Share

Dia berbahaya

Suasana kedai kembali lenggang. Aras pun pamit pulang kepada penjaga kedai. 

“Jangan lupa besok mampir lagi,” tawar penjaga kedai.

“heem,  kapan-kapan,” ucap Aras sembari memasang tas ranselnya.

Kedai kembali ramai, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di kedai ini. Kedai yang sangat sederhana, bangunannya terbuat dari bahan dasar kayu, baik dinding maupun kursi dan mejanya. Di setiap sudut ruangan dan setiap meja selalu ada bunga, bunga yang berbeda-beda sehingga kesannya sangat natural dan hidup. Pemilik kedai ini sudah sangat tua, sekarang yang menggantikan mereka adalah anaknya. Binar adalah pelanggan setia kedai ini. Biasanya yang dominan nongkrong di kedai ini adalah anak jurnalis.  Tidak tahu apa alasannya.

Binar berlari kecil untuk mengikuti kelas psikologi. Mata pelajaran ini tidak diwajibkan bagi materi mereka, Binar mengikutinya karena ia rasa itu perlu.

Dosen yang mengajar ilmu psikologi mulai memulai kelasnya. Ia menjelaskan materi dengan sangat santai. Tak jarang kelas selalu ramai dengan canda tawa.

 “Belajar psikologi itu tidak selamanya menuntut kita untuk mengetahui isi hati orang lain,” ujar sang dosen.

Kelas seketika hening, seisi kelas dengan antusias menunggu ia melanjutkan.

 

“Cukuplah bagi kita untuk sedikit mengerti dengan keadaan, memahami situasi, seperti yang kalian selalu ucapkan tiap kali berdebat dengan pasangan kalian,” lanjutnya.

Seisi kelas masih terdiam. “Jadilah peka.” Tutur dosen.

Semua mahasiswa tertegun mendengarnya. Dosen yang satu ini selalu punya kejutan di setiap pelajarannya. Beberapa saat kelas lenggang, kemudian ramai kembali setelah siswanya memahami arti ucapan dosen, mereka bertepuk tangan penuh kagum.

“Oke, siapa yang mau bertanya?” lanjutnya setelah kelas kembali normal.

Ia mengamati dari titik ke titik di setiap barisan siswanya. 

“Saya prof,” jawab Binar dan Amaz bersamaan.

Amaz duduk di kursi paling depan bagian kanan, sedangkan Binar duduk di kursi bagian kiri ujung belakang. Jarak mereka jika diukur mencapai garis miring yang sempurna. Amaz adalah pria yang menabrak Binar didepan toko saat Binar hendak membuka pintu mobil.

“Kesempatan kali ini hanya untuk satu orang yang beruntung!” tegas sang dosen..

“Satu diantara kalian berdua harus mengubur pertanyaannya.” Tegas dosen.

“Saya prof!” tutur Binar mengacungkan tangan.

“Enggak bisa sepihak gitu dong,” protes Amaz.

“Gue tadi yang angkat tangan duluan,” tegas Binar tidak mau kalah.

“Emang ada yang lihat loh?” balas Amaz tidak peduli.

“Eh jangan mentang-mentang karena loh duduk paling depan, terus loh merasa jadi pusat perhatian, gitu?” umpat Binar panjang lebar.

“ Sudah-sudah, kenapa malah berdebat?” ujar dosen menengahi.

Binar dan Amaz terdiam sementara seisi kelas menonton mereka berdebat.

“Maaf prof,” ujar Binar dan Amaz kompak.

“Begini saja, kali ini saya percaya akan adanya kata keberuntungan dalam hidup.”    Sanggah sang dosen.

Mereka tahu dosen yang satu ini hanya percaya, suatu pencapaian bukan karena faktor  keberuntungan melainkan usaha. Tapi kali ini, situasi merubahnya. 

“Ayo maju kalian berdua,” ajaknya.

Binar dan Amaz menurut. Mereka bangkit dari kursinya dan berdiri di podium. 

“Pantasan tidak ada yang mau mengalah,” lirih dosen setelah mengamati dua siswanya.

Seisi kelas tampak melongo menatap mereka, sedangkan mereka berdua tidak peduli dengan ucapan dosen itu.

“ Sudah, untuk menentukannya silakan kalian suit, yang kalah dia yang bertanya” usul sang dosen.

Seisi kelas tampak protes, “prof, kok yang kalah sih yang tanya?”

Jawab dosen, “kali ini saya yang merubah aturan mainnya, yang kalah suit dia yang menang.” Tegasnya.

Mereka semua hanya pasrah menerima keputusan dosen. Yah begitulah dia selalu berbeda dari pandangan bahkan pola pikir manusia lazimnya.

“Oke hitungan ketiga sudah mulai suitnya,” lanjutnya.

“ Eh tunggu dulu, mereka posisinya harus saling membelakangi.” Usul salah seorang mahasiswa.

Tanpa ada aba-aba Binar dan Amaz menurut. Sang dosen tampak sependapat dengan dia.

“Gunting kertas batu, satu, dua, tiga!”     seru dosen memulai kompetisi. 

Mereka segera membalikkan badan. Binar mengacungkan kertas sementara Amaz mengacungkan gunting. 

 “Yang lolos Amaz Azerrsko, berarti yang berhak bertanya Binar Azeirra,” tutur sang dosen setelah membaca nama mereka di kartu nama mereka.

Tangan Binar refleks, “yes!!” serunya.

Amaz terlihat kesal dan kecewa, meskipun lazimnya seharusnya ia yang berhak. Dosen tersenyum sipuh menyaksikan pertunjukan spektakuler kali ini. 

“Kadang kita harus mengalah agar bisa sampai dititik  pengharapan!” tegas sang dosen.

Semua siswa mengangguk mengerti setelah ucapan dosen berhasil mereka cerna. Binar tersenyum di samping Amaz yang terlihat kesal.

“Oke, saudari Binar silakan!” tukas dosen.

Binar terlihat santui.  Sikap acuhnya kembali. Ia dikenal sangat pintar dan jenius.

“Saya lupa mau tanya apa tadi,” balas Binar santai.

Seisi kelas tertawa mendengar ucapan yang spontan keluar dari mulutnya. Dosen menggeleng kepala, entah apalah maksudnya. 

“Sudah tenang-tenang!” titah dosen.

Kelas kembali hening. Amaz tampak tambah kesal.

“Prof saya masih punya kesempatan kan?” tanya Amaz penuh harap.

“Kompetisi sudah berakhir, ini bukan hasil pemilu pada sebuah jabatan, yang seenaknya bisa diganti jika pemimpin tidak bisa berkomitmen.” Celah sang dosen.

Seisi kelas terpaku di tempatnya. Binar terlihat senyum puas, sedangkan Amaz makin menggerutu kesal di samping Binar.

“Saya tahu, misi anda hanya untuk balas dendam kepada saudara anda yang tidak mau mengalah dari anda,” ujar sang dosen.

Entahlah ucapan dosen itu benar atau tidak, karena Binar terlihat tampak bodo amat. 

“Saya salut dengan anda.” Ujar dosen.

Binar terdiam tanpa ekspresi, tidak ada guratan sesal di wajahnya kali ini. Ia terlihat biasa saja.  Begitulah Binar, ia tidak akan membiarkan seseorang bermain-main dengannya. Siapapun itu  akan dibikin kesal olehnya. Julukan cewek Dangerous disandangnya. Ia terlihat tidak peduli dengan panggilan itu. Dangerous yang artinya berbahaya.  Ia tampak tidak peduli dengan sapaan itu, tetapi terkadang tergantung moodnya. Pernah suatu waktu seniornya melabrak dia ruangan  eskulsastra.  Sebutan untuk tempat bagi mahasiswa yang bergelut dibidang ekstrakurikuler sastra. Seniornya itu adalah kapten tim bola voli kampus mereka. Namanya Trea Ayara, mahasiswa terpopuler di kampus mereka. Selain jago bermain bola voli ia dikenal karena parasnya yang cantik dan ia adalah anak konglomerat. Ia melabrak Binar karena aktivitas timnya dalam persiapan menuju final tidak terdaftar di majalah kampus. Kala itu Binar sedang mengadakan rapat bersama teman-temannya. Tiba-tiba Trea melempar bola tepat mengenai kepala Binar. Binar terkejut, hampir saja ia terbanting dari tempat duduknya. Binar menatap geram ke arah Trea. Diambilnya bola itu, lalu dengan gesit ia menancapkan gunting tepat di samping pentil  bola. Seketika terdengar suara angin bocor dari bola. Bola itu semakin mengecil. Trea tampak geram, matanya menatap Binar penuh amarah. Dengan lincah Binar memainkan gunting di tangannya dan mengguntingnya.

“Dasar gila loh!” celah Trea kala itu.

“Masa?” balas Binar santai.

“Loh tahu jual diri loh enggak bakalan bisa beli itu bola!” bentak Trea.

“Orang yang miskin etika itulah yang layak disebut orang gila!” tegas Binar.

Trea makin jengkel.

“Asal loh tau yah, gue keliling dunia buat bisa dapat tanda tangan di bola itu!” tukas Trea.

“Oh ya? Urusan sama gue apa?” balas Binar santui.

“Ambil tuh bola,” lanjut Binar sembari melemparkan bila robek itu ke baju Trea.

Trea tampak kesal, nyalinya kandas seketika, apalagi ditambah seisi ruangan yang menertawainya.

“Gue balas loh!!” bentaknya geram.

Binar menatapnya dengan senyum sinis, ia puas sudah membalas cewek sok keren itu. 

“Hebat loh Nar,” puji  teman-temannya kala itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status