Pertanyaan Binar bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Azerus terlihat tegang. Tatapan matanya seperti orang yang terpergok sedang melakukan kejahatan.
Di dapur Bi Imba sedang membuatkan es kelapa kesukaan Binar. Minuman yang berbahan dasar air kelapa asli yang baru saja ia belah. Daging kelapa yang masih sangat muda itu ia kerok lalu dimasukan kedalam gelas yang berisi air kelapa dan beberapa keping es batu. Bi Imba menambahkan sedikit susu bubuk pada sentuhan terakhirnya. Jadilah segelas es kelapa asli minunan favorit Binar sejak dahulu kala. Setelah semua telah disiapkan Bi Imba membawanya ke ruangan tempat majikannya duduk. Bi Imba kebingungan mendapatkan ekspresi majikannya yang sangat tegang. Yah kondisi mereka saat ini seperti sedang menunggu keputusan hakim agung di persidangan.“Ini Non minumannya,” ujar Bi Imba sembari menyodorkan gelas di depan Binar. Binar tersenyum menyambutnya. Bi Imba pun melakukan hal yang sama kepada Azerus. Azerus membiarkan pembantunya meletakan minuman di meja yang ada dihadapannya. Azerus berpura-pura membersihkan pasir yang nyangkut di pakaiannya. “ Pa kenapa?” tanya Binar untuk kedua kalinya.“Kenapa gimana?” balas Azerus mengelak.“Papa kemana selama ini. Papa enggak di rumah kan?” Binar makin menuntut ayahnya untuk segera menjawab.“ Enggak kemana-mana kok. Papa Cuma melaut.” Ujar Azerus seadanya.“ Papa enggak bohong kan?” Binar semakin meneror.“ Enggak sayang. Kamu tahu sendiri kan papa gimana kalau melaut.” Jawab Azerus mencoba meyakinkan.“ Iya aku tahu. Biasanya papa pergi tiga sampai empat lima hari baru pulang,” balas Binar.“ Nah itu tahu” balas Azerus. Sedikit rasa percaya diri mulai kembali kedalam dirinya. “ Yah sudah sayang, itu enggak penting. Mendingan kita habisin dulu minumannnya,” lanjut Azerus.“ Tapi pa, aku ingat dua bulan lalu ketika aku pulang, aku minjam sabun cair di kamar mandi papa. Aku ingat saat itu persediaan sabun cair di kamar mandiku sudah habis. Aku ingat, dulu aku menyisahkan tepat di garis kelima pada takarannya, dan tadi waktu aku pulang sabun itu masih sama.” Tegas Binar.Ia sedang mencari celah agar ayahnya mau jujur. Binar tidak ingin melibatkan pembantunya dalam hal ini.Azerus terlihat gelagapan. Ia kehabisan kata-kata. Binar pun sama, ia merasa bersalah karena terlalu menuntut ayahnya. “Maafin aku pa.” gumamnya dalam hati.Binar meraih minumannya di meja, meneguknya dengan huru-hara. Ia tidak berhenti meneguk, hingga gelas itu kosong. Ia melampiaskan amarahnya kepada minumannya. “ Pa aku harap kita bertiga akan selalu bersama selamanya,” ucap Binar sembari berdiri. “ Aku pergi dulu pa,” ujar Binar sambil meraih tangan Amas untuk menyalaminya. Azerus berdiri dengan penuh rasa bersalah. Binar mengambil akuariumnya dan berjalan keluar rumah. Bi Imba berlari dari dapur saat mendengar bahwa Binar mau pamit pulang.“ Eh Non enggak makan dulu?” Bi Imba menawari.“ Enggak usah Bi. Masih kenyang.” Jawab Binar.“Loh tadi katanya pengen makan masakan Bibi,” balas Bi Imba. “Lain kali aja Bi,” kata Binar sambil masuk ke mobilnya.“ Yah sudah hati-hati ya Non,” terikak Bi Imba melambaikan tangan. Binar membalasnya dengan membunyikan klakson mobilnya. Beberapa saat kemudian mobil itu lenyap dari hadapan mereka. Azerus masih terpaku di sofa. Ia bahkan tidak mengantar putrinya sampai ke depan gerbang rumah. Bi Imba menutup kembali pagar lantas melangkah masuk kembali ke dalam rumah.“ Kamu tadi bicara apa saja ke anak saya,” tukas Azerus.Bi Imba terlihat santai. Ia menjawab, “ oh tadi cuma ceritain tentang teman kecilnya Non Binar, soalnya tadi ia tanya pada kemana mereka.”Azerus terlihat percaya dengan apa yang diucapkan pembantunya. Mungkin ia percaya bahwa pembantunya itu sangat polos. Kemungkinan untuk membohonginya itu cuma setengah persen.“Saya izin kembali ke dapur dulu Tuan,” ucap Bi Imba santun.Azerus tidak menghiraukannya. Otaknya masih diselimuti rentetan pertanyaan Binar tadi. Bi Imba pun melangkah ke dapur. Ia mengelus dada, “untung aja Tuan tidak banyak tanya,” gumamnya dalam hati. Azerus menghempaskan tubuh kekarnya ke sofa. Ia terlihat frustasi. Keraguan-keraguannya selama ini perlahan mulai terkuak. Benar apa kata orang. Rahasia itu semacam kita menggengam segenggam pasir. Semakin kita mempertahankannya pasir itu akan semakin tumpah perlahan dari genggaman kita. Matahari semakin terik, Binar memacu mobilnya dengan kencang. Pikirannya kalut. Ia mulai membayangkan ribuan kemungkinan tentang ayahnya yang kata pembantunya jarang pulang ke rumah. Di sela bingungnya ia mempertanyakan apa yang terjadi pada ayahnya ia teringat bagaimanakah ibunya sekarang. Hampis setengah tahun ia tidak memeluk ibunya. Seorang dokter yang disebut penyelamat oleh sebagian pasiennya tetapi ibu yang jauh bagi anaknya. Setelah beberapa jam di jalanan akhirnya Binar tiba di rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia mengurus ikannya, setelah itu pergi lagi. Sedikit kesibukan dengan urusan kampus membuat ia sedikit melupakan masalahnya. Rupanya kabar dari Bi Imba tadi telah mengusik sepihnya. Binar tiba di depan sebuah kedai. Ia memesan makanan. “Bu seperti biasa,” ujarnya sedikit berteriak kepada penjaga kedai langganannya.Penjaga itu mengangguk mengerti lantas menyiapkan makanan yang biasa dipesan Binar. Beberapa menit berlalu. Binar telah melahap semua isi mangkuknya. Ketika pergi membayar ia berpapasan dengan orang yang menabraknya di pintu toko buku. Ia masih ingat sosok tinggi kurus itu. Binar tampak acuh begitupun pria itu. Mereka seperti dua orang asing yang tidak pernah bertemu. Binar menyerahkan selembar uang dua puluh ribu untuk membayar makanannya.
“Tunggu bentar, saya cari uang kembalian dulu,” ucap penjaga kedai sambil menerima uang dari Binar.Pria tadi pun menghentikan penjaga warung. Ia membayar makanannya dengan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Penjaga kedai tampak tersenyum kepada pria itu.
“Ah Nar ini uang kembaliannya,” ujar penjaga warung.Binar yang masih sibuk dengan ponselnya segera merespon. Ia menerima uang itu, memeriksanya terlebih dahulu.“Bu kok gini sih,” ujar Binar kesal. “Ada apa? “ tanya penjaga kedai memastikan. “Masa uangnya robek gini, “ balas Binar tidak terima. “Wah itu tadi uangnya dia, “ balas penjaga kedai sembari menunjuk ke arah pria yang masih mengemas barangnya. “Enggak mau yang ini, “ umpat Binar. “Tapi uang kembaliannya tidak ada, “ balas penjaga kedai protes. “Ah terserah, saya tidak mau uang yang ini.” Tukas Binar sembari menyerahkan uang itu kepada penjaga kedai. Penjaga kedai menggeleng kepala. Ia memanggil pria yang memberikan uang itu tadi. “ Aras sini dulu, “ ia sedikit berteriak. Pria bernama Aras itu menghampiri mereka. “Ada apa Bu? “ tanyanya sopan. “jadi gini, uang kamu tadi udah robek,” jelas penjaga kedai. “Oh maaf bu. Biar saya ganti lagi,” balas Aras antusias. Ia memergoh saku jaketnya. Setelah ia memeriksanya uang yang ia butuhkan tidak ada di sana. “Maaf Bu saya tidak bawa uang pas,” ucapnya penuh rasa bersalah. “ Sudah biar enggak jadi aja,” tegas Binar kesal. Binar beranjak pergi meninggalkan penjaga kedai dan Aras yang keheranan di meja kasir. Binar pergi tanpa mengambil uang kembaliannya. “Tadi mendesak untuk segera mengembalikan uangnya. Sekarang malah ia yang kabur.” Kata Aras menggeleng kesal. “ Sepertinya aku pernah melihat orang itu, tapi dimana ya?” Aras mencoba mengingat-ingat.Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup