Share

9. Menyerah

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-18 19:29:44

Sepeninggal kedua staf kapal itu, tatapan Dominic kembali menelusuri tubuh Aveline dengan sorot penuh hasrat.

Aveline menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang merah padam karena malu dan juga... sesuatu yang tak bisa ia definisikan.

Gelombang panas dari perutnya kini menjalar lambat ke seluruh tubuh, menghadirkan sebuah sensasi yang membuat gemetar seluruh syarafnya.

"Aku tak menyangka jika mereka akan memilihkan lingerie itu untukmu," bisik Dominic dengan suara rendah yang dalam. "Tapi ternyata tak buruk juga. Warna itu membuatmu terlihat semakin menggairahkan."

Seketika Aveline mengangkat wajahnya, untuk menatap Dominic dengan sorot penuh kemarahan. "Anda tidak bisa melakukan ini. Aku bukan mainan yang~"

"Diam."

Satu kata itu meluncur seperti cambuk yang membelah udara, penuh determinasi dan dominasi yang tak terbantahkan dan benar-benar mampu membuat Aveline terdiam.

Tatapan pekat dan dingin pria itu seolah menembus kepala Aveline, membuat gadis itu merasa ditelanjangi secara emosional.

"Aku sudah memberimu segalanya, Aveline," cetus Dominic dengan nafasnya yang hangat menyapu pipi Aveline.

"Kebebasan dari kemiskinan, kesempatan untuk belajar, dan hidup yang tidak akan pernah kamu impikan sebelumnya. Tapi kenapa sekarang kamu malah menolakku?"

"Aku... aku tak pernah meminta semua itu dengan imbalan yang seperti ini," guman Aveline lemah. Lidahnya terasa kaku. Tubuhnya masih bergetar, tak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berlari.

Dominic tertawa pelan. "Kamu gadis cerdas, tapi malah berpura-pura naif."

Pria itu pun membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Aveline yang masih duduk di kursi rias.

Salah satu tangannya menyusup ke belakang gadis itu, mengusap pelan tulang belakangnya yang terbuka karena potongan lingerie.

Aveline menahan nafas dengan kulitnya yang seketika meremang. Ia tahu ia harus menepis tangan itu, berteriak, memukul, atau apa saja.

Tapi tubuhnya tidak merespons. Otot-ototnya lumpuh dalam sensasi yang mengalir terlalu dalam.

"Ini tidak benar..." bisiknya hampir tak terdengar.

"Tapi kamu tidak bisa lari, bukan?" jawab Dominic dengan senyuman miring penuh percaya diri.

"Obat itu ternyata seampuh ini. Akui saja, Aveline. Jika ada bagian dari dirimu yang juga menginginkanku."

"Tidak..." Aveline menggeleng pelan.

Tapi pandangan matanya telah mengabur, dan emosinya bercampur-baur.

Rasa takutnya bertarung dengan detak jantung yang kian cepat. Nafasnya menjadi pendek dan panas.

Bibir Dominic menyentuh pelipis Aveline sekilas. Tidak mengecup, hanya menyentuh.

Lalu bibir pria itu turun ke pipi Aveline, kemudian ke bawah telinganya. Setiap sentuhan ringan namun menggoda, hanya bertujuan untuk menaburkan bara.

"Rasakan ini, Aveline. Aku bisa membuatmu melupakan segalanya, bahkan melupakan harga dirimu yang cukup tinggi itu."

Kesepuluh jemari Aveline kini mengepal dengan kuat. Ia benci bagaimana tubuhnya menggigil bukan hanya karena takut, tetapi karena sensasi yang membuatnya gelisah.

Ia benci bahwa sebagian dari dirinya memang merespons setiap sentuhan serta desahan Dominic di telinganya.

Aveline menelan ludah, berusaha fokus pada perlawanan dalam benaknya.

"Berhenti," ucap gadis itu, meski suaranya terdengar seperti bisikan goyah tanpa keyakinan di dalamnya.

Tapi Dominic semakin mendekat, bahkan ujung hidungnya telah menyentuh ujung hidung Aveline, dengan sorot mata sedingin salju yang terarah pada gadis itu.

"Apa kamu pikir aku adalah monster?" tanyanya pelan.

Aveline tak menjawab, kecuali matanya yang samar mengerjap.

Dominic mengusap pipinya. "Aku hanya manusia normal yang ingin memiliki apa yang diinginkan... Dan kamu, adalah satu hal yang aku inginkan."

Aveline menggigit bibirnya. Ingin menangis, ingin menjerit. Tapi yang keluar hanyalah isakan pelan yang tak terdefinisikan.

Emosi yang bercampur dengan godaan serta kekacauan.

Dominic lalu berdiri kembali, namun tetap menatap tubuh Aveline yang terbungkus lingerie dengan napas berat.

"Tapi baiklah. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini, Aveline," ucapnya tiba-tiba.

Aveline pun mendongak terkejut. "A-apa?"

Pria itu tersenyum. Senyumnya masih tajam, masih licik, tapi juga ada sesuatu yang tampak berbeda, yaitu... kesabaran.

"Karena aku ingin kamulah yang datang sendiri padaku nanti. Aku akan menunggu, Aveline. Hingga kamu menyerah, dan suka rela menjadi milikku."

***

Pintu kamar itu tertutup rapat setelah kepergian Dominic, tapi jejak kehadirannya masih terasa di setiap inci udara.

Aroma maskulinnya seakan melekat di pori-pori. Sentuhannya masih membekas seperti api yang membakar kulit Aveline.

Gadis itu terduduk membeku.

Napasnya belum kembali teratur, dan jantungnya berdegup terlalu cepat, tak mampu menenangkan gejolak aneh dalam tubuhnya.

Apa yang terjadi padaku? Tubuh ini… bukan milikku lagi. Ia seperti bergerak dengan iramanya sendiri.

Gelisah. Gerah.

Dinginnya penyejuk ruangan kamar bahkan tak membantu. Keringat membasahi tulang lehernya, menggulung turun melewati garis halus di antara dadanya yang masih tertutup lingerie tipis.

Tak tahan lagi, Aveline berdiri dengan tubuh goyah dan berjalan ke kamar mandi.

Langkahnya gemetar, tetapi dorongan untuk mendinginkan tubuh yang meledak-ledak ini lebih besar daripada ketakutannya.

Kamar mandi itu masih seperti sebelumnya. Mewah, bersih, dingin, dan sunyi.

Ia membuka keran bathtub, kali ini memilih suhu yang paling dingin.

Butuh beberapa detik hingga air memenuhi dasar bak porselen putih itu.

Uap dari air panas sebelumnya telah lenyap, digantikan percikan segar yang menampar kulit saat ia memasukkan ujung jemarinya.

Aveline menanggalkan lingerie-nya perlahan. Jemarinya gemetar ketika menyentuh kaitan bahu, seolah setiap gerakan mengandung dosa yang tak terucapkan.

Ia tak ingin melihat bayangannya di cermin. Tak ingin melihat tubuh yang terasa asing ini, yang telah terpengaruh sentuhan Dominic yang ia benci.

Saat tubuh telanjangnya menyentuh air dingin itu, ia menghela napas panjang. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan. Dingin yang menggigit kulit itu menyapu sebagian panas yang bergelora.

Ia memejamkan mata, menyandarkan kepala di tepi bathtub. Rambutnya terurai, mengambang, dan tetes air mengalir dari ujung bulu matanya ke pelipis.

Namun... bukannya meredam, dingin ini justru memperjelas semuanya.

Jantungnya tetap berdebar. Kulitnya tetap meremang.

Dan anehnya, tubuhnya malah semakin peka.

Puncak dadanya yang menyentuh permukaan air terasa sakit karena dingin, tapi juga sensitif luar biasa.

Paha dan perutnya bergetar tanpa alasan.

Aveline menggigit bibirnya sendiri, menahan suara-suara dari dalam tubuhnya yang menginginkan sesuatu yang tak mampu ia akui.

"Apa yang telah dia lakukan padaku..." gumannya getir.

Ia mengangkat satu tangan, menyentuh bagian lehernya sendiri, turun perlahan ke dada yang basah.

Gerakan itu bukanlah karena hasrat, tapi keinginan untuk mengenali kembali dirinya sendiri.

Dan mencoba mengendalikan tubuh yang terasa bukan miliknya.

Tapi ketika ia menyentuh pusat dadanya, desahan pelan pun keluar begitu saja.

Aveline langsung menutup mulutnya karena terkejut. Pipinya merah padam karena malu pada dirinya sendiri.

Ia pun memeluk lututnya erat-erat dengan tubuh yang gemetar.

"Ini bukan aku... Ini bukan aku..."

Sayangnya, air dingin itu tetap tak bisa memadamkan api yang sudah dinyalakan.

Tetes-tetes air jatuh dari ujung rambutnya, menyatu dengan air di bathtub.

Di bawah permukaan itu, tubuh Aveline tetap bergejolak. Perlawanan dan penerimaan saling bertarung dalam diam.

Tapi malam masih panjang... dan pikirannya terus berulang pada suara rendah Dominic, pada napasnya yang menyapu telinga, pada tatapan tajam yang menusuk jauh ke dalam.

Dan dari tempat tersembunyi dalam batinnya, ketakutan baru mulai muncul.

Bukan hanya takut pada Dominic, tapi takut pada dirinya sendiri.

Takut bahwa ia secara perlahan dan tak terhindarkan.... mulai menyerah.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Prita Anindya
Dominic maen tarik ulur ya duhh
goodnovel comment avatar
Bianca
wah asyik msh dibuka smp bab 9 ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   130. Keluargaku, Keajaiban Dalam Hidupku (Tamat)

    SEPULUH TAHUN KEMUDIAN... Angin musim semi berhembus lembut di halaman luas sebuah mansion megah yang berdiri di tepian danau Michigan. Bangunan bergaya neoklasik dengan sentuhan modern itu berdiri kokoh, dikelilingi taman bunga yang selalu bermekaran sepanjang tahun karena perawatan ketat para gardener. Pilar-pilar putih menjulang gagah, sementara jendela kaca raksasa memantulkan cahaya matahari pagi. Burung-burung kecil beterbangan di udara, seolah ingin menambah kesempurnaan pagi itu. Mansion itu adalah rumah bagi Dominic dan Aveline. Setelah begitu banyak badai dan bahaya yang mereka lewati, siapa sangka takdir justru menghadiahkan mereka sesuatu yang nyaris mustahil. Yaitu sebuah keluarga kecil yang utuh. “Ayah! Ayah! Lihat, aku bisa lebih cepat daripada Henry!” teriak seorang bocah berusia delapan tahun, rambut pirangnya berantakan, kakinya berlari di atas rerumputan hijau. “Tidak bisa! Aku yang lebih cepat!” sahut adiknya yang berusia lima tahun, dengan ramb

  • Pay Me With Your Body   129. Cinta dan Pengorbanan

    Musik lembut dari orkestra masih mengalun ketika pintu ballroom terbuka kembali. Semua kepala menoleh sejenak, lalu muncul sosok perempuan anggun dengan gaun malam satin biru gelap. Rambut coklatnya ditata sederhana namun elegan, wajahnya bercahaya dengan keteduhan khas seorang ibu. Wanita itu adalah Elle Takahashi. Di kedua tangannya, masing-masing tergenggam erat dua anak kecil kembar. Akio di sisi kanan dan Ayaka di sisi kiri. Meski bukan anak kandungnya, jelas terpancar hanya kasih sayang murni di antara mereka. Mereka bertiga berjalan sambil berceloteh ringan. Tatapan polos kedua anak itu melirik ke segala arah, kagum dengan dekorasi pesta yang berkilauan. “Look, Ayaka,” bisik Akio sambil menunjuk langit-langit ballroom yang dipenuhi ribuan kristal cahaya. “Seperti bintang jatuh.” Ayaka terkekeh kecil. “Atau seperti istana putri!” Tawa kecil mereka terdengar jernih, membuat banyak tamu menoleh sambil tersenyum. Sementara itu, seorang babysitter berjalan d

  • Pay Me With Your Body   128. Pesta Pernikahan

    Malam itu, langit Chicago dihiasi gemerlap lampu kota yang seakan ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang telah melewati jalan berliku. Di sebuah ballroom megah di tepi Chicago Riverwalk, pesta pernikahan Dominic dan Aveline berlangsung dengan kemewahan yang elegan, sesuai janji yang pernah Dominic ucapkan sebelumnya. “Pernikahan di Portofino khusus untuk kita. Di kota yang kamu sukai, dan tempat kamu menari dengan bebas untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.” "Dan di Chicago, karena di sanalah seluruh hidupmu sebelumnya berada. Teman-temanmu. Kenangan masa kecilmu. Kalau kamu ingin mengundang siapa pun, entah itu teman kuliah, rekan penari, anak-anak panti asuhan bahkan teman sekolah di masa kecil sekalipun, maka lakukanlah, Little Dove." Ballroom itu dipenuhi kristal berkilauan, bunga mawar putih dan kuning yang melambangkan cinta abadi mereka, serta dentingan orkestra live yang memainkan alunan romantis. Gaun putih Aveline berkilau di bawah cahaya lampu gantung,

  • Pay Me With Your Body   127. Akhir Perjalanan

    Udara dingin dari perairan Danau Michigan menyapu dek kapal, ketika NORD meluncur perlahan mendekati garis kota Chicago. Siluet gedung-gedung pencakar langit menjulang, terpantul cahaya senja yang menguning keemasan. Riuh suara pelabuhan terdengar samar di kejauhan, namun Dominic memilih jalur yang berbeda. Ia sudah mempersiapkan sesuatu jauh sebelum kapal ini merapat. “Pelabuhan ini terlalu ramai,” gumannya seraya menatap layar navigasi. “Aku tidak ingin kamu berdesakan dengan orang asing setelah perjalanan panjang.” Aveline yang berdiri di sisinya, menoleh dengan senyum tipis. “Kamu selalu memikirkan segalanya dengan detail, ya?" Dominic hanya mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang namun penuh kendali. “Tentu saja. Aku tidak akan pernah setengah-setengah kalau menyangkut dirimu, Sayang.” Beberapa menit kemudian, terdengar suara deru baling-baling. Sebuah helikopter hitam elegan sudah menunggu di dek atas. Begitu NORD hampir mencapai batas pelabuhan, helikopter i

  • Pay Me With Your Body   126. Kembali Ke Chicago

    BEBERAPA HARI KEMUDIAN... Matahari sore merayap pelan ke ufuk barat, cahayanya redup keemasan menembus pepohonan cemara yang berjajar kaku di pemakaman keluarga Deveraux. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga lili putih yang ditaburkan di atas nisan marmer hitam. Di hadapan mereka terhampar dua makam yang berdampingan. Celeste, dan Lucien Deveraux. Aveline berdiri terpaku. Kedua tangannya saling menggenggam erat di dada, jari-jarinya pucat dan terjalin dalam posisi berdoa itu terlihat bergetar. Matanya menatap nisan itu tanpa berkedip, seolah berharap prasasti dingin itu akan runtuh dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Dominic berdiri di sampingnya dengan posisi sedikit di belakang, seolah memberi ruang bagi istrinya untuk menghadapi luka yang terlalu dalam, dan menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari hidupnya. “Ayah dan ibu…” bisik Aveline lirih. “Kalian berdua akhirnya bersama lagi. Meskipun seharusnya tidak dengan cara yang seperti ini

  • Pay Me With Your Body   125. Cinta Yang Tak Tergantikan

    Aveline terbangun dalam dekapan Dominic. Tubuhnya terasa begitu hangat, membuatnya mengira bahwa dirinya sudah mati dan kini berada di alam lain, dipertemukan kembali dengan suaminya yang lebih dulu tiada. “Dominic…?” bisiknya lirih dan serak bercampur isakan kecil. Ia menatap wajah pria itu yang begitu dekat dengannya. Mata coklat gelap dan dalam yang dirindukannya, garis rahang yang tegas, dan senyum tipis yang begitu nyata hingga terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "Apa aku sudah mati? Tapi aku tidak keberatan... jika akhirnya bisa bertemu denganmu lagi," ucap Aveline sendu dengan mata birunya yang berkaca-kaca. Dominic sempat tertegun. Sesungguhnya ia ingin segera meyakinkan istrinya bahwa ia masih ada di sini, hidup dan bernafas. Namun melihat sorot mata Aveline yang penuh keyakinan itu membuat Dominic diam-diam tersenyum nakal. Ia berniat menjahili istrinya. “Aku datang menjemputmu, sayang,” ucapnya pelan, penuh nada misteri. “Kita akan bersama di duni

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status