Share

Bab 6: Bagaimana Ini?

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2025-10-18 00:18:46

Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.

“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.

“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. 

“Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.

Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”

Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”

“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”

Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.

Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan detak jantungnya yang belum juga tenang.

“Jadi …” Jeane langsung mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyipit penuh selidik. “Kamu sembunyi dari siapa, hah?”

“Tiga orang yang baru masuk tadi ke mana?” Bukannya menjawab, Anindya malah balik bertanya dengan suara rendah.

Laura menoleh sekilas ke arah sudut ruangan. “Masuk ke ruang VIP kayaknya. Kenapa emangnya?”

Anindya menelan ludah, lalu berbisik pelan seolah takut ada yang mendengar. “Yang di tengah itu, papanya Elvio.”

Mata Jeane dan Laura sontak membelalak.

“Apa?!” Jeane hampir berteriak, untung cepat menutup mulut dengan kedua tangan. “Ya ampun, gila sih, Anin. Itu beneran papa Elvio?!”

Anindya hanya bisa mengangguk, wajahnya semakin memanas.

Laura yang biasanya kalem sampai ikut terbelalak. “Aku akui, dia ganteng banget. Dari jarak segini aja auranya berasa. Tinggi, berwibawa, terus … oh my God, tatapannya itu, Anin!”

Jeane langsung mengangguk heboh, hampir menjatuhkan sendok yang sedang dia pegang. “Tatapan yang bisa bikin orang rela bayar cuma buat dilihatin tiap hari! Anin, kamu tuh tinggal satu rumah sama pria kayak gitu?! Gimana kamu bisa tidur, hah?!” Dia mencengkeram lengan Anindya dramatis, ekspresinya seperti penonton sinetron yang baru dapat plot twist.

“Jeane!” tegur Anindya.

‘Justru itu aku nggak bisa tidur semalaman,’ rutuk Anindya dalam hati, perutnya bergejolak seperti diisi kupu-kupu.

Laura kini menautkan jemari di meja, matanya tak lepas dari Anindya. “Kamu sadar nggak sih, pria kayak dia tuh levelnya beda banget. Lihat aja cara dia jalan tadi. Dua orang di sampingnya jelas cuma kayak asistennya. Tapi dia? Tanpa ngomong sepatah kata pun, ruangan langsung tunduk sama auranya.”

Anindya terdiam. Jantungnya mendadak berdegup lagi, padahal topik itu justru ingin dia jauhi.

“Bener!” Jeane turut membenarkan. Lalu dia mendekat, hampir berbisik, tapi tetap penuh semangat. “Anin, kalau kamu nggak ngegas, aku yang maju.”

“JEANE!” Anindya hampir meledak. Suaranya meninggi, membuat beberapa pengunjung meja sebelah menoleh penasaran.

“Aku nggak ngegas karena nggak ada yang perlu digas! Dia cuma … cuma ayah muridku!” ucap Anindya cepat, seperti mantra yang ingin dia yakini sendiri.

Jeane mendengus geli, sementara Laura hanya tersenyum samar, tatapan mereka penuh arti seolah berkata ‘kita lihat nanti’.

__

Setelah mereka menghabiskan kopi dan camilan, Anindya segera berdiri. Dia sengaja bergerak cepat, seperti orang yang sedang dikejar waktu.

Untung saja, Anindya berhasil keluar tanpa harus bersinggungan dengan Arvendra. Kalau sampai mereka bertatap muka, Anindya yakin dia akan salah tingkah seperti semalam, atau lebih parah, bisa-bisa tubuhnya membeku total.

Gadis itu mulai menjalankan motor tuanya yang masih penuh debu akibat penggusuran semalam. Suara mesinnya kasar, tapi setidaknya masih bisa berjalan. Tujuannya jelas: tempat laundry langganannya sebelum mengajar Elvio.

Sebelum berangkat kuliah tadi, Anindya sempat menitipkan jas Arvendra di sana. Jas yang semalam sempat dia kenakan setelah insiden memalukan di rumah itu–air tumpah di blouse putihnya, membuatnya hampir ingin menghilang dari muka bumi.

Anindya berniat mengembalikan jas itu malam ini, sebelum pria itu sempat memintanya.

‘Lebih cepat selesai, lebih baik,’ pikirnya. Anindya tidak ingin memberi Arvendra alasan untuk berbicara lebih lama dengannya, atau lebih buruk lagi, menatapnya dengan tatapan tajam yang bisa membuat lututnya lemas.

Setelah mengambil laundry, Anindya memeluk jas hitam yang kini sudah rapi dan wangi.

“Oke, tinggal ngajar Elvio, balikin jas, terus tidur di kamar. Simple,” gumamnya, mencoba menenangkan diri.

Motor tuanya kembali berjalan menuju kompleks perumahan elite tempat Arvendra tinggal. Gerbang besar dengan satpam berjas rapi menyambutnya.

Anindya melirik jam tangan kecil di pergelangan tangannya. “Masih ada lima belas menit sebelum jam les,” bisiknya lega.

Namun rasa lega itu langsung menguap ketika dari salah satu blok, sebuah mobil sport merah meluncur keluar. Kilau bodinya menyilaukan mata, emblem Lamborghini terpampang jelas di kap depan.

“Ya ampun …” Anindya refleks menurunkan kecepatan. Namun, ban motornya yang sudah gundul tidak bersahabat dengan aspal licin sisa hujan. Dalam sepersekian detik, kendalinya hilang.

BRAK!

Motor tuanya oleng hebat, jatuh ke samping, sementara setangnya menghantam sisi depan Lamborghini merah itu. Bunyi benturannya nyaring, membuat kepala Anindya langsung kosong.

Gadis itu terduduk di aspal basah, lututnya perih, tapi rasa nyeri itu kalah dengan ngeri yang menyergap begitu pandangannya naik ke arah mobil. Sebuah goresan panjang terlihat jelas di bodi mewah yang masih mengilap.

“Oh nggak … mati aku,” bisik Anindya panik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru bangkit berdiri, meraih motornya yang sudah miring di pinggir jalan.

Pintu Lamborghini terbuka keras. Dari dalam, seorang pria tambun keluar dengan wajah merah padam. Kemejanya terlalu ketat untuk tubuhnya, beberapa kancing terbuka memperlihatkan dada penuh bulu. Sebuah rantai emas tebal menggantung mencolok di lehernya.

“GILA LO, YA?!” bentaknya lantang. Suaranya berat dan kasar, membuat beberapa orang yang sedang melintas di sekitar kompleks spontan menoleh.

Anindya mundur setapak, kedua tangannya gemetar. “P-Pak, maaf saya … saya nggak sengaja–”

“Nggak sengaja?!” Suaranya makin meninggi. Pria itu menunjuk goresan di mobilnya dengan dramatis. “Liat nih! Lecet! Rusak! Lo pikir murah benerin beginian?!”

“P-Pak, saya … saya minta maaf,” suara Anindya gemetar, tubuhnya ikut mundur setapak.

“Minta maaf nggak bikin mobil gue mulus lagi!” bentak pria itu makin keras.

“Terus … saya harus gimana?” tanya Anindya parau, nyaris putus asa.

“Ganti rugi lah! Pake nanya lagi!”

Pria itu merogoh ponsel, cepat-cepat memotret bagian yang lecet. Lalu menelepon seseorang, mengaktifkan loudspeaker agar semua orang bisa mendengar. “Halo, Bro, cek body depan mobil gue. Foto udah gue kirim. Lecet panjang. Berapa kira-kira benerinnya?”

Suasana hening beberapa detik, hanya terdengar suara desis napas marah si pemilik mobil. Sampai akhirnya, suara dari seberang sambungan terdengar jelas.

“Lecet segitu harus repaint full panel, Bos. Kalau ada part retak, ya ganti. Estimasi … bisa dua ratus juta.”

“Dua ratus juta?!” Anindya hampir jatuh terduduk. Darahnya seperti berhenti mengalir. Tabungannya bahkan tidak ada sepersepuluh dari jumlah itu.

Pria buncit itu memutus sambungan, lalu melipat tangan di dada. “Nah, lo denger sendiri, ‘kan? Dua ratus juta. Jadi lo mau bayar cash, transfer, atau gue laporin ke polisi?”

Beberapa orang di sekitar mulai bergumam. Seorang satpam mendekat, tampak ragu harus ikut campur atau tidak. Namun, sebelum Anindya sempat bersuara, pria itu sudah kembali membentak, “Gue kasih waktu sampai malam ini! Kalau lewat jam delapan belum ada uangnya, gue pastiin lo tidur di sel tahanan!”

Duvessa

Selamat datang di cerita baru aku! Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Duvessa
love u too :) terima kasih udah mampir yaa...
goodnovel comment avatar
Duvessa
mas al udah selesai aku tulis nih kak :) terima kasih sudah mampir
goodnovel comment avatar
Rusli Rusli
love you, author... makasih udah ngasih hiburan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 6: Bagaimana Ini?

    Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 5: Sugar Daddy

    “Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 4: Satu Atap

    “Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 3: Pria Ini Lagi

    “Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 2: Melamar?

    “M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 1: Bertemu

    “Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status