Aku bisa melihat ibu-ibu tengah sibuk memilih sayur-mayur. Iya, tangan mereka memang tampak sibuk memilih dan memilah, tetapi lisan mereka terus saja nyerocos tak tentu arah.
“Eh, Nak Eva. Mau belanja, Nak,” sapa Bu Tika yang lebih dulu menyadari kedatanganku.
“Iya, Bu. Mau beli sayur,” jawabku sesopan mungkin sambil mempersembahkan senyum di bibir.
“Tumben belanja, Nak? Emang enggak masuk kerja?” Kini giliran Bu Wina yang angkat bicara.
“Iya, Bu. Persediaan sayur sama lauk udah habis, makanya belanja. Kalau kerja emang nggak masuk, Bu. Kan hari ini libur, hari Minggu,” jawabku sambil mulai memilih sayuran yang kira-kira akan kumasak hari ini.
“Oalah, saya lupa kalau ini hari Minggu. Maklum sudah tua, Nak,” sambung Bu Wina sambil melirik ke arahku.
Karena tak tahu harus menjawab apa, aku hanya melontarkan senyum sambil kuanggukkan kepala pelan kemudian lanjut mencari lauk untuk sayur bayam dan jagung yang sudah kupilih.
Pikirku Bu Wina akan selesai bertanya karena aku tak meresponsnya kembali, tetapi nyatanya salah.
Tak berselang lama, Ibu berkerudung merah marun itu kembali mengangkat suaranya, “Nak Eva, Ibu mau tanya, tapi jangan tersinggung ya, suamimu itu pengangguran ya karena Ibu perhatikan dia nggak pernah keluar rumah?” tanyanya dengan wajah songongnya.
“Iya, paling keluarnya cuma pas mau salat ke masjid kayak orang nggak ada kerjaan saja. Nggak bosan apa ya diam terus di rumah” tambah Bu Tika, tak kalah menyebalkan.
“Jadi perempuan jangan mau dimanfaatin, Nak. Kasian kamu capek-capek ngajar dari pagi sampai siang. Lah, dia cuma leha-leha. Sayang lho kamu. Udah cantik, pintar, sudah berpenghasilan, eh dapatnya laki-laki nggak guna. Mending ceraikan saja sebelum kamu nyesal nantinya.” Kembali Bu Wina berkhotbah panjang kali lebar.
Jangan ditanya bagaimana perasanku sekarang? Jelas kesal. Istri mana coba yang nggak marah dengar suaminya direndahkan?
Kalau kiranya aku nggak tahu norma, ingin sekali kujejal mulut mereka dengan cabai yang kini tengah kupegang.
Tanganku bahkan sudah sampai mengepal. Beruntung, yang ada digenggaman tangan kananku adalah jagung bukan tahu-tempe atau sayuran lunak lainnya karena bisa remuk teremas.
“Makasih Bu sudah perhatian sama saya dan suami. Saya senang karena selain keluarga saya, ada juga orang lain yang peduli,” ucapku sambil memasang wajah semringah.
“Kalau tentang pekerjaan suami saya...,” ucapku pelan atau mungkin lebih tepatnya sedikit berbisik-bisik sembari mendekat ke arah Bu Wina dan Bu Tika yang sedari tadi berdiri di sampingku.
“Kenapa, Nak?” tanya mereka hampir bersamaan seraya lebih mendekat ke arahku. Aku bisa melihat air muka Bu Winda dan Bu Tika tampak begitu penasaran.
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Bu. Ini saya cuma ceritanya ke Bu Wina dan Bu Tika aja,” ujarku masih dengan suara yang dipelankan.
“Aman, Nak. Kami amanah. Bisa jaga rahasia. Kami tidak ember seperti Ibu yang onoh,” kata Bu Tika sambil menunjuk Bu Yuni yang masih asyik berkutat dengan lauk yang berjarak beberapa langkah dari tempatku berdiri sekarang.
‘Rupanya Bu Wina dan Bu Tari tak menyukai Bu Yuni –istri marbut di kompleks kami itu,” ucapku dalam hati.
“Ayo, Nak..., ada apa dengan suamimu?” ulang Bu Wina tak sabaran.
“Mas Fahmi sebenarnya...”
“Nak Eva, Ibu boleh dibantu ambilkan jagung yang ada di sebelahmu itu?” perintah Bu Yuni tiba-tiba.
Refleks aku pun menoleh dan segera melaksanakan apa yang dipintanya.
“Mau berapa, Bu?” tanyaku sudah seperti Abang-abang sayur pada umumnya.
“Dua, Nak,” balas Bu Yuni singkat.
“Kenapa enggak ambil sendiri saja. Masih punya tangan kan? Manja sekali jadi orang.”
Astagfirullah, meski suara Bu Wina pelan, tetapi telingaku masih cukup jelas mendengarnya.
“Terima kasih banyak, Nak,” ucap Bu Yuni setelah kuserahkan jagung yang dimintanya.
Aku hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum sebagai jawaban.
“Bang, ini totalnya berapa?” tanyaku sambil mengangkat semua sayur dan lauk pauk yang sudah kupilih.
“Udangnya tiga puluh ribu, sayur bayamnya dua ikat berarti empat ribu, jagung manis satu tiga ribu, kubisnya lima ribu, sama terakhir cabai sepuluh ribu. Jadi, totalnya..., lima puluh dua ribu, Mbak,” terang Abang sayur sembari membungkus semua belanjaanku.
“Ini, Pak uangnya. Kembalinya buat Bapak aja,” kataku sambil menyerahkan uang berjumlah lima puluh lima ribu.
Meski hanya sisa tiga ribu, tapi aku yakin itu amat berarti bagi Abang sayurnya karena setelah itu aku bisa melihat wajah lelah beliau tersenyum tulus. Aku turut tersenyum melihat senyum tulus itu. Rasanya adem karena bisa membantu meski tak banyak.
“Lihat Nak Eva yang dermawan ini, Ibu jadi ingat cerita suami saya. Katanya, kemarin ada seseorang yang datang ke rumah dan menyumbang tiga puluh juta untuk masjid kita yang sedang direnovasi. Tapi, pas saya tanya siapa orangnya? Suami saya nggak mau kasih tahu namanya. Dia hanya bilang kalau orang yang nyumbang itu laki-laki sekitar kompleks sini,” kata Bu Yuni tiba-tiba.
“Wow, tiga puluh juta? Bisa buat beli emas berapa gram itu?” celetuk Bu Tika.
“Semoga aja saya bisa dapat menantu kaya seperti laki-laki itu,” timpal Bu Wina tak mau kalah.
“Jangan mimpi, Bu. Mana ada laki-laki kaya yang mau sama anak Ibu yang malas itu!” cecar Abang sayur ikut-ikutan.
“Eh, Bang. Apa salahnya sih bermimpi. Toh, enggak ada yang dirugikan juga. Abang ini, jangan suka ikut campur urusan orang lainlah, urus saja dagangan Abang yang nggak laku-laku ini,” ketus Bu Wina sambil membanting beberapa sayuran milik Abang sayur.
“Eva..., belanjanya sudah belum sayang!”
Alhamdulillah, Mas Fahmi memanggil. Karena itu artinya aku bisa cari alasan untuk segera kabur.
Memasang senyum terbaik dan air muka penuh penyesalan, aku pun mengangkat suara, “Maaf, ya Bu-Ibu, saya harus segera pulang. Suami saya sudah manggil. Mari Bu, Mari Kang,” ucapku sambil menundukkan kepala.
“Loh, Nak Eva sudah mau pergi? Terus cerita suaminya gimana?” tanya Bu Tika kembali.
“Maaf, Bu. Ceritanya lain kali saja, ya. Saya buru-buru sekarang. Belum masak.”
Dan tanpa menunggu apa pun lagi, segera kubawa kakiku pergi. Membiarkan Bu Wina dan Bu Tika tetap penasaran tentang cerita suamiku.
Aku tersenyum riang, puas melihat ekspresi tak terima Bu Wina dan Bu Tika karena aku tak jadi menceritakan kebenaran tentang suamiku.
‘Haha, emang enak digantungin. Siapa suruh senang banget ngurus rumah tangga orang. Heran dah. Semoga saja nggak mati penasaran ya Bu-Ibu,' ucapku dalam hati kemudian semakin kucepatkan langkahku menuju rumah supaya lekas bertemu dengan Mas Fahmi, suami tercinta.
Next...
“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Mataku masih ingin terus terpejam, tetapi telingaku terusik oleh suara-suara yang begitu berisik. Aw ... pinggangku terasa nyeri. Begitu pun dengan punggungku. Rasanya, seluruh badanku hampir remuk redam. “Baik, mahasiswa sekalian. Hari ini, kita lanjutkan materi kita pada pertemuan sebelumnya. Coba sekarang perhatikan di layar ....”Langsung membekap mulutku setelah sadar akan apa yang terjadi. Aku baru ingat jika kemarin aku bersembunyi di kolong meja dosen untuk menghindar dari laki-laki gila itu. Dan sekarang aku masih terjebak di sini. Astaga ... bagaimana caranya aku keluar dari sini? Aku nggak mungkin menunggu sampai jam kuliah selesai, kan? Serius. Itu sama sekali nggak lucu. Badanku sudah pegal-pegal. Perutku juga sudah meronta-ronta minta diisi. Tapi, kalau tiba-tiba aku keluar dari bawah meja ini, pasti akan langsung geger seisi kelas. Jadi, mau tak mau, dengan penuh rasa terpaksa aku harus menunggu sampai kelas ini bubar. Melirik jam tangan yang masih melingkar di tan
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,