Share

Pelabuhan terakhirku
Pelabuhan terakhirku
Penulis: Tanty Longa

Sedingin Embun Pagi

Burung kecil terbang rendah di atas deru ombak yang memecah bibir pantai. Angin bertiup pelan, namun berhasil menerbangkan helaian rambut panjang milik Binar. Matahari sore ini begitu indah. Sekelompok anak kecil berlarian di tepi pantai. Ada yang bermain air, dan juga ada yang membangun istana pasir. Binar memperhatikan mereka satu per satu. Sebahagia itu dia dulu. Ayah Binar seorang nelayan yang sukses sedangkan ibunya seorang dokter. Keluarga mereka cukup berada. Keluarga mereka menjadi panutan bagi penduduk pesisir. 

Kini kehidupan Binar sangat jauh dari anggapan orang-orang. Banyak orang berpikir kalau Binar mempunyai kehidupan yang sempurna. Kuliah di kampus ternama, dan juga terlahir dari keluarga yang kaya raya. Nyatanya itu berbanding terbalik baginya. Ayahnya sibuk melaut walaupun kini ia menjadi pemilik perahu, sampan dan media penangkap ikan lainnya yang disewakan kepada para nelayan. Begitu pula ibunya, yang jarang kumpul dengan keluarga karena tugasnya. Dalam sebulan kadang mereka menghabiskan waktu hanya semalam untuk kumpul bersama. Mereka hampir tidak pernah hanya sekedar untuk makan bersama. 

Binar merasa terabaikan.   Sejak kecil ia jarang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kesehariannya ia habiskan untuk bermain di pantai, walau kadang ia sendirian di sana. Hal itu membuatnya terbiasa sendiri hingga kini menginjak kuliah semester empat ia tidak punya teman dekat. Ia jauh dari teman kecilnya. Orang  tuanya mendaftarkan dia di sekolah mahal dan sangat bermutu hal itu membuat ia merasa berada diantara kawanan orang asing.

 Pantai ini mengingatkan ia akan pantai di kampung halamannya. 

 “ Neng sendirian aja,” goda seorang nelayan yang usianya sudah renta.

“ heheheh kakek,” balas Binar yang terkejut dengan kehadiran sang kakek. 

“ Tidak baik loh sendirian di sini.”  

“ Emangnya ada apa kek?” tanya Binar penasaran.

“ Nanti di makan ikan Buntal” goda kakek sembari mengurus jalanya. 

“ Masa iya ikan buntal bisa makan orang,” balas Binar terkekeh. 

“Emang situ orang?” tanya kakek. 

Ia berhenti merapikan jala. Binar mengernyit keheranan. 

“ iya orang, saya kan manusia,” balas Binar pasti.

“ yah kakek kira situ robot. Soalnya kalau manusia jarang ada yang nongol di tempat seindah ini sendirian.” Balas kakek menyindir. 

“Wah parah kakek nih,” balas Binar sambil menggeleng-geleng kepala. 

Mereka tertawa kecil setelah beberapa saat terdiam. 

Dari kejauhan seorang yang sedang mendorong perahu melambaikan tangan. Sepertinya ia memanggil kakek untuk segera berangkat melaut. 

“Kakek pergi dulu. Doakan kakek yah,” ucap kakek sembari menarik jalanya. 

“pasti kek.” Balas Binar sambil tangannya mengacung hormat. 

“ Bagus. Entar ambil aja ikan di rumah sudah nenek siapkan,” ucap kakek. Ia berlalu meninggalkan Binar. 

Begitulah mereka. Binar selalu diberi ikan setiap kali ia datang ke pantai. Binar sudah kenal kakek dan keluarganya sejak pertama kali ia tinggal di rumah di kota yang dibeli oleh ibunya. Ia selalu bertemu kakek setiap senja saat menikmati sunset, dan angin sore yang mendekapnya lembut.  Ia tidak pernah bosan dengan pemandangan senja di pantai ini. Hampir setiap senja jika ada waktu luang ia selalu mengunjungi pantai. Bersantai di sudut dermaga, sambil menyaksikan pemandangan seisi pantai. Kadang ia mengerjakan tugas kuliahnya di sini. Tak peduli banyak anak kecil yang menjailinya. Meskipun orang tuanya memberikan uang bulanan yang banyak, ia tidak boros, karena ia bukan cewek yang suka belanja. Apalagi soal makanan, ia tidak pusing dengan hidangannya. Ia selalu makan ikan pemberian kakek. Untuk membalas kakek, ia selalu memberinya vitamin dan makanan mewah yang sengaja ia pesan di rumah makan mewah.

Matahari telah tenggelam. Selepas mengambil ikan di rumah kakek ia pulang ke kosnya. Mobilnya melaju di jalanan menembus dinginnya angin malam. Ketika sudah sampai di depan rumahnya ia teringat akan sesuatu. “ Ah aku lupa membeli kertas. Tugasnya kan akan dikumpul besok.” Gumam Binar dalam hati. Tangannya refleks menepuk jidat. 

Persediaan kertasnya sudah menipis. Ia memiliki alat printer, jadi tak perlu repot untuk pergi print tugas di tempat foto copy-an. 

Binar memutar balik mobilnya dan segera menuju ke toko buku. Sesampainya di sana, ia membeli kertas beberapa rim, dan juga sebuah novel. Ketika berjalan pulang ia bertabrakan dengan seorang pria di pintu. Ia menunduk minta maaf kepada pria itu. Pria itu terlihat slow respon walaupun beberapa buku yang ia bawa terjatuh. Binar yang sedang terburu-buru tidak sempat membantu pria itu memungut bukunya. Ia berlari kecil ke tempat parkir mobilnya. Ketika hendak meraih pintu mobil seseorang berlari hingga menabraknya. Orang itu menabrak lengan kanan Binar. Binar meringis kesakitan. “Aww sakit....” 

“maaf-maaf..” kata pria itu sambil meraih tangan Binar yang mengadu kesakitan. Binar menolak di sentuh orang asing itu. 

“ Eh maaf lagi. Enggak sengaja,” ujar pria itu.

“Sudah enggak apa-apa,” balas Binar ketus.

Binar masuk ke mobil meninggalkan pria itu yang tiba-tiba menjadi tukang parkir.

“Mundur lagi.... Kiri..” teriak pria itu memberi aba-aba kepada Binar ketika membelok mobilnya keluar dari parkiran. Binar tersenyum, merasa lucu dengan tingkah orang itu. Ia pun pulang dan mengerjakan tugasnya di rumah.

Ombak menghantar perahu yang ditumpangi Azerus kembali ke pantai. Wajahnya berseri-seri. Mereka berhasil menangkap ikan yang banyak. Mentari masih diselimuti awan. Cahaya bulan perlahan mulai menghilang. Azerus dan nelayan lainnya mulai bergegas mengeluarkan ikan yang terperangkap di jala mereka. Raut bahagia terpancar dari wajah mereka. Lentera yang mereka bawa sinarnya sudah mulai redup. Azerus teringat sesuatu. 

Ia meraih ponselnya yang ia tinggalkan di pondok yang letaknya di tepi pantai. Mereka biasa meninggalkan barang mereka di sana. 

Azerus mulai menggeser-geser layar ponselnya. 

“Halo papa,” ucap Binar dari seberang sana.

“Halo sayang. Jam segini udah bangun aja. Anak papa memang rajin dan pintar.” Ujar Azerus membalas putrinya. 

“Tumben papa nelpon jam segini?” tanya Binar keheranan.

“Emang enggak boleh yah.”

“ Bukan gitu,  cuman kan selama ini papa enggak pernah ngabarin  Binar.”

Azerus tampak gelagapan. “ Ah enggak kok sayang, papa cukup sibuk selama ini. Kamu sendiri juga tahu kan bagaimana sinyal di sini,” balas Azerus.

“oh gitu ya.” Ujar Binar dari seberang sana. Intonasinya terdengar ragu dengan jawaban ayahnya.

Azerus terlihat gugup seperti menyembunyikan sesuatu. 

“oh ya pa, ada apa tiba-tiba nelpon?” tanya Binar beberapa detik kemudian.

“ oh iya papa hampir lupa. Padahal belum tua, tapi sudah pikun,”

Binar tertawa kecil mendengar gurauan ayahnya.

“ Gini sayang, papa habis menangkap ikan kesukaan kamu. Masih hidup,” ujar Azerus semangat.

“Serius pa?”

“Iya sayang, masa bercanda”

“ yah sudah besok aku pulang, buat ngambil  ikannya,” ucap Binar kegirangan. 

“Oke papa tunggu.”

Azerus mengakhiri sambungan telepon. Ia kembali sibuk mengurus ikan hasil tangkapannya. Stoples tempat ikan yang akan ia berikan kepada putrinya ia pindahkan ke tempat yang aman.   

“Kamu enggak kasihan sama putrimu?“ tanya seorang temannya yang ikut melaut bersamanya.

Azerus terdiam. Ia menghela nafas yang terlihat sangat berat. Matanya menatap kosong jala di genggamannya. Mereka semua ikut terdiam. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara deburan ombak. Mereka sibuk mengeluarkan ikan yang masuk kedalam perangkap. Mentari menapakkan jejak di ufuk timur. Parau suara kicauan burung mulai memenuhi pantai. Pantai sudah ramai dengan kedatangan pembeli ikan. 

Hari ini Binar ada jadwal kuliah sore. Ini sangat baik baginya. Pagi-pagi sekali ia menancap di jalanan. Tujuannya adalah toko akuarium. Semangatnya pulih ketika mendapat kabar dari ayahnya bahwa mereka berhasil menangkap ikan hias. Binar sangat menyukai ikan dan semua jenis makhluk pantai. Setelah membeli akuarium ia langsung pulang ke tempat ayahnya. Jalanan cukup ramai, untungnya tidak ada antrean karena macet. Setelah kurang lebih tiga jam menyusuri jalanan akhirnya Binar tiba di kampung halamannya. 

Binar berpapasan dengan ayahnya di pintu gerbang rumah mereka. Azerus mengendarai sepeda motor. Tangan kirinya membawa stoples ikan yang masih hidup itu. Ia menggantungnya di setang motor. Seorang wanita tua muncul di balik gerbang. Dengan gesit ia membukakan pagar besi setinggi tiga meter itu. Ia  menunduk memberi hormat. Azerus melemparkan senyum khasnya kepada putrinya. Binar membalasnya dengan membunyikan klakson mobilnya. Mereka pun masuk ke halaman rumah. Pembantu itu bergegas meraih ikan yang menggantung di setang motor.  Ia menunggu Binar keluar dari mobil. Ia tidak tahu kalau yang di dalam mobil itu adalah tuannya.  Binar keluar dari mobilnya. Ia menyapa ayahnya dengan memberikan sebuah pelukan penuh rindu kepada ayahnya. Azerus membelai rambut panjang putrinya. Bibi Imba yang mengetahui bahwa itu adalah tuannya, langsung bergegas mendekati ayah dan anak itu. 

“ Wah Non, makin cantik aja,” ujar Bi Imba sambil tersenyum riang. 

“Ah Bibi bisa aja,” jawab Binar menyikut lengan Bi Imba.

“Serius atuh Non, Cuman Non udah kurusan.” Ucap Bi Imba mengomentari.

“Masa sih Bi?” ujar Binar tidak percaya.

“Ah sudah kapan habisnya perdebatan ini?” Azerus menengahi mereka.

Mereka tertawa dengan hal konyol yang barusan mereka alami. 

“Yah sudah tunggu siapa lagi, ayo masuk.” Seru Azerus membukakan pintu. 

Mereka melangkah masuk. Binar mendatangi dan memperhatikan setiap titik ruangan yang ada di rumah itu. Semuanya tidak ada yang berubah. Foto keluarga yang masih dipajang di tempat yang sama, yang berbeda hanyalah penambahan sebuah lukisan di samping kanan bawah foto keluarga. Itu adalah lukisan pantai saat senja, di sana ada sebuah perahu kecil yang ditumpangi sepasang suami istri dan seorang putri kecilnya. Itu adalah lukisan Binar ketika ia  masih berusia sepuluh tahun. Sosok yang ada di dalam lukisan itu adalah keluarga kecilnya. Ia berimajinasi bahwa mereka bertiga sedang mengarungi lautan saat senja. Binar menatap lekat lukisan itu.

“Eh maaf Non, kalau Bibi lancang. Masa lukisan sebagus itu dibiarkan menjamur disudut kamar Non,” ujar Bi Imba yang mengagetkan Binar.

“Enggak apa-apa kok Bi”

“Emang kenapa Non selama ini enggak mau pajang lukisan ini” tanya Bi Imba penasaran.

“ Itu Cuma ekspetasi aku doang Bi” balas Binar memelas.

“ ekpetasi?”   ujar Bi Imba bingung. “Apaan tuh Non?”

“ haaallaahh Bibi nyebut aja  keliru, gimana mau tahu maksudnya,” Binar tertawa melihat tingkah pembantunya. Bi Imba menyengir tidak jelas 

“Enggak sesuai aja Bi” balas Binar memelas. 

Wajah cerianya langsung berubah drastis. Bi Imba turut bersedih ia seakan tahu isi hati tuannya itu. 

“Non, sebenarnya Bibi mau cerita sesuatu, tapi janji yah jangan marah dulu,” ucap Bi Imba ragu.

“ Apa Bi?” tanya Binar penasaran.

“ janji dulu!”

“iya iya” Binar penasaran.

“ Bapak sebulan ini tidak pernah pulang,”

“kalau mama?” tanya Binar memotong pembicaraan.

“ Kalau ibu biasanya pulang seminggu sekali” Bi Imba menjawab.

“ Bibi bilang papa udah hampir sebulan melaut dan sekarang baru pulang?” tanya Binar memastikan.

“Ita Non. Bahkan selama ini Bapak pulang hanya sehari di rumah terus pergi lagi, bulan depannya lagi baru pulang.” Jawab Bi Imba panjang lebar.

Binar menggigit bibir. Ia sedang berusaha mencerna ucapan pembantunya. Seribu tanya terlintas di benaknya. Ia tahu kalau ibunya yang jarang pulang itu wajar, tapi kok kini ayahnya. Ia sungguh tak habis pikir. 

“Mungkin papa ke tempat ibu kali,” Binar mencoba meyakinkan.

“ Enggak Non, Bibi yang lihat sendiri.”

Binar menggeleng tidak percaya. “Sudah berapa lama Bi?” Binar bertanya dengan sangat penasaran. 

“ sejak Non masuk SMP” Bi Imba akhirnya memberi jawaban setelah ia mencoba mengingat. 

“ Dulu kan papa biasanya Cuma pergi tiga sampai empat hari kan Bi?” Kali ini Binar serius bertanya.

Ruangan itu sejenak lenggang. Mereka terdiam. Keduanya tampak tegang. Terlebih Binar, ia terlihat bingung. 

“Ini tidak masuk akal Bi” lanjut Binar beberapa saat kemudian.

Bi Imba menggeleng pasrah.

“ mama tau itu semua?” tanya Binar penasaran. 

“Enggak Non.” Jawab Bi Imba sambil menggeleng. 

“Mama pernah ketemu papa selama saya tidak ada di rumah?” tanya Binar semakin penasaran.  

“Iya Non tetapi jarang. Hanya dua bulan sekali. Itu pun mereka tinggal di rumah hanya beberapa hari.” Jawab Bi Imba.

“Berapa hari Bi?” 

“ dua tiga hari, mungkin.” Jawab Bi Imba pasti.

Binar sangat pusing mendengar ini semua. Tangannya meremas kepala yang rasanya mau pecah.  Logikanya lumpuh. Ia sulit menganalisis jawaban pembantunya. “Ada apa sebenarnya?” gumam  Binar dalam hati. 

Azerus menghampiri Binar di ruang tamu. 

“Ini sayang, ikannya sudah papa pindahkan ke akuarium,” ujar Azerus sambil menyerahkan akuarium itu kepada Binar. Binar menerimanya, dengan senyum yang sengaja dipaksakan. Bi Imba segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan minuman untuk tuannya. Sebelum pergi Bi Imba memberikan kode-kode kepada Binar. Binar terlihat mengerti apa maksud pembantunya. 

“ ada apa?” tanya Azerus penasaran melihat gelagat putrinya.

“ Bukan apa-apa kok” balas Binar mencoba mengelak.

“Tapi kok tadi gitu-gitu matanya” ucap Azerus sambil meniru gerakan mata Binar yang tadi tertangkap basah olehnya.

“Oh itu, biasa pa. Makanan langganan aku. Aku menyuruh Bibi menyiapkannya,” jawab Binar berbohong. 

Azerus terlihat mengangguk percaya. Akhirnya Bi Imba bisa bernapas lega setelah Binar menyelamatkannya dari Azerus, majikannya yang tegas itu. Akhirnya Binar memutuskan untuk menanyakan langsung kepada ayahnya. 

“Pa sebenarnya papa selama ini kemana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status