Share

Bab 4

Penulis: IchiOcha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-24 12:16:10

Seorang lelaki tengah menikmati secangkir kopi di tangannya sembari menikmati langit senja kota North Carolina. Tak luput, sebatang rokok bermerk mahal terselip di sela bibirnya yang berisi. Asap putih yang mengepul dari ujung rokok menambah pesonanya, meski tak ada sedikitpun garis keramahan pada wadahnya.

"Aku tidak tahu kau suka senja?" sela sebuah suara yang baru saja datang dan duduk di hadapan lelaki itu.

Lelaki itu tidak menjawab dan hanya mengendikkan bahunya.

"Tapi, aku akui, senja di North Carolina adalah yang terbaik. Apalagi bila melihatnya dari apartemenmu ini," lelaki yang baru datang itu kembali berucap.

"Yah, kamu benar." Akhirnya pria yang merokok bersuara.

"Oh, ya, Axel, apakah wanita itu belum menghubungimu?" 

Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Pasalnya, Axel terlihat kesal sejak kemarin. Sudah dua hari sejak Axel memberikan kartu namanya, tapi wanita itu tak kunjung menghubungi.

"Ada apa dengan suaramu?" balas Axel dengan pertanyaan.

"Umm, aku hanya khawatir wanita itu melarikan diri darimu," ujar Reiden.

"Tidak mungkin," kata Axel tak yakin.

"Apa tidak lebih baik kita cari saja wanita itu?" tawar Reiden.

Axel tampak berpikir sejenak. Lalu mengangguk, "Baiklah, cari dia untukku, Reiden."

"Emm, ... " kalimat Reiden menggantung.

"Ada apa lagi, Rei?" Axel mulai gusar. Dia heran dengan tingkah laku Reiden akhir-akhir ini.

"Sebenarnya aku sudah mencari tahu mengenai siapa wanita itu dari pelayan kafetaria."

Mata Axel membulat, dia ingat pernah melarang Reiden untuk mencari tahu soal wanita itu dan menunggu wanita itu menghubunginya, tapi rupanya Reiden tidak mematuhinya. Namun, ternyata hal tersebut tidak terlalu buruk.

"Baik, apa yang pelayan itu katakan?"

"Pelayan mengatakan bahwa wanita yang kita cari bekerja di perusahaan yang sama dengan kita. Jadi, artinya dia adalah bawahanmu,"ungkap Reiden. Dia bersyukur Axel tidak menegurnya karena tidak menuruti perintah.

"Dunia sangat sempit," Axel tertawa sinis.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Reiden.

"Apa lagi? Kita harus menghukum orang tak tahu malu yang tidak mengembalikan hutangnnya bahkan mencoba melarikan diri." Raut muka Axel datar dan dingin, persis ketika dia sedang memutuskan hukuman bagi anggota organisasi yang berkhianat.

"Maksudmu? Apa kita akan memecatnya atau menculiknya?" Reiden bertanya bingung. Selama ini dia selalu membereskan musuh-musuh Axel, tapi musuh Axel bukan orang biasa, mereka adalah mafia dan anggota geng. Jadi, sangat wajar bila Reiden bingung cara mengatasi orang biasa yang telah membuat atasannya marah.

"Astaga Reiden, kenapa kau sangat bodoh? Potong gajinya!" perintah Axel dengan nada tinggi.

"O'oh baik. Kau yakin?" Reiden ingin mengkonfirmasi keputusan Axel karena dia menemukan nama Tika di kertas yang Axel buang ke tempat sampah.

"Kau mau ikut ku hukum?" hardik Axel.

"Oke, oke, jangan marah. Akan segera aku urus." Reiden segera berbalik meninggalkan Axel yang masih kesal menahan marah.

"Gadis kurang ajar, kenapa wajahmu harus mirip Marie!" teriak Axel tertahan usai Reiden keluar. 

Axel lalu beranjak ke arah brankas lalu mengambil sebuah foto. Foto itu adalah jenis foto lama, karena hampir buram. Axel tampak tertawa bahagia bersama seorang wanita dalam foto itu. Di balik foto terdapat sebuah tulisan tangan yang ditulis rapi.

Axelku, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. Sejak bertemu denganmu, engkau satu-satunya lelaki yang ingin aku nikahi. 

Dari yang mencintaimu, Marie

Butiran bening mengalir dari kedua bola mata itu. Axel tidak pernah menangis bahkan ketika puluhan pisau menikam badannya, tapi kenangan tentang Marie selalu berhasil melemahkannya. 

***

Sementara itu, wanita yang tadi dibicarakan oleh Axel dan Reiden kini sedang berada di restoran bersama dengan teman kantornya, Rose.

"Tika, kamu sudah lebih baik?" tanya Rose khawatir. Tika masih terlihat sedikit pucat meski hari ini dia sudah masuk kerja.

"Yeah, better than yesterday, Rose."

"Syukurlah. Besok kamu harus menghadiri pelantikan CEO baru, aku harap kamu sudah benar-benar pulih," tutur Rose tulus.

Tika mengangguk. Dia ingat tadi siang Madam Cleo memintanya menghadiri acara pelantikan sebagai hukuman. 

"Kamu harus bersyurkur Tika, Madam Cleo ada acara keluarga, sehingga memintamu menggantikannya. Aku bahkan iri," celoteh Rose.

"Kamu mau menggantikanku?" Tika sebenarnya tidak terlalu berminat dengan acara seperti itu apalagi acarannya saat akhir pekan. Tika berencana pergi berkemah.

"Ingin sekali, Tika, tapi kau tahu Madam Cleo. Dia tidak suka diintervensi. Kalau aku berani menggantikanmu, aku yakin kita berdua akan habis dimarahi atau bahkan dapat pemotongan gaji."

Tika mendengus, "Kamu, benar. Madam Cleo sangat kaku. Aku hampir tidak bisa bernapas."

Rose menyodorkan sepotong daging ke mulut Tika, "Sudahlah, ayo makan dulu. Setelah itu akan ku ceritakan padamu apa yang terjadi saat kau tidak masuk."

"Oke." Tika melahap potongan daging yang diberikan kepadanya.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, semua hidangan sudah tandas. Tika merasa lebih baik setelah makan. 

"Jadi, apa yang terjadi?" suara Tika antusias dan ceria.

Rose mengulum senyum, kekhawatirannya menguap.

"Kantor sangat heboh kemarin, jajaran direksi berbondong-bondong menyambut CEO baru, lalu hampir semua staf wanita di kantor kita keluar ruangan demi melihat CEO baru itu. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas, mereka berteriak memujanya. Bahkan sampai waktu makan siang, mereka masih membicarakan CEO itu tanpa henti," beber Rose.

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku tidak sempat melihat atau bahkan bertemu dengan CEO itu. Aku ingin tapi Madam Cleo terus-menerus memberiku tugas dan bahkan mengawasiku. Aku tidak beranjak sedikit pun dari mejaku. Saat memiliki waktu, CEO itu di kantornya. Mana bisa pegawai sepertiku masuk ke kantor CEO." 

"Kau pasti kecewa ya?"

"Sedikit, tapi, toh, kamu besok akan hadir di pelantikannya. Kamu bisa mengambil foto CEO kita dan mengirimkan padaku." 

"Huh, tidak gratis."

"Aku traktir kamu makan daging," ujar Rose seraya mengerlingkan matanya.

"Oke, setuju." Mereka bersalaman, lalu tertawa bersama.

"Oh, ya, kamu sudah menyiapkan gaun?" sambung tanya Rose saat keduanya akan pulang.

"Belum. Sepertinya aku pakai gaun lama ku saja," Tika menjawab asal.

"Astaga, Tika. Besok itu acara besar, kamu harus berpakaian layak. Siapa tahu kamu bertemu takdirmu," goda Rose.

"Rose, jangan mulai ya. Aku punya seseorang di pikiranku," Tika mengelak.

"Waw, Tika. Siapa itu? Apakah aku kenal?" selidik Rose.

"Umm ... , nggak. Aku bahkan tak tahu siapa namanya." Pikiran Toika menerawang, mengingat kembali kartu nama yang sudah rusak.

"Gadis gila. Aku tahu sekarang, pasti orang itu yang sudah membuatmu melamun dua hari yang lalu."

"Yeah." 

"Aduh, Tika. Tapi bagaimana kamu bisa tidak tahu namanya?"

"Dia tidak mau memberitahuku namanya," gumam Tika.

"Artinya orang itu tidak ingin berhubungan lebih jauh denganmu, Tik. Hentikan saja." Rose menasehati.

"Tidak, bukan begitu. Dia memberiku kartu nama, tapi aku merusaknya," ucap Tika putus asa.

Rose terkesiap, "Kau gadis bodoh. Tidak apa-apa, lupakan dulu itu, fokuslah untuk acara besok. Aku akan mengirim beberapa gaunku ke tempatmu."

"Tidak perlu, Rose, astaga."

"Tidak menerima penolakan. Aku pergi." Rose memilih arah langkah yang berbeda dari Tika lalu berlalu pergi.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Payung Merah   Bab 40

    Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris

  • Payung Merah   Bab 39

    "Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re

  • Payung Merah   Bab 38

    Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki

  • Payung Merah   Bab 37

    "Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak

  • Payung Merah   Bab 36

    Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada

  • Payung Merah   Bab 35

    Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag

  • Payung Merah   Bab 34

    "Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum

  • Payung Merah   Bab 33

    "Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."

  • Payung Merah   Bab 32

    Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status