Share

3. Tamu Misterius

Pandanganku masih terfokus pada acara televisi sebelum kudengar suara Mas Fahmi membuka pintu, pertanda bahwa ia telah pulang dari masjid. 

“Assalamualaikum, Dek masih di situ?”

“Waalaikumussalam. Iya, Mas. Acaranya lagi seru,” kataku sambil beranjak dari sofa mendekat ke arah Mas Fahmi. Kemudian kucium tangannya.

“Mas kok salatnya lama, enggak kayak biasanya yang pulang awal?” tanyaku sambil menatap wajah Mas Fahmi serius.

“Sini, duduk dulu!” pintanya kemudian menuntunku duduk di sofa, di pangkuannya.

“Mas, turunin! Aku mau duduk di samping Mas aja.”

“Kenapa? Bukannya kamu senang seperti ini, hmm?” godanya, kemudian mencolek ujung hidungku sembari menatapku dalam. Tatapan yang selalu mampu membuatku terhanyut dan tenggelam di dalamnya.

“Masshh..., sudah...! Jangan mengalihkan perhatianku.” Kuhentikan tangan Mas Fahmi yang mulai entah ke mana dibawanya.

“Sekarang jawab, kenapa Mas Fahmi pulang ke masjidnya lama?” tanyaku kembali.

“Mas mampir ke tempatnya Bu Yuni, ada urusan sama suaminya.”

“Bukannya hari Sabtu, Mas udah ke rumahnya Bu Yuni? Kok sekarang ke situ lagi?” tanyaku sedikit heran.

Mas Fahmi tersenyum kemudian mengecup singkat pipiku.

“Sabtu sore kemarin, Mas ke rumah Pak Anto untuk kasih sumbangan buat renovasi masjid karena kebetulan Mas masih ada siswa uang. Kalau hari ini, Pak Anto sendiri yang ngajak Mas ke rumahnya. Beliau minta Mas untuk ngajar ngaji di masjid karena ustaz yang biasa mengajar sedang sakit,” tutur Mas Fahmi lembut.

Kepalaku menunduk selepas mendengar penjelasan Mas Fahmi. Malu rasanya karena telah berburuk sangka pada suami sendiri. Mataku memanas, mungkin sekarang terlihat berkaca-kaca.

“Hei, sayang. Kenapa?” tanya Mas Fahmi lembut sambil mengangkat daguku supaya aku bisa melihat wajahnya.

“Ma-af. Ad-ek sempat ngira Mas ke–luyuran. Adek udah suuzan sama, Mas. Adek mohon ampun,” ucapku disela-sela isak tangis karena sudah tak kuasa membendungnya.

“Iya..., Mas maafkan. Nangisnya udahan, ya. Nggak enak didengar tetangga. Masak malam-malam gini nangis. Ntar dikira Mas marahi kamu. Tenang ya, Sayang,” bujuk suamiku seraya menghapus air mataku. Tak lupa pula mendaratkan ciuman di kening, pipi, bibir, dan leherku.

“Mashh..., udah. Adek geli!”

“Mau ke kamar?” bisiknya pelan di telingaku. Sontak membuatku langsung paham akan maunya.

“Nanti dulu. Adek masih ada pertanyaan yang harus Mas jawab.”

Kulihat Mas Fahmi menghela napasnya. Sedikit gusar. Mungkin karena keinginannya tak segera kuturuti. Namun hanya beberapa saat, kini tatapannya sudah kembali melunak.

“Tanya apa lagi, hmm?” ujarnya, kemudian kembali membenamkan kepalnya di leherku. Entah apa motifnya, tetapi sepertinya bermaksud menggodaku.

“Kemarin Mas nyumbang buat masjidnya berapa?”

Aku bertanya demikian bukan karena mau tahu atau ingin mengurusi perihal ke mana uang Mas Fahmi ia gunakan, tetapi aku hanya penasaran karena teringat kata Bu Yuni tentang seseorang yang menyumbang tiga puluh juta untuk masjid kami.

Seketika aku menebak, apa mungkin laki-laki yang menyumbang tiga puluh juta itu adalah Mas Fahmi alias suamiku sendiri?

“Hanya tiga juta, Dek. Kenapa emangnya?”

Mas Fahmi mengangkat kepalanya dan menatapku bingung. Mungkin ia heran akan pertanyaanku yang tiba-tiba.

Namun, bukannya menjelaskan, aku malah menyipitkan mata.

“Tiga juga apa tiga puluh juta, Mas?” tanyaku hati-hati.

Sejurus, dapat kulihat air muka suamiku yang terkejutnya. Namun, hanya beberapa saat.

“Kamu tahu dari mana, hmm?” ucapnya lalu mencium pipiku. Entahlah, sudah berapa kali ia menciumku hari ini, tetapi aku sama sekali tak ingin memprotes karena aku menyukai perlakuan manisnya itu.

“Dari Bu Yuni. Ia cerita kalau katanya ada laki-laki yang nyumbang buat renovasi masjid sebanyak 30 juta,” akuku jujur.

“Mas bukannya mau nyembunyiin dari kamu, tapi Mas enggak mau aja kamu mikir yang enggak-enggak. Pas Mas kasih uang 10 juta itu aja reaksimu sudah gimana-gimana, apalagi kalau Mas kasih tahu kalau Mas nyumbang ke masjid senilai 30 juta? Mas khawatir kamu akan nuduh Mas nyuri atau semacamnya lagi,” terang Mas Fahmi.

Ada nada sendu dalam ucapannya yang entah mengapa membuat hatiku tak nyaman. Lagi-lagi perasaan bersalah menyeruak karena telah menduga yang tidak-tidak tentangnya.

“Maaf.”

Kembali lagi, kukatakan kalimat itu. Karena hanya kata itulah yang sepertinya patut kuucapkan.

“Sudah..., enggak papa. Sebelum Adek minta maaf. Mas udah maafin,” ucapnya tulus. Dapat kulihat senyum yang menjadi canduku itu terbit di bibirnya.

“Akh..., Mas!” pekikku saat kurasakan tubuhku telah melayang karena Mas Fahmi dengan tiba-tiba bangkit dari duduknya. Refleks kukalungkan tanganku di lehernya. Sebab, khawatir akan terjatuh.

“Mas turunin! Adek bisa jalan sendiri! Adek berat.” Aku merengek membujuk Mas Fahmi supaya bisa diturunkan dari gendongannya.

Namun, alih-alih menjawab atau menuruti kemauanku, Mas Fahmi malah tersenyum dan dengan tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibirku.

 “Assalamualaikum..., permisi! Eva...!”

“Mmm-mashhh..., ad-a ta-mu,” kataku terengah-engah sambil menjauhkan kepalaku dari wajah Mas Fahmi.

“Siapa?” tanyanya sambil menatapku bingung.

Kugelengkan kepalaku pertanda tak tahu.

“Biar Mas yang buka. Kamu tunggu di sini, ya!” katanya sambil menurunkanku dari gendongannya.

Setelah menganggukkan kepala, Mas Fahmi lantas berjalan menuju pintu yang menjadi akses utama masuk sekaligus keluar di rumah kami.

Sembari menunggu Mas Fahmi kembali, aku lekas mematikan Tv karena ternyata televisinya belum kumatikan. Hampir saja benda persegi panjang datar itu menyala sampai besok pagi.

'Dasar aku pelupa memang,' rutukku dalam hati.

Tak perlu menunggu lama, Mas Fahmi kembali dengan air muka yang entahlah. Aku sendiri tak bisa mendeskripsikannya.

“Dek ada tamu, katanya mau ketemu sama Adek,” ucap Mas Fahmi sendu.

Menyadari air muka suamiku yang seperti itu membuatku penasaran? Kira-kira siapa yang datang bertamu malam-malam begini? batinku ikut terheran-heran.

Next....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status