LOGINAnindya mengangkat wajahnya pelan. Pandangannya kabur oleh air mata. Semua yang selama ini dia tahan pecah begitu saja. Rasa takut, malu, marah pada diri sendiri. Dia membenci dirinya karena sekarang berdiri di hadapan pria ini, tanpa harga diri, tanpa jalan keluar.
Tidak ada uang. Tidak ada keluarga yang bisa menolong. Tidak ada waktu. Hanya pria ini, berdiri di hadapannya, tatapannya tajam dan tak terbaca.
Haruskah Anindya benar-benar menghabiskan sisa masa mudanya di penjara hanya karena sebuah kecelakaan bodoh?
“Sa … saya mau, Pak,” putus Anindya akhirnya, suaranya parau.
“Bagus.” Arvendra menoleh sekilas, mata hazel-nya berkilat di bawah cahaya lampu taman. “Pakai gaun yang cantik besok.”
Gaun?
Kata itu berputar-putar di kepala Anindya, menimbulkan seribu tafsir yang tak satupun beres.
Untuk tidur bersama, apa perlu memakai gaun cantik?
Apa maksudnya gaun tipis seperti lingerie?
“Gaun seperti apa, Pak?” Anindya akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya pelan tapi terdengar jelas di antara langkah mereka yang beriringan.
“Gaun yang pantas dipakai ke pesta,” jawab Arvendra datar.
Anindya berkedip, kaget. “P-pesta?”
Arvendra mengangguk. “Ada acara reuni dengan teman kuliah saya di hotel. Saya butuh pendamping. Kamu cukup ikut, bersikap sopan, dan jangan terlalu jauh dari saya.”
Deg.
Wajah Anindya terasa panas sekali. Ya Tuhan, jadi selama ini dia salah paham?
Semua pikiran kotor dan prasangka buruknya tentang pria ini ingin memanfaatkannya, ternyata hanya hasil khayalannya sendiri.
“Kirimkan nomor rekeningnya, biar saya transfer sekarang,” ujar Arvendra lagi sambil mengambil ponselnya yang ada di meja dekat kolam.
Anindya langsung mengangkat wajahnya. “Eh? Oh … iya sebentar, Pak.”
—
Malam selanjutnya, Anindya berdiri di teras rumah, sambil menggenggam clutch kecil di tangan.
Gaun merah marun yang gadis itu kenakan memeluk tubuhnya pas, tanpa berlebihan. Lehernya dibuat model halter, memperlihatkan pundak jenjang dan kulit sawo matang yang tampak berkilau di bawah lampu taman. Rambut hitam panjangnya, yang biasanya diikat asal atau digerai polos, malam ini ditata rapi. Bergelombang lembut sampai punggung bawah.
Riasan wajahnya sedikit bold, dengan eyeliner tegas dan lipstik merah bata yang membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Tadi Jeane dengan semangat meriasnya, benar-benar tahu cara membuat seorang mahasiswi tampak seperti tamu undangan gala dinner.
Anindya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dia bukan siapa-siapa, hanya guru les yang dipinjam jasanya. Bukan pasangan sungguhan, bukan kekasih, bahkan bukan teman sejajar di lingkaran sosial Arvendra.
Namun, suara pintu utama terdengar terbuka. Dan di ambang pintu muncul sosok yang membuat napasnya nyaris tercekat.
Arvendra datang mengenakan tuxedo hitam dengan potongan rapi. Kemeja marun di dalamnya tampak kontras sekaligus serasi dengan gaun Anindya, menonjolkan rona hangat pada kulitnya.
Rambutnya disisir rapi ke belakang, memberi kesan matang dan tak terbantahkan gagah. Wangi parfum woody-spicy menyusup ke udara, menciptakan aura maskulin yang nyaris membuat Anindya lupa cara bernapas.
“Sudah siap?” tanya Arvendra datar, tapi tatapannya berhenti beberapa detik lebih lama di wajah Anindya, mungkin tanpa sadar. Matanya yang hazel itu sempat turun ke arah gaun, lalu kembali bertemu pandang dengan gadis itu.
Deg.
Ada sesuatu dalam cara Arvendra melihat yang membuat darah Anindya berdesir.
“Siap, Pak,” jawab Anindya akhirnya, mencoba terdengar santai, meski suaranya sedikit serak.
“Tunggu di mobil,” ucapnya pelan. Suaranya tenang, tapi tak lagi sedingin biasanya.
Anindya mengangguk patuh, lalu melangkah ke arah mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat wujud kendaraan itu lebih dekat.
“Duh, gimana cara naiknya ini,” keluh Anindya lirih.
Mobil itu bukan sedan biasa. Ini mobil jeep hitam berukuran besar. Dengan gaun panjang dan sepatu hak delapan sentimeter, naik ke sana jelas bukan hal mudah.
Anindya mencoba mengangkat sedikit ujung gaunnya agar tidak terseret, tapi ketika menapakkan kaki di pijakan besi, tumit sepatu sebelahnya justru tersangkut di sela batu paving. Tubuhnya oleng ke depan.
“Ah–!”
Belum sempat terjatuh, sebuah tangan kuat menahan lengan Anindya dari belakang. Hangat, tegas, dan aman.
Anindya menoleh spontan, dan hampir menahan napas. Arvendra berdiri begitu dekat, tubuh tingginya menutupi cahaya lampu taman di belakang mereka.
“Saya baru mau bantu,” ujar Arvendra datar, meski ada nada rendah di suaranya yang entah kenapa membuat darah Anindya berdesir tak karuan.
“T-terima kasih, Pak.” Entahlah, setiap berbicara dengan Arvendra, Anindya selalu terbata seperti ini.
Anindya mencoba naik lagi, tapi posisi mobil yang tinggi membuatnya sedikit goyah. Saat itulah, tangan besar itu kembali bergerak. Satu menahan di pinggangnya, hangat, kuat, dan membuat jantungnya melonjak. Sementara tangan satunya menepuk bahunya sendiri.
“Pegangan di sini,” kata Arvendra tenang, menunduk sedikit agar sejajar.
Dengan ragu, jemari Anindya menyentuh bahu tegap pria itu. Begitu berhasil duduk di kursi penumpang, Anindya buru-buru menarik tangannya dan menunduk, pipinya terasa panas seperti sedang demam tinggi.
“Maaf, saya agak susah naiknya,” kata Anindya pelan, mencoba terdengar tenang.
“Nggak apa-apa.” Arvendra menjawab datar.
Oh, sejak kapan Arvendra berbicara tidak seformal biasanya?
Arvendra menutup pintu perlahan, mengitari mobil, lalu duduk di balik kemudi. Mesin menyala, lampu dashboard membias redup di wajah mereka. Mobil mulai melaju meninggalkan halaman rumah.
__
Lampu-lampu kristal bergemerlap di langit-langit ballroom hotel mewah itu. Begitu Arvendra melangkah masuk, hampir semua kepala menoleh.
Bukan hanya karena reputasinya, tapi juga karena sosok perempuan muda di sampingnya.
Beberapa pria berbisik pelan, beberapa wanita menatap dengan ekspresi penasaran, bahkan ada yang tersenyum sinis. Namun, Arvendra seolah tak peduli. Dengan tangan di saku celana dan bahu tegap, dia berjalan lurus ke arah meja utama.
“Oh, Arven. Tumben kamu datang dengan pasangan. Sudah bisa move on rupanya dari mantan istrimu.”
Anindya spontan menoleh.
Seorang pria sudah duduk di kursi kosong sebelahnya tanpa diminta. Jas abu-abu, kemeja putih tanpa cela, kaki disilangkan santai. Senyum yang dia tampilkan bukan ramah, lebih mirip ejekan yang dibungkus sopan santun.
Samar, ada wangi parfum yang ikut terbawa dari gerak tubuh pria itu. Dan begitu mata mereka bertemu, dada Anindya langsung mengencang.
Wajah itu. Lelaki yang berdiri di depan buldoser malam penggusuran kosan Anindya, yang mendorong tubuhnya saat dia nekat ingin menyelamatkan motor bututnya.
Namun, pria itu kini hanya menatapnya datar, tanpa sedikit pun tanda mengenal. Mungkin karena penampilan Anindya malam ini cukup untuk membuatnya tampak seperti orang lain.
“Bukan urusanmu,” sahut Arvendra tenang. Bahkan tak mau repot-repot menoleh.
Pria itu terkekeh. “Santai, Arven. Saya cuma heran. Biasanya kamu datang sendirian, kelihatan nggak tertarik sama siapa pun.” Tatapan pria itu melebar ke meja lain. Beberapa orang ikut menoleh, tak berusaha menyembunyikan rasa ingin tahu.
“Nama kamu siapa?” tanya pria itu pada Anindya, lalu mengulurkan tangan dengan senyum tipis.
“Anindya.” Gadis itu menyambut sopan, meski telapak tangannya dingin.
“Saya Dani,” balasnya, menggenggam tangan itu sedikit lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya melepaskannya.
“Kamu kerja atau masih kuliah, Anindya?” tanya Dani.
Anindya melirik ke arah Arvendra, takut salah bicara, tapi pria itu hanya diam sambil memutar gelasnya. “Masih kuliah,” jawabnya akhirnya.
“Oh, masih kuliah rupanya.” Senyum Dani kian melebar, tapi pandangannya turun ke bahu Anindya yang terbuka oleh potongan gaun. “Pantas Arven selalu nolak Elea, ternyata dia lebih suka daun muda, ya?”
Selamat datang di cerita baru aku! Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)
“Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap
“Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven
“Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber
“Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya
“Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.
Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu







