Share

4. Telepon Malam-Malam

“Kalau boleh tahu Kak Aan ada maksud apa datang kemari?” tanyaku langsung pada intinya. Aku tak ingin membuat Mas Fahmi menunggu terlalu lama sampai mengira ada apa-apa di antara aku dan Kak Aan.

Bila ada yang penasaran dengan siapa Kak Aan? Dia adalah anak dari sahabat baik Ibuku. Laki-laki yang berprofesi sebagai polisi itu adalah pria yang sempat digadang-gadang menjadi jodohku.

Selain karena memang orang tuaku dan Kak Aan menginginkan kami menjadi sepasang suami-istri, aku juga pernah menaruh hati padanya.

Kalau boleh jujur, kami dulu cukup dekat, bahkan sampai pernah menjalani ta’aruf dan Kak Aan sendiri berjanji akan melamarku.

Namun, entah karena apa alasannya, Kak Aan tiba-tiba menghilang tanpa kabar, meninggalkanku tepat sehari sebelum proses lamaran dilakukan. Bahkan sampai sekarang laki-laki di depanku ini belum juga menjelaskan alasan sebenarnya.  

Namun, bukan berarti aku mengharapkan penjelasan. Tidak. Terserah apa pun yang kemungkinan menjadi penyebabnya, aku sudah tak ingin tahu karena hubunganku dengan Kak Aan sudah berakhir tepat di hari laki-laki itu membatalkan lamaran kami.

Dan sekarang aku sudah bersuami. Telah ada Mas Fahmi yang sangat amat menyayangiku. Pun halnya denganku. Aku sangat mencintainya.

“Kamu apa kabar, Va?” tanya Kak Aan sendu. Sorot matanya tak sedikit pun terlihat bahagia. Namun, itu bukanlah urusanku. Jadi, aku tak harus mengkhawatirkannya bukan?

“Baik, alhamdulillah,” jawabku singkat.

“Maaf, Kak. Aku bukannya bermaksud gimana-gimana, tapi ini sudah terlalu larut untuk mengobrol. Aku juga sudah mengantuk. Jadi, apa Kak Aan bisa langsung ke intinya saja?” sambungku kemudian.

“Va..., apa besok aku boleh antar kamu kerja. Ada hal yang harus aku jelaskan. Tentang alasan kenapa aku membatalkan acara lamaran kita.”

Padahal baru tadi aku membatin untuk tak ingin berurusan lagi dengan alasannya yang entah apa itu. 

“Maaf, Kak. Aku tak---“

“Silakan kopinya diminum dulu,” kata Mas Fahmi yang tiba-tiba datang sambil membawa secangkir kopi untuk Kak Aan sehingga ucapanku pun terpotong.

“Mas kenapa nggak suruh Adek aja? Kan itu tugas Adek, bukan tugas Mas,” ucapku sedikit merajuk. Merasa kesal karena telah merepotkan suami.

Mendapati aku yang seperti itu membuat Mas Fahmi duduk di sampingku.

“Hei, Sayang..., nggak papa. Mas cuma buat kopi. Mas nggak merasa direpotin. Kan Adek lagi ngobrol tadi. Masak Mas harus minta Adek yang buatin kopinya. Sudah ya jangan ngambek lagi.”

Dengan pelan, Mas Fahmi membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Akh, Mas Fahmi memang suami idaman, aku sangat amat beruntung menikah dengannya. Ia selalu tahu caranya melenyapkan emosiku.

“Ekhm...”

Mas Fahmi dan aku seketika tersadar kalau di depan kami ternyata masih ada Kak Aan. Dengan malu-malu, kulepaskan pelukan Mas Fahmi dan kutundukkan wajah.

Aduh, apa sekarang wajahku tengah memerah? Karena bisa kurasakan hawa panas di seluruh pipiku.

“Va, apa Kakak boleh minta nomor ponselmu? Supaya kapan-kapan Kakak bisa menghubungimu,” ucap Kak Aan dengan santainya.

‘Hah? Ini laki-laki berani banget. Minta nomorku di depan Mas Fahmi? Lagi pula, Kak Aan nggak sadar atau emang dia pura-pura amnesia kalau aku sudah menikah. Benar-benar heran dah. Jangan bilang kalau dia tetap mau berusaha dekatin aku lagi? Pasti nggak kan?’

“Mana ponselmu?” tanya Mas Fahmi tiba-tiba.

Sekilas aku melirik suamiku, bahkan sampai kugenggam tangannya erat-erat seolah meminta penjelasan.

Mas Fahmi enggak mungkin kasih nomorku sama Kak Aan kan? Akh, lagi-lagi aku hanya bisa bertanya pada diri sendiri.

“Mas, jangan dikasih!” bisikku pelan dan semoga saja, Kak Aan tak mendengar apa yang aku katakan.

“Ini,” ucap Kak Aan lantas menyodorkan ponselnya kepada Mas Fahmi.

Mas Fahmi meraih gawai Kak Aan dan langsung mengetikkan urutan angka-angka. Aku berdoa semoga Mas Fahmi tidak menuliskan nomorku.

“Itu nomor saya. Saya sudah menyimpannya. Kalau ada hal yang ingin kamu bicarakan dengan Eva kamu hubungi saja saya. Kamu tak perlu khawatir, insyaallah saya amanah. Saya akan sampaikan semua yang ingin kamu katakan kepada istri saya,” terang Mas Fahmi sambil menyerahkan kembali ponsel Kak Aan kepada empunya.

Tanpa diminta seulas senyum langsung merekah di sudut-sudut bibirku. Kutatap Mas Fahmi kemudian kuucap kata makasih tanpa bersuara.

Mas Fahmi hanya mengangguk kecil dan ikut tersenyum lebar.

“Baiklah. Tak masalah. Segini saja sudah cukup,” ucap Kak Aan.

Kak Aan melirik arlojinya dan tanpa basa-basi lagi ia berucap, “Va, aku pulang dulu ya,” katanya sambil menatapku.

Memang cari gara-gara ni orang, padahal jelas-jelas di sampingku ada Mas Fahmi, tetapi kenapa cuma aku tempat dia berpamitan. Semestinya sama Mas Fahmi juga, kan? Seolah-olah Mas Fahmi tak dia akui keberadaannya.

“Iya, silakan. Lagi pula, bukannya tak elok bila bertamu di rumah orang selarut ini? Apalagi dengan maksud yang belum jelas,” timpal Mas Fahmi sedikit ketus.

Aku pikir, Kak Aan akan malu sehingga jera dengan tingkah gilanya itu, tetapi buktinya tidak.

Laki-laki itu hanya tersenyum tipis dan kembali mengangkat suaranya sembari menatapku, “ Ya udah, Va. Aku pamit. Selamat tidur. Semoga kita ketemu besok pagi,” ucapnya, lantas bangkit dari sofa dan tanpa mengucap salam, Kak Aan langsung pergi begitu saja. Tentu tanpa menoleh atau pun berpamitan kepada Mas Fahmi.

“Apa dia benar seorang polisi, Dek?” tanya Mas Fahmi seraya menatap punggung Kak Aan yang kini sudah mulai tak terlihat lagi.

“Mungkin dulu iya, Mas, tapi sekarang entah. Adek nggak yakin,” jawabku asal.

Kulihat suamiku menghela napasnya sambil menatapku intens.

“Mas kenapa? Kok natap Adek segitunya?”

“Emang nggak boleh? Giliran sama laki-laki lain aja boleh. Masak sama suami sendiri nggak boleh?”

Sejenak aku melongo, tetapi kemudian sudut bibirku terangkat membentuk senyuman.

“Mas cemburu ya?” ledekku sambil terus senyum-senyum.

“Enggak. Mas nggak cemburu,” elaknya sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Jangan bohong, Mas. Adek tahu, Mas pasti cemburu kan?"

“Udah, Dek! Mending kita ke kamar. Mas masih ada perlu sama kamu,” ucapnya pelan yang entah mengapa terdengar begitu merdu di telingaku.

“Akh.., ih, Mas kebiasaan deh. Sukanya gendong-gendong Adek terus. Adek kan punya kaki buat jalan! Turu---“

“Ud-ah, nurut aja sama su-ami. Ja-ngan cerewet. Kalau Adek ngelawan lagi. Adek akan Mas c*um lagi. Paham?” bisik Mas Fahmi tepat di telinga kananku.

 “Iya, Adek pah.....”

Drt...Drt...Drt...

Belum sempat kutuntaskan kalimatku. Ponsel Mas Fahmi berdering.

“Dek sebentar, ya. Mas terima telepon dulu,” katanya sambil menurunkanku dari gendongannya. 

Mas Fahmi melihat layar ponselnya dan kembali menatap ke arahku.

“Adek ke kamar aja dulu, ya. Ntar Mas nyusul. Mas harus angkat telefonnya dulu. Nggak lama kok. Paling cuma lima belas menitan,” katanya kemudian berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dariku.

‘Siapa yang telefon Mas Fahmi malam-malam begini? Enggak mungkin Kak Aan kan? Ya Allah, perasaan apa ini, kenapa dadaku langsung sesak?’

Next....

🌻Nah, lho. Kira-kira siapa ya yang telefon Fahmi? Mmmm, bikin penasaran aja...🌻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status