Annira Deleva atau yang akrab dipanggil Eva (24 tahun) adalah seorang istri yang memiliki suami pengangguran, Fahmi Ararga (26 tahun). Selama satu bulan pernikahan, Eva masih belum tahu akan pekerjaan suaminya. Setiap kali Eva bertanya pasal pekerjaan suaminya, Fahmi selalu menjawab bahwa dirinya adalah seorang pengangguran. Namun, Eva tak serta-merta percaya karena suaminya itu pernah memberikan sejumlah uang yang terbilang fantastis padanya. Tak hanya keanehan akan pekerjaan, Eva juga semakin sering mendapati Fahmi tak di rumah. Sikap Fahmi yang mulai berubah membuat Eva curiga jika suaminya selingkuh. Kira-kira benarkah Fahmi mengkhianati Eva dan mengapa Fahmi sampai merahasiakan pekerjaan dari sang istri? Penasaran? Yuk, sama-sama simak ceritanya!
Lihat lebih banyakSayup-sayup kudengar suara ibu-ibu kompleks bergibah ria. Padahal masih pagi, tetapi mereka sudah sibuk mengurusi hidup orang lain.
Bukannya sok alim atau apa, tapi tak tahukah mereka kalau membicarakan kejelekan orang lain amatlah pekerjaan yang sia-sia.
Selain semakin membuat dosa menumpuk, pahala yang dipunya pun turut berkurang. Benar-benar pekerjaan tak ada guna, bukan?
“Sayang, nggak mau beli sayur? Tuh, Abang sayurnya sudah datang?” ucap Mas Fahmi--suamiku—yang baru keluar dari kamar.
“Eh, udah datang, ya?” kataku sedikit kaget karena sedari tadi sibuk sendiri memikirkan ibu-ibu yang senang sekali menggunjing.
“Iya, sudah. Makanya itu ibu-ibu banyak yang berkerumun. Sini sapunya. Biar Mas aja yang lanjut nyapu,” ucap Mas Fahmi sembari mengambil sapu yang sedari tadi kupegang.
“Makasih, Mas,” jawabku kemudian lekas berlari ke kamar. Berniat mengambil kerudung dan uang untuk membeli sayur.
Sebelum keluar, kulihat Mas Fahmi masih menyapu lantai.
“Mas, Adek beli sayur dulu ya,” ujarku sambil mendekat ke arahnya. Mau cium tangan. Maklum, kami baru menikah satu bulan yang lalu. Jadi, wajarkan kalau bawaannya ingin romantis-romantisan terus.
“Mas, Adek mau cium tangan,” ucapku malu-malu.
“Tangan Mas kotor, Dek. Cium tangannya ganti cium pipi aja, ya,” tawarnya sambil menyodorkan pipi sebelah kirinya mendekat ke arahku.
Aku mengangguk dan dengan cepat kucium pipi Mas Fahmi. Seulas senyum lantas kupersembahkan untuk suamiku tercinta.
“Coba buka tangannya?” ujar Mas Fahmi yang sanggup membuat dahi berkerut.
“Buka tangan? Seperti ini maksudnya, Mas?
Aku lantas menengadahkan tangan seperti orang yang ingin meminta sesuatu.
“Ini uang buat beli sayur. Sisanya buat kamu,” katanya seraya meletakkan uang seratus ribu yang kira-kira berjumlah 10 lembar di tanganku.
“Adek udah ada uang buat beli sayur,” jawabku sambil mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dengan tanganku yang satunya lagi.
“Ya, nggak papa. Itu uangnya disimpan aja untuk beli keperluan lainnya.”
“Tapi, ini Mas dapat uangnya dari mana? Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau Mas pengangguran? Mas nggak mungkin nyuri kan?” selidikku sambil menatapnya heran.
Alih-alih kesal atau marah, Mas Fahmi justru terkekeh. “Dek, Mas nggak akan mungkin kasih uang haram buat kamu. Mas bisa jamin itu uang halal. Dipakai ya,” jawabnya sambil mencubit pipiku pelan.
Kuhela napas pelan karena masih penasaran akan dari mana rimbanya uang yang diberikan Mas Fahmi. Namun, sebagai seorang istri aku memilih mempercayai perkataan suamiku. Aku yakin kalau Mas Fahmi adalah orang jujur. Ia pasti tak akan membohongiku.
“Ya sudah, ini uangnya Adek terima. Tapi, kalau cuma buat beli sayur, ini kebanyakan, Mas,” timpalku sambil kembali menghitung jumlah uang yang diberikan Mas Fahmi. Benar, jumlahnya satu juta.
Menurutku satu juta cukup banyak untuk membeli keperluan dapur apalagi kami hanya tinggal berdua.
Aku khawatir bila uang yang diberikan Mas Fahmi malah kupergunakan untuk keperluan pribadiku. Membeli skincare mungkin.
Namanya juga wanita kan, pasti perlu merawat diri apalagi sekarang aku telah bersuami. Selalu ingin tampil cantik dan anggun di depan suami adalah hal yang menjadi prioritasku kini.
“Kan Mas udah bilang, sisanya buat kamu, Dek. Atau apa malah uangnya masih kurang?” tanya Mas Fahmi kemudian bisa kulihat, ia kembali merogoh saku bajunya.
“Kalau kurang ini Mas tambah,” sambungnya dan lagi-lagi menyerahkan beberapa lembar uang 100 ribuan. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya.
“Ya Allah, Mas. Sudah! Ini banyak sekali, bahkan lebih banyak dari gajiku sebulan,” ucapku sambil mencoba mengecek jumlah uang yang kuterima.
“Se-sepuluh juta?” kataku hampir tak bisa mengucapkannya. Agak berlebihan memang, tetapi begitulah adanya.
Uang yang kuterima ini setara dengan gajiku selama tiga atau sampai 4 bulan. Kalau ada yang penasaran dengan pekerjaanku, alhamdulilah aku adalah seorang ASN, lebih tepatnya seorang guru yang beberapa bulan lalu lulus seleksi P3K.
Meski gaji yang kuterima tak terbilang fantastis, bagiku itu sudah cukup untuk membiayai kehidupanku. Meski harus berhemat dan hidup secara minimalis pastinya.
“Itu jatah selama sebulan ya, Dek. Bulan depannya besok Mas kasih lagi.”
Aku kembali melongo mendengar perkataan Mas Fahmi. Apa sebegitu banyaknya uang yang dimiliki suamiku sampai-sampai dengan begitu mudahnya ia berkata seperti itu? batinku yang penasaran pun turut bersuara.
“Mas, maaf kalau Adek lancang. Sebenarnya Mas Fahmi kerja apa?” Akhirnya kukatakan juga pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di hatiku.
Meski sudah menikah sebulan lamanya, aku sama sekali tak menahu soal pekerjaan suamiku. Setiap kutanya, Mas Fahmi selalu tersenyum dan pasti menjawab, “Mas hanya pengangguran, Dek”.
Bahkan kalimat itulah yang dulu diucapkan ketika Bapak bertanya kepada Mas Fahmi ketika datang ke rumah untuk melamarku. Suamiku itu dengan terus terang dan percaya diri mengatakan bahwa dirinya hanyalah laki-laki biasa yang tak memiliki pekerjaan apa-apa.
Pengakuan Mas Fahmi yang seperti itu, sontak membuat Ibu sempat tak setuju bila aku menikah dengannya. Karena bagi Ibu, laki-laki yang harus menjadi suamiku adalah pria yang sudah bekerja alias bergaji, minimal setara denganku yang sudah ASN.
Tahulah ya, bagaimana sifat ibu-ibu yang ingin punya menantu yang bisa menjamin kehidupan anaknya tidak hanya perkara batin, tetapi lahir juga.
Namun, sekuat apa pun Ibu melarang, yang namanya jodoh tak ada yang bisa mencegah karena nyatanya Mas Fahmi tetap menjadi suamiku.
“Bukannya Mas sudah bilang Dek kalau Mas nggak kerja. Kamu juga tahu kan kalau Mas enggak pernah pergi ke mana-mana. Mas hanya di rumah saja,” ucapnya sambil menatapku serius.
“Kalau Mas nggak kerja, terus Mas dapat uang sebanyak ini dari mana?” Kembali kuulangi pertanyaan yang beberapa saat lalu kulontarkan.
Bukannya menjawab, Mas Fahmi malah tersenyum dan secara tiba-tiba memelukku. Erat sekali.
Sikap Mas Fahmi yang seperti ini alih-alih membuatku senang, aku justru heran atau mungkin kini malah menjadi curiga kepadanya.
‘Sebenarnya suamiku kerja apa?’
Next....
“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Mataku masih ingin terus terpejam, tetapi telingaku terusik oleh suara-suara yang begitu berisik. Aw ... pinggangku terasa nyeri. Begitu pun dengan punggungku. Rasanya, seluruh badanku hampir remuk redam. “Baik, mahasiswa sekalian. Hari ini, kita lanjutkan materi kita pada pertemuan sebelumnya. Coba sekarang perhatikan di layar ....”Langsung membekap mulutku setelah sadar akan apa yang terjadi. Aku baru ingat jika kemarin aku bersembunyi di kolong meja dosen untuk menghindar dari laki-laki gila itu. Dan sekarang aku masih terjebak di sini. Astaga ... bagaimana caranya aku keluar dari sini? Aku nggak mungkin menunggu sampai jam kuliah selesai, kan? Serius. Itu sama sekali nggak lucu. Badanku sudah pegal-pegal. Perutku juga sudah meronta-ronta minta diisi. Tapi, kalau tiba-tiba aku keluar dari bawah meja ini, pasti akan langsung geger seisi kelas. Jadi, mau tak mau, dengan penuh rasa terpaksa aku harus menunggu sampai kelas ini bubar. Melirik jam tangan yang masih melingkar di tan
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen