Share

Bab 5

"Madam, kenapa gaji saya dipotong? Apa salah saya?" tanya Tika frustrasi. Dia sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak terdengar membentak. Meski ingin sekali dia memaki.

"Saya tidak tahu, itu keputusan atasan, saya bahkan baru diberitahu tadi pagi. Sejam sebelum kamu diberitahu," Madam Cleo membela diri.

Tika semakin merasa frustasi. Gaji yang selama ini dia terima saja hanya menyisakan sedikit untuk ditabung, tetapi ini justrus dipotong. Bagaimana nasibnya nanti?

"Madam, madam tahu saya selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik, tidak kalah dari rekan kerja yang lain, tapi kenapa hanya saya yang diperlakukan begini." Suara Tika mulai serak, mendung mulai bergelayut di matanya.

"Tika, sudah bilang, saya juga tidak tahu kenapa gajimu dipotong. Ini perintah dari CEO langsung. Tadi, saya sudah berusaha membujuk pihak keuangan, tapi mereka juga tidak punya pilihan," ungkap Madam Cleo.

Tika terkesiap mendengar penjelasan Madam Cleo. Namun, Tika tahu madam Cleo tidak mungkin bohong. Meskipun galak, beliau adalah orang yang berintegritas.

'Jadi, siapa CEO kurang ajar yang berbuat seenaknya itu,' bisik Tika dalam hati.

"Bagaimana bisa beliau berbuat begitu?" 

"Itu yang ingin saya tanyakan. Apa kau membuat masalah dengan CEO baru, sampai kau dihukum seperti itu?" tanya Madam Cleo penasaran.

"Saya bahkan belum pernah melihat wajah CEO baru kita, Madam."

"Kamu benar. Baiklah, kau tidak punya pilihan. Sementara ini kau terima saja." Madam Cleo berbalik pergi.

Tika melangkah gontai ke mejanya. Rose segera menghampiri.

"Tika, are you okey?" tanya Rose setelah berada di depan Tika.

"Umm, nggak. Ra--sanya mau mati," isak Tika.

Rose memeluk Tika lalu membelai kepala gadis itu.

"Kamu kuat, Tika. Yang penting kamu belum dipecat," hibur Rose.

"Kamu benar, Rose. Setidaknya aku masih bekerja," Tika menghela napas berat lalu menghapus air mata yang sempat tumpah.

Tiba-tiba Rose terpikir suatu ide bagus, "Tika, kenapa kau tidak tanya secara langsung pada CEO nanti sore saat upacara pelantikannya?"

"Menurutmu dia akan mau berbicara denganku?" Tika mulai memiliki setitik harapan.

"Kenapa tidak, itu acara besar dan dihadiri banyak CEO dari perusahaan lain. Dia pasti ingin menjaga nama baiknya. Jadi, kau tinggal buat keributan kalau tidak mau berbicara denganmu," usul Rose.

"Rose, kau gila. Aku bisa dipecat kalau sampai membuat keributan. Yang benar saja."

Rose mengendikkan bahu, "Kan kubilang seumpama dia tidak mau bicara, Tik."

"Baiklah, akan aku coba saranmu," putus Tika setelah beberapa saat.

"Nah, itu bagus. Kamu bisa lebih dulu berbicara dengan asistennya nanti," saran Rose.

"Tapi, aku bahkan tidak tahu wajah mereka sama sekali."

"Kamu tenang saja, kamu kan nanti pergi bersama beberapa staf dari divisi lain, kamu bisa bertanya dengan mereka." Rose menenangkan.

"Yeah, baiklah. Terima kasih, Rose," ungkap Tika tulus.

Rose mengangguk seraya tersenyum.

***

"Kau seharusnya urus itu dengan baik Arthur, aku sudah membayarmu mahal!" raut marah tergambar jelas di wajah lelaki tampan yang masih mengenakan setelan lengkap. 

"Maafkan saya, pak Axel, ibu Laura menuntut kita lepas tangan atau dia akan meminta agen FBI langsung menangkap bapak," jelas lelaki bernama Arthur dengan suara gemetar. Dia beruntung, karena hanya menerima makian lewat telepon. Andaikan bertemu langsung, dia yakin tubuhnya sudah habis dipukuli.

"Sh*t up, perempuan itu masih meragukanku rupanya." Kini raut kemarahan berubah menjadi rasa frustrasi.

"Maafkan aku, Pak. Aku kurang kompeten," sesal Arthur.

"Baiklah, tolong tetap berusaha untuk melobi. Aku akan coba bicara dengan Laura." Axel mengakhiri sambungan.

Axel melonggarkan dasi yang melilit dagunya, dia merasa sesak napas. Kepalanya terasa pusing. Dia menyulut rokoknya. Matanya menjelajah sisi kota North Carolina yang tertangkap dari jendela kamar apatemennya.

"Sepertinya, akhir-akhir ini kau menjadi sedikit melankolis, Axel," tegur sebuah suara.

Axel berbalik lalu tersenyum sinis, "Terima kasih, sudah memujiku."

"Sama-sama," balas Reiden seraya tersenyum mengejak.

Axel manggut-manggut lalu kembali berdiri memandang ke luar jendela. Kerlap-kerlip lampu lumayan menyenangkan untuk dipandang.

"Aku tadi bertemu dengan gadis yang kau cari," celetuk Reiden.

Mata Axel membulat lalu menghampiri Reiden.

"Dimana?" suara Axel penasaran dan antusias. Reiden sudah menyangka akan reaksi Axel, tapi tetap saja itu membuatnya kaget ketika melihatnya secara langsung.

"Rupanya kau sangat peduli dengan gadis itu," pancing Reiden.

"Tentu saja. Dia membawa payung merah dan juga punya hutang padaku." Axel beralasan.

"Kau yakin hanya sebatas itu?" Reiden makin penasaran.

"Reiden!" Axel mulai kesal karena bawahannya satu ini terus-menerus memancing.

"Baiklah, baiklah. Akan aku beritahu," ucap Reiden mengalah.

"Bagus, ceritakan!" komando Axel.

"Aku bertemu dia di acara pelantikanmu." Reiden berhenti demi memancing rasa penasaran Axel.

"Lalu? Kenapa kau berhenti bicara?" Axel sungguh penasaran bagaimana gadis kurang ajar itu datang pada acara pelantikkannya. Seingat Axel, hanya dewan direksi dan beberapa karyawan senior yang diundang. Sedangkan, gadis itu hanya karyawan rendahan.

Reiden tersenyum, lalu menlanjutkan, "Kau ingat, kau menyuruhku untuk memotong gaji wanita itu karena dia tak kunjung menghubungimu? Ternyata dia tidak dengan sengaja melakukannya. Dia kehilangan kartu namamu dan tidak tahu siapa namamu. Itu alasannya tidak menghubungimu. Bukan karena ingin lari dari tanggungjawab," jelas Reiden.

"Jadi, alasan dia datang pada hari pelantikanku .... " suara Axel menggantung.

"Ya, dia ingin bertanya alasan kau memotong gajinya. Dia sangat frustrasi dan sedih ketika mengetahui gajinya dipotong atas perintah seorang CEO baru yang bahkan  dia tidak tahu wajah dan namanya. Untuk itu, dia datang ke acara pelantikanmu untuk bertanya alasannya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa CEO itu kamu, orang yang sudah membayar makan siangnya," beber Reiden.

"Wajahnya langsung pucat saat melihat kau berjalan ke podium untuk memberi sambutan. Bahkan saat aku bertanya keadaannya, dia hanya menggeleng dan berlari ke luar gedung. Aku rasa dia sangat syok,"sambung Reiden lagi.

Saat mendengar kebenaran yang disampaikan oleh Reiden, Axel sedikit merasa bersalah. Namun, dia adalah seorang Axel yang tidak akan kalah pada perasaan remeh semacam itu. Salah wanita itu sendiri berani melibatkan diri dengannya.

"Biarkan saja dia," Axel berkata dingin.

Reiden terkesiap tak menyangka dengan reaksi Axel. Reiden pikir, Axel akan berubah pikiran dan mengampuni wanita itu.

"Tapi, kurasa kau tak perlu mengurangi gajinya. Dia bekerja cukup baik selama ini," Reiden mencoba memberi masukan.

"Untuk itu, kurasa kau sedikit benar. Kembalikan saja gajinya," ujar Axel.

"Oke, tapi, ...." Reiden ragu-ragu.

"Katakan saja."

"Masalah payung merah yang ada di tangan gadis itu bagaimana?"

"Itu nanti akan ku pikirkan. Sekarang kita punya permasalahan baru, Rei," wajah Axel berubah serius.

"Apa ini menyangkut bisnis tambang di California?" tebak Reiden.

"Kau benar, Laura melarang kita turut serta," ujar Axel.

"Pasti karena payung itu, kan?"

"Yeah, kita harus segera bertemu Laura."

"Akan ku atur."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status