Home / Romansa / Pay Me With Your Body / 8. Tubuh Yang Mengkhianati

Share

8. Tubuh Yang Mengkhianati

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-05-18 19:29:38

Langkah kaki dua orang wanita berseragam putih terdengar nyaris tanpa suara, saat mereka mendekati Aveline.

Di dada mereka, tertera jelas bordiran huruf kapital NORD, nama perusahaan pelayaran mewah yang menaungi kapal ini.

Tapi dalam benak Aveline, huruf-huruf itu lebih mirip simbol milik institusi rahasia yang menyeramkan.

Tanpa banyak bicara, keduanya mencengkeram lengannya dari kiri dan kanan.

Aveline berusaha menolak, tapi entah kenapa tubuhnya sudah terlalu lemah. Kakinya bahkan nyaris tak sanggup untuk menopang gerakannya.

Ia hanya bisa mengerang pelan, merasa seperti boneka yang diseret menuju nasib yang tidak diharapkan.

“Apa… apa yang kalian lakukan?” suaranya terdengar parau, seperti bukan suaranya.

Mereka tak menjawab. Pintu kabin mewah itu terbuka dengan sensor otomatis, memperlihatkan sebuah ruangan luas bertabur lampu kristal dan sofa beludru.

Ruangan itu terletak satu lantai di bawah rooftop kapal, jauh dari hiruk pikuk suara angin malam dan debur ombak.

Ruangan ini… terlihat terlalu mewah, dan terlalu pribadi.

Bulu kuduk Aveline pun sontak meremang, ketika kedua staf wanita itu mulai membuka gaun merah yang ia kenakan sejak makan malam tadi.

Gaun itu melorot perlahan dari bahunya, menelusuri lekuk tubuhnya, lalu jatuh ke lantai dengan tanpa suara.

Udara ruangan yang sejuk seketika menyapa kulitnya yang telanjang.

Aveline pun menggigil tapi bukan karena dingin, melainkan karena rasa malu, marah, dan bingung yang bercampur-baur menjadi satu.

Lagi-lagi untuk yang kedua kalinya hari ini, dirinya dipaksa untuk membuka baju di depan orang asing, meski mereka semua adalah wanita,

Tanpa memberi penjelasan apa pun, salah satu staf mengambil sebuah bath robe dari gantungan emas.

Yang ternyata adakah jubah sutra lembut berwarna hitam mengkilap, dengan bordir mawar merah besar di dada.

Jubah itu dibalutkan dengan hati-hati ke tubuh Aveline, seperti sedang menyelimuti hadiah istimewa yang hendak dikirimkan kepada seorang raja.

Aveline nyaris tidak bisa melangkah ketika mereka menggiringnya menuju kamar mandi.

Ruangan itu seluas ruang tamu, dengan bathtub marmer bundar yang dipenuhi air hangat yang mengepul.

Aroma manis yang samar menyeruak ke udara, campuran melati, vanila, dan sesuatu yang tak bisa dikenali… sesuatu yang membuat kepala Aveline sedikit berputar.

Jubah sutra itu pun lalu ditanggalkan dengan perlahan, dan untuk sesaat tubuh Aveline kembali telanjang di bawah cahaya remang lampu gantung kristal.

Ingin sekali ia menutupi dirinya untuk melindungi harga dirinya… tapi lagi-lagi tubuhnya tak mau menurut.

“Aku…” gumannya lirih, “…kenapa rasanya lemas sekali?”

Salah satu staf wanita, yang berambut merah dan bermata abu-abu tajam, menjawab dengan datar, “Itu karena efek obat yang diberikan ke dalam makanan Anda, Nona. Obat penenang dosis ringan. Namun cukup untuk membuat tubuh Anda tak melawan.”

“Obat…?” Aveline memejamkan matanya. “Kalian memberiku obat…?”

“Saran saya,” lanjut wanita itu lagi masih dengan rautnta yang tenang.

“Jangan dilawan, Nona. Tubuh Anda akan terasa sakit jika menentangnya. Rileks saja, dan ikuti alurnya. Jika Anda tidak membuat keributan, Tuan Dominic akan memperlakukan Anda dengan sangat baik.”

Itu saran yang sangat menjijikkan. Kejam. Dan salah.

Rasanya Aveline ingin membentak mereka, ingin berkata bahwa ini semua gila.

Bahwa memperlakukan seseorang seperti boneka, bukanlah bentuk kasih sayang. Tapi sebuah sikap yang kejam.

Namun Aveline tak mengerti kenapa suara di dalam kepalanya semakin terasa jauh. Dan tenggelam, seperti tubuhnya yang kini terbenam perlahan ke dalam bath tub.

Aveline merasakan air hangat menyelimuti kulitnya, seperti selimut lembut yang memanjakan dan membuat sesuatu di dalam dirinya berdesir.

Napasnya semakin terdengar memburu dan kedua matanya terpejam.

Namun itu bukan karena nyaman, tapi karena ia tak kuat menghadapi rasa asing yang menjalar perlahan.

Tubuhnya terasa berat seolah tak bertulang. Tapi di saat yang sama, ada sensasi panas mengendap di perut bagian bawah.

Seperti gelombang yang lembut… yang perlahan berubah menjadi bara kecil.

Rasanya sungguh mengerikan sekaligus membingungkan.

Lalu tangan-tangan itu pun kembali menyentuh tubuhnya.

Dengan lembut, mereka membalur sabun yang wangi ke kulitnya, menyapukan spons lembut ke punggung, bahu, dada, serta pahanya.

Aveline ingin meronta. Ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya desahan samar dari bibirnya yang bergetar.

“Berhenti…” bisiknya hampir tak terdengar, tapi tetap saja tak ada yang peduli.

Mereka memandikan Aveline layaknya boneka porselen mahal.

Mengangkat rambutnya, menyiramnya dengan air hangat, lalu mengeringkan setiap helai rambutnya dengan handuk hangat.

Gerakan mereka sangat profesional. Tapi bagi Aveline, itu semua seperti siksaan yang halus namun sangat nyata.

Setelah selesai, tubuhnya lalu dibungkus lagi dengan bath robe yang baru warna maroon gelap, namun kali ini jauh lebih tipis dan menggoda.

Jubah itu hanya penutup semu, sebelum mereka mengganti pakaiannya dengan lingerie dua potong yang sangat sensual.

Bra renda tipis yang nyaris tembus pandang, dengan potongan bawah berhiaskan pita kecil di sisi kiri.

Warna maroonnya membuat kulit Aveline terlihat semakin pucat, tapi juga semakin menawan.

Salah satu staf mengusap parfum lembut di leher dan pergelangan tangannya. Yang satu lagi menyisir rambutnya dengan hati-hati, membiarkannya tergerai alami.

Dan saat itu juga, pintu ruangan pun terbuka.

Dominic masuk, masih mengenakan kemeja hitam yang terbuka di dua kancing atasnya.

Tatapan matanya menyapu tubuh Aveline seperti kilat. Ia berdiri di sana, memandangi gadis itu seakan ia adalah sajian mewah yang sudah lama ia pesan.

“Luar biasa,” gumannya, suaranya rendah dan dalam. “Kupikir kamu akan sedikit menolak… tapi ternyata justru kamu terlihat sangat siap.”

Aveline mengangkat wajahnya, berusaha menatap tajam pada sindiran sarkas Dominic… tapi justru kumpulan cairan bening yang tampak menggenang di sudut matanya.

“Aku tidak siap. Aku tidak menginginkan ini semua.”

Dominic mendekat dan mencengkeram dagu Aveline lembut untuk menahannya agar tidak menatap ke arah lain.

“Tapi tubuhmu bicara lain, Aveline. Kamu bergetar dan merona. Juga napasmu yang terlalu cepat.”

“Aku ketakutan!” balas Aveline dengan suara gemetar.

Dominic tersenyum tipis. “Ketakutan dan gairah kadang tak bisa dibedakan.” Ia melepaskan cengkeramannya dagu Aveline, lalu menoleh pada kedua staf yang masih berdiri.

“Kalian boleh keluar sekarang.”

Tanpa suara, dua wanita itu berjalan keluar dengan pintu yang menutup otomatis di belakang mereka.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Lian Liliput
waduhh jadi deh diunboxing nihh ...
goodnovel comment avatar
Prita Anindya
aku yg degdegan dong wkwkwk
goodnovel comment avatar
Bianca
waaahh ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pay Me With Your Body   130. Keluargaku, Keajaiban Dalam Hidupku (Tamat)

    SEPULUH TAHUN KEMUDIAN... Angin musim semi berhembus lembut di halaman luas sebuah mansion megah yang berdiri di tepian danau Michigan. Bangunan bergaya neoklasik dengan sentuhan modern itu berdiri kokoh, dikelilingi taman bunga yang selalu bermekaran sepanjang tahun karena perawatan ketat para gardener. Pilar-pilar putih menjulang gagah, sementara jendela kaca raksasa memantulkan cahaya matahari pagi. Burung-burung kecil beterbangan di udara, seolah ingin menambah kesempurnaan pagi itu. Mansion itu adalah rumah bagi Dominic dan Aveline. Setelah begitu banyak badai dan bahaya yang mereka lewati, siapa sangka takdir justru menghadiahkan mereka sesuatu yang nyaris mustahil. Yaitu sebuah keluarga kecil yang utuh. “Ayah! Ayah! Lihat, aku bisa lebih cepat daripada Henry!” teriak seorang bocah berusia delapan tahun, rambut pirangnya berantakan, kakinya berlari di atas rerumputan hijau. “Tidak bisa! Aku yang lebih cepat!” sahut adiknya yang berusia lima tahun, dengan ramb

  • Pay Me With Your Body   129. Cinta dan Pengorbanan

    Musik lembut dari orkestra masih mengalun ketika pintu ballroom terbuka kembali. Semua kepala menoleh sejenak, lalu muncul sosok perempuan anggun dengan gaun malam satin biru gelap. Rambut coklatnya ditata sederhana namun elegan, wajahnya bercahaya dengan keteduhan khas seorang ibu. Wanita itu adalah Elle Takahashi. Di kedua tangannya, masing-masing tergenggam erat dua anak kecil kembar. Akio di sisi kanan dan Ayaka di sisi kiri. Meski bukan anak kandungnya, jelas terpancar hanya kasih sayang murni di antara mereka. Mereka bertiga berjalan sambil berceloteh ringan. Tatapan polos kedua anak itu melirik ke segala arah, kagum dengan dekorasi pesta yang berkilauan. “Look, Ayaka,” bisik Akio sambil menunjuk langit-langit ballroom yang dipenuhi ribuan kristal cahaya. “Seperti bintang jatuh.” Ayaka terkekeh kecil. “Atau seperti istana putri!” Tawa kecil mereka terdengar jernih, membuat banyak tamu menoleh sambil tersenyum. Sementara itu, seorang babysitter berjalan d

  • Pay Me With Your Body   128. Pesta Pernikahan

    Malam itu, langit Chicago dihiasi gemerlap lampu kota yang seakan ikut merayakan kebahagiaan dua insan yang telah melewati jalan berliku. Di sebuah ballroom megah di tepi Chicago Riverwalk, pesta pernikahan Dominic dan Aveline berlangsung dengan kemewahan yang elegan, sesuai janji yang pernah Dominic ucapkan sebelumnya. “Pernikahan di Portofino khusus untuk kita. Di kota yang kamu sukai, dan tempat kamu menari dengan bebas untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.” "Dan di Chicago, karena di sanalah seluruh hidupmu sebelumnya berada. Teman-temanmu. Kenangan masa kecilmu. Kalau kamu ingin mengundang siapa pun, entah itu teman kuliah, rekan penari, anak-anak panti asuhan bahkan teman sekolah di masa kecil sekalipun, maka lakukanlah, Little Dove." Ballroom itu dipenuhi kristal berkilauan, bunga mawar putih dan kuning yang melambangkan cinta abadi mereka, serta dentingan orkestra live yang memainkan alunan romantis. Gaun putih Aveline berkilau di bawah cahaya lampu gantung,

  • Pay Me With Your Body   127. Akhir Perjalanan

    Udara dingin dari perairan Danau Michigan menyapu dek kapal, ketika NORD meluncur perlahan mendekati garis kota Chicago. Siluet gedung-gedung pencakar langit menjulang, terpantul cahaya senja yang menguning keemasan. Riuh suara pelabuhan terdengar samar di kejauhan, namun Dominic memilih jalur yang berbeda. Ia sudah mempersiapkan sesuatu jauh sebelum kapal ini merapat. “Pelabuhan ini terlalu ramai,” gumannya seraya menatap layar navigasi. “Aku tidak ingin kamu berdesakan dengan orang asing setelah perjalanan panjang.” Aveline yang berdiri di sisinya, menoleh dengan senyum tipis. “Kamu selalu memikirkan segalanya dengan detail, ya?" Dominic hanya mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang namun penuh kendali. “Tentu saja. Aku tidak akan pernah setengah-setengah kalau menyangkut dirimu, Sayang.” Beberapa menit kemudian, terdengar suara deru baling-baling. Sebuah helikopter hitam elegan sudah menunggu di dek atas. Begitu NORD hampir mencapai batas pelabuhan, helikopter i

  • Pay Me With Your Body   126. Kembali Ke Chicago

    BEBERAPA HARI KEMUDIAN... Matahari sore merayap pelan ke ufuk barat, cahayanya redup keemasan menembus pepohonan cemara yang berjajar kaku di pemakaman keluarga Deveraux. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga lili putih yang ditaburkan di atas nisan marmer hitam. Di hadapan mereka terhampar dua makam yang berdampingan. Celeste, dan Lucien Deveraux. Aveline berdiri terpaku. Kedua tangannya saling menggenggam erat di dada, jari-jarinya pucat dan terjalin dalam posisi berdoa itu terlihat bergetar. Matanya menatap nisan itu tanpa berkedip, seolah berharap prasasti dingin itu akan runtuh dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Dominic berdiri di sampingnya dengan posisi sedikit di belakang, seolah memberi ruang bagi istrinya untuk menghadapi luka yang terlalu dalam, dan menerimanya dengan lapang dada sebagai bagian dari hidupnya. “Ayah dan ibu…” bisik Aveline lirih. “Kalian berdua akhirnya bersama lagi. Meskipun seharusnya tidak dengan cara yang seperti ini

  • Pay Me With Your Body   125. Cinta Yang Tak Tergantikan

    Aveline terbangun dalam dekapan Dominic. Tubuhnya terasa begitu hangat, membuatnya mengira bahwa dirinya sudah mati dan kini berada di alam lain, dipertemukan kembali dengan suaminya yang lebih dulu tiada. “Dominic…?” bisiknya lirih dan serak bercampur isakan kecil. Ia menatap wajah pria itu yang begitu dekat dengannya. Mata coklat gelap dan dalam yang dirindukannya, garis rahang yang tegas, dan senyum tipis yang begitu nyata hingga terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan. "Apa aku sudah mati? Tapi aku tidak keberatan... jika akhirnya bisa bertemu denganmu lagi," ucap Aveline sendu dengan mata birunya yang berkaca-kaca. Dominic sempat tertegun. Sesungguhnya ia ingin segera meyakinkan istrinya bahwa ia masih ada di sini, hidup dan bernafas. Namun melihat sorot mata Aveline yang penuh keyakinan itu membuat Dominic diam-diam tersenyum nakal. Ia berniat menjahili istrinya. “Aku datang menjemputmu, sayang,” ucapnya pelan, penuh nada misteri. “Kita akan bersama di duni

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status