Share

Dia berbahaya

Author: Tanty Longa
last update Last Updated: 2021-09-17 20:29:03

Suasana kedai kembali lenggang. Aras pun pamit pulang kepada penjaga kedai. 

“Jangan lupa besok mampir lagi,” tawar penjaga kedai.

“heem,  kapan-kapan,” ucap Aras sembari memasang tas ranselnya.

Kedai kembali ramai, banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di kedai ini. Kedai yang sangat sederhana, bangunannya terbuat dari bahan dasar kayu, baik dinding maupun kursi dan mejanya. Di setiap sudut ruangan dan setiap meja selalu ada bunga, bunga yang berbeda-beda sehingga kesannya sangat natural dan hidup. Pemilik kedai ini sudah sangat tua, sekarang yang menggantikan mereka adalah anaknya. Binar adalah pelanggan setia kedai ini. Biasanya yang dominan nongkrong di kedai ini adalah anak jurnalis.  Tidak tahu apa alasannya.

Binar berlari kecil untuk mengikuti kelas psikologi. Mata pelajaran ini tidak diwajibkan bagi materi mereka, Binar mengikutinya karena ia rasa itu perlu.

Dosen yang mengajar ilmu psikologi mulai memulai kelasnya. Ia menjelaskan materi dengan sangat santai. Tak jarang kelas selalu ramai dengan canda tawa.

 “Belajar psikologi itu tidak selamanya menuntut kita untuk mengetahui isi hati orang lain,” ujar sang dosen.

Kelas seketika hening, seisi kelas dengan antusias menunggu ia melanjutkan.

 

“Cukuplah bagi kita untuk sedikit mengerti dengan keadaan, memahami situasi, seperti yang kalian selalu ucapkan tiap kali berdebat dengan pasangan kalian,” lanjutnya.

Seisi kelas masih terdiam. “Jadilah peka.” Tutur dosen.

Semua mahasiswa tertegun mendengarnya. Dosen yang satu ini selalu punya kejutan di setiap pelajarannya. Beberapa saat kelas lenggang, kemudian ramai kembali setelah siswanya memahami arti ucapan dosen, mereka bertepuk tangan penuh kagum.

“Oke, siapa yang mau bertanya?” lanjutnya setelah kelas kembali normal.

Ia mengamati dari titik ke titik di setiap barisan siswanya. 

“Saya prof,” jawab Binar dan Amaz bersamaan.

Amaz duduk di kursi paling depan bagian kanan, sedangkan Binar duduk di kursi bagian kiri ujung belakang. Jarak mereka jika diukur mencapai garis miring yang sempurna. Amaz adalah pria yang menabrak Binar didepan toko saat Binar hendak membuka pintu mobil.

“Kesempatan kali ini hanya untuk satu orang yang beruntung!” tegas sang dosen..

“Satu diantara kalian berdua harus mengubur pertanyaannya.” Tegas dosen.

“Saya prof!” tutur Binar mengacungkan tangan.

“Enggak bisa sepihak gitu dong,” protes Amaz.

“Gue tadi yang angkat tangan duluan,” tegas Binar tidak mau kalah.

“Emang ada yang lihat loh?” balas Amaz tidak peduli.

“Eh jangan mentang-mentang karena loh duduk paling depan, terus loh merasa jadi pusat perhatian, gitu?” umpat Binar panjang lebar.

“ Sudah-sudah, kenapa malah berdebat?” ujar dosen menengahi.

Binar dan Amaz terdiam sementara seisi kelas menonton mereka berdebat.

“Maaf prof,” ujar Binar dan Amaz kompak.

“Begini saja, kali ini saya percaya akan adanya kata keberuntungan dalam hidup.”    Sanggah sang dosen.

Mereka tahu dosen yang satu ini hanya percaya, suatu pencapaian bukan karena faktor  keberuntungan melainkan usaha. Tapi kali ini, situasi merubahnya. 

“Ayo maju kalian berdua,” ajaknya.

Binar dan Amaz menurut. Mereka bangkit dari kursinya dan berdiri di podium. 

“Pantasan tidak ada yang mau mengalah,” lirih dosen setelah mengamati dua siswanya.

Seisi kelas tampak melongo menatap mereka, sedangkan mereka berdua tidak peduli dengan ucapan dosen itu.

“ Sudah, untuk menentukannya silakan kalian suit, yang kalah dia yang bertanya” usul sang dosen.

Seisi kelas tampak protes, “prof, kok yang kalah sih yang tanya?”

Jawab dosen, “kali ini saya yang merubah aturan mainnya, yang kalah suit dia yang menang.” Tegasnya.

Mereka semua hanya pasrah menerima keputusan dosen. Yah begitulah dia selalu berbeda dari pandangan bahkan pola pikir manusia lazimnya.

“Oke hitungan ketiga sudah mulai suitnya,” lanjutnya.

“ Eh tunggu dulu, mereka posisinya harus saling membelakangi.” Usul salah seorang mahasiswa.

Tanpa ada aba-aba Binar dan Amaz menurut. Sang dosen tampak sependapat dengan dia.

“Gunting kertas batu, satu, dua, tiga!”     seru dosen memulai kompetisi. 

Mereka segera membalikkan badan. Binar mengacungkan kertas sementara Amaz mengacungkan gunting. 

 “Yang lolos Amaz Azerrsko, berarti yang berhak bertanya Binar Azeirra,” tutur sang dosen setelah membaca nama mereka di kartu nama mereka.

Tangan Binar refleks, “yes!!” serunya.

Amaz terlihat kesal dan kecewa, meskipun lazimnya seharusnya ia yang berhak. Dosen tersenyum sipuh menyaksikan pertunjukan spektakuler kali ini. 

“Kadang kita harus mengalah agar bisa sampai dititik  pengharapan!” tegas sang dosen.

Semua siswa mengangguk mengerti setelah ucapan dosen berhasil mereka cerna. Binar tersenyum di samping Amaz yang terlihat kesal.

“Oke, saudari Binar silakan!” tukas dosen.

Binar terlihat santui.  Sikap acuhnya kembali. Ia dikenal sangat pintar dan jenius.

“Saya lupa mau tanya apa tadi,” balas Binar santai.

Seisi kelas tertawa mendengar ucapan yang spontan keluar dari mulutnya. Dosen menggeleng kepala, entah apalah maksudnya. 

“Sudah tenang-tenang!” titah dosen.

Kelas kembali hening. Amaz tampak tambah kesal.

“Prof saya masih punya kesempatan kan?” tanya Amaz penuh harap.

“Kompetisi sudah berakhir, ini bukan hasil pemilu pada sebuah jabatan, yang seenaknya bisa diganti jika pemimpin tidak bisa berkomitmen.” Celah sang dosen.

Seisi kelas terpaku di tempatnya. Binar terlihat senyum puas, sedangkan Amaz makin menggerutu kesal di samping Binar.

“Saya tahu, misi anda hanya untuk balas dendam kepada saudara anda yang tidak mau mengalah dari anda,” ujar sang dosen.

Entahlah ucapan dosen itu benar atau tidak, karena Binar terlihat tampak bodo amat. 

“Saya salut dengan anda.” Ujar dosen.

Binar terdiam tanpa ekspresi, tidak ada guratan sesal di wajahnya kali ini. Ia terlihat biasa saja.  Begitulah Binar, ia tidak akan membiarkan seseorang bermain-main dengannya. Siapapun itu  akan dibikin kesal olehnya. Julukan cewek Dangerous disandangnya. Ia terlihat tidak peduli dengan panggilan itu. Dangerous yang artinya berbahaya.  Ia tampak tidak peduli dengan sapaan itu, tetapi terkadang tergantung moodnya. Pernah suatu waktu seniornya melabrak dia ruangan  eskulsastra.  Sebutan untuk tempat bagi mahasiswa yang bergelut dibidang ekstrakurikuler sastra. Seniornya itu adalah kapten tim bola voli kampus mereka. Namanya Trea Ayara, mahasiswa terpopuler di kampus mereka. Selain jago bermain bola voli ia dikenal karena parasnya yang cantik dan ia adalah anak konglomerat. Ia melabrak Binar karena aktivitas timnya dalam persiapan menuju final tidak terdaftar di majalah kampus. Kala itu Binar sedang mengadakan rapat bersama teman-temannya. Tiba-tiba Trea melempar bola tepat mengenai kepala Binar. Binar terkejut, hampir saja ia terbanting dari tempat duduknya. Binar menatap geram ke arah Trea. Diambilnya bola itu, lalu dengan gesit ia menancapkan gunting tepat di samping pentil  bola. Seketika terdengar suara angin bocor dari bola. Bola itu semakin mengecil. Trea tampak geram, matanya menatap Binar penuh amarah. Dengan lincah Binar memainkan gunting di tangannya dan mengguntingnya.

“Dasar gila loh!” celah Trea kala itu.

“Masa?” balas Binar santai.

“Loh tahu jual diri loh enggak bakalan bisa beli itu bola!” bentak Trea.

“Orang yang miskin etika itulah yang layak disebut orang gila!” tegas Binar.

Trea makin jengkel.

“Asal loh tau yah, gue keliling dunia buat bisa dapat tanda tangan di bola itu!” tukas Trea.

“Oh ya? Urusan sama gue apa?” balas Binar santui.

“Ambil tuh bola,” lanjut Binar sembari melemparkan bila robek itu ke baju Trea.

Trea tampak kesal, nyalinya kandas seketika, apalagi ditambah seisi ruangan yang menertawainya.

“Gue balas loh!!” bentaknya geram.

Binar menatapnya dengan senyum sinis, ia puas sudah membalas cewek sok keren itu. 

“Hebat loh Nar,” puji  teman-temannya kala itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 76

    Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini

  • Pelabuhan terakhirku   75

    Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 74

    Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 73

    Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 72

    Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 71

    Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 70

    Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 69

    Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema

  • Pelabuhan terakhirku   Bab 68

    Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status