Share

Bab 5: Temani Saya

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-04 12:25:03

Usai jam les selesai, dengan langkah ragu Anindya menuju lorong belakang. Begitu pintu kaca terbuka, aroma klorin bercampur angin malam menerpa wajahnya. Dan di sanalah dia melihatnya.

Arvendra berdiri di tepi kolam, hanya mengenakan celana renang abu pendek yang basah, menempel ketat di pinggang.

Tubuh setengah telanjang itu berkilau diterpa lampu taman, tiap tetes air menuruni garis otot bahu hingga punggungnya yang lebar. Saat dia menyugar rambut basah dengan satu gerakan sederhana, otot-otot lengannya ikut menegang, menambah kesan gagah dan maskulin.

Deg.

Anindya spontan menahan napas. Pandangannya meluncur turun, ke dada bidang dengan tato samar di sisi kiri, lalu lebih ke bawah. Celana renang basah itu menempel tanpa ampun, membentuk lekukan yang seharusnya tidak gadis itu lihat.

Wajahnya terbakar. Refleks, Anindya menoleh kasar ke samping. 

‘Astaga Nin, jangan lihat!’ batin Anindya.

Namun otaknya kejam, rasa penasaran lebih kuat dari logika. Ekor matanya justru kembali melirik. Garis otot perut yang turun ke pinggang, pinggul yang ramping, dan bagian bawah yang jelas nyata. Terlalu nyata.

Arvendra menoleh, seakan sadar ada tatapan. Hazel itu menembus remang malam, langsung menemukan sosok Anindya yang kaku di dekat pintu kaca.

“Anindya?” Suaranya berat, serak, seperti masih basah oleh sisa renang. “Sedang apa kamu di situ?”

“Ada sesuatu yang mau saya sampaikan,” ucap Anindya ragu-ragu.

Arvendra melangkah mendekat, pelan tapi mantap. Dari jarak yang hanya satu meter, Anindya bisa melihat dengan jelas betapa celana renang itu tidak menyembunyikan apa pun.

Astaga ... memangnya milik semua pria sebesar itu?

“Kenapa wajah kamu merah begitu?” Arvendra bertanya dengan tenang.

“Saya … saya agak demam, sepertinya,” kilah Anindya gugup. Lidahnya kaku, logika berantakan. 

“Jadi ada apa?” Arvendra bertanya lagi, masih sama tenangnya. Seakan tidak menyadari betapa penampilannya malam itu bisa membuat siapa pun kehilangan kata-kata.

Lidah Anindya kelu. Padahal sejak tadi dia menyiapkan kalimat untuk meminjam uang, tapi sekarang suaranya seakan hilang. 

“Tidak ada, Pak. Saya permisi.” Anindya berbalik, tapi ponselnya tiba-tiba bergetar keras.

Layar menyala. Pesan masuk.

[Lo mau kasih uang jam berapa? Ini udah lewat jam delapan! KTP lo udah di gue. Mau gue laporin sekarang, hah?!]

Panggilan bertubi-tubi pun masuk, layar ponselnya dipenuhi notifikasi.

Sial. Napas Anindya memburu. Dengan tangan gemetar, dia berbalik lagi. “Pak.”

Arvendra yang hendak kembali ke kolam berhenti, menoleh. “Kenapa, Anin?”

Anindya menggenggam ponselnya erat-erat. Suaranya tercekat, tapi akhirnya keluar juga. “Boleh … boleh saya pinjam dua ratus juta?”

Hazel itu menajam, tapi pria itu tidak kaget. “Untuk apa, Anin?”

Dengan suara terputus-putus, Anindya menceritakan insiden di kompleks sore tadi. Tentang motor bututnya, tentang Lamborghini, tentang tuntutan ganti rugi yang mustahil dia bayar.

Pria itu mendengarkan tanpa memotong, hanya menatap tajam, tubuhnya masih setengah telanjang, membuat konsentrasi Anindya buyar berkali-kali.

Begitu cerita selesai, pria itu berkata, “Boleh. Saya pinjamkan uang itu.”

Anindya terperanjat. “Serius, Pak? Terima kasih, saya–”

“Tapi,” potong Arvendra tenang. “Temani saya di hotel besok malam.”

Hotel? Maksudnya pria ini apa? Tidur bersama begitu?

Anindya membeku di tempat. Kata-kata itu menghantam telinganya lebih keras daripada suara benturan yang masih terus terngiang di kepalanya–suara motor bututnya menghantam bodi Lamborghini yang bahkan harganya tak sanggup dia bayangkan.

“A-apa maksud Bapak?” tanya Anindya akhirnya setelah sekian lama membisu.

Tatapan Arvendra menusuk lurus. Datar, dingin, hazel yang berkilau seperti kaca. “Uang yang kamu butuhkan tidak kecil, Anin. Dan kamu datang pada saya tanpa jaminan apa pun.”

Langkahnya maju satu, mantap, membuat Anindya refleks mundur setapak. Ruang di antara mereka makin menyempit, udara seakan berat untuk dihirup, padahal mereka ada di luar ruangan.

Arvendra melanjutkan, “Kamu minta saya menyelesaikan masalahmu. Saya hanya menuntut satu hal sebagai gantinya. Setelah itu, anggap masalahmu selesai. Kamu tidak perlu memikirkan bagaimana cara mengembalikannya.”

Anindya tercekat. Kalimat ‘temani saya di hotel’ berputar-putar di kepalanya, membuat tengkuknya dingin, kulitnya merinding. Dia tahu betul arti terselubung dari kata-kata itu. Tidak mungkin maksud pria ini sekadar temani biasa.

Matanya panas, bibirnya tergigit sampai perih, bahunya berguncang halus. Rasa takut, malu, dan getir bercampur menjadi satu.

Wanita itu masih perawan. Bahkan belum pernah sekalipun dicium, apalagi disentuh dengan cara yang tidak pantas. Bayangan dirinya berada di kamar hotel bersama pria dewasa yang lima belas tahun lebih tua darinya, seperti Arvendra, membuat perutnya mual dan seluruh tubuhnya merinding ketakutan.

“Pak … tidak ada cara lain?” Anindya memberanikan diri bersuara lagi, kali ini dengan putus asa. “Saya janji akan terus mengajar Elvio, tanpa dibayar, selama yang Bapak mau. Tolong … kasih saya kesempatan untuk ganti rugi dengan cara itu.”

“Guru les?” ulang Arvendra pelan. “Kamu tahu berapa saya bayar sekarang? Bahkan kalau kamu mengajar Elvio setiap hari, empat tahun penuh, nilainya tetap tidak akan menutup hutang itu.”

“Tapi saya … saya benar-benar nggak punya apa-apa lagi, Pak–”

“Perbaikan mobil itu nilainya dua ratus juta,” potong Arvendra. “Dan tawaranmu jelas tidak sepadan.”

Kalimat itu menampar Anindya lebih keras daripada teriakan siapa pun. Dalam sekejap, dia sadar: di hadapan pria ini, dirinya, keahliannya, janjinya–semua terasa tidak berarti.

Belum sempat Anindya mengucap apa-apa lagi, ponselnya tiba-tiba berdering keras. Tangan mungilnya gemetar ketika melihat gawai itu. Nama di layar membuat jantungnya langsung naik ke tenggorokan: Leo-Pemilik Lamborghini.

“H … halo, Pak …,” suara Anindya bergetar, nyaris tak keluar.

“Mana uang gue?!” suara berat dan galak itu langsung meledak di telinga Anindya. Nada teriakan itu jauh lebih keras daripada yang dia ingat, sampai Anindya refleks menjauhkan ponsel.

“Pak, saya mohon … jangan bawa ke polisi. Saya … saya lagi cari uangnya …” Tangis Anindya pecah, napasnya memburu. Air matanya jatuh satu-satu, tubuhnya gemetar hebat.

“Cari?! Lu pikir gue main-main?!” suara Leo di seberang makin garang. “Kerusakan mobil gue nggak bisa ditambal pakai janji kosong! Gue udah nahan diri buat nggak bikin ribut, tapi kalau bentar lagi duitnya nggak ada, gue pastiin lo tidur di sel tahanan malam ini!”

Klik.

Sambungan terputus. Anindya terhuyung, ponselnya hampir terlepas dari genggaman. Napasnya tercekat, dada terasa kosong.

“Bagaimana?” Suara berat milik Arvendra terdengar lagi, dalam dan menggetarkan, memecah sunyi yang menekan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 86: Inisial Meresahkan

    “Mas ada pesan.” Anindya menunjuk layar mobil, suaranya biasa saja, atau setidaknya berusaha biasa.Arvendra hanya melirik layar. “Biarin aja dulu.”“Siapa?” tanya Anindya setelah beberapa detik.“Itu Ivelle.”Ada sesuatu yang bergerak cepat di dada Anindya, bukan marah, bukan sakit, hanya sesak yang muncul otomatis.“Hmm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Anindya ketika melihat layar dengan satu huruf besar: I.Sesingkat itu, dan justru sesingkat itu yang paling mengganggu.Orang memang suka menyimpan kontak dengan cara aneh. Pakai emoji, pakai angka, pakai nama panggilan. Namun, inisial? Inisial itu biasanya hanya untuk dua alasan: karena terlalu dekat atau terlalu ingin disembunyikan.Anindya menarik tangannya dari paha Arvendra. Gerakan kecil, halus, tapi jelas menjauh. Dia lalu memalingkan wajah ke jendela, seolah sibuk dengan lampu-lampu jalan.“Kenapa, Anin?” suara Arvendra lembut, tapi ada kewaspadaan tipis di sana.“Nggak apa-apa.” Jawaban klasik, yang jelas artinya ada apa-ap

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 85: Siapa Dia?

    “Hah? Mana?” Anindya menoleh cepat, tapi mereka sudah melewatkan mobil itu. “Perasaan Mas aja kali.”“Mas nggak salah lihat,” gumamnya lebih kepada diri sendiri. Namun, Arvendra tidak menambahkan komentar. Tidak butuh.Sudah jelas tadi itu Zafran. Dan kalau Nani masih bersikeras menjodohkan Anindya dengan laki-laki yang bahkan tidak punya malu untuk ciuman sembarangan, ya itu urusan nanti.Mereka melaju stabil lagi, lampu kota mulai berjarak, sampai Anindya tiba-tiba memegang lengan Arvendra. Sentuhannya kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu langsung melirik.“Mas, berhenti dulu deh. Aku butuh udara segar.”“Mas juga,” jawab Arvendra pelan. Namun, alih-alih merapat ke pinggir jalan, pria itu menekan satu tombol di atas kepalanya.Atap Jeep Wrangler itu perlahan terbuka, melipat diri ke belakang, menyisakan angin malam yang langsung menerobos masuk. Rambut panjang Anindya tergerai, berkibar indah, seperti adegan slow motion dalam drama yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata.Arven

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 84: Usaha Arvendra

    “Om, saya tahu ini berat untuk Om Indra.”Suara itu membuat Indra yang duduk di teras depan menoleh setengah, tapi tidak menanggapi. Arvendra berjalan menghampiri tanpa terburu-buru, seperti seseorang yang lebih memilih menghadapi badai daripada lari.Dia duduk di sebelah Indra. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sejajar. Seperti dulu, dua pria yang sama-sama pernah bekerja dari nol.Indra menekuk bibir, pandangannya kini jatuh pada halaman kosong di depan. “Kalau kamu tahu ini berat buat saya, kenapa kamu masih memaksakan, Arven?”Arvendra menarik napas pelan. “Karena saya serius, Om.”“Serius?” Indra mendengus tipis. “Kamu pernah serius, Arven. Dan hasilnya berantakan.”Arvendra menerima pukulan itu tanpa mengelak. “Betul. Saya pernah gagal.”Indra akhirnya menoleh, matanya tajam tetapi sesak. “Dan saya harus apa? Serahin anak saya ke seseorang yang sudah pernah gagal? Yang hidupnya penuh masalah? Yang masa lalunya masih berserakan di belakang?”Arvendra tidak mundur. Tidak ber

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 83: Perlu Waktu

    “Sebelum Mas ketemu Ayah, aku mau Mas ketemu Mama dulu.” Itu kalimat yang Anindya ucapkan pelan ketika Jeep Wrangler hitam itu baru keluar dari tol. Tidak ada penjelasan tambahan. Tidak ada tatapan minta dikasihani. Hanya suara kecil yang terdengar seperti seseorang yang sedang memberanikan diri membuka pintu yang sudah lama dia tutup. Maka di sinilah mereka berada. Makam Lusi. Ini bukan kali pertama Arvendra datang ke sini. Namun, hari ini rasanya lain. Hari ini dia datang bukan sebagai teman lama ayah Anindya. Hari ini dia datang sebagai seseorang yang ingin dimasukkan ke hidup seorang gadis, secara utuh, masa kini sampai masa lalu. Sedangkan Anindya, dia bahkan harus menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke area pemakaman. Sudah lama dia menghindari tempat ini. Bukan karena lupa, justru karena ingatannya terlalu jelas, terlalu tajam. Kadang Anindya merasa dia dan Lusi sama-sama ‘berhenti hidup’ pada hari itu. Hari ketika dia baru pulang sekolah, dan mendapati rumahnya

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 82: Tidak Datang Sendiri

    “Kamu jangan tegang begitu dong. Tenang, ada Mas. Nanti saya yang jelasin semuanya ke Ayah kamu.” Arvendra menarik sabuk pengaman Anindya dan menguncinya pelan, seolah memastikan gadis itu benar-benar aman sebelum kembali memasang sabuknya sendiri.Setelah rencana meminta restu itu dibahas, butuh dua bulan penuh sampai akhirnya mereka benar-benar bisa melakukannya.Dua bulan yang melelahkan.Arvendra sibuk setengah mati karena perebutan tender proyek besar. Kantornya seperti medan perang setiap hari. Sedangkan Anindya baru selesai sidang skripsi dan menunggu wisuda. Di luar itu, pekerjaan modelnya mulai jalan, plus jadwal les Elvio yang masih dia pegang.Di titik ini, 24 jam sehari rasanya seperti kurang.“Nggak tegang, cuma khawatir sedikit,” gumam Anindya, merapikan ujung rambutnya yang berantakan. “Bukan cuma soal Ayah, tapi Mas tahu sendiri Ibu sama Kakak tiri aku kayak gimana.”Sudah bisa dipastikan 100% Nani akan mencak-mencak ketika tahu Anindya menolak dijodohkan dengan Zafran.

  • Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku   Bab 81: Aroma Favoritnya

    Alis Arvendra naik sedikit. “Memangnya kamu udah bicara sama Ayah kamu?” Bukan curiga, melainkan memastikan. Setahunya, Anindya belum sempat pulang menjenguk ayahnya. Kalau gadis itu sudah menemui Indra, dia pasti tahu.“Kalau soal hubungan kita belum, Mas,” jawab Anindya jujur. “Tapi waktu itu Ayah lihat Mas pegang tangan aku di depan rumah. Dan pas kita pulang dari dokter kandungan itu, Ayah nyamperin aku dekat kampus. Dia bilang, dia kurang suka kalau aku ada hubungan sama duda, dan udah punya anak.”Arvendra terdiam. Bukan marah, bukan kecewa. Namun, diam panjang seorang pria yang sedang mempertimbangkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapannya turun ke wajah Anindya. Menyapu bibir yang bergetar pelan, bahu yang sedikit naik, dan jari yang saling meremas karena gugup.“Ayah kamu nggak salah,” ucap Arvendra, lirih tapi mantap.“Mas! Jangan ngomong begitu,” sanggah Anindya cepat.“Tapi itu kenyataan, Sayang.” Arvendra meraih tangan Anindya dan menggenggamnya, ibu jarinya mengusap pu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status