Home / Romansa / Pay Me With Your Body / 6. Kebebasan Yang Semu

Share

6. Kebebasan Yang Semu

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-10 08:13:09

“Aku masih tidak mengerti…” Aveline akhirnya bersuara dengan lirih, bahkan hampir tenggelam di antara semilir angin laut yang menerpa lembut wajah mereka.

“Kenapa aku, Tuan? Dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, cantik dan sempurna di luar sana, kenapa Anda malah menargetkanku?”

Dominic yang sedang memutar gelas anggurnya perlahan, seketika menghentikan gerakannya. Jemarinya yang panjang dan kokoh kini menggenggam kaki gelas itu lebih erat.

Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Aveline tanpa berkedip sedetik pun.

“Karena kamu adalah satu-satunya wanita di dunia ini, yang memiliki sesuatu yang sangat berharga untukku. Sesuatu, yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh wanita lain.”

Aveline menatapnya dengan alis berkerut bingung dan tubuh yang perlahan condong ke depan seolah ingin mendekat.

“Sesuatu yang berharga?” gadis bersurai coklat keemasan itu pun mengulang dengan suara ragu. “Apa maksud Anda? Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Dan aku juga bukan siapa-siapa.”

Dominic tidak menjawab. Pria itu hanya menatap Aveline untuk sesaat, lalu dengan tenang kembali melanjutkan makannya, seolah pertanyaan gadis itu hanyalah angin lalu.

Aveline yang merasa tak dianggap, serta-merta mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya, seraya menahan luapan emosi yang bercampur antara frustasi dan rasa ingin tahu yang menggerogoti.

Setelah beberapa menit kesunyian yang disertai rasa canggung itu pun berlalu, Dominic akhirnya meletakkan serbet makannya dan segera berdiri.

Kursinya bergeser ringan, tapi suara gesekan kaki kursi di atas lantai dek itu cukup membuat Aveline terkejut.

Aveline tetap diam di tempatnya dan tak bergerak sedikit pun, hanya menatap Dominic yang kini tengah berjalan perlahan ke arahnya.

Pria bersurai coklat gelap itu lalu berhenti tepat di depannya. Tubuhnya berdiri tegap dan menjulang, sementara posisi Aveline yang masih duduk membuat gadis itu harus mendongakkan wajahnya.

Dan saat pandangan mereka bertemu… Aveline merasa tenggorokannya seperti tercekik oleh tatapan Dominic yang begitu dalam dan pekat.

Mata cokelat tua itu seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa Aveline pahami. Penuh misteri, bahaya, tapi juga semacam rasa memiliki yang aneh.

“Pergelangan kakimu pasti terasa sakit karena borgol itu, kan?” tanya Dominic dengan tiba-tiba dan tak diduga. Suaranya maskulin pria itu mengalun lembut, tapi dengan tekanan yang membuat jantung Aveline berdegup lebih kencang.

Aveline yang masih terperangkap dalam efek hipnotis pada sorot kelam mata Dominic, akhirnya hanya bisa mengangguk perlahan tanpa berucap sepatah kata pun.

Dominic menurunkan tubuhnya sedikit, dengan tatapan yang tetap lekat tanpa putus kepada Aveline. “Aku akan melepaskannya, Aveline. Aku akan lepaskan borgol itu, tapi kamu harus berjanji tidak akan melakukan hal bodoh seperti mencoba untuk melarikan diri. Mengerti?”

Aveline mendesah lelah. “Melarikan diri?” ulangnya seraya mendengus pelan, lalu menatap Dominic lebih tajam.

“Apa Anda berpikir kalau aku sebodoh itu? Ini adalah kapal pesiar, Tuan Dominic. Dan kita sedang berada di tengah-tengah lautan. Bahkan jika aku pun bisa berenang jauh, tapi mau ke mana tujuannya? Ke bulan?”

Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibir Dominic, namun bukan senyum yang ramah. Melainkan semacam senyum licik yang seolah berkata, 'baguslah, akhirnya kamu mulai mengerti.'

Lalu dengan cekatan Dominic pun menurunkan tubuhnya, dan segera membuka borgol di pergelangan kaki Aveline dengan menggunakan kunci dari saku jasnya.

Dingin logam yang telah membelenggu kaki Aveline kini serta-merta hilang, hanya menyisakan sedikit ruam kemerahan di kulitnya yang putih.

Aveline mengusap kulitnya perlahan, seolah ia masih belum percaya jika borgol itu benar-benar dilepas.

Borgol di kaki Aveline sekarang telah terbuka seluruhnya, dan gadis itu pun menarik napas dalam-dalam.

Kini ia telah bebas, meskipun bukan kebebasan yang utuh, melainkan hanya sedikit ruang gerak yang tetap saja penuh dengan kendali oleh Dominic.

"Sebenarnya aku belum mempercayaimu sepenuhnya," guman Dominic tanpa menatap Aveline. "Tapi di sisi lain aku juga ingin melihat… seberapa jauh kamu akan bertahan dengan sebuah kebebasan yang semu."

Aveline mengerutkan dahi, mencoba memahami kalimat itu seraya menatap Dominic yang perlahan berdiri.

"Tuan Dominic," panggil Aveline pelan. "Anda belum menjawab pertanyaanku tadi… apa maksudnya aku memiliki sesuatu yang berharga? Aku benar-benar tidak mengerti, bisakah Anda tolong jelaskan?"

Dominic tak serta-merta menjawab, alih-alih membiarkan suara ombak yang berhembus di laut terdengar lirih, diselingi desiran angin yang membawa aroma asin serta parfum maskulin pria itu.

Dominic mengulurkan jarinya untuk menangkup dagu lancip Aveline, hingga membuat gadis itu benar-benar mendongak ke arahnya.

"Aku memilihmu," ucap pria itu akhirnya dengan suara rendah dan dingin. "Karena hanya kamulah satu-satunya yang bisa membuatku tetap merasa hidup, Nona Aveline Rose."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   6. Kebebasan Yang Semu

    “Aku masih tidak mengerti…” Aveline akhirnya bersuara dengan lirih, bahkan hampir tenggelam di antara semilir angin laut yang menerpa lembut wajah mereka. “Kenapa aku, Tuan? Dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, cantik dan sempurna di luar sana, kenapa Anda malah menargetkanku?” Dominic yang sedang memutar gelas anggurnya perlahan, seketika menghentikan gerakannya. Jemarinya yang panjang dan kokoh kini menggenggam kaki gelas itu lebih erat. Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Aveline tanpa berkedip sedetik pun. “Karena kamu adalah satu-satunya wanita di dunia ini, yang memiliki sesuatu yang sangat berharga untukku. Sesuatu, yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh wanita lain.” Aveline menatapnya dengan alis berkerut bingung dan tubuh yang perlahan condong ke depan seolah ingin mendekat. “Sesuatu yang berharga?” gadis bersurai coklat keemasan itu pun mengulang dengan suara ragu. “Apa maksud Anda? Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Dan aku juga bukan siapa-si

  • Pay Me With Your Body   5. Makan Malam

    Deru baling-baling helikopter mulai melambat, ketika akhirnya kendaraan udara itu mendarat mulus di atas geladak kapal pesiar yang luar biasa besar. Aveline, yang duduk diam di sisi Dominic sepanjang perjalanan, seketika membelalakkan mata saat melihat ke luar jendela. Kapal itu… lebih mirip istana yang terapung di lautan. Kilauan lampu-lampu hangat di sepanjang sisinya memantul di permukaan laut malam yang tenang. Struktur bertingkatnya menjulang anggun dengan garis desain modern, elegan, dan mahal. Aveline pun baru sadar jika yang ia lihat bukankah yacht biasa, melainkan superyacht! Ada kolam renang, bar terbuka, dan tempat berjemur serta bersantai di salah satu dek yang bisa ia lihat sekilas dari atas. Aveline bahkan nyaris lupa untuk bernapas saking terkesimanya. Helikopter itu belum sepenuhnya berhenti, ketika dua orang wanita berseragam putih khas staf kapal mulai membuka pintu."Selamat datang di NORD, Tuan Dominic dan Nona Aveline," ucap salah seorang wanita ser

  • Pay Me With Your Body   4. Takdir

    Aveline kembali mencoba memutar gagang pintu kamar mewah itu untuk kesekian kalinya, tapi hasilnya tetap sama. Terkunci. Tak bergeming. Ia memukulnya dengan kepalan tangan, menendangnya kuat dengan kaki telanjang, hingga akhirnya tubuhnya pun limbung karena lelah yang menyerang. Sebelumnya, Dominic telah membopong tubuhnya dari ruang kerja ke dalam kamar ini dengan tiba-tiba, mengabaikan semua jeritan serta pukulan Aveline di tubuh pria itu. Meskipun berusaha sekuat tenaga meronta-ronta, namun Aveline tetap saja tidak bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman Dominic, hingga akhirnya pria itu membawanya ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar tanpa berkata-kata. Udara di dalam ruangan ini begitu hening, seolah ikut menikmati penderitaannya. Padahal kamar ini terlalu indah untuk disebut sebagai kurungan. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap, dinding putih berlapis panel kayu mengkilat, karpet lembut yang mahal, dan ranjang berkanopi denga

  • Pay Me With Your Body   3. Milikku

    Ucapan dingin itu bagaikan palu godam yang menghantam Aveline. ((Bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam)) Napas gadis itu pun seketika tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sejenak, sebelum kembali memukul dinding dadanya dengan ritme irama yang kacau. Aveline hanya bisa terdiam membeku untuk beberapa saat. Seolah tak percaya, dan tak sanggup mengerti dengan apa yang barusan saja ia dengar. “... A-apa?” bisiknya pelan dan hampir tak terdengar. Kakinya yang gemetar pun refleks membawa langkah mundur yang goyah. Tumit sepatunya berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap. Manik birunya melebar dan bibirnya terbuka, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar. Ia hanya bisa menatap Dominic dengan sorot tak percaya, bahwa pria itu baru saja menunjukkan wajah aslinya. Wajah seorang yang terlalu tenang untuk disebut manusia biasa, setelah mengucapkan kalimat kejam yang tak pernah Aveline bayangkan akan keluar dari bibir sosok malaikat y

  • Pay Me With Your Body   2. Everything Has Its Own Price

    Suara langkah mundur dari sepatu flat milik Aveline terdengar menggema dengan lembut di ruang tamu yang megah namun sunyi itu. Maniknya yang biru tak bisa berpaling dari sosok pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya. Sorot mata pria itu tampak terlalu tajam untuk diabaikan, terlalu dalam untuk ditebak. Bahkan kini udara di dalam ruangan itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Aveline membuka mulutnya, namun ternyata suaranya tak kunjung keluar. Ia harus memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak, meski kini lututnya terasa lemas dan jantungnya berdetak semakin cepat seperti ingin meloncat keluar dari dada. “Maaf,” ucap Aveline akhirnya, dengan suara pelan dan gugup. “Bolehkah aku... bertanya sesuatu?” Dominic Wolfe tak menjawab dengan kata. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah memberikan izin. Sorot mata coklatnya tetap menusuk, seakan mampu menembus langsung ke dalam pikiran Aveline. Gadis bersurai keemasan itu pun menelan ludah.. “Apakah... Anda

  • Pay Me With Your Body   1. Sosok Tanpa Nama

    Berdiri di atas podium megah, dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri. Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri. Tapi juga karena seseorang yang... bahkan hingga saat ini

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status