Sayup-sayup kudengar suara ibu-ibu kompleks bergibah ria. Padahal masih pagi, tetapi mereka sudah sibuk mengurusi hidup orang lain.
Bukannya sok alim atau apa, tapi tak tahukah mereka kalau membicarakan kejelekan orang lain amatlah pekerjaan yang sia-sia.
Selain semakin membuat dosa menumpuk, pahala yang dipunya pun turut berkurang. Benar-benar pekerjaan tak ada guna, bukan?
“Sayang, nggak mau beli sayur? Tuh, Abang sayurnya sudah datang?” ucap Mas Fahmi--suamiku—yang baru keluar dari kamar.
“Eh, udah datang, ya?” kataku sedikit kaget karena sedari tadi sibuk sendiri memikirkan ibu-ibu yang senang sekali menggunjing.
“Iya, sudah. Makanya itu ibu-ibu banyak yang berkerumun. Sini sapunya. Biar Mas aja yang lanjut nyapu,” ucap Mas Fahmi sembari mengambil sapu yang sedari tadi kupegang.
“Makasih, Mas,” jawabku kemudian lekas berlari ke kamar. Berniat mengambil kerudung dan uang untuk membeli sayur.
Sebelum keluar, kulihat Mas Fahmi masih menyapu lantai.
“Mas, Adek beli sayur dulu ya,” ujarku sambil mendekat ke arahnya. Mau cium tangan. Maklum, kami baru menikah satu bulan yang lalu. Jadi, wajarkan kalau bawaannya ingin romantis-romantisan terus.
“Mas, Adek mau cium tangan,” ucapku malu-malu.
“Tangan Mas kotor, Dek. Cium tangannya ganti cium pipi aja, ya,” tawarnya sambil menyodorkan pipi sebelah kirinya mendekat ke arahku.
Aku mengangguk dan dengan cepat kucium pipi Mas Fahmi. Seulas senyum lantas kupersembahkan untuk suamiku tercinta.
“Coba buka tangannya?” ujar Mas Fahmi yang sanggup membuat dahi berkerut.
“Buka tangan? Seperti ini maksudnya, Mas?
Aku lantas menengadahkan tangan seperti orang yang ingin meminta sesuatu.
“Ini uang buat beli sayur. Sisanya buat kamu,” katanya seraya meletakkan uang seratus ribu yang kira-kira berjumlah 10 lembar di tanganku.
“Adek udah ada uang buat beli sayur,” jawabku sambil mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dengan tanganku yang satunya lagi.
“Ya, nggak papa. Itu uangnya disimpan aja untuk beli keperluan lainnya.”
“Tapi, ini Mas dapat uangnya dari mana? Bukannya Mas sendiri yang bilang kalau Mas pengangguran? Mas nggak mungkin nyuri kan?” selidikku sambil menatapnya heran.
Alih-alih kesal atau marah, Mas Fahmi justru terkekeh. “Dek, Mas nggak akan mungkin kasih uang haram buat kamu. Mas bisa jamin itu uang halal. Dipakai ya,” jawabnya sambil mencubit pipiku pelan.
Kuhela napas pelan karena masih penasaran akan dari mana rimbanya uang yang diberikan Mas Fahmi. Namun, sebagai seorang istri aku memilih mempercayai perkataan suamiku. Aku yakin kalau Mas Fahmi adalah orang jujur. Ia pasti tak akan membohongiku.
“Ya sudah, ini uangnya Adek terima. Tapi, kalau cuma buat beli sayur, ini kebanyakan, Mas,” timpalku sambil kembali menghitung jumlah uang yang diberikan Mas Fahmi. Benar, jumlahnya satu juta.
Menurutku satu juta cukup banyak untuk membeli keperluan dapur apalagi kami hanya tinggal berdua.
Aku khawatir bila uang yang diberikan Mas Fahmi malah kupergunakan untuk keperluan pribadiku. Membeli skincare mungkin.
Namanya juga wanita kan, pasti perlu merawat diri apalagi sekarang aku telah bersuami. Selalu ingin tampil cantik dan anggun di depan suami adalah hal yang menjadi prioritasku kini.
“Kan Mas udah bilang, sisanya buat kamu, Dek. Atau apa malah uangnya masih kurang?” tanya Mas Fahmi kemudian bisa kulihat, ia kembali merogoh saku bajunya.
“Kalau kurang ini Mas tambah,” sambungnya dan lagi-lagi menyerahkan beberapa lembar uang 100 ribuan. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya.
“Ya Allah, Mas. Sudah! Ini banyak sekali, bahkan lebih banyak dari gajiku sebulan,” ucapku sambil mencoba mengecek jumlah uang yang kuterima.
“Se-sepuluh juta?” kataku hampir tak bisa mengucapkannya. Agak berlebihan memang, tetapi begitulah adanya.
Uang yang kuterima ini setara dengan gajiku selama tiga atau sampai 4 bulan. Kalau ada yang penasaran dengan pekerjaanku, alhamdulilah aku adalah seorang ASN, lebih tepatnya seorang guru yang beberapa bulan lalu lulus seleksi P3K.
Meski gaji yang kuterima tak terbilang fantastis, bagiku itu sudah cukup untuk membiayai kehidupanku. Meski harus berhemat dan hidup secara minimalis pastinya.
“Itu jatah selama sebulan ya, Dek. Bulan depannya besok Mas kasih lagi.”
Aku kembali melongo mendengar perkataan Mas Fahmi. Apa sebegitu banyaknya uang yang dimiliki suamiku sampai-sampai dengan begitu mudahnya ia berkata seperti itu? batinku yang penasaran pun turut bersuara.
“Mas, maaf kalau Adek lancang. Sebenarnya Mas Fahmi kerja apa?” Akhirnya kukatakan juga pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di hatiku.
Meski sudah menikah sebulan lamanya, aku sama sekali tak menahu soal pekerjaan suamiku. Setiap kutanya, Mas Fahmi selalu tersenyum dan pasti menjawab, “Mas hanya pengangguran, Dek”.
Bahkan kalimat itulah yang dulu diucapkan ketika Bapak bertanya kepada Mas Fahmi ketika datang ke rumah untuk melamarku. Suamiku itu dengan terus terang dan percaya diri mengatakan bahwa dirinya hanyalah laki-laki biasa yang tak memiliki pekerjaan apa-apa.
Pengakuan Mas Fahmi yang seperti itu, sontak membuat Ibu sempat tak setuju bila aku menikah dengannya. Karena bagi Ibu, laki-laki yang harus menjadi suamiku adalah pria yang sudah bekerja alias bergaji, minimal setara denganku yang sudah ASN.
Tahulah ya, bagaimana sifat ibu-ibu yang ingin punya menantu yang bisa menjamin kehidupan anaknya tidak hanya perkara batin, tetapi lahir juga.
Namun, sekuat apa pun Ibu melarang, yang namanya jodoh tak ada yang bisa mencegah karena nyatanya Mas Fahmi tetap menjadi suamiku.
“Bukannya Mas sudah bilang Dek kalau Mas nggak kerja. Kamu juga tahu kan kalau Mas enggak pernah pergi ke mana-mana. Mas hanya di rumah saja,” ucapnya sambil menatapku serius.
“Kalau Mas nggak kerja, terus Mas dapat uang sebanyak ini dari mana?” Kembali kuulangi pertanyaan yang beberapa saat lalu kulontarkan.
Bukannya menjawab, Mas Fahmi malah tersenyum dan secara tiba-tiba memelukku. Erat sekali.
Sikap Mas Fahmi yang seperti ini alih-alih membuatku senang, aku justru heran atau mungkin kini malah menjadi curiga kepadanya.
‘Sebenarnya suamiku kerja apa?’
Next....
Aku bisa melihat ibu-ibu tengah sibuk memilih sayur-mayur. Iya, tangan mereka memang tampak sibuk memilih dan memilah, tetapi lisan mereka terus saja nyerocos tak tentu arah. “Eh, Nak Eva. Mau belanja, Nak,” sapa Bu Tika yang lebih dulu menyadari kedatanganku. “Iya, Bu. Mau beli sayur,” jawabku sesopan mungkin sambil mempersembahkan senyum di bibir. “Tumben belanja, Nak? Emang enggak masuk kerja?” Kini giliran Bu Wina yang angkat bicara. “Iya, Bu. Persediaan sayur sama lauk udah habis, makanya belanja. Kalau kerja emang nggak masuk, Bu. Kan hari ini libur, hari Minggu,” jawabku sambil mulai memilih sayuran yang kira-kira akan kumasak hari ini. “Oalah, saya lupa kalau ini hari Minggu. Maklum sudah tua, Nak,” sambung Bu Wina sambil melirik ke arahku. Karena tak tahu harus menjawab apa, aku hanya melontarkan senyum sambil kuanggukkan kepala pelan kemudian lanjut mencari lauk untuk sayur bayam dan jagung yang sudah kupilih. Pikirku Bu Wina akan selesai bertanya karena aku tak mer
Pandanganku masih terfokus pada acara televisi sebelum kudengar suara Mas Fahmi membuka pintu, pertanda bahwa ia telah pulang dari masjid. “Assalamualaikum, Dek masih di situ?”“Waalaikumussalam. Iya, Mas. Acaranya lagi seru,” kataku sambil beranjak dari sofa mendekat ke arah Mas Fahmi. Kemudian kucium tangannya.“Mas kok salatnya lama, enggak kayak biasanya yang pulang awal?” tanyaku sambil menatap wajah Mas Fahmi serius.“Sini, duduk dulu!” pintanya kemudian menuntunku duduk di sofa, di pangkuannya.“Mas, turunin! Aku mau duduk di samping Mas aja.”“Kenapa? Bukannya kamu senang seperti ini, hmm?” godanya, kemudian mencolek ujung hidungku sembari menatapku dalam. Tatapan yang selalu mampu membuatku terhanyut dan tenggelam di dalamnya.“Masshh..., sudah...! Jangan mengalihkan perhatianku.” Kuhentikan tangan Mas Fahmi yang mulai entah ke mana dibawanya.“Sekarang jawab, kenapa Mas Fahmi pulang ke masjidnya lama?” tanyaku kembali.“Mas mampir ke tempatnya Bu Yuni, ada urusan sama suami
“Kalau boleh tahu Kak Aan ada maksud apa datang kemari?” tanyaku langsung pada intinya. Aku tak ingin membuat Mas Fahmi menunggu terlalu lama sampai mengira ada apa-apa di antara aku dan Kak Aan.Bila ada yang penasaran dengan siapa Kak Aan? Dia adalah anak dari sahabat baik Ibuku. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu adalah pria yang sempat digadang-gadang menjadi jodohku.Selain karena memang orang tuaku dan Kak Aan menginginkan kami menjadi sepasang suami-istri, aku juga pernah menaruh hati padanya.Kalau boleh jujur, kami dulu cukup dekat, bahkan sampai pernah menjalani ta’aruf dan Kak Aan sendiri berjanji akan melamarku.Namun, entah karena apa alasannya, Kak Aan tiba-tiba menghilang tanpa kabar, meninggalkanku tepat sehari sebelum proses lamaran dilakukan. Bahkan sampai sekarang laki-laki di depanku ini belum juga menjelaskan alasan sebenarnya. Namun, bukan berarti aku mengharapkan penjelasan. Tidak. Terserah apa pun yang kemungkinan menjadi penyebabnya, aku sudah tak
Semalam setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mas Fahmi langsung berpamitan kepadaku. Sudah kutanya, ia akan ke mana, tetapi hanya dijawab ke tempat saudara. Awalnya aku keberatan ditinggal sendirian, tetapi karena Mas Fahmi berjanji akan segera kembali, aku pun mengizinkan. Namun kenyataannya, sampai hari berganti pun, Mas Fahmi tak kunjung pulang. Telah kuhubungi nomornya berkali-kali, tetapi lagi-lagi seperti seorang yang melarikan diri, ponselnya mendadak tak dapat dihubungi. “Sudah, Va! Mungkin Mas Fahmi masih ada urusan. Paling nanti juga pulang,” kataku, mencoba berpositif thinking. Mengenyahkan pikiran-pikiran negatif yang sempat hilir mudik dalam pikiran. Dengan cepat, lekas kupakai kerudung berwarna khaki seperti warna seragamku. Aku harus segera berangkat karena hari ini hari Senin dan itu artinya akan dilaksanakan upacara, seperti biasanya. Selepas memastikan semua barang-barang telah kubawa, pun buku-buku telah kumasukkan ke dalam tas, kuberjalan ke arah
Tiga hari berlalu semenjak Mas Fahmi menjelaskan tentang wanita yang bernama Safna itu. Selama itu juga aku mendiami Mas Fahmi. Mendiami maksudku ialah dengan tak banyak bicara padanya. Paling hanya bicara secukupnya, bila menyangkut perkara penting saja. “Dek, Mas antar, ya?”“Nggak usah. Adek bisa berangkat sendiri," ucapku ketus sambil memalingkan muka darinya.Setelah menolak tawaran Mas Fahmi, aku lantas mengambil tasku. Bersikap-siap berangkat. Hari ini aku ada jam pertama. Jadi, harus cepat.“Adek mau salim,” kataku datar sambil mengulurkan tangan kepada Mas Fahmi yang masih berkutat dengan sarapannya.Yah, meski tengah kesal, aku masih tahu norma. Mas Fahmi tetaplah suamiku yang harus kuhormati baik saat aku tengah marah atau tidak.Setelah mencium tangan Mas Fahmi, aku langsung bergegas menuju pintu keluar. Tak lupa kuucapkan salam padanya.“Adek kan udah bilang Mas, Adek nggak mau diantar.”Aku berucap demikian karena kulihat Mas Fahmi kini mengekor di belakangku, padahal
Kudorong gerbang rumah pelan lalu menutupnya rapat kembali. Mengangkat kaki sampai ke pintu rumah yang masih tertutup. “Assalamualaikum. Mas..., Mas Fahmi...” panggilku setelah membuka pintu. Namun hening. Tak kudapati balasan. “Mungkin Mas lagi di kamar,” kataku sambil mangut-mangut dan melangkahkan kaki menuju kamar. Akan tetapi, lagi-lagi tak kutemukan siapa pun di sana. “Ya Allah Mas Fahmi ke mana? Apa jangan-jangan dia pergi karena kesal sama aku?” Dengan segera, aku berlari ke arah lemari baju Mas Fahmi. Aku berniat mengecek apakah pakaian Mas Fahmi masih tertata di sana ataukah tidak. “Alhamdulillah, masih,” ucapku setelah membuka lemari pakaian milik suamiku. “Kalau Mas Fahmi nggak pergi, terus dia ke mana?” Kembali kulangkahkan kaki menuju bagasi. Aku ingin melihat apakah mobil masih berada di sana. “Kosong.” Ya, bisa kulihat. Bagasi sempit yang hanya memuat mobil kami itu kini terlihat lenggang karena si mobil telah entah ke mana dibawa. “Berati Mas Fahmi lagi pe
Berulang kali kutengok jam dinding yang ada di atas TV. Malam semakin larut, tetapi Mas Fahmi tak kunjung pulang. Kini, ponselnya bahkan tak lagi aktif. “Mas, kamu di mana? Kenapa sampai sekarang nggak pulang? Apa Mas lupa kalau kamu sudah janji sama Adek akan segera pulang?”Aku terus saja berbicara. Padahal tak ada seorang pun di sekitarku. Kecuali daripada siaran televisi yang sudah kuputar sejak beberapa jam lalu. Hanya untuk mengusir sepi dan kebosanan karena ditinggal suami tersayang.“YA ALLAH....” pekikku saat lampu tiba-tiba mati. Seketika ruangan berubah gelap.Meski takut, aku mencoba berdiri dari tempat duduk. Pelan-pelan kulangkahkan kaki. Aku harus mencari senter atau apa pun itu yang bisa dijadikan sumber penerangan.Drt..., Drt..., Drt...Ponsel yang ada di atas meja bergetar. Sejurus, aku lupa kalau ternyata aku memiliki gawai yang bisa kujadikan sebagai lampu.Kuraih gadget-ku dan dengan cepat kuangkat telefon yang masuk.“Waalaikumussalam, Mas. Mas Fahmi kapan pula
“Aku kakak iparmu, Fahmi. Kamu tak boleh seperti ini terus. Lupakan aku! Kamu sudah punya Eva di sisimu.” “Kamu tak berhak memaksaku, Na. Hatiku hanya mau kamu. Bukan yang lain.”“Fahmi cukup! Kamu sudah menikah dan aku sudah memiliki anak. Hubungan kita telah berakhir!”“Aku akan ceraikan Eva bila itu bisa membuatmu kembali padaku, Na. Lagi pula, Mas Farhan sudah meninggal. Kita bisa menikah dan hidup bahagia mulai sekarang.”“Gila kamu Fahmi. Kamu kira menikah hanya untuk main-main? Apa kamu tak peduli sedikit pun dengan perasaan istrimu? Berhenti sakiti dia Fahmi. Dia mencintaimu.”“Menikahlah denganku, Na. Maka Eva tak akan menderita lagi. Dia akan aku ceraikan. Dia bisa menikah kembali karena seperti katamu dia tipe istri idaman yang bisa dengan mudah mencari penggantiku. Dan aku yakin, dia tak tulus mencintaiku karena kami hanya baru menikah beberapa bulan. Aku yakin, cepat atau lambat Eva akan bisa melupakanku.”“Sungguh gila kamu Fahmi. Benar-benar tak waras.”“Aku gila karen