Shasha cekikikan. “Mau tahu banget sih, Ta.” “Sha, jangan bikin aku kesal ya. Apa perlu aku tanya kamu sambil teriak-teriak biar semua orang dengar?” ancam Tirta yang mulai kesal karena Shasha terus menggodanya. “Eh, jangan macem-macam ya kamu.” Shasha terlihat panik. “Iya, aku cerita,” lanjutnya. Tirta diam-diam tersenyum menyeringai melihat sang sahabat. Salah sendiri sering banget usil. Giliran diusilin balik jadi panik. “Oke, aku siap dengar ceritamu,” ucapnya setelah menyesap es teh. “Menurutmu sebaiknya aku mau jadi PW-nya Mas Juna atau tidak, Ta?” tanya Shasha sambi memandang sahabatnya. “Memangnya kamu belum jawab mau tidaknya?” Tirta malah balik bertanya. Shasha mengangguk. “Aku bingung, Ta. Aku takut jadi bahan gosip, tapi aku enggak enak kalau mau nolak. Tadi itu Mas Juna sampai memohon-mohon sama aku,” ujarnya. “Tapi kalau memang terpaksa sih, ya mau enggak mau aku jadi PW-nya Mas Juna,” lanjut Shasha yang membuat sang sahabat mengernyit. “Terpaksa?” tanya Tirta ya
Shasha jadi makin salah tingkah karena pertanyaan Tirta. “Jangan sok tahu, Ta,” elaknya. “Dari sikapmu sekarang aja udah kelihatan kok, Sha.” Tirta tersenyum miring. “Enggak usah bohong, Sha. Dosa tahu kalau bohong. Nanti masuk neraka loh.” “Aku mesti jujur gimana lagi, Ta. Memang aku merasa nyaman sama Mas Juna. Dan aku juga nyaman dengan hubungan kami yang seperti ini,” papar Shasha. “Yakin cuma merasa nyaman? Bukan sayang atau cinta? Awal cinta itu dari rasa nyaman loh, Sha.” Tirta kembali memainkan kedua alisnya, menggoda sang sahabat. Shasha menggelengkan kepala. “Aku sudah memutuskan enggak akan memikirkan cinta sampai bisa membahagiakan mama, Ta. Aku mau fokus kuliah terus kerja di tempat yang bagus. Tidak lagi membebani mama. Aku ingin membelikan sesuatu yang berharga buat mama. Sampai saat itu tiba, aku enggak akan berhubungan sama siapa pun.” Dia mengungkapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Tirta mengernyit. “Kok gitu, bukannya kalau punya pacar malah bisa menamb
Tirta menggeleng. “Bukan.” “Terus siapa? Pacarmu?” Kening Kaisar mengerut. Tirta kembali menggeleng. “Mas Juna itu katingku sama Alesha. Dia tuh halus banget caranya dekati Alesha,” bebernya. “Oh, Juna itu pacar temanmu yang ke sini?” tanya Kaisar. “Bukan. Mereka enggak pacaran tapi sebenarnya sama-sama suka,” jawab Tirta. “Kalau sama-sama suka kenapa enggak pacaran?” Kaisar kembali bertanya. “Soalnya Alesha enggak mau pacaran. Dia mau fokus kuliah terus kerja. Jadi cuma sama-sama memendam cinta. Besok pagi Alesha jadi pendamping wisudanya Mas Juna. Aku tuh gemes sama mereka berdua, kenapa enggak jadian saja. Nikahnya nanti kalau mereka sudah sama-sama kerja.” Tirta sampai mengepalkan kedua tangan saking gemasnya. “Ya, kalau mereka jodoh, Ta. Kalau enggak ‘kan ya buang-buang waktu saja pacaran,” tukas Kaisar. “Masih mending pacaran tapi putus, Mas. Setidaknya pernah saling cinta. Daripada cuma memendam cinta, tapi ujung-ujungnya enggak jodoh. Kan lebih nyesek, Mas. Rasanya saki
“Jadi, mamamu buka butik? Di mana?” Bu Ayu bertanya dengan penuh antusias pada Shasha setelah gadis itu menceritakan soal keluarganya. “Iya, Tante.” Shasha kemudian menyebutkan alamat butik mamanya. “Besok tante pasti mampir ke sana. Tante tuh sering bikin baju soalnya. Lebih sreg saja kalau bikin daripada beli jadi. Siapa tahu tante cocok sama desain mamanya Alesha. Kalau bagus nanti tante rekomendasikan sama teman-teman dan keluarga,” ujar Ayu. Shasha tersenyum lebar. “Terima kasih sebelumnya, Tante.” “Mami, kebiasaan deh kalau udah ketemu sama yang klop terus lupa sama yang lain.” Arjuna merajuk karena maminya terus lengket dengan Shasha, membuatnya tidak bisa dekat-dekat adik tingkat yang disukainya itu. “Mumpung mami ketemu sama Alesha, kan. Kapan lagi mami bisa ketemu Alesha kecuali kamu janji ajak dia ke rumah,” sahut maminya santai. “Kalau itu sih mami tanya sendiri sama dia, mau enggak aku ajak ke rumah.” Arjuna menunjuk Shasha dengan dagunya. “Alesha, mau kan main ke r
“Cie, Juna sudah punya pacar sekarang,” goda salah satu kerabat. “Siapa nih, Jun? Bening banget?” Kerabat yang lain ikut menimpali. “Udah wisuda berani bawa cewek ya sekarang,” celetuk kerabat lainnya. Begitulah beberapa celetukan yang terdengar setelah melihat Arjuna menggandeng gadis cantik di acara keluarga. Karena baru kali ini pria berambut cepak itu mengajak seseorang berkumpul dengan kerabatnya. Jadi, merupakan hal yang wajar kalau mendapat banyak godaan dari yang lain. “Eh, Alesha sudah datang.” Bu Ayu langsung menghampiri gadis yang digandeng Arjuna itu. Setelah bersalaman dan melakukan ritual cipika cipiki, mami Arjuna langsung mengajak Shasha duduk di sampingnya. Membuat Arjuna menekuk wajah, niatnya ingin mengajak juniornya itu ngobrol tapi kalah cepat dari sang mami. Mana berani Arjuna memprotes wanita paruh baya itu, bisa-bisa dia mendapat ceramah sepanjang hari. Hal yang sangat pemuda itu hindari. “Kamu ke sini naik apa?” tanya Bu Ayu pada adik tingkat sang putra.
Kedatangan Rendra disambut baik oleh Pak Wijaya dan Bu Hasna. Pemuda itu bahkan dijamu dengan masakan kesukaannya. Hal yang tak pernah dia duga sebelumnya. Pak Wijaya menanyakan banyak hal pada Rendra tentang pribadi dan keluarganya. Pria paruh baya itu dalam hati mengagumi Rendra yang sudah punya tanggung jawab besar di usia muda sejak papanya meninggal. Sebagai pria satu-satunya dalam keluarga, Rendra harus melindungi dan menjaga mama, kakak, dan juga adiknya. Rendra juga sudah mandiri karena punya kafe sendiri setelah lulus SMA. Sebelum itu, dia sudah sering mendapat uang dari pekerjaannya mendesain. Setelah menginterogasi, Pak Wijaya menanyakan maksud kedatangan Rendra. Pemuda itu pun mengungkapkan maksudnya. “… Saya ingin meminta izin dan restu Bapak dan Ibu agar bisa lebih dekat lagi dengan Dita,” ucapnya dengan begitu lancar dan tenang. Pak Wijaya menghela napas sebelum menjawab. "Nak Rendra, meski Nak Rendra dan Dita sama-sama saling mencintai, tapi maaf, saya tidak mengizin
Sepulang dari masjid, Rendra langsung ke ruang tengah. Bu Dewi dan Shasha sudah menunggunya di sana. Sementara Nisa berada di kamar, mengerjakan tugas dari sekolah “Kamu tidak ganti baju dulu?” tanya Ibu Dewi pada putranya yang masih mengenakan baju koko dan sarung. “Enggak, Ma,” jawab Rendra yang langsung duduk di samping mamanya. “Jadi gimana hasilnya tadi siang?” Shasha mulai tak sabar mendengarkan cerita adiknya. “Sabar dulu, Kak. Ini ada titipan salam, takut aku lupa menyampaikan. Mama dapat salam dari Bu Hasna, bundanya Dita,” ujar Rendra. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” balas Bu Dewi. “Jadi begini, tadi Pak Wijaya, ayahnya Dita, tidak mengizinkan aku pacaran sama Dita.” Belum selesai Rendra bicara, Shasha sudah memotong ucapannya. “Wah, kasihan adikku ini! Sekalinya jatuh cinta langsung ditolak sama bakal calon mertua,” ledek Shasha. “Kak, dengar dulu! Aku belum selesai ngomong,” tegur Rendra dengan kesal. “Galak amat sih! Iya aku diam,” timpal Shasha samb
Beberapa hari kemudian Shasha mengajak Rendra bicara empat mata saat ada kesempatan. “Kamu sudah yakin mau menikah sama Dita, Ren?” Shasha mengawali pembicaraan mereka. “Insya Allah sudah yakin. Kenapa memangnya, Kak?” Rendra balik bertanya setelah menjawab pertanyaan kakaknya. “Aku cuma memastikan saja. Jangan sampai kalian memutuskan menikah hanya karena emosi sesaat. Jujur, kakak suka sama Dita. Anaknya baik, lugu, sopan, juga supel. Tapi kayanya kamu mesti banyak sabar menghadapi dia, Ren,” ujar Shasha sambil menatap adiknya. Rendra menganggut. “Iya, Kak. Mas Adi juga sudah sering bilang kalau aku harus sabar. Wataknya Dita keras, kalau dikerasin jadinya malah ribut. Dulu ‘kan awalnya aku sama Dita saling nyolot tiap ketemu karena sama-sama keras.” Rendra tersenyum sambil menerawang. Membayangkan awal pertemuan mereka beberapa bulan lalu. “Dih, yang baru jatuh cinta senyum-senyum sendiri. Jadi serem ah lihatnya,” ledek Shasha yang berpura-pura takut. Rendra tertawa melihat