Share

Bab 4

Seorang lelaki tengah menikmati secangkir kopi di tangannya sembari menikmati langit senja kota North Carolina. Tak luput, sebatang rokok bermerk mahal terselip di sela bibirnya yang berisi. Asap putih yang mengepul dari ujung rokok menambah pesonanya, meski tak ada sedikitpun garis keramahan pada wadahnya.

"Aku tidak tahu kau suka senja?" sela sebuah suara yang baru saja datang dan duduk di hadapan lelaki itu.

Lelaki itu tidak menjawab dan hanya mengendikkan bahunya.

"Tapi, aku akui, senja di North Carolina adalah yang terbaik. Apalagi bila melihatnya dari apartemenmu ini," lelaki yang baru datang itu kembali berucap.

"Yah, kamu benar." Akhirnya pria yang merokok bersuara.

"Oh, ya, Axel, apakah wanita itu belum menghubungimu?" 

Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Pasalnya, Axel terlihat kesal sejak kemarin. Sudah dua hari sejak Axel memberikan kartu namanya, tapi wanita itu tak kunjung menghubungi.

"Ada apa dengan suaramu?" balas Axel dengan pertanyaan.

"Umm, aku hanya khawatir wanita itu melarikan diri darimu," ujar Reiden.

"Tidak mungkin," kata Axel tak yakin.

"Apa tidak lebih baik kita cari saja wanita itu?" tawar Reiden.

Axel tampak berpikir sejenak. Lalu mengangguk, "Baiklah, cari dia untukku, Reiden."

"Emm, ... " kalimat Reiden menggantung.

"Ada apa lagi, Rei?" Axel mulai gusar. Dia heran dengan tingkah laku Reiden akhir-akhir ini.

"Sebenarnya aku sudah mencari tahu mengenai siapa wanita itu dari pelayan kafetaria."

Mata Axel membulat, dia ingat pernah melarang Reiden untuk mencari tahu soal wanita itu dan menunggu wanita itu menghubunginya, tapi rupanya Reiden tidak mematuhinya. Namun, ternyata hal tersebut tidak terlalu buruk.

"Baik, apa yang pelayan itu katakan?"

"Pelayan mengatakan bahwa wanita yang kita cari bekerja di perusahaan yang sama dengan kita. Jadi, artinya dia adalah bawahanmu,"ungkap Reiden. Dia bersyukur Axel tidak menegurnya karena tidak menuruti perintah.

"Dunia sangat sempit," Axel tertawa sinis.

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Reiden.

"Apa lagi? Kita harus menghukum orang tak tahu malu yang tidak mengembalikan hutangnnya bahkan mencoba melarikan diri." Raut muka Axel datar dan dingin, persis ketika dia sedang memutuskan hukuman bagi anggota organisasi yang berkhianat.

"Maksudmu? Apa kita akan memecatnya atau menculiknya?" Reiden bertanya bingung. Selama ini dia selalu membereskan musuh-musuh Axel, tapi musuh Axel bukan orang biasa, mereka adalah mafia dan anggota geng. Jadi, sangat wajar bila Reiden bingung cara mengatasi orang biasa yang telah membuat atasannya marah.

"Astaga Reiden, kenapa kau sangat bodoh? Potong gajinya!" perintah Axel dengan nada tinggi.

"O'oh baik. Kau yakin?" Reiden ingin mengkonfirmasi keputusan Axel karena dia menemukan nama Tika di kertas yang Axel buang ke tempat sampah.

"Kau mau ikut ku hukum?" hardik Axel.

"Oke, oke, jangan marah. Akan segera aku urus." Reiden segera berbalik meninggalkan Axel yang masih kesal menahan marah.

"Gadis kurang ajar, kenapa wajahmu harus mirip Marie!" teriak Axel tertahan usai Reiden keluar. 

Axel lalu beranjak ke arah brankas lalu mengambil sebuah foto. Foto itu adalah jenis foto lama, karena hampir buram. Axel tampak tertawa bahagia bersama seorang wanita dalam foto itu. Di balik foto terdapat sebuah tulisan tangan yang ditulis rapi.

Axelku, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. Sejak bertemu denganmu, engkau satu-satunya lelaki yang ingin aku nikahi. 

Dari yang mencintaimu, Marie

Butiran bening mengalir dari kedua bola mata itu. Axel tidak pernah menangis bahkan ketika puluhan pisau menikam badannya, tapi kenangan tentang Marie selalu berhasil melemahkannya. 

***

Sementara itu, wanita yang tadi dibicarakan oleh Axel dan Reiden kini sedang berada di restoran bersama dengan teman kantornya, Rose.

"Tika, kamu sudah lebih baik?" tanya Rose khawatir. Tika masih terlihat sedikit pucat meski hari ini dia sudah masuk kerja.

"Yeah, better than yesterday, Rose."

"Syukurlah. Besok kamu harus menghadiri pelantikan CEO baru, aku harap kamu sudah benar-benar pulih," tutur Rose tulus.

Tika mengangguk. Dia ingat tadi siang Madam Cleo memintanya menghadiri acara pelantikan sebagai hukuman. 

"Kamu harus bersyurkur Tika, Madam Cleo ada acara keluarga, sehingga memintamu menggantikannya. Aku bahkan iri," celoteh Rose.

"Kamu mau menggantikanku?" Tika sebenarnya tidak terlalu berminat dengan acara seperti itu apalagi acarannya saat akhir pekan. Tika berencana pergi berkemah.

"Ingin sekali, Tika, tapi kau tahu Madam Cleo. Dia tidak suka diintervensi. Kalau aku berani menggantikanmu, aku yakin kita berdua akan habis dimarahi atau bahkan dapat pemotongan gaji."

Tika mendengus, "Kamu, benar. Madam Cleo sangat kaku. Aku hampir tidak bisa bernapas."

Rose menyodorkan sepotong daging ke mulut Tika, "Sudahlah, ayo makan dulu. Setelah itu akan ku ceritakan padamu apa yang terjadi saat kau tidak masuk."

"Oke." Tika melahap potongan daging yang diberikan kepadanya.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, semua hidangan sudah tandas. Tika merasa lebih baik setelah makan. 

"Jadi, apa yang terjadi?" suara Tika antusias dan ceria.

Rose mengulum senyum, kekhawatirannya menguap.

"Kantor sangat heboh kemarin, jajaran direksi berbondong-bondong menyambut CEO baru, lalu hampir semua staf wanita di kantor kita keluar ruangan demi melihat CEO baru itu. Aku bahkan bisa mendengar dengan jelas, mereka berteriak memujanya. Bahkan sampai waktu makan siang, mereka masih membicarakan CEO itu tanpa henti," beber Rose.

"Lalu, bagaimana denganmu?"

"Aku? Aku tidak sempat melihat atau bahkan bertemu dengan CEO itu. Aku ingin tapi Madam Cleo terus-menerus memberiku tugas dan bahkan mengawasiku. Aku tidak beranjak sedikit pun dari mejaku. Saat memiliki waktu, CEO itu di kantornya. Mana bisa pegawai sepertiku masuk ke kantor CEO." 

"Kau pasti kecewa ya?"

"Sedikit, tapi, toh, kamu besok akan hadir di pelantikannya. Kamu bisa mengambil foto CEO kita dan mengirimkan padaku." 

"Huh, tidak gratis."

"Aku traktir kamu makan daging," ujar Rose seraya mengerlingkan matanya.

"Oke, setuju." Mereka bersalaman, lalu tertawa bersama.

"Oh, ya, kamu sudah menyiapkan gaun?" sambung tanya Rose saat keduanya akan pulang.

"Belum. Sepertinya aku pakai gaun lama ku saja," Tika menjawab asal.

"Astaga, Tika. Besok itu acara besar, kamu harus berpakaian layak. Siapa tahu kamu bertemu takdirmu," goda Rose.

"Rose, jangan mulai ya. Aku punya seseorang di pikiranku," Tika mengelak.

"Waw, Tika. Siapa itu? Apakah aku kenal?" selidik Rose.

"Umm ... , nggak. Aku bahkan tak tahu siapa namanya." Pikiran Toika menerawang, mengingat kembali kartu nama yang sudah rusak.

"Gadis gila. Aku tahu sekarang, pasti orang itu yang sudah membuatmu melamun dua hari yang lalu."

"Yeah." 

"Aduh, Tika. Tapi bagaimana kamu bisa tidak tahu namanya?"

"Dia tidak mau memberitahuku namanya," gumam Tika.

"Artinya orang itu tidak ingin berhubungan lebih jauh denganmu, Tik. Hentikan saja." Rose menasehati.

"Tidak, bukan begitu. Dia memberiku kartu nama, tapi aku merusaknya," ucap Tika putus asa.

Rose terkesiap, "Kau gadis bodoh. Tidak apa-apa, lupakan dulu itu, fokuslah untuk acara besok. Aku akan mengirim beberapa gaunku ke tempatmu."

"Tidak perlu, Rose, astaga."

"Tidak menerima penolakan. Aku pergi." Rose memilih arah langkah yang berbeda dari Tika lalu berlalu pergi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status