“Oke, pelajaran hari ini cukup sampai di sini, jangan lupa kirim tugasnya melalui email, saya terima lima menit setelah azan magrib.” Tegas sang dosen tanpa peduli dengan Amaz yang masih kesal.
Beberapa saat setelah itu dosen keluar kelas yang disusul mahasiswa lainnya, kecuali Binar dan Amaz. Binar kembali ke mejanya dan mengambil tasnya. Begitu pula dengan Amaz. Ia menggendong tasnya dengan kesal. Mungkin tidak boleh ada kata kalah di hidupnya. Binar melangkah keluar kelas. Langkahnya terhenti ketika Amaz menarik rambutnya. Binar mendesis marah.“Udahlah kalau kalah tinggal ngaku aja,” ejek Binar.
“Eh loh harus tahu, gue enggak kalah, cuma tuh dosennya aja aneh,” balas Amaz membela diri.“Oh maksud loh beliau psikopat?” celah Binar.“Loh yang bilang, bukan gue!” serunya.Binar terlihat malas menanggapinya. Tidak ada waktu untuk berdebat dengan pria aneh itu. Binar pun meninggalkannya seorang diri di kelas.Ia kembali melaju di jalanan. Sebelum pulang ia mampir di minimarket untuk membeli makanan untuk ikan peliharaannya. Ketika hendak masuk ia melihat seorang pria sedang dihajar oleh segerombol orang. Ia ingat pria itu adalah orang yang pernah menabraknya di toko buku. Pria itu adalah Aras. Namun Binar tidak tahu namanya. Aras dikepung sepuluh orang musuhnya. Mereka bertarung sepuluh lawan satu. Awalnya Aras mampu melumpuhkan mereka, namun rupanya mereka licik. Salah seorang dari musuhnya memukul bokong Aras dengan knalpot motor, sehingga Aras jatuh tersungkur. Awalnya Binar tidak peduli melihatnya. Ia terus melangkah masuk. Dari kejauhan ia mendengar pria itu berteriak meminta tolong. Suaranya terdengar putus-putus. Binar membalikkan badan. Pria itu kini mulai mengeluarkan darah dari mulutnya. Binar tidak tega. Tanpa permisi ia melompat dan menendang bokong tiga dari sepuluh musuh itu. Mereka bertiga terpental ke tanah. Binar tidak berhenti. Di tengah kesibukan mereka untuk membantu ketiga orang tadi Binar terus melancarkan serangannya. Ia menendang dan meninju beberapa orang lainnya, dan mendorong mereka ke tembok. Dua orang yang memegangi Aras bangkit berdiri. Mereka memasang kuda-kuda, Binar pun sama, ia mengepal kedua tangannya, bersiap menyerang. Salah seorang dari mereka mendekati Binar dan mulai menyerang. Binar menangkis pukulannya dengan tangan kiri, lantas tangan kanannya meninju tepat di dada lawannya. Lawannya itu tersedak, ia memuntahkan air liur. Sekali lagi ia menendang orang itu hingga terpental jauh ke tanah. Salah seorangnya lagi menendang Binar dari belakang ketika ia lengah. Binar jatuh tersungkur di tanah. Tendangan orang itu tidak melesat dari titik kelemahannya. Orang itu menatap geram kepada Binar. Amarahnya masih membuncah. Ia menginjak Binar yang masih terkapar di tanah. Untungnya ia masih bisa menghindar walaupun hanya sebatas mengguling-guling di tanah.
Aras kembali pulih. Ia bangkit dengan tenaganya yang masih tersisa. Dari kejauhan ia melemparkan knalpot yang tadi kenanya kepada laki-laki yang hendak menghajar Binar. Lemparannya kena telak di kepala lelaki itu. Binar bangkit berdiri. Begitu pula kesepuluh musuh Aras yang kini turut menjadi musuhnya. Mereka mengelilingi Aras dan Binar. Binar memasang kuda-kuda begitu pula Aras. Ketika mereka mulai menyerang Aras tiba-tiba jatuh pingsan. Binar panik, tidak ada waktu baginya untuk menjadi dokter tiba-tiba yang harus mengurus orang yang tidak dikenalnya. Musuhnya semakin dekat. Binar teringat akan gas air mata yang selalu ia bawa di tasnya. Dalam situasi yang makin terdesak itu ia buru-buru mengambil gas air mata itu dan menyemprotkan di mata lawannya. Mereka semua kalang kabut, gas air mata itu berhasil menghambat penglihatan mereka.Kandungan bahan kimia yang terdapat dalam gas air mata berupa klorobenzalmalononitril dan bahan lainnya berhasil menyebabkan iritasi pada mata mereka sehingga pandangan mereka terganggu. Dalam situasi yang rumit ini Binar dengan gesit menarik lengan Aras, membawanya hingga ke mobil. Ia tidak bisa memapahnya. Lelaki itu terlalu berat baginya. Walaupun fisiknya sangat kurus. Mungkin karena seluruh tenaganya telah terkuras untuk melawan sepuluh orang tadi. Binar membaringkan Aras di samping mobilnya. Ia mengawasi sekitar, takut kalau orang tadi mengejarnya, namun beruntungnya orang itu kehilangan jejak mereka. Binar mengambil kotak P3K yang selalu ia simpan di dalam mobilnya. Beberapa saat kemudian ketika Binar mengobati luka memar di wajah Aras, Aras siuman dari pingsannya. Binar tersenyum lega, melihat Aras yang sudah siuman. Aras tertegun ketika membuka matanya. Rasanya masih setengah sadar. Samar-samar ia lihat wajah Binar yang sangat dekat dengannya. Binar terlihat kikuk melihat Aras yang masih terdiam. Binar tidak tahu apa yang sedang ada dalam benak Aras.“Air?, mau air? Bentar aku ambilin,” ujar Binar kikuk.
Aras hanya terdiam, tidak membalasnya. Aras masih terbaring dipinggir jalan. Binar membuka pintu mobil dan mengambil sebotol air miliknya. Setelah itu ia memberikannya kepada Aras.“Ini minum,” tawarnya.“Thanks.” Balas Aras, suaranya hampir tertahan di tenggorokan. Aras meraih sebotol air di tangan Binar, namun tidak bisa, tangannya bergetar karena kehabisan tenaga. “Sini biar gue bantu.” Ujar Binar.Ia membantu Aras duduk. Aras bersandar di bahu Binar. Binar mencoba menepisnya, namun gagal. Dengan terpaksa ia membiarkan lelaki yang tidak dikenalnya itu bersandar di bahunya. “Air,’ minta Aras.Binar memberikannya. Namun Aras malah menolaknya.“Tadi minta,” seru Binar kesal.“Buka-in” balasnya lembut.Binar menurut ia tahu Aras lemah, bahkan untuk bernapas saja agak susah. Ia menyuapi Aras minum.“Nih obat,” ujar Binar sembari menyodorkan kita P3K kepada Aras.
Aras mengangguk tersenyum. Senyumnya manis sekali. Senyum yang begitu tulus. Binar membalasnya dengan sedikit senyum terpaksa lantas berdiri dan membuka pintu mobilnya.Perlahan senyum Aras memudar.“Mau kemana loh?” tanya Aras pelan.
“ Pulang.” Balas Binar singkat.“Oh jadi loh kalau nolongin orang setengah-setengah gitu,” ujar Aras protes.“Udah baik tadi gue tolongin, kalau enggak loh udah arwah!” balas Binar jengkel.Aras terdiam, ia kehabisan tenaga untuk berdebat kali ini..”Thanks.” ucapnya sedikit keras.Binar membalikkan badan. Ia mengangkat bahunya.“Loh siapa?” tanya Aras.“Alien,” balas Binar ketus.“Serius gue!” seru Aras.“Nama gue Alin tapi cara tulisnya Alien,” balas Binar berbohong.“Masa sih, ejaannya gitu?” tanya Aras tidak percaya. “Terserah,” balas Binar. Binar memasuki mobilnya, tiba-tiba Aras melempar kota P3K itu ke arah Binar. Binar keluar dari mobil.“Maksud loh apaan?” tanya Binar kesal.
“Please just for this time” ujar Aras pelan.Binar menurut, ia membantu Aras mengobati lukanya. “Nis sudah, sampai di rumah kalau ada bengkak tinggal di kompersin aja, usahakan jangan kena air dulu apalagi make up.” Tegas Binar.“Oke siap dok.” Balas Aras.Binar mengangguk, lantas pergi.“Tunggu, gue Aras.” Ujar Aras memperkenalkan diri.
“Gue enggak nanya.” Balas Binar singkat.“Dasar loh, Alien” balas Aras tersenyum.Binar kembali melaju, ia tidak jadi membeli makan untuk ikannya. Ia takut kalau saja orang tadi masih mengikutinya.
“Oh iya, cowok tadi pulang pake apaan ya?” gumamnya dalam hati.
“Ah enggak penting, bukan urusan gue,” ia kembali membatin, menyalahkan suara hatinya tadi.
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle