Hari sudah mulai gelap. Lampu jalan mulai menyilaukan mata, Binar kembali fokus setelah meninggalkan Aras yang tidak tahu lagi bagaimana keadaanya sekarang.
Jalanan masih ramai. Di pertigaan jalan tepat menyala lampu merah Binar berhenti dan mengecek ponselnya.“ Wah udah lewat, tugas gue.” Desisnya sambil menepuk jidat.
Binar mulai panik, ia tidak fokus lagi dengan kendaraannya. “Ah sial, enggak mungkin gue diberi toleransi setelah berulah di kelasnya tadi.” Desis Binar dalam hati. Waktunya tinggal tujuh menit, tugas yang di berikan cukup mudah, tetapi di situasi yang seperti sekarang rasanya untuk menjawab soal, satu tambah satu sama seperti memecahkan rumus logaritma. Binar masih mengendarai mobilnya, sambil sesekali matanya menatap layar ponsel dan juga memperhatikan sekitar jalan raya. Akhirnya ia sampai di tempat yang cukup sepih. Ia menepi dan menghentikan mobilnya. Beberapa detik kemudian ia telah siap dengan labtob dan buku di hadapannya. Binar mulai mengerjakan tugas yang harus di kerjakannya. Hampir tiga menit ia sibuk dengan labtopnya. Jemarinya menari lincah di atas keyboard. Dalam hampir lima menit tugasnya sudah beres. Ia bergegas mengirimnya melalui via email kepada sang dosen. Binar kembali bernafas lega setelah tugasnya sudah terkirim. Ia bersandar di kursi mobil sembari meregangkan tangan dan juga lehernya. Beberapa saat kemudian ia mendapat balasan dari dosennya.Katanya, “ anda mendapat A+ karena anda orang pertama yang mengirim tugas.”
Binar tersenyum membaca pesan itu. “Terima kasih.” Balasnya singkat.Kali ini Binar terlihat kecewa, mungkin bagi sebagian orang mendapat nilai seperti dia itu sudah sangat bangga, tetapi tidak bagi Binar. Ia kecewa karena dosen memberinya nilai bukan karena kualitas tugasnya melainkan karena ia orang yang pertama mengumpulkan tugas. “Ah lelah sekali, mengerjakan tugas tadi rasanya seperti berlari dua belas kilo meter. Air.” Gumamnya pada diri sendiri.Ia meraba di tempat biasa ia menyimpan air. Tangannya terus meraba sebelum akhirnya ia sadar bahwa ia telah mendonasikan airnya pada orang asing. Dengan penuh kecewa ia kembali mengempaskan tubuhnya di kursi sandaran. Binar kembali menelusuri jalan pulang ke rumahnya.
Di sebuah rumah sakit Irishena tampak sibuk mengurus pasien yang datang silih berganti. Dari guratan senyumnya yang ia bagikan kepada setiap pasien itu terlihat jelas kalau ia sedang tidak baik-baik saja. Ia terlihat lelah.
“Selamat malam dok, segera ke ruangan 103 sekarang, ada pasien yang lagi mengamuk” ujar patnernya dari telepon.
Irishena langsung bangkit dari kursinya padahal baru beberapa detik yang lalu ia beristirahat di sana. Namun pekerjaannya mengharuskan dia untuk sibuk. Ia bergegas menyusuri lorong panjang sejauh hampir lima belas meter, berbelok kiri dan sedikit berjalan lagi, dan akhirnya ia sampai di depan pintu ruangan 103. Dari luar terdengar suara kerusuhan.
Pasiennya kali ini adalah seorang remaja putri. Mungkin ia berusia enam belas atau tujuh belasan tahun. Irishena bergegas mendekati pasiennya. “Tenang ya dek,” bujuknya lembut. Tidak ada respon dari pasien. Ia masih terus berontak meski di pegangi dua orang suster dan seorang pria yang mengantarnya.“Sudah lepaskan saja dia!” titah Irishena.
“Tapi dok,” balas suster tertahan.“Sudah!” balas Irishena tenang. Mereka melepaskannya. Kini pasiennya itu terisak di tempatnya. Ia menangis tersedu-sedu. Irishena berpaling menatap kedua suster. Bak sebuah bahasa isyiarat kedua patnernya itu seakan mengerti. Mereka langsung meminta pria yang menemani gadis itu untuk menunggu di luar ruangan. Pria itu pun menurut.Irishena merangkul gadis itu. Badannya panas tinggi. Irishena bisa meraskan itu walau hanya dengan sedikit sentuhan. Gadis itu langsung berada di dekapnya. Irishena mendekapnya dan membelai rambutnya dengan lembut. Ia berusaha menenangkan pasiennya, dan itu berhasil.“Sudah, tenang yah, kamu kenapa dek?” ujar Irishena mencoba menenangkan gadis itu.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis itu. Irishena terlihat santai. Ia tersenyum kepada pasiennya lantas membaringkannya di ranjang. “sabar ya, ibu cek dulu keadaan kamu,” ucapnya ramah. Gadis itu menurut. Sedikit sentuhan dari Irishena berhasil menenangkan emosinya. Irishena mulai dengan ritualnya. “Adik hanya sedikit demam,” ujar Irishena lembut. Gadis itu mengangguk pelan.“Oh ya namanya siapa?” tanya Irishena.“Saya Chiara, Dok” balasnya pelan.“Nama yang cantik, secantik orangnya. Pasti ibu mu orang yang hebat, ia memberikan nama yang istimewa itu kepada mu.” Ujar Irishena lembut.“Kamu tahu Chiara itu punya arti lo,” lanjut Irishena.“Saya tidak peduli,” balas Chiara ketus.“Loh kok gitu?” balas Irishena terkejut.“Percuma kalau nama doang yang berarti tapi hidup enggak!” tukasnya.“Enggak ada yang tidak berarti di hidup ini. Kamu tahu, diam itu juga punya arti loh.” Balas Irishena memancing agar Chiara mau terbuka.
Irishena mencurigai kalau pasiennya kali ini bukan demam biasa, ia seperti orang yang stres. Mungkin mentalnya terganggu karena sebuah persoalan.
Chiara menunduk kusuk. Ucapan Irishena menyentuh hatinya. Beberapa saat ruangan menjadi sangat hening. “Kamu tahu Chiara itu setahu saya kalau tidak salah di dalam bahasa Italia itu maknanya bercahaya.” Jelas Irishena.Chiara mengangkat wajahnya, menatap Irishena penuh makna. Tatapan Irishena sepertinya memberi rasa nyaman bagi suasana hatinya.“Orang tua mu menghendaki kamu agar selalu bersinar. Penuh semangat. Bisa juga sebagai sebuah harapan yang besar. Kamu tahu sebuah orang selalu kagum dengan cahaya atau sesuatu yang bercahaya.” Jelas Irishena panjang lebar.“Tetapi mereka menelantarkan ku.” Celah Chiara.“Enggak sayang, semua orang tua selalu mempertaruhkan hidup mereka untuk anak-anaknya.” Ungkap Irishena lembut.“Enggak mungkin, mereka bahkan tidak peduli dengan ku.” Lanjutnya memotong pembicaraan Irishena.“Nyokab gue cuma ngelahurin gue, gue enggak tahu mereka pernah nyentuh gue apa enggak. Sejak kecil gue Cuma sama bibi” tukasnya lalu menangis.Irishena tertegun mendengar jawaban pasiennya. Benar persoalan itu menghambat perkembangan mentalnya. Ia seperti anak korban broken home. Irishena ikut menangis di samping Chiara. Ia menangis dalam diam, tanpa sedikitpun mengeluarkan suara. Dua suster yang membantunya terdiam. Mereka sangat bingung dengan kejadian sekarang. Beberapa saat dalam ruangan itu menjadi sangat hening. “Dok kenapa?” tanya Chiara memecah isaknya. Irishena menyeka air matanya. Ia terdiam menatap pasiennya yang baru saja mengingatkan dia akan egonya selama ini. Chiara menunggu dengan antusias dokter menjawab pertanyaannya. “Enggak sayang, kamu harus tahu ayah dan ibumu sangat menyayangimu. Mereka melakukan apapun agar kamu bahagia. Kamu tidak minder dalam bergaul dengan orang lain. Mereka Cuma berjuang agar kamu enggak di buly oleh orang yang lebih mampu dari kamu.” Jelas Irishena. Ia mencoba memberikan alasan positif dari sisinya. Karena ia juga sama. Namun ia tetap menyadari bahwa anak lebih membutuhkan kasih sayang dari pada harta. Namun kita juga tidak bisa menolak takdir. Dunia tidak selembut kapas. Hidup itu tidak seindah syair sastrawan.“Iya saya tahu, tapi apalah arti itu semua jika hubungan kami seperti langit dan bumi.” Balas Chiara masih dengan tangisnya. “Saya bahkan enggak pernah tahu rasanya ada yang dengarin curhat saya seharian,” ungkapnya.Irishena tersadar. Selama ini ia telah menelantarkan putri semata wayangnya, Binar.Chiara tertegun di ranjangnya. Nalurinya menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sang dokter, meskipun dokter tidak menceritakan secara langsung kepadanya. Ia menatap sendu kepada Irishena. Irishena masih dengan lamunannya, sehingga tanpa ia sadari setumpuk air mata hampir membanjiri pipinya.Waktu seakan berjalan sangat lambat dari pada biasanya. Dua orang perawat yang membantu Irishena tampak kebingungan dengan keadaan yang terjadi sekarang. Mereka saling menatap satu sama lain, memainkan alis, mempertanyakan arti semua ini. Yah jelas ini bukan drama.Akhirnya Chiara memberanikan diri untuk bertanya.“Dok,” ucap Chiara dengan suara yang masih serak, mungkin karena ia sehabis menangis dan teriak.Irishena tidak menggubris. Mungkin ia tidak mendengar karena konsentrasinya buyar.Sekali lagi Chiara mengulanginya untuk memanggil dokter.“Dok, dokter enggak apa-apa kan?” lanjut Chiara santun.
Jalanan masih cukup ramai, banyak kendaraan roda empat yang masih lalu lalang. Binar masih jauh di belakang. Targetnya melaju dengan cepat. Binar tidak menyerah, meskipun samar-samar Binar melihat orang yang sudah melempari rumahnya, namun ia belum kehilangan jejak. Binar menambah laju kendaraannya. Ia melesat, menyalib banyak mobil yang memadat di jalan raya. Dalam sekitar lima menit posisi Binar sudah dekat dengan orang asing itu. Hingga sampailah mereka di jalanan yang sepih. Binar berusaha menyalib motor orang itu, ia menambah kecepatan hingga akhirnya ia berada di samping orang itu. Mereka terus mengadu nyali di jalanan, orang asing itu berusaha menghindar sedangkan Binar tidak menyerah untuk mendapatkannya. Binar sudah habis kesabaran. Orang itu mengendarai motornya dengan zig-zag di depan Binar. Hingga di tikungan Binar menendang orang itu dari samping. Orang asing itu terpental dari motornya, ia jatuh berguling-guling di aspal. Roda motor Binar mengikis aspal, karena i
Binar menyusuri setiap anak tangga, ruangan itu masih gelap. Ia menyalahkan senter pada ponselnya. Setelah menapaki hampir tiga puluhan anak tangga, sampailah Binar di lantai dasar, ruangan itu. Sebuah ruangan yang luasnya hampir empat puluh delapan meter persegi. Setelah berjalan beberapa langkah ke arah kiri ia menekan sebuah tombol yang menempel di tembok. Ruangan seketika menjadi terang. Ruangan bernuansa keemasan itu tampak megah dan mewah. Satu meter dari langit-langit ruangan di bagian barat tampak jelas sisi samping dekat ujung bawah kolam renang. Ruangan itu terletak sedikit lebih rendah dari kolam renang. Binar meletakan makanannya di atas sebuah meja kayu. Di hadapannya ada komputer. Binar mulai mengutak atik komputer tersebut, rupanya ia melihat rekaman beberapa jam yang lalu, ketika rumahnya di serang. Lantas menyesuaikan ciri yang ada di komputer itu dengan orang yang ia foto tadi di jalan. Ternyata keduanya sesuai.Ia menghempaskan
Binar mendorong Trea menjauhi dirinya. Trea tidak bisa melawan, sesuatu seperti telah menghantam bokongnya. Binar kembali kedalam mobil. Sebelum masuk ia mengacungkan jari tengahnya, melambangkan fuck.“Heh Keura loh udah gila ya, cepat hapus postingan loh!” bentak Trea geram.Keura menurut, ia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, tapi terlambat seisi kampus sudah melihat semuanya. Drama yang mereka pentaskan siang ini telah mencuri waktu banyak penonton. Bahkan video berdurasi beberapa menit itu sudah beredar viral di sosial media. Perbuatan Trea kembali kepada dirinya. Ini sama halnya ketika kita menunjuk menyalahkan orang lain. Kita tidak menyadari, kepal tangan kita beberapa jarinya kembali kepada diri sendiri, ini mengingatkan kita bahwa semua yang kita perbuat akan timbal balik. Perbuatan yang baik akan menuai baik begitu pula sebaliknya.Para kreator konten mengedit video itu seapiknya, sehingga dalam beber
Binar tidak berani menanyakan siapa orang itu kepada Amaz, karena ia tidak ingin Amaz berprasangka yang tidak-tidak tentang dirinya. Ia takut bakalan di ledeki abis-abisan oleh Amaz.“Mending gue selidiki diam-diam dari pada entar citraan gue hancur karena dituduh kecentilan sama cowok itu,” gumamnya dalam hati.Amaz membuka pintu, sebelum keluar ia mengucapkan terima kasih kepada Binar. Hujan mulai reda.“Eh loh enggak masuk dulu,” tawar Amaz.“Enggak usah, gue ada urusan.” Tolak Binar.Binar pun kembali tancap gas, ia tidak ingin kehilangan jejak orang itu.“Apa hubungan orang itu dengan Amaz ya?” tanya Binar dalam hati.Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi, jalanan masih sepih. Setelah beberapa menit ia masih belum menemukan apa-apa tentang orang itu. Binar tidak menyerah, ia terus m
Waktu seakan berjalan lambat dari pada biasanya. Dua orang penjahat itu mengepung abis-abisan orang yang tadi sempat menghalangi penjahat itu untuk menyerang Binar. Salah seorang dari penjahat itu memukul pria yang sudah menolong Binar dari belakang. Pria itu bernasib malang seperti Binar. Salah seorangnya lagi mengunci gerak pria itu, dengan leluasa penjahat yang menyerangnya tadi memukulnya dari depan. Pria itu hanya bisa menahan. Binar berteriak histeris di tempatnya. “Akhirnya loh muncul juga!” seru salah seorang penjahat itu.Itulah percakapan mereka yang sempat terekam di benak Binar.Di tengah rasa sakitnya Binar teringat akan sesuatu. Cara halus untuk menolong orang yang sempat menolongnya tadi. Binar dengan penuh perjuangan mengambil ponselnya di saku jaket. Ponsel yang kini layarnya telah retak akibat terkena tendangan dan pukulan dua orang yang menghajarnya tadi. Ia mengutak-atik ponselnya, lalu menekan tombol speaker. Seket
Waktu seakan berjalan lambat dari pada biasanya. Dua orang penjahat itu mengepung abis-abisan orang yang tadi sempat menghalangi penjahat itu untuk menyerang Binar. Salah seorang dari penjahat itu memukul pria yang sudah menolong Binar dari belakang. Pria itu bernasib malang seperti Binar. Salah seorangnya lagi mengunci gerak pria itu, dengan leluasa penjahat yang menyerangnya tadi memukulnya dari depan. Pria itu hanya bisa menahan.Binar berteriak histeris di tempatnya.“Akhirnya loh muncul juga!” seru salah seorang penjahat itu.Itulah percakapan mereka yang sempat terekam di benak Binar.Di tengah rasa sakitnya Binar teringat akan sesuatu. Cara halus untuk menolong orang yang sempat menolongnya tadi.Binar dengan penuh perjuangan mengambil ponselnya di saku jaket. Ponsel yang kini layarnya telah retak akibat terkena tendangan dan pukulan dua orang yang menghajarnya tadi. Ia mengutak-atik ponselnya, lalu menekan tombol s
Pintu mengeluarkan bunyi yang berderit kecil. Aras mendorong pintu dengan kaki Binar. Pintu terbuka seiring dengan suara derit. Aras cukup terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Rumah yang berukuran sedang itu, dipenuhi dengan banyak ornamen. Ruangan bernuansa putih itu memberikan kesan elegan di setiap edaran pandangan mata. Maju beberapa langkah Aras pun menurunkan Binar di kursi sofa ruangan itu.“Sory gue enggak bisa buatin loh minum,” ujar Binar.Aras mengambil tempat duduk di depan Binar.“Enggak perlu repot-repot gue juga tahu, harga air sekarang mahal,” canda Aras.Binar memanyunkan bibirnya, kesal.“Thanks ya,” ujar Binar setelah beberapa menit mereka tenggelam dalam diam.“Ah dasar loh gengsian, mau ngomong makasi aja tegang amat,” ejek Aras.Ia tersenyum sipu karena berhasil membuat Binar kesal.Binar menggeru