Pandanganku masih terfokus pada acara televisi sebelum kudengar suara Mas Fahmi membuka pintu, pertanda bahwa ia telah pulang dari masjid.
“Assalamualaikum, Dek masih di situ?”
“Waalaikumussalam. Iya, Mas. Acaranya lagi seru,” kataku sambil beranjak dari sofa mendekat ke arah Mas Fahmi. Kemudian kucium tangannya.
“Mas kok salatnya lama, enggak kayak biasanya yang pulang awal?” tanyaku sambil menatap wajah Mas Fahmi serius.
“Sini, duduk dulu!” pintanya kemudian menuntunku duduk di sofa, di pangkuannya.
“Mas, turunin! Aku mau duduk di samping Mas aja.”
“Kenapa? Bukannya kamu senang seperti ini, hmm?” godanya, kemudian mencolek ujung hidungku sembari menatapku dalam. Tatapan yang selalu mampu membuatku terhanyut dan tenggelam di dalamnya.
“Masshh..., sudah...! Jangan mengalihkan perhatianku.” Kuhentikan tangan Mas Fahmi yang mulai entah ke mana dibawanya.
“Sekarang jawab, kenapa Mas Fahmi pulang ke masjidnya lama?” tanyaku kembali.
“Mas mampir ke tempatnya Bu Yuni, ada urusan sama suaminya.”
“Bukannya hari Sabtu, Mas udah ke rumahnya Bu Yuni? Kok sekarang ke situ lagi?” tanyaku sedikit heran.
Mas Fahmi tersenyum kemudian mengecup singkat pipiku.
“Sabtu sore kemarin, Mas ke rumah Pak Anto untuk kasih sumbangan buat renovasi masjid karena kebetulan Mas masih ada siswa uang. Kalau hari ini, Pak Anto sendiri yang ngajak Mas ke rumahnya. Beliau minta Mas untuk ngajar ngaji di masjid karena ustaz yang biasa mengajar sedang sakit,” tutur Mas Fahmi lembut.
Kepalaku menunduk selepas mendengar penjelasan Mas Fahmi. Malu rasanya karena telah berburuk sangka pada suami sendiri. Mataku memanas, mungkin sekarang terlihat berkaca-kaca.
“Hei, sayang. Kenapa?” tanya Mas Fahmi lembut sambil mengangkat daguku supaya aku bisa melihat wajahnya.
“Ma-af. Ad-ek sempat ngira Mas ke–luyuran. Adek udah suuzan sama, Mas. Adek mohon ampun,” ucapku disela-sela isak tangis karena sudah tak kuasa membendungnya.
“Iya..., Mas maafkan. Nangisnya udahan, ya. Nggak enak didengar tetangga. Masak malam-malam gini nangis. Ntar dikira Mas marahi kamu. Tenang ya, Sayang,” bujuk suamiku seraya menghapus air mataku. Tak lupa pula mendaratkan ciuman di kening, pipi, bibir, dan leherku.
“Mashh..., udah. Adek geli!”
“Mau ke kamar?” bisiknya pelan di telingaku. Sontak membuatku langsung paham akan maunya.
“Nanti dulu. Adek masih ada pertanyaan yang harus Mas jawab.”
Kulihat Mas Fahmi menghela napasnya. Sedikit gusar. Mungkin karena keinginannya tak segera kuturuti. Namun hanya beberapa saat, kini tatapannya sudah kembali melunak.
“Tanya apa lagi, hmm?” ujarnya, kemudian kembali membenamkan kepalnya di leherku. Entah apa motifnya, tetapi sepertinya bermaksud menggodaku.
“Kemarin Mas nyumbang buat masjidnya berapa?”
Aku bertanya demikian bukan karena mau tahu atau ingin mengurusi perihal ke mana uang Mas Fahmi ia gunakan, tetapi aku hanya penasaran karena teringat kata Bu Yuni tentang seseorang yang menyumbang tiga puluh juta untuk masjid kami.
Seketika aku menebak, apa mungkin laki-laki yang menyumbang tiga puluh juta itu adalah Mas Fahmi alias suamiku sendiri?
“Hanya tiga juta, Dek. Kenapa emangnya?”
Mas Fahmi mengangkat kepalanya dan menatapku bingung. Mungkin ia heran akan pertanyaanku yang tiba-tiba.
Namun, bukannya menjelaskan, aku malah menyipitkan mata.
“Tiga juga apa tiga puluh juta, Mas?” tanyaku hati-hati.
Sejurus, dapat kulihat air muka suamiku yang terkejutnya. Namun, hanya beberapa saat.
“Kamu tahu dari mana, hmm?” ucapnya lalu mencium pipiku. Entahlah, sudah berapa kali ia menciumku hari ini, tetapi aku sama sekali tak ingin memprotes karena aku menyukai perlakuan manisnya itu.
“Dari Bu Yuni. Ia cerita kalau katanya ada laki-laki yang nyumbang buat renovasi masjid sebanyak 30 juta,” akuku jujur.
“Mas bukannya mau nyembunyiin dari kamu, tapi Mas enggak mau aja kamu mikir yang enggak-enggak. Pas Mas kasih uang 10 juta itu aja reaksimu sudah gimana-gimana, apalagi kalau Mas kasih tahu kalau Mas nyumbang ke masjid senilai 30 juta? Mas khawatir kamu akan nuduh Mas nyuri atau semacamnya lagi,” terang Mas Fahmi.
Ada nada sendu dalam ucapannya yang entah mengapa membuat hatiku tak nyaman. Lagi-lagi perasaan bersalah menyeruak karena telah menduga yang tidak-tidak tentangnya.
“Maaf.”
Kembali lagi, kukatakan kalimat itu. Karena hanya kata itulah yang sepertinya patut kuucapkan.
“Sudah..., enggak papa. Sebelum Adek minta maaf. Mas udah maafin,” ucapnya tulus. Dapat kulihat senyum yang menjadi canduku itu terbit di bibirnya.
“Akh..., Mas!” pekikku saat kurasakan tubuhku telah melayang karena Mas Fahmi dengan tiba-tiba bangkit dari duduknya. Refleks kukalungkan tanganku di lehernya. Sebab, khawatir akan terjatuh.
“Mas turunin! Adek bisa jalan sendiri! Adek berat.” Aku merengek membujuk Mas Fahmi supaya bisa diturunkan dari gendongannya.
Namun, alih-alih menjawab atau menuruti kemauanku, Mas Fahmi malah tersenyum dan dengan tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibirku.
“Assalamualaikum..., permisi! Eva...!”
“Mmm-mashhh..., ad-a ta-mu,” kataku terengah-engah sambil menjauhkan kepalaku dari wajah Mas Fahmi.
“Siapa?” tanyanya sambil menatapku bingung.
Kugelengkan kepalaku pertanda tak tahu.
“Biar Mas yang buka. Kamu tunggu di sini, ya!” katanya sambil menurunkanku dari gendongannya.
Setelah menganggukkan kepala, Mas Fahmi lantas berjalan menuju pintu yang menjadi akses utama masuk sekaligus keluar di rumah kami.
Sembari menunggu Mas Fahmi kembali, aku lekas mematikan Tv karena ternyata televisinya belum kumatikan. Hampir saja benda persegi panjang datar itu menyala sampai besok pagi.
'Dasar aku pelupa memang,' rutukku dalam hati.
Tak perlu menunggu lama, Mas Fahmi kembali dengan air muka yang entahlah. Aku sendiri tak bisa mendeskripsikannya.
“Dek ada tamu, katanya mau ketemu sama Adek,” ucap Mas Fahmi sendu.
Menyadari air muka suamiku yang seperti itu membuatku penasaran? Kira-kira siapa yang datang bertamu malam-malam begini? batinku ikut terheran-heran.
Next....
“Sa-saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu kemari. Ini kucing saya lagi rewel,” ucap Pak Dion setelah menghadap mahasiswanya. Laki-laki itu tidak langsung berdiri karena sepertinya dia sengaja ingin menyembunyikan tubuhku. Ya, punggung lebarnya yang kokoh itu memang sangat cukup menutupi tubuhku yang mungil ini. Meskipun orang berdiri tepat di hadapan kami sekali pun, mereka tetap tak akan melihat apa pun. Karena seperti kataku tadi, tubuh tegap Pak Dion menghalangi pandangan mereka untuk melihatku. “Ba-ik kalau begitu, Pak. Saya pikir Pak Dion kenapa-kenapa.” “Saya baik-baik saja. Jadi, kamu bisa duduk kembali. Saya masih harus menenangkan kucing saya dulu. Dari tadi dia rewel terus.” Kali ini Pak Dion telah bangkit dari duduknya, tetapi laki-laki itu masih berdiri tepat di depanku. Mungkin, dosen gila itu masih menunggu mahasiswanya kembali ke tempat duduknya baru kemudian dia akan berlalu dari hadapanku. “Pak, kucingnya perlu dipeluk kali. Makanya rewel gitu. Soalnya, saya jug
Mataku masih ingin terus terpejam, tetapi telingaku terusik oleh suara-suara yang begitu berisik. Aw ... pinggangku terasa nyeri. Begitu pun dengan punggungku. Rasanya, seluruh badanku hampir remuk redam. “Baik, mahasiswa sekalian. Hari ini, kita lanjutkan materi kita pada pertemuan sebelumnya. Coba sekarang perhatikan di layar ....”Langsung membekap mulutku setelah sadar akan apa yang terjadi. Aku baru ingat jika kemarin aku bersembunyi di kolong meja dosen untuk menghindar dari laki-laki gila itu. Dan sekarang aku masih terjebak di sini. Astaga ... bagaimana caranya aku keluar dari sini? Aku nggak mungkin menunggu sampai jam kuliah selesai, kan? Serius. Itu sama sekali nggak lucu. Badanku sudah pegal-pegal. Perutku juga sudah meronta-ronta minta diisi. Tapi, kalau tiba-tiba aku keluar dari bawah meja ini, pasti akan langsung geger seisi kelas. Jadi, mau tak mau, dengan penuh rasa terpaksa aku harus menunggu sampai kelas ini bubar. Melirik jam tangan yang masih melingkar di tan
"Akh ... rasanya benar-benar mau gila. Kepalaku hampir pecah dibuatnya."“Sudahlah, Va. Jangan marah terus. Toh, niatnya Pak Dion juga baik.”Iya. Apa yang dikatakan Ara benar. Pak Dion sengaja membawaku ke ruangan semacam UKS itu hanya karena ingin memberiku beberapa obat dan vitamin. Orang yang menabrakku di depan toilet waktu itu adalah Pak Dion sehingga ia tahu bahwa hari ini aku sedang tak enak badan.“Tapi, tetap aja caranya nggak ke gitu juga, Ar. Padahal dia tahu kalau aku sakit, tetapi kenapa dia malah ngusir aku dari kelasnya? Bikin kesal aja.”“Ya mungkin ... biar kamu nggak pusing-pusing mikirin pelajaran, Va. Makanya, Pak Dion nyuruh kamu keluar dan bawa kamu ke UKS.”“Tapi, tetap aja sal—“Drt ... drt ... drt ....“Sebentar, Ar. Aku terima telepon dulu,” ucapku setelah melihat ponsel di meja berdering.“Dari siapa?” tanya Ara. Mungkin penasaran karena melihat keningku yang mengerut.“Dari, Ibu. Bentar, ya.”Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan menjauh beb
Satu tahun kemudian ....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”uhuk ... uhuk ....Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga ....”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku.
Satu tahun kemudian....“Va, sebentar lagi masuk. Ayo cabut!”Aku menoleh ke arah Ara yang sudah berdiri dari tempat duduknya.“Kamu duluan aja, Ra. Makananku belum habis.”“Makannya dilanjut nanti aja, Va. Ini mau masuk lho. Kamu nggak mau dihukum lagi kan sama dosen galak itu?”Keningku berkerut. Masih dengan makanan yang belum sepenuhnya terkunyah, aku berucap, “Ema-ng ha-ri ini, mata ku-liahnya apa?” kataku susah payah.“Linguistik terapan, Eva. Kamu belum lihat jadwal?”Khuk...Khuk...Segera kuraih air minum di depanku dan meminumnya hingga tandas. Aku hampir tersedak selepas mendengar jawaban Ara.“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau dosennya dia. Astaga...”Aku panik bukan main. Sudah berapa kali aku dihukum olehnya dan kali ini aku tentu tak ingin diceramahi lagi. Sudah cukup!“Ra, tolong bawa tas sama bukuku, ya. Aku harus ke toilet sebentar. Kamu duluan saja. Ntar aku nyusul. Cariin satu kursi di sampingmu. Aku duluan.”Segera kuraih sampah makanan dan botol minumku. Aku aka
“Mas Fahmi tak perlu repot-repot mengantarku balik. Karena aku bisa pulang sendiri ke rumah orang tuaku. Aku yang akan jelaskan semuanya. Mas juga nggak usah susah-susah memberi orang tuaku uang karena aku masih bisa menafkahi mereka. Alhamdulillah, gajiku yang sedikit itu masih bisa kuberikan kepada mereka. Mas gunakan saja uang Mas untuk keperluan pernikahan kalian. Semoga bahagia dengan keluarga baru, Mas. Aku pamit.”Tanpa menunggu jawaban apa pun dari mereka, segera kupaksa langkahku keluar ruangan. Tak peduli dengan kakiku yang semakin melemas, takpeduli dengan kepalaku yang bertambah pusing, tak peduli dengan demamku yang kian tinggi, dan tak peduli dengan air mata yang terus bersimbah, aku terus dan terus memacu laju kakiku.Sesekali aku berhenti. Bukan karena lelah atau apa. Tetapi karena berharap barang kali Mas Fahmi akan mengejar dan menghentikanku. Namun, lagi-lagi aku harus kembali mengubur khayalanku dalam-dalam karena sampai aku keluar dari pintu utama rumah sakit pun,