Share

2. Ghibahi Suami?

Aku bisa melihat ibu-ibu tengah sibuk memilih sayur-mayur. Iya, tangan mereka memang tampak sibuk memilih dan memilah, tetapi lisan mereka terus saja nyerocos tak tentu arah.  

“Eh, Nak Eva. Mau belanja, Nak,” sapa Bu Tika yang lebih dulu menyadari kedatanganku.

“Iya, Bu. Mau beli sayur,” jawabku sesopan mungkin sambil mempersembahkan senyum di bibir.

“Tumben belanja, Nak? Emang enggak masuk kerja?” Kini giliran Bu Wina yang angkat bicara.

“Iya, Bu. Persediaan sayur sama lauk udah habis, makanya belanja. Kalau kerja emang nggak masuk, Bu. Kan hari ini libur, hari Minggu,” jawabku sambil mulai memilih sayuran yang kira-kira akan kumasak hari ini.

“Oalah, saya lupa kalau ini hari Minggu. Maklum sudah tua, Nak,” sambung Bu Wina sambil melirik ke arahku.

Karena tak tahu harus menjawab apa, aku hanya melontarkan senyum sambil kuanggukkan kepala pelan kemudian lanjut mencari lauk untuk sayur bayam dan jagung yang sudah kupilih.

Pikirku Bu Wina akan selesai bertanya karena aku tak meresponsnya kembali, tetapi nyatanya salah.

Tak berselang lama, Ibu berkerudung merah marun itu kembali mengangkat suaranya, “Nak Eva, Ibu mau tanya, tapi jangan tersinggung ya, suamimu itu pengangguran ya karena Ibu perhatikan dia nggak pernah keluar rumah?” tanyanya dengan wajah songongnya.

“Iya, paling keluarnya cuma pas mau salat ke masjid kayak orang nggak ada kerjaan saja. Nggak bosan apa ya diam terus di rumah” tambah Bu Tika, tak kalah menyebalkan.

“Jadi perempuan jangan mau dimanfaatin, Nak. Kasian kamu capek-capek ngajar dari pagi sampai siang. Lah, dia cuma leha-leha. Sayang lho kamu. Udah cantik, pintar, sudah berpenghasilan, eh dapatnya laki-laki nggak guna. Mending ceraikan saja sebelum kamu nyesal nantinya.” Kembali Bu Wina berkhotbah panjang kali lebar.

Jangan ditanya bagaimana perasanku sekarang? Jelas kesal. Istri mana coba yang nggak marah dengar suaminya direndahkan?

Kalau kiranya aku nggak tahu norma, ingin sekali kujejal mulut mereka dengan cabai yang kini tengah kupegang.

Tanganku bahkan sudah sampai mengepal. Beruntung, yang ada digenggaman tangan kananku adalah jagung bukan tahu-tempe atau sayuran lunak lainnya karena bisa remuk teremas.

“Makasih Bu sudah perhatian sama saya dan suami. Saya senang karena selain keluarga saya, ada juga orang lain yang peduli,” ucapku sambil memasang wajah semringah.

“Kalau tentang pekerjaan suami saya...,” ucapku pelan atau mungkin lebih tepatnya sedikit berbisik-bisik sembari mendekat ke arah Bu Wina dan Bu Tika yang sedari tadi berdiri di sampingku.

“Kenapa, Nak?” tanya mereka hampir bersamaan seraya lebih mendekat ke arahku. Aku bisa melihat air muka Bu Winda dan Bu Tika tampak begitu penasaran.

“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Bu. Ini saya cuma ceritanya ke Bu Wina dan Bu Tika aja,” ujarku masih dengan suara yang dipelankan.

“Aman, Nak. Kami amanah. Bisa jaga rahasia. Kami tidak ember seperti Ibu yang onoh,” kata Bu Tika sambil menunjuk Bu Yuni yang masih asyik berkutat dengan lauk yang berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri sekarang.

‘Rupanya Bu Wina dan Bu Tari tak menyukai Bu Yuni –istri marbut di kompleks kami itu,” ucapku dalam hati.

“Ayo, Nak..., ada apa dengan suamimu?” ulang Bu Wina tak sabaran.

“Mas Fahmi sebenarnya...”

“Nak Eva, Ibu boleh dibantu ambilkan jagung yang ada di sebelahmu itu?” perintah Bu Yuni tiba-tiba.

Refleks aku pun menoleh dan segera melaksanakan apa yang dipintanya.

“Mau berapa, Bu?” tanyaku sudah seperti Abang-abang sayur pada umumnya.

“Dua, Nak,” balas Bu Yuni singkat.

“Kenapa enggak ambil sendiri saja. Masih punya tangan kan? Manja sekali jadi orang.”

Astagfirullah, meski suara Bu Wina pelan, tetapi telingaku masih cukup jelas mendengarnya.

“Terima kasih banyak, Nak,” ucap Bu Yuni setelah kuserahkan jagung yang dimintanya.

Aku hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum sebagai jawaban.

“Bang, ini totalnya berapa?” tanyaku sambil mengangkat semua sayur dan lauk pauk yang sudah kupilih.

“Udangnya tiga puluh ribu, sayur bayamnya dua ikat berarti empat ribu, jagung manis satu tiga ribu, kubisnya lima ribu, sama terakhir cabai sepuluh ribu. Jadi, totalnya..., lima puluh dua ribu, Mbak,” terang Abang sayur sembari membungkus semua belanjaanku.

“Ini, Pak uangnya. Kembalinya buat Bapak aja,” kataku sambil menyerahkan uang berjumlah lima puluh lima ribu.

Meski hanya sisa tiga ribu, tapi aku yakin itu amat berarti bagi Abang sayurnya karena setelah itu aku bisa melihat wajah lelah beliau tersenyum tulus. Aku turut tersenyum melihat senyum tulus itu. Rasanya adem karena bisa membantu meski tak banyak.

“Lihat Nak Eva yang dermawan ini, Ibu jadi ingat cerita suami saya. Katanya, kemarin ada seseorang yang datang ke rumah dan menyumbang tiga puluh juta untuk masjid kita yang sedang direnovasi. Tapi, pas saya tanya siapa orangnya? Suami saya nggak mau kasih tahu namanya. Dia hanya bilang kalau orang yang nyumbang itu laki-laki sekitar kompleks sini,” kata Bu Yuni tiba-tiba.

“Wow, tiga puluh juta? Bisa buat beli emas berapa gram itu?” celetuk Bu Tika.

“Semoga aja saya bisa dapat menantu kaya seperti laki-laki itu,” timpal Bu Wina tak mau kalah.

“Jangan mimpi, Bu. Mana ada laki-laki kaya yang mau sama anak Ibu yang malas itu!” cecar Abang sayur ikut-ikutan.

“Eh, Bang. Apa salahnya sih bermimpi. Toh, enggak ada yang dirugikan juga. Abang ini, jangan suka ikut campur urusan orang lainlah, urus saja dagangan Abang yang nggak laku-laku ini,” ketus Bu Wina sambil membanting beberapa sayuran milik Abang sayur.

“Eva..., belanjanya sudah belum sayang!”

Alhamdulillah, Mas Fahmi memanggil. Karena itu artinya aku bisa cari alasan untuk segera kabur.

Memasang senyum terbaik dan air muka penuh penyesalan, aku pun mengangkat suara, “Maaf, ya Bu-Ibu, saya harus segera pulang. Suami saya sudah manggil. Mari Bu, Mari Kang,” ucapku sambil menundukkan kepala.

“Loh, Nak Eva sudah mau pergi? Terus cerita suaminya gimana?” tanya Bu Tika kembali.

“Maaf, Bu. Ceritanya lain kali saja, ya. Saya buru-buru sekarang. Belum masak.”

Dan tanpa menunggu apa pun lagi, segera kubawa kakiku pergi. Membiarkan Bu Wina dan Bu Tika tetap penasaran tentang cerita suamiku.

Aku tersenyum riang, puas melihat ekspresi tak terima Bu Wina dan Bu Tika karena aku tak jadi menceritakan kebenaran tentang suamiku.

‘Haha, emang enak digantungin. Siapa suruh senang banget ngurus rumah tangga orang. Heran dah. Semoga saja nggak mati penasaran ya Bu-Ibu,' ucapku dalam hati kemudian semakin kucepatkan langkahku menuju rumah supaya lekas bertemu dengan Mas Fahmi, suami tercinta.

Next...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status