas dan koper mereka langsung ditangani staf, dan Dominic tetap setia berjalan di sisi Aveline, tidak sed

  • Pay Me With Your Body   100. Takut Kehilangan Kamu

    Pagi itu di NORD, suasana yang biasanya damai berubah tegang. Dominic Wolfe baru saja selesai melakukan panggilan kerja di ruang komunikasinya, ketika layar laptopnya menampilkan sebuah e-mail resmi dengan lambang Police Nationale – République Française (Kepolisian Negara Republik Perancis). Judulnya singkat tetapi memuat beban yang tidak bisa disepelekan: Convocation Officielle : Témoignage dans une enquête criminelle – Accident Mortel Vosges Dominic membaca dengan cepat. Email itu berisi panggilan resmi dari kepolisian Prancis, meminta kehadirannya untuk memberikan keterangan terkait kecelakaan mobil yang menewaskan Ezra Blaine. Nama Clarissa Blaine tercantum jelas di dokumen itu sebagai saksi sekaligus pihak yang menuduhnya terlibat dalam insiden tersebut. Sebelum Dominic menutup laptop, pintu ruang kerjanya tetiba terbuka dari luar. Aveline muncul dengan membawa dua cangkir teh. Senyumnya yang biasanya menenangkan, mendadak memudar saat melihat ekspresi suaminya. “Domi

  • Pay Me With Your Body   99. Janji

    Malam itu, laut di sekitar NORD tampak tenang. Bulan bulat sempurna menggantung di langit, memantulkan cahayanya pada permukaan air yang berkilau. Di dalam kamar suite utama, Aveline tertidur lelap, selimut lembut membungkus tubuhnya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Di dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah halaman bersalju. Udara putih pekat, dingin, dan sunyi. Dari kejauhan, terdengar suara seorang wanita, lembut namun mendesak. “Aveline… viens ici, ma chérie…” (Aveline... datanglah ke sini, Sayangku...) Aveline kecil menoleh. Ada sosok berambut panjang mengenakan mantel gelap, wajahnya samar oleh kabut. Ia merasa harus berlari menghampiri wanita itu. Kakinya yang mungil berlari menyeberangi sebuah jembatan kayu sempit di atas sungai yang membeku. Lalu tiba-tiba saja, kayu di bawahnya retak. Bunyi patahan tajam menggema, lalu tubuhnya terjun bebas. Air yang membeku menelannya dalam sekejap. Dinginnya begitu menusuk, merampas napasnya. Ia menjerit, berusah

  • Pay Me With Your Body   98. Vesgos : Jejak Yang Tertinggal

    Udara Vesgos sore itu terasa dingin dan lembap. Dominic berdiri di depan bangunan besar bergaya klasik, yang lebih menyerupai benteng tua daripada rumah tinggal. Pilar-pilarnya tinggi, catnya sedikit terkelupas, namun aura kekuasaan tetap melekat kuat pada setiap lekuk bangunannya.“Château Deveraux,” guman Dominic pelan sambil menatap pintu besi hitam yang mulai terbuka perlahan.Seorang pelayan berpakaian rapi membukakan pintu dan mempersilakan Dominic masuk ke dalam ruang tamu yang luas. Aroma kayu tua, buku lawas, dan anggur yang tersimpan berabad-abad menyeruak di udara.Lucien Deveraux muncul dari balik pintu lain. Pria itu tinggi, berwibawa, rambutnya perak dengan sisiran sempurna. Mata tajamnya mengamati Dominic dengan ketenangan yang dingin, seperti sedang mengukur ancaman yang mungkin dibawa oleh tamunya.“Dominic Wolfe,” ucap Lucien datar. “Akhirnya kita bertemu.”“Terima kasih sudah meluangkan waktu,” balas Dominic singkat.Mereka saling berjabat tangan. Tidak erat. Ti

  • Pay Me With Your Body   97. Berjalan Bersama

    Langit di atas lautan mulai menggelap perlahan, memantulkan cahaya oranye keemasan dari mentari senja. Di dek atas NORD, Dominic berdiri dengan tangan bersidekap serta menatap lurus ke garis horizon. Angin laut lembut menerbangkan helai-helai rambutnya yang coklat gelap, namun pikirannya sama sekali tak tenang.Lalu tiba-tiba ia mendengar langkah kaki ringan mendekat di belakangnya“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Aveline lembut, sambil menyelipkan tangan ke lengannya.Dominic menoleh pelan, menatap wajah istrinya dengan kelembutan yang tak pernah usai. Lalu satu kecupan pun mendarat di puncak kepala Aveline sebelum ia menjawab.“Kamu,” jawabnya jujur. “Dan tentang apa yang akan terjadi kalau aku kehilangan kamu.”Aveline tersenyum kecil. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Dominic.”Dominic mengangguk pelan. Pria itu lalu menundukkan wajahnya untuk mencium bibir Aveline-nya yang manis, seolah ingin memastikan bahwa kehadirannya nyata dan tetap utuh.Tiba-tiba ponselnya bergetar, dan n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status