“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Sayup-sayup kudengar suara ibu-ibu kompleks bergibah ria. Padahal masih pagi, tetapi mereka sudah sibuk mengurusi hidup orang lain. Bukannya sok alim atau apa, tapi tak tahukah mereka kalau membicarakan kejelekan orang lain amatlah pekerjaan yang sia-sia.Selain semakin membuat dosa menumpuk, pahala yang dipunya pun turut berkurang. Benar-benar pekerjaan tak ada guna, bukan?“Sayang, nggak mau beli sayur? Tuh, Abang sayurnya sudah datang?” ucap Mas Fahmi--suamiku—yang baru keluar dari kamar.“Eh, udah datang, ya?” kataku sedikit kaget karena sedari tadi sibuk sendiri memikirkan ibu-ibu yang senang sekali menggunjing.“Iya, sudah. Makanya itu ibu-ibu banyak yang berkerumun. Sini sapunya. Biar Mas aja yang lanjut nyapu,” ucap Mas Fahmi sembari mengambil sapu yang sedari tadi kupegang.“Makasih, Mas,” jawabku kemudian lekas berlari ke kamar. Berniat mengambil kerudung dan uang untuk membeli sayur.Sebelum keluar, kulihat Mas Fahmi masih menyapu lantai.“Mas, Adek beli sayur dulu ya,” u
Aku bisa melihat ibu-ibu tengah sibuk memilih sayur-mayur. Iya, tangan mereka memang tampak sibuk memilih dan memilah, tetapi lisan mereka terus saja nyerocos tak tentu arah. “Eh, Nak Eva. Mau belanja, Nak,” sapa Bu Tika yang lebih dulu menyadari kedatanganku. “Iya, Bu. Mau beli sayur,” jawabku sesopan mungkin sambil mempersembahkan senyum di bibir. “Tumben belanja, Nak? Emang enggak masuk kerja?” Kini giliran Bu Wina yang angkat bicara. “Iya, Bu. Persediaan sayur sama lauk udah habis, makanya belanja. Kalau kerja emang nggak masuk, Bu. Kan hari ini libur, hari Minggu,” jawabku sambil mulai memilih sayuran yang kira-kira akan kumasak hari ini. “Oalah, saya lupa kalau ini hari Minggu. Maklum sudah tua, Nak,” sambung Bu Wina sambil melirik ke arahku. Karena tak tahu harus menjawab apa, aku hanya melontarkan senyum sambil kuanggukkan kepala pelan kemudian lanjut mencari lauk untuk sayur bayam dan jagung yang sudah kupilih. Pikirku Bu Wina akan selesai bertanya karena aku tak mer
Pandanganku masih terfokus pada acara televisi sebelum kudengar suara Mas Fahmi membuka pintu, pertanda bahwa ia telah pulang dari masjid. “Assalamualaikum, Dek masih di situ?”“Waalaikumussalam. Iya, Mas. Acaranya lagi seru,” kataku sambil beranjak dari sofa mendekat ke arah Mas Fahmi. Kemudian kucium tangannya.“Mas kok salatnya lama, enggak kayak biasanya yang pulang awal?” tanyaku sambil menatap wajah Mas Fahmi serius.“Sini, duduk dulu!” pintanya kemudian menuntunku duduk di sofa, di pangkuannya.“Mas, turunin! Aku mau duduk di samping Mas aja.”“Kenapa? Bukannya kamu senang seperti ini, hmm?” godanya, kemudian mencolek ujung hidungku sembari menatapku dalam. Tatapan yang selalu mampu membuatku terhanyut dan tenggelam di dalamnya.“Masshh..., sudah...! Jangan mengalihkan perhatianku.” Kuhentikan tangan Mas Fahmi yang mulai entah ke mana dibawanya.“Sekarang jawab, kenapa Mas Fahmi pulang ke masjidnya lama?” tanyaku kembali.“Mas mampir ke tempatnya Bu Yuni, ada urusan sama suami
“Kalau boleh tahu Kak Aan ada maksud apa datang kemari?” tanyaku langsung pada intinya. Aku tak ingin membuat Mas Fahmi menunggu terlalu lama sampai mengira ada apa-apa di antara aku dan Kak Aan.Bila ada yang penasaran dengan siapa Kak Aan? Dia adalah anak dari sahabat baik Ibuku. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu adalah pria yang sempat digadang-gadang menjadi jodohku.Selain karena memang orang tuaku dan Kak Aan menginginkan kami menjadi sepasang suami-istri, aku juga pernah menaruh hati padanya.Kalau boleh jujur, kami dulu cukup dekat, bahkan sampai pernah menjalani ta’aruf dan Kak Aan sendiri berjanji akan melamarku.Namun, entah karena apa alasannya, Kak Aan tiba-tiba menghilang tanpa kabar, meninggalkanku tepat sehari sebelum proses lamaran dilakukan. Bahkan sampai sekarang laki-laki di depanku ini belum juga menjelaskan alasan sebenarnya. Namun, bukan berarti aku mengharapkan penjelasan. Tidak. Terserah apa pun yang kemungkinan menjadi penyebabnya, aku sudah tak
Semalam setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mas Fahmi langsung berpamitan kepadaku. Sudah kutanya, ia akan ke mana, tetapi hanya dijawab ke tempat saudara. Awalnya aku keberatan ditinggal sendirian, tetapi karena Mas Fahmi berjanji akan segera kembali, aku pun mengizinkan. Namun kenyataannya, sampai hari berganti pun, Mas Fahmi tak kunjung pulang. Telah kuhubungi nomornya berkali-kali, tetapi lagi-lagi seperti seorang yang melarikan diri, ponselnya mendadak tak dapat dihubungi. “Sudah, Va! Mungkin Mas Fahmi masih ada urusan. Paling nanti juga pulang,” kataku, mencoba berpositif thinking. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sempat hilir mudik dalam pikiran. Dengan cepat, lekas kupakai kerudung berwarna khaki seperti warna seragamku. Aku harus segera berangkat karena hari ini hari Senin dan itu artinya akan dilaksanakan upacara, seperti biasanya. Selepas memastikan semua barang-barang telah kubawa, pun buku-buku telah kumasukkan ke dalam tas, kuberjalan ke arah
Tiga hari berlalu semenjak Mas Fahmi menjelaskan tentang wanita yang bernama Safna itu. Selama itu juga aku mendiami Mas Fahmi. Mendiami maksudku ialah dengan tak banyak bicara padanya. Paling hanya bicara secukupnya, bila menyangkut perkara penting saja. “Dek, Mas antar, ya?”“Nggak usah. Adek bisa berangkat sendiri," ucapku ketus sambil memalingkan muka darinya.Setelah menolak tawaran Mas Fahmi, aku lantas mengambil tasku. Bersikap-siap berangkat. Hari ini aku ada jam pertama. Jadi, harus cepat.“Adek mau salim,” kataku datar sambil mengulurkan tangan kepada Mas Fahmi yang masih berkutat dengan sarapannya.Yah, meski tengah kesal, aku masih tahu norma. Mas Fahmi tetaplah suamiku yang harus kuhormati baik saat aku tengah marah atau tidak.Setelah mencium tangan Mas Fahmi, aku langsung bergegas menuju pintu keluar. Tak lupa kuucapkan salam padanya.“Adek kan udah bilang Mas, Adek nggak mau diantar.”Aku berucap demikian karena kulihat Mas Fahmi kini mengekor di belakangku, padahal
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe