“Long time no see, Tuan Bram.” Suara itu terdengar menjijikan. Siapa lagi kalau bukan Arya. Sekilas pria itu melirik ke arah Catty sambil menyeringai.
“Arya, bagaimana kabarmu?” Bram berdiri menyambutnya. Berpelukan sambil menepuk-nepuk pundaknya. Terlihat akrab sekali.
“Baik, Tuan Bram.”
“Oh, iya kenalin ini Catty.”
Arya menoleh sepenuhnya ke arah Catty yang terlihat malas untuk berdiri. Kalau bukan karena Bram, dia tidak sudi bersalaman dengan si brengsek ini. Pria yang terang-terangan telah melecehkannya dan yang lebih parah menjualnya dengan harga yang sangat tinggi.
“Saya sudah mengenalnya, Tuan Bram. Sebelum bersama dengan Mami, terlebih dahulu dia bersama saya. Bukan begitu Catty?”
Catty tersentak. Tidak menyangka kalau Arya akan membukanya di sini. Sementara, Arya tersenyum penuh kemenangan melihat reaksi Catty.
“Dia pernah bekerja sebagai pembantu di apartemen saya, Tuan. Rajin sekali kerjanya. Sampai Mami datang. Beli
Bram kembali ke meja, melihat Catty yang tidak menghabiskan makananya, dia bertanya. “Kok makananya tidak dihabiskan.” Catty sebisa mungkin bersikap normal. Tidak ingin terlihat banyak pikiran di depan Bram yang hangat. Dia bisa menebak kalau pria itu pasti akan sangat penasaran dan mengorek tentang masalahnya. Bisa bahaya. “Enggak kok, Bram. Lagi enggak nafsu makan saja.” Catty menjawab sambil berlalu. Bram menghela nafas. Menampilkan senyum kecil yang terlihat manly sekali. Astaga, bisa tidak untuk sesaat saja bersikap biasa saja Bram? batin Catty gemas. Pria itu menghempaskan pantatnya di kursi. Mengambil alih piring carbonaranya. Dan kalian tahu apa yang dilakukannya? Dia mengambil sesendok carbonara dan menyuapkannya kepada Catty. “Makan. Sayang sekali makanan tidak dihabiskan.” Suara bass yang begitu merasuk di jiwa Catty. Memberikannya ketenangan. Catty menatap Bram sejenak. Air mukanya begitu teduh. Tipe pria penyayang
Sementara di rumah sakit. Beberapa petugas tampak mendorong brangkar menuju ruang UGD, seorang pria tertubuh kurus terbaring di sana. Kesakitan setelah ditubruk oleh sebuah mobil. Kejadiannya tiga puluh menit yang lalu ketika dia hendak berangkat kerja. Pandangannya yang kosong karena terus kepikiran Fatimah, istrinya, membuatnya sampai tidak sadar ada mobil yang melaju kencang dari arah belakang. Membuat motor yang dikenakannya terpental. Kedua kakinya patah. Sedangkan, di muka rumah sakit, seorang wanita setengah baya bersama dengan lelaki tanggung baru saja turun dari angkutan. Berjalan tergopoh menuju lorong rumah sakit. Begitu melihat Handoko yang dibawa menuju ruang UGD, mereka mempercepat langkah. Tapi, terlambat, dia sudah tenggelam di dalam ruang tersebut untuk segera ditangani. “Ayah! Huhuhu.” Fauzan tersedu. Lelaki itu sangat sedih melihat sang ayah kecelakaan. Dewi, ibu dari Fatimah langsung mendekapnya. Menangkan lelaki tanggung itu. “Jan
“Gimana keadaan Mas Handoko, Bu?”Catty berhamburan di depan ruang UGD, di mana ada Dewi dan Fauzan yang semalaman tidur di sana menjaga Handoko.“Kamu itu kemana saja? dihubungi enggak bisa! Ibu sudah setengah mati mau mengabari kamu. Kasihan suami kamu. Gara-gara mikirin kamu dia bisa sampai seperti ini,” omel Dewi tanpa mengindahkan ada pria tampan yang berdiri di belakang Catty.Catty baru ingat kalau ponselnya tertinggal di apartemen Arya. Jelas saja tidak bisa dihubungi. Sekarang, dia khawatir kalau ponsel itu akan disalah gunakan oleh bedebah itu.“Ampun, Bu. Maaf. Ponselku hilang sewaktu aku berangkat ke kota. Jadi aku tidak bisa memberi kabar ibu dan Mas Handoko.”“Alasan saja kamu. Terus, siapa pria yang ada di belakang kamu ini?” tanya Dewi penuh selidik. Sekalipun penampilannya seperti Bos besar, Dewi tidak memperdulikannya.“Perkenalkan saya bosnya Catty di kota, Bu.” B
“Aku ke toilet sebentar. Kamu di sini dulu.” “Tunggu Catty! Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Namun, Catty berlalu begitu saja. Langkahnya begitu cepat seolah ingin segera menjauh dari Bram. Sungguh dia belum siap untuk menjawab pertanyaan itu. Catty menerobos toilet yang sepi. Membasuh wajahnya yang kuyu bekas airmata. Pikirannya bergelut dengan jalan terbaik untuk permasalahan ini. Tidak mungkin bisa mengabaikan Bram. tapi, kalau dia menerima Bram, terus bagaimana dengan nasib suaminya Handoko! Wajah Catty menegang begitu melihat sosok gagah yang memasuki pintu. Dari pantulan cermin itu dia membalikan badan, matanya nanar saat melihat Bram yang mendekat dengan pandangan liar. “Mau ngapain kamu, Bram?” ucap Catty yang tidak bergeming dari posisinya. Terkejut dengan kehadiran Bram tiba-tiba. “Kita bisa bicarakan nanti, Bram. tolong kamu keluar dulu! Ini toilet perempuan.” Imbuhnya lagi. Bram tidak mengindahkan, malah semaki
“Aku sudah menjawab pertanyaanmu, sekarang ayo lakukan lagi,” pinta Catty sambil menggerak-gerakan pinggulnya erotis. Bram terkekeh melihat Catty. Pria itu terlihat mempermainkan lubang basah itu sampai benar-benar banjir. Sedangkan desahan Catty semakin menggema di ruang toilet itu. “Ayo, kita masuk ke dalam bilik saja.” Bram mencetuskan ide. Takut juga kalau sampai ada orang yang masuk. Catty yang sudah terlanjur nafsu pun hanya menurut. Dia tenggelam di dalam bilik bersama pejantan itu. Tanpa berlama-lama, Bram langsung menghujani tengkuk Catty dengan cumbuan kasar. Sesekali menggigitnya. Membuat Catty menggelinjang geli. Catty menggigit bibir, menahan untuk tidak bersuara. Meski nikmat yang dia rasakan sangat luar biasa. Dengan cekatan, Bram melepas kaosnya sendiri dan melemparkannya serampangan. Tidak lupa dengan celana jeansnya yang membungkus kuda-kuda kokoh yang dipenuhi bulu-bulu maskulin. Hampir saja Catty memekik tatkala merasakan t
Malam harinya, sekembalinya Dewi dan Fauzan, Mereka diizinkan untuk melihat kondisi Handoko. Penuturan dari dokter bahwa Handoko mengalami kelumpuhan, membuat syok semua orang tidak terkecuali Catty. Juga diagnose penyakit jantung yang selama ini baru diketahui. “Mas,” panggil Catty setelah Handoko siuman walaupun kondisinya masih sangat lemah Handoko menoleh ke Catty. Mengerjap-erjapkan mata, lantas Memandangnya beberapa saat “Kamu Fatimah?” “Iya, Mas. Aku Fatimah istri Mas.” “Akhirnya kamu di sini, Mas senang sekali melihat kamu dalam keadaan baik-baik saja. Mas susah tidak bisa hubungi kamu.” Mata pria itu berkaca-kaca. Catty tertegun. Hal yang membuatnya miris, menurut penuturan Dewi, Hal yang membuat Handoko tidak fokus sampai kecelakaan adalah diakibatkan ponsel milik Catty yang tidak bisa dihubungi. Batinnya menjerit menyalahkan siapa yang telah menabrak. Dia harus menemukan biang keladinya. “Kamu datang sama siapa?
Bram menyoroti kaki Handoko yang di gyp, kemudian, dia berkata kepada pemiliknya. “Saya turut prihatin atas musibah yang dialami Pak Handoko. Maka dari itu, saya akan membantu untuk membiayai seluruh pengobatan Pak Handoko sampai sembuh nanti.” Handoko berbinar. Kedua tangan lemahnya langsung mengamit tangan kekar Bram. Kebahagiaan terungkap di mimik wajahnya yang sendu. Baginya, pria yang mengaku sebagai bos Catty ini sangat royal dan baik hati. “Terima kasih banyak Pak Bram, saya tidak tahu lagi harus berkata apa dan bagaimana caranya saya membalas kebaikan bapak,” kata Handoko sambil terisak. Bram hanya tersenyum. Senyum picik lebih tepatnya. Dalam hatinya berkata, cara membalas kebaikanku dengan menyerahkan istrimu kepadaku. Meski itu mustahil untuk dia katakan untuk saat ini, tapi nanti. “Sungguh saya susah sekali. Saya tidak punya uang untuk membayar biayanya. Apalagi, setelah ini mungkin saya akan dipecat dari pekerjaan saya,” imbuh Hando
Sampailah di Penthouse Bram, Catty mengikuti Bram masuk ke dalam Penthouse. Mereka langsung disambut oleh nuansa penthouse yang luas dan elegan. Bram menunjukkan kelasnya sebagai orang terkaya. “Oh iya, nanti aku akan memesan pakaian untuk kamu,” Bram sesampainya di sebuah kamar yang memang ditujukan kepada Catty. Catty tidak segera menjawab. Dalam hatinya, dia merasa sangat istimewa bersama Bram. Diantar ke kamar langsung, padahal dia memiliki pembantu yang bejibun. Memenuhi semua kebutuhan. Tapi, sifat possesif-nya yang membuat Catty ilfeel. “Kamu istirahat dulu saja. saya mau mengecek proyek resort dulu,” kata Bram. Membuat Catty seolah tidak rela. “Lama enggak?” Bram terkekeh mendengar suara Catty manja. Dia mengucek-ucek rambut Catty yang menjuntai sebahu. Sebenernya bisa saja dia menyuruh asistennya untuk mengecek. Tetapi, karena proyek ini dikerjakan oleh rekan bisnis pentingnya. Makanya, mau tidak mau, dia harus terlibat.