Sepeninggal kedua staf kapal itu, tatapan Dominic kembali menelusuri tubuh Aveline dengan sorot penuh hasrat.
Aveline menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang merah padam karena malu dan juga... sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Gelombang panas dari perutnya kini menjalar lambat ke seluruh tubuh, menghadirkan sebuah sensasi yang membuat gemetar seluruh syarafnya. "Aku tak menyangka jika mereka akan memilihkan lingerie itu untukmu," bisik Dominic dengan suara rendah yang dalam. "Tapi ternyata tak buruk juga. Warna itu membuatmu terlihat semakin menggairahkan." Seketika Aveline mengangkat wajahnya, untuk menatap Dominic dengan sorot penuh kemarahan. "Anda tidak bisa melakukan ini. Aku bukan mainan yang~" "Diam." Satu kata itu meluncur seperti cambuk yang membelah udara, penuh determinasi dan dominasi yang tak terbantahkan dan benar-benar mampu membuat Aveline terdiam. Tatapan pekat dan dingin pria itu seolah menembus kepala Aveline, membuat gadis itu merasa ditelanjangi secara emosional. "Aku sudah memberimu segalanya, Aveline," cetus Dominic dengan nafasnya yang hangat menyapu pipi Aveline. "Kebebasan dari kemiskinan, kesempatan untuk belajar, dan hidup yang tidak akan pernah kamu impikan sebelumnya. Tapi kenapa sekarang kamu malah menolakku?" "Aku... aku tak pernah meminta semua itu dengan imbalan yang seperti ini," guman Aveline lemah. Lidahnya terasa kaku. Tubuhnya masih bergetar, tak ada kekuatan untuk berdiri apalagi berlari. Dominic tertawa pelan. "Kamu gadis cerdas, tapi malah berpura-pura naif." Pria itu pun membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Aveline yang masih duduk di kursi rias. Salah satu tangannya menyusup ke belakang gadis itu, mengusap pelan tulang belakangnya yang terbuka karena potongan lingerie. Aveline menahan nafas dengan kulitnya yang seketika meremang. Ia tahu ia harus menepis tangan itu, berteriak, memukul, atau apa saja. Tapi tubuhnya tidak merespons. Otot-ototnya lumpuh dalam sensasi yang mengalir terlalu dalam. "Ini tidak benar..." bisiknya hampir tak terdengar. "Tapi kamu tidak bisa lari, bukan?" jawab Dominic dengan senyuman miring penuh percaya diri. "Obat itu ternyata seampuh ini. Akui saja, Aveline. Jika ada bagian dari dirimu yang juga menginginkanku." "Tidak..." Aveline menggeleng pelan. Tapi pandangan matanya telah mengabur, dan emosinya bercampur-baur. Rasa takutnya bertarung dengan detak jantung yang kian cepat. Nafasnya menjadi pendek dan panas. Bibir Dominic menyentuh pelipis Aveline sekilas. Tidak mengecup, hanya menyentuh. Lalu bibir pria itu turun ke pipi Aveline, kemudian ke bawah telinganya. Setiap sentuhan ringan namun menggoda, hanya bertujuan untuk menaburkan bara. "Rasakan ini, Aveline. Aku bisa membuatmu melupakan segalanya, bahkan melupakan harga dirimu yang cukup tinggi itu." Kesepuluh jemari Aveline kini mengepal dengan kuat. Ia benci bagaimana tubuhnya menggigil bukan hanya karena takut, tetapi karena sensasi yang membuatnya gelisah. Ia benci bahwa sebagian dari dirinya memang merespons setiap sentuhan serta desahan Dominic di telinganya. Aveline menelan ludah, berusaha fokus pada perlawanan dalam benaknya. "Berhenti," ucap gadis itu, meski suaranya terdengar seperti bisikan goyah tanpa keyakinan di dalamnya. Tapi Dominic semakin mendekat, bahkan ujung hidungnya telah menyentuh ujung hidung Aveline, dengan sorot mata sedingin salju yang terarah pada gadis itu. "Apa kamu pikir aku adalah monster?" tanyanya pelan. Aveline tak menjawab, kecuali matanya yang samar mengerjap. Dominic mengusap pipinya. "Aku hanya manusia normal yang ingin memiliki apa yang diinginkan... Dan kamu, adalah satu hal yang aku inginkan." Aveline menggigit bibirnya. Ingin menangis, ingin menjerit. Tapi yang keluar hanyalah isakan pelan yang tak terdefinisikan. Emosi yang bercampur dengan godaan serta kekacauan. Dominic lalu berdiri kembali, namun tetap menatap tubuh Aveline yang terbungkus lingerie dengan napas berat. "Tapi baiklah. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini, Aveline," ucapnya tiba-tiba. Aveline pun mendongak terkejut. "A-apa?" Pria itu tersenyum. Senyumnya masih tajam, masih licik, tapi juga ada sesuatu yang tampak berbeda, yaitu... kesabaran. "Karena aku ingin kamulah yang datang sendiri padaku nanti. Aku akan menunggu, Aveline. Hingga kamu menyerah, dan suka rela menjadi milikku." *** Pintu kamar itu tertutup rapat setelah kepergian Dominic, tapi jejak kehadirannya masih terasa di setiap inci udara. Aroma maskulinnya seakan melekat di pori-pori. Sentuhannya masih membekas seperti api yang membakar kulit Aveline. Gadis itu terduduk membeku. Napasnya belum kembali teratur, dan jantungnya berdegup terlalu cepat, tak mampu menenangkan gejolak aneh dalam tubuhnya. Apa yang terjadi padaku? Tubuh ini… bukan milikku lagi. Ia seperti bergerak dengan iramanya sendiri. Gelisah. Gerah. Dinginnya penyejuk ruangan kamar bahkan tak membantu. Keringat membasahi tulang lehernya, menggulung turun melewati garis halus di antara dadanya yang masih tertutup lingerie tipis. Tak tahan lagi, Aveline berdiri dengan tubuh goyah dan berjalan ke kamar mandi. Langkahnya gemetar, tetapi dorongan untuk mendinginkan tubuh yang meledak-ledak ini lebih besar daripada ketakutannya. Kamar mandi itu masih seperti sebelumnya. Mewah, bersih, dingin, dan sunyi. Ia membuka keran bathtub, kali ini memilih suhu yang paling dingin. Butuh beberapa detik hingga air memenuhi dasar bak porselen putih itu. Uap dari air panas sebelumnya telah lenyap, digantikan percikan segar yang menampar kulit saat ia memasukkan ujung jemarinya. Aveline menanggalkan lingerie-nya perlahan. Jemarinya gemetar ketika menyentuh kaitan bahu, seolah setiap gerakan mengandung dosa yang tak terucapkan. Ia tak ingin melihat bayangannya di cermin. Tak ingin melihat tubuh yang terasa asing ini, yang telah terpengaruh sentuhan Dominic yang ia benci. Saat tubuh telanjangnya menyentuh air dingin itu, ia menghela napas panjang. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan. Dingin yang menggigit kulit itu menyapu sebagian panas yang bergelora. Ia memejamkan mata, menyandarkan kepala di tepi bathtub. Rambutnya terurai, mengambang, dan tetes air mengalir dari ujung bulu matanya ke pelipis. Namun... bukannya meredam, dingin ini justru memperjelas semuanya. Jantungnya tetap berdebar. Kulitnya tetap meremang. Dan anehnya, tubuhnya malah semakin peka. Puncak dadanya yang menyentuh permukaan air terasa sakit karena dingin, tapi juga sensitif luar biasa. Paha dan perutnya bergetar tanpa alasan. Aveline menggigit bibirnya sendiri, menahan suara-suara dari dalam tubuhnya yang menginginkan sesuatu yang tak mampu ia akui. "Apa yang telah dia lakukan padaku..." gumannya getir. Ia mengangkat satu tangan, menyentuh bagian lehernya sendiri, turun perlahan ke dada yang basah. Gerakan itu bukanlah karena hasrat, tapi keinginan untuk mengenali kembali dirinya sendiri. Dan mencoba mengendalikan tubuh yang terasa bukan miliknya. Tapi ketika ia menyentuh pusat dadanya, desahan pelan pun keluar begitu saja. Aveline langsung menutup mulutnya karena terkejut. Pipinya merah padam karena malu pada dirinya sendiri. Ia pun memeluk lututnya erat-erat dengan tubuh yang gemetar. "Ini bukan aku... Ini bukan aku..." Sayangnya, air dingin itu tetap tak bisa memadamkan api yang sudah dinyalakan. Tetes-tetes air jatuh dari ujung rambutnya, menyatu dengan air di bathtub. Di bawah permukaan itu, tubuh Aveline tetap bergejolak. Perlawanan dan penerimaan saling bertarung dalam diam. Tapi malam masih panjang... dan pikirannya terus berulang pada suara rendah Dominic, pada napasnya yang menyapu telinga, pada tatapan tajam yang menusuk jauh ke dalam. Dan dari tempat tersembunyi dalam batinnya, ketakutan baru mulai muncul. Bukan hanya takut pada Dominic, tapi takut pada dirinya sendiri. Takut bahwa ia secara perlahan dan tak terhindarkan.... mulai menyerah. ***Ruangan itu terasa sunyi seketika, hanya terdengar alunan suara ombak yang berdebur halus di kejauhan. Aveline terdiam beberapa detik seraya menatap Dominic seolah pria itu tidak waras, berpikir betapa absurd-nya taruhan yang ia dengar dari mulutnya. Lalu kemudian ia berpikir lagi. Pasti Dominic merasa sepercaya-diri itu karena... sikapnya semalam yang seperti jalang haus sentuhan. Aveline pun menggeleng penuh amarah. “Sebagai informasi, apa yang terjadi semalam itu adalah murni karena obat dalam makanan yang kamu berikan. Itu bukan aku! Aku bukan tipe wanita seperti itu," sergahnya dengan nada suara yang mulai meninggi. Dominic tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya mengangguk pelan, seolah fakta itu justru menguatkan keyakinannya. “Kamu tidak perlu membela diri, Aveline. Aku tahu itu. Setelah yang terjadi semalam, aku sudah tahu bahwa kamu belum pernah tidur dengan pria mana pun sebelumnya," sahutnya santai, “Jadi bukankah itu artinya kamu tak punya alasan lain
Aveline memilih diam, tapi bukan karena ia tak mampu membalas ucapan Dominic yang mengundang tadi. Yang begitu terang-terangan membawa arah pembicaraan ke sisi gelap yang tak pantas dibicarakan saat sarapan, karena ia tahu bahwa meladeni pria itu hanya akan membuatnya tenggelam lebih dalam dalam permainan licik yang entah bagaimana selalu dikendalikan Dominic. Maka dengan sisa harga diri yang masih ia miliki, Aveline menegakkan punggungnya dan melanjutkan sarapannya. Suapan demi suapan ia telan perlahan, walau tak benar-benar menikmati rasanya. Setiap gerakannya terasa kaku karena menahan amarah yang mendidih. Tanpa sadar, tatapannya yang penuh kesal sejak tadi tak lepas dan terus terarah pada pria di hadapannya. Dominic yang duduk santai di seberang meja, menerima sorot tajam dari manik biru Aveline itu tanpa terlihat sedikit pun terpengaruh. Seolah sorot penuh permusuhan yang ditujukan padanya tak lebih dari desir angin sejuk di pagi hari. Pria itu hanya sedikit mena
Aveline menggigit pelan ujung croissant yang mulai kehilangan kehangatannya. Matanya menatap kosong ke arah laut lepas di balik dek, meski telinganya masih menangkap gema dari kata-kata pria itu. Satu pertanyaan. Dan itu disebut sebagai hadiah? Gadis itu mengerjapkan matanya perlahan dan getir. 'Hadiah? Serius? Jadi, dia pikir dengan memberiku kesempatan mengajukan satu pertanyaan itu adalah hadiah? Pria ini sudah menculikku, merudapaksa, memasukkan sesuatu ke dalam makananku tanpa izin, dan sekarang dengan entengnya menyebut satu jawaban darinya sebagai sebuah hadiah? Dasar psikopat.' Jantungnya pun berdegup cepat bukan karena rasa takut, melainkan karena amarah yang begitu ditekan hingga nyaris mendidih dalam diam. Namun Aveline tahu, seberapa pun bencinya ia pada pria ini, seberapa pun ia ingin berteriak dan melempar cangkir porselen ke wajah dingin itu, kenyataannya saat ini dia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan. Dominic-lah yang memegang semua kendali.
Suara gemericik halus air yang menetes dari ujung rambutnya, menjadi satu-satunya suara yang terdengar ketika Aveline melangkah keluar dari walk-in closet. Tubuhnya sudah bersih dan segar setelah mandi, dan kini ia mengenakan gaun selutut berwarna kuning lembut yang entah mengapa begitu pas menggantung di bahunya yang ramping. Namun... kamar itu kini kosong. Tak ada lagi Dominic yang duduk santai di sofa dengan tabletnya. Meninggalkan Aveline dalam keheningan, serta perasaan disorientasi yang kembali menyerang. Seketika benaknya pun teringat kembali pada pagi hari kemarin. Saat ia sedang berdiri di atas podium dan disambut tepuk tangan gemuruh, untuk menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik. Wajahnya membuncah dengan bangga. Masa depan pun seolah terhampar terbuka di depan matanya. Tapi sekarang.... tepat dua puluh empat jam kemudian, ia telah berdiri di atas superyacht mewah yang sedang berlayar ke tempat antah-berantah. Hidupnya seperti cerita fiksi yang
Aveline tidak tahu sejak kapan napasnya berubah begitu berat. Tubuhnya panas. Terlalu panas. Dan apa yang barusan bibir Dominic lakukan pada bagian sensitif di bawah tubuhnya, adalah hal yang benar-benar menggetarkan seluruh syarafnya. Aveline memang belum pernah disentuh seintim dan sepanas ini oleh seorang pria sebelumnya, namun ia juga bukanlah gadis naif yang tak tahu apa pun tentang bercinta, atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. Ia hanya... tak menyangka, bahwa seperti inilah rasanya. Dominic belum memasukinya, mereka baru memasuki tahap foreplay. Tapi rasanya seperti Dominic telah menarik jiwa Aveline keluar dari tubuhnya hingga berkali-kali. Mereka belum bercinta, tapi Aveline telah berulang kali mendapatkan orgasmenya. Keringat mengalir di pelipis Aveline, dan matanya yang setengah terpejam menangkap siluet Dominic yang berdiri berada di atasnya. Pria itu sedang menatapnya dalam-dalam. “Apa yang kamu... apa yang terjadi padaku?” Suaranya parau, nyaris tidak kel
Dominic membuka pintu kamar mandi dengan perlahan. Udara dingin segera menyapa kulitnya, berpadu dengan aroma lembut sabun mawar dan vanilla yang menggantung di udara. Suara gemercik air masih terdengar pelan. Sejenak manik coklat dingin itu menyapu ke seluruh ruangan, lalu berhenti tepat di tengah bathtub yang dipenuhi air dingin. Pandangannya terpaku pada Aveline... yang tampak sedang tertidur di dalam sana. Kepala gadis itu bersandar di tepi bathtub, helai-helai rambut pirang basahnya mengambang di permukaan air. Matanya tertutup rapat dengan bibirnya yang sedikit terbuka. Napasnya berhembus halus, namun tubuhnya tampak menggigil pelan. Kulitnya tampak pucat, sebagian tersembunyi di balik riaknya bayangan air. Dominic mendekat dengan langkah yang tenang namun dalam diam, dengan tatapan menelusuri tiap senti tubuh gadis itu. Air memang menutupi sebagian besar tubuh Aveline, tapi transparansi dan pantulan cahaya dari lampu gantung membuat siluetnya tetap samar
Sepeninggal kedua staf kapal itu, tatapan Dominic kembali menelusuri tubuh Aveline dengan sorot penuh hasrat. Aveline menunduk, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang merah padam karena malu dan juga... sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Gelombang panas dari perutnya kini menjalar lambat ke seluruh tubuh, menghadirkan sebuah sensasi yang membuat gemetar seluruh syarafnya. "Aku tak menyangka jika mereka akan memilihkan lingerie itu untukmu," bisik Dominic dengan suara rendah yang dalam. "Tapi ternyata tak buruk juga. Warna itu membuatmu terlihat semakin menggairahkan." Seketika Aveline mengangkat wajahnya, untuk menatap Dominic dengan sorot penuh kemarahan. "Anda tidak bisa melakukan ini. Aku bukan mainan yang~" "Diam." Satu kata itu meluncur seperti cambuk yang membelah udara, penuh determinasi dan dominasi yang tak terbantahkan dan benar-benar mampu membuat Aveline terdiam. Tatapan pekat dan dingin pria itu seolah menembus kepala Aveline, membuat gadis itu merasa dite
Langkah kaki dua orang wanita berseragam putih terdengar nyaris tanpa suara, saat mereka mendekati Aveline. Di dada mereka, tertera jelas bordiran huruf kapital NORD, nama perusahaan pelayaran mewah yang menaungi kapal ini. Tapi dalam benak Aveline, huruf-huruf itu lebih mirip simbol milik institusi rahasia yang menyeramkan. Tanpa banyak bicara, keduanya mencengkeram lengannya dari kiri dan kanan. Aveline berusaha menolak, tapi entah kenapa tubuhnya sudah terlalu lemah. Kakinya bahkan nyaris tak sanggup untuk menopang gerakannya. Ia hanya bisa mengerang pelan, merasa seperti boneka yang diseret menuju nasib yang tidak diharapkan. “Apa… apa yang kalian lakukan?” suaranya terdengar parau, seperti bukan suaranya. Mereka tak menjawab. Pintu kabin mewah itu terbuka dengan sensor otomatis, memperlihatkan sebuah ruangan luas bertabur lampu kristal dan sofa beludru. Ruangan itu terletak satu lantai di bawah rooftop kapal, jauh dari hiruk pikuk suara angin malam dan debur ombak.
Suara deburan ombak dan desiran angin laut tak mampu menenangkan gejolak di dada Aveline. Ia terdiam dan duduk di balkon kapal pesiar megah itu, membiarkan angin menerpa rambut pirangnya yang kini telah ia lepaskan dari sanggul sederhana sebelumnya. Makan malam canggung dan aneh itu telah usai, dan tadi Dominic pun tiba-tiba pergi begitu saja entah kemana, ketika ponselnya berdering dan pria itu pun menerimanya. Syukurlah. Paling tidak untuk beberapa saat, Aveline bisa menata hati dan pikirannya agar bisa memproses semua kejadian ini. Tapi masalahnya pikirannya justru semakin kacau alih-alih berusaha untuk tetap tenang. Benak Aveline tak mampu berhenti untuk terus memutar ulang perkataan Dominic barusan. ((Karena hanya kamulah satu-satunya yang bisa membuatku tetap merasa hidup, Nona Aveline Rose)) Kalimat itu bergema dalam pikirannya seperti mantra rumit yang sulit diurai maknanya. Sebelumnya, pria itu berkata bahwa Aveline memiliki sesuatu yang sangat berharga yang tak dimil