Deru baling-baling helikopter mulai melambat, ketika akhirnya kendaraan udara itu mendarat mulus di atas geladak kapal pesiar yang luar biasa besar.
Aveline, yang duduk diam di sisi Dominic sepanjang perjalanan, seketika membelalakkan mata saat melihat ke luar jendela. Kapal itu… lebih mirip istana yang terapung di lautan. Kilauan lampu-lampu hangat di sepanjang sisinya memantul di permukaan laut malam yang tenang. Struktur bertingkatnya menjulang anggun dengan garis desain modern, elegan, dan mahal. Aveline pun baru sadar jika yang ia lihat bukankah yacht biasa, melainkan superyacht! Ada kolam renang, bar terbuka, dan tempat berjemur serta bersantai di salah satu dek yang bisa ia lihat sekilas dari atas. Aveline bahkan nyaris lupa untuk bernapas saking terkesimanya. Helikopter itu belum sepenuhnya berhenti, ketika dua orang wanita berseragam putih khas staf kapal mulai membuka pintu. "Selamat datang di NORD, Tuan Dominic dan Nona Aveline," ucap salah seorang wanita seraya tersenyum kepada Dominic dan Aveline, seraya menyebutkan nama superyacht ini. "Mari kami bantu Anda turun, Nona." Kedua wanita itu segera bergerak untuk memegangi Aveline. Tapi dengan tangan dan kaki yang masih terborgol, turun dari tangga helikopter setinggi itu bukanlah perkara mudah. Aveline pun sempat ragu, dan gadis itu hanya berdiri canggung di pintu. Matanya melirik ke bawah, dan berpikir bahwa kakinya pasti tidak akan bisa menjejak dengan stabil. Dominic menoleh ke arahnya. “Cepat turun, Aveline. Jangan membuatku kehilangan kesabaran.” Nada suaranya dingin, tajam, dan penuh tekanan. Aveline menggeram pelan. Rasanya ia ingin sekali berteriak dan memaki, namun akhirnya memilih diam dan menahan emosi. Dengan susah payah serta dibantu oleh staf kapal, ia pun akhirnya berhasil turun. Langkahnya terseret karena belenggu di kakinya membatasi geraknya. Setiap gerakan terasa kikuk dan lambat. Dominic menghela napas keras. Jelas sekali pria itu merasa tak sabar melihat Aveline, tapi kali ini ia memilih untuk bungkam. Tatapannya tetap saja tajam dan menusuk, seperti menahan emosi yang siap meledak kapan saja. Mereka kemudian masuk ke dalam area dalam kapal yang lebih sepi dan tertutup dengan hembusan angin AC. Dominic pun menekan tombol lift, sementara Aveline masih berusaha menata napasnya yang terengah. Manik biru laut gadis itu memandangi dinding logam berkilat dan interior mewah yang detail di setiap sudut. Bahkan lantai lift pun terbuat dari marmer. Lalu saat lift berhenti di lantai teratas dan pintunya terbuka, Aveline kembali terkesiap. Tampak langit malam terbentang luas di atas kepala mereka, dengan angin laut menerpa lembut wajahnya. Di atas dek paling tinggi yang tersusun layaknya rooftop garden, terbentang meja bundar elegan yang sudah ditata dengan lilin, kristal, dan dua kursi berlapis beludru hitam. Cahaya lembut dari lampu-lampu gantung kecil menciptakan suasana romantis yang tak terbayangkan olehnya. Makanan beraroma lezat tersaji di atas meja, menguarkan aroma yang membangkitkan selera. Tapi Aveline tak merasa lapar. Yang ia rasakan hanyalah campuran antara kemarahan, ketakutan, dan kebingungan. Ia menoleh dengan ekspresi tak percaya ke arah Dominic. “Anda membawaku ke kapal sebesar ini… hanya untuk makan malam?” Dominic balas menoleh, dan menjawab dengan datar, “Kamu tak layak untuk duduk di mana pun selain di tempat yang terbaik, jika sudah resmi menjadi milikku.” Seketika Aveline merasa mual dan ingin muntah. Rasanya ingin sekali ia berlari, tapi belenggu yang di kakinya tak bisa ia ingkari. Hatinya kembali diliputi oleh penyesalan. Betapa bodohnya… kenapa ia harus mencari tahu siapa pria misterius ini? Kenapa ia harus membuka pintu pada seseorang yang ternyata jauh lebih jahat dari semua pria yang pernah ia kenal? Aveline mencoba menahan air mata, berdiri di sana dengan tubuh yang masih gemetar dan hati yang hancur secara perlahan. *** Ia telah duduk dengan kaku di kursinya, berhadapan dengan Dominic di meja makan mewah yang terletak di rooftop kapal pesiar. Cahaya lembut dari lampu gantung bergoyang pelan diterpa angin laut, dan bintang-bintang di langit malam seakan ikut menyaksikan makan malam paling aneh dan ter-absurd di dalam hidupnya. Awalnya Aveline hanya menatap datar pada piring di depannya, bersikeras tidak akan menyentuh makanan yang tersaji. Tapi aroma steak wagyu panggang, asparagus dengan saus lemon butter, dan segelas anggur merah yang jernih, perlahan-lahan mulai mengikis tekadnya. Perutnya yang kosong sejak pagi mulai menggerutu pelan, mengkhianati harga dirinya. "Aku butuh tenaga untuk menghadapi ini semua," gumannya lirih, sebelum akhirnya mengambil garpu dan mulai makan walaupun dengan enggan. Selama beberapa menit, hanya suara alat makan yang terdengar. Tak ada sapaan, basa-basi, atau pun sekedar senyuman. Dominic makan dengan tenang, seperti seorang raja yang terbiasa dilayani oleh dunia. Mata coklatnya kadang menatap lekat pada Aveline, meskipun ekspresinya tetap saja dingin, misterius, dan penuh kendali. Setelah beberapa suapan, Aveline pun meletakkan garpunya. "Sampai kapan Anda akan menahanku seperti ini?" tanyanya dengan suara pelan tapi tegas, seolah mencoba menyembunyikan kegugupan di balik keberaniannya. Dominic mengangkat wajahnya dan membalas tatapan Aveline, lalu tersenyum miring. "Kamu lulusan terbaik, Aveline. Seorang mahasiswi cerdas yang katanya berpikiran kritis. Tapi kenapa untuk hal yang bahkan sesederhana ini kamu masih belum mengerti juga?" cetusnya sarkas, sinis, dan mengintimidasi Dominic meletakkan garpu dan pisau di atas piringnya dengan rapi, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Ia menatap Aveline dengan penuh klaim. "Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak hari ini, tidak besok, dan mungkin tidak akan pernah," ucapnya tenang namun tajam seperti belati. Lalu ia mencondongkan tubuh sedikit, dan menatap Aveline lebih dekat. "Tapi kalau kamu beruntung, mungkin saja aku akan bosan suatu hari nanti dan melepasmu. Kemungkinan itu tetap ada, meskipun sangat kecil prosentasenya. Karena aku tidak terbiasa kehilangan sesuatu yang sudah jadi milikku." ***“Aku masih tidak mengerti…” Aveline akhirnya bersuara dengan lirih, bahkan hampir tenggelam di antara semilir angin laut yang menerpa lembut wajah mereka. “Kenapa aku, Tuan? Dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, cantik dan sempurna di luar sana, kenapa Anda malah menargetkanku?” Dominic yang sedang memutar gelas anggurnya perlahan, seketika menghentikan gerakannya. Jemarinya yang panjang dan kokoh kini menggenggam kaki gelas itu lebih erat. Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Aveline tanpa berkedip sedetik pun. “Karena kamu adalah satu-satunya wanita di dunia ini, yang memiliki sesuatu yang sangat berharga untukku. Sesuatu, yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh wanita lain.” Aveline menatapnya dengan alis berkerut bingung dan tubuh yang perlahan condong ke depan seolah ingin mendekat. “Sesuatu yang berharga?” gadis bersurai coklat keemasan itu pun mengulang dengan suara ragu. “Apa maksud Anda? Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Dan aku juga bukan siapa-si
Deru baling-baling helikopter mulai melambat, ketika akhirnya kendaraan udara itu mendarat mulus di atas geladak kapal pesiar yang luar biasa besar. Aveline, yang duduk diam di sisi Dominic sepanjang perjalanan, seketika membelalakkan mata saat melihat ke luar jendela. Kapal itu… lebih mirip istana yang terapung di lautan. Kilauan lampu-lampu hangat di sepanjang sisinya memantul di permukaan laut malam yang tenang. Struktur bertingkatnya menjulang anggun dengan garis desain modern, elegan, dan mahal. Aveline pun baru sadar jika yang ia lihat bukankah yacht biasa, melainkan superyacht! Ada kolam renang, bar terbuka, dan tempat berjemur serta bersantai di salah satu dek yang bisa ia lihat sekilas dari atas. Aveline bahkan nyaris lupa untuk bernapas saking terkesimanya. Helikopter itu belum sepenuhnya berhenti, ketika dua orang wanita berseragam putih khas staf kapal mulai membuka pintu."Selamat datang di NORD, Tuan Dominic dan Nona Aveline," ucap salah seorang wanita ser
Aveline kembali mencoba memutar gagang pintu kamar mewah itu untuk kesekian kalinya, tapi hasilnya tetap sama. Terkunci. Tak bergeming. Ia memukulnya dengan kepalan tangan, menendangnya kuat dengan kaki telanjang, hingga akhirnya tubuhnya pun limbung karena lelah yang menyerang. Sebelumnya, Dominic telah membopong tubuhnya dari ruang kerja ke dalam kamar ini dengan tiba-tiba, mengabaikan semua jeritan serta pukulan Aveline di tubuh pria itu. Meskipun berusaha sekuat tenaga meronta-ronta, namun Aveline tetap saja tidak bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman Dominic, hingga akhirnya pria itu membawanya ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar tanpa berkata-kata. Udara di dalam ruangan ini begitu hening, seolah ikut menikmati penderitaannya. Padahal kamar ini terlalu indah untuk disebut sebagai kurungan. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap, dinding putih berlapis panel kayu mengkilat, karpet lembut yang mahal, dan ranjang berkanopi denga
Ucapan dingin itu bagaikan palu godam yang menghantam Aveline. ((Bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam)) Napas gadis itu pun seketika tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sejenak, sebelum kembali memukul dinding dadanya dengan ritme irama yang kacau. Aveline hanya bisa terdiam membeku untuk beberapa saat. Seolah tak percaya, dan tak sanggup mengerti dengan apa yang barusan saja ia dengar. “... A-apa?” bisiknya pelan dan hampir tak terdengar. Kakinya yang gemetar pun refleks membawa langkah mundur yang goyah. Tumit sepatunya berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap. Manik birunya melebar dan bibirnya terbuka, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar. Ia hanya bisa menatap Dominic dengan sorot tak percaya, bahwa pria itu baru saja menunjukkan wajah aslinya. Wajah seorang yang terlalu tenang untuk disebut manusia biasa, setelah mengucapkan kalimat kejam yang tak pernah Aveline bayangkan akan keluar dari bibir sosok malaikat y
Suara langkah mundur dari sepatu flat milik Aveline terdengar menggema dengan lembut di ruang tamu yang megah namun sunyi itu. Maniknya yang biru tak bisa berpaling dari sosok pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya. Sorot mata pria itu tampak terlalu tajam untuk diabaikan, terlalu dalam untuk ditebak. Bahkan kini udara di dalam ruangan itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Aveline membuka mulutnya, namun ternyata suaranya tak kunjung keluar. Ia harus memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak, meski kini lututnya terasa lemas dan jantungnya berdetak semakin cepat seperti ingin meloncat keluar dari dada. “Maaf,” ucap Aveline akhirnya, dengan suara pelan dan gugup. “Bolehkah aku... bertanya sesuatu?” Dominic Wolfe tak menjawab dengan kata. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah memberikan izin. Sorot mata coklatnya tetap menusuk, seakan mampu menembus langsung ke dalam pikiran Aveline. Gadis bersurai keemasan itu pun menelan ludah.. “Apakah... Anda
Berdiri di atas podium megah, dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri. Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri. Tapi juga karena seseorang yang... bahkan hingga saat ini