“Oh … motorku udah ada rupanya.”
Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvendra yang harus segera dia laundry sebelum mengembalikannya. Dengan tergesa, dia menyalakan motor. Lalu pergi begitu saja. __ Beberapa jam kemudian, kelas selesai. Anindya mengembuskan napas panjang begitu dosen keluar ruangan. Tas di pundaknya terasa berat, tapi jelas bukan hanya karena buku. Kepalanya penuh dengan kejadian semalam. Anindya segera menuju taman kampus, tempat biasa dia dan dua sahabatnya berkumpul. Jeane sudah melambai heboh dari bangku panjang, sementara Laura duduk anggun di sampingnya, earphone masih menyangkut di telinga seperti biasa, tidak lupa, kacamata bening bertengger di hidungnya. “Anin! Sini!” panggil Jeane begitu melihat Anindya, membuat gadis itu mendekat. “Kamu kok pucet banget? Semalam nggak tidur, ya?” “Ya, begitulah.” Anindya tersenyum tipis sambil menaruh tasnya di bangku, dan duduk begitu saja. “Kalian tahu nggak, kosan aku digusur semalam?” “Serius?!” Suara Jeane dan Laura hampir bersamaan, mata mereka membulat tak percaya. Anindya mengangguk pelan. “Aku juga masih nggak percaya, sumpah.” Dia bahkan mengacungkan jari telunjuk dan tengah. “Terus kamu tinggal di mana semalam?” tanya Jeane buru-buru. “Nginep di rumah murid lesku. Si Elvio,” jelas Anindya sambil meremas ujung bajunya. Laura refleks melepas earphone, kini benar-benar fokus. “Hah, kok bisa?” Anindya menarik napas dalam, lalu mulai menceritakan kejadian semalam: dari penggusuran kosan yang mendadak, kebingungannya mencari tempat tinggal, hingga akhirnya Arvendra menawarkan agar dia tinggal sementara di rumah mereka. Namun, dia sengaja menceritakan secukupnya saja, tanpa menyebut tatapan Arvendra yang membuatnya gelisah sejak pertama kali bertemu. Saat Anindya selesai bercerita, Jeane langsung bersiul panjang. “Wow… kayak sinetron banget. Tapi serius, kamu beruntung sih, Anin. Bisa tinggal di rumah gede gitu, gratis pula. Aku aja kosan bayar hampir sejuta per bulan, dapetnya kamar sempit.” Laura menambahkan, alisnya terangkat penasaran. “Dan rumah segede itu pasti yang punya bukan orang biasa. Eh, bukannya kamu pernah cerita? Ayahnya Elvio duda tajir. Kalau Elvio baru enam tahun dan dia anak pertama, berarti ayahnya belum tua-tua banget, ‘kan?” “Tetap aja. Lima belas tahun lebih tua dariku itu nggak bisa disebut muda, Lau,” sahut Anindya cepat. “Ya tapi nggak kakek-kakek juga,” timpal Jeane sambil cekikikan. “Kalau bisa sekalian jadi sugar daddy, kenapa nggak?” “Jeane!” Anindya hampir melompat dari bangku. Pipi dan telinganya langsung memanas. “Aku di sana cuma numpang sementara. Titik. Jangan mikir aneh-aneh!” Laura menyandarkan dagu di telapak tangan. Ekspresinya malas, tapi matanya jelas berbinar penuh gosip. “Ya siapa tahu ‘sementara’ itu bisa jadi permanen kalau kamu pintar main strategi.” “Mau main bola, kah? Pakai strategi segala,” dengus Anindya. Dia lalu menghela napas panjang, meraih botol minum dari tasnya untuk menenangkan diri. “Jujur aja, aku pengen cepet-cepet keluar dari rumah itu. Jadi, ada yang mau nampung aku nggak? Nanti habis gajian, aku pindah ke kos baru.” “Kamu mau tidur di kamar mandi, Anin? Kamu tahu sendiri kamar kos aku sebesar apa,” sahut Jeane, agak menyesal tidak bisa menampung Anindya. “Aku tinggal sama kakakku. Dia paling anti orang luar numpang,” tambah Laura. “Hhh … ya sudahlah. Aku tanya aja dulu.” Anindya meringis. “Asli, aku nggak nyaman numpang di sana.” “Nggak nyaman … atau terlalu nyaman, nih?” Lalu setelahnya Jeane menyenggol lengan Anindya lengkap dengan senyum nakal. “Jeane!” suara Anindya meninggi lagi, tapi sahabatnya malah tertawa puas sampai nyaris terjungkal dari bangku. Tawa mereka mendadak mereda ketika seorang pria melintas tak jauh dari situ. Langkahnya santai, kaus putih dan jaket denim membuatnya tampak sederhana, tapi senyumnya … ah, senyumnya itu yang langsung membuat dunia Anindya berhenti berputar sesaat. Senyum itu diarahkan tepat padanya. Jantung Anindya seketika seperti berhenti berdetak. Sankara. Crush Anindya sejak dua tahun lalu, yang selama ini hanya bisa dia lihat dari kejauhan, sekarang berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Oh. My. God.” Jeane buru-buru menutup mulutnya sambil melirik Anindya dengan ekspresi heboh. “Itu … itu Sankara, ‘kan?!” Laura yang biasanya kalem sampai menurunkan kacamatanya. Lalu tersenyum ke arah Sankara. Anindya terpaku di tempat, tangan dingin dan wajahnya semakin panas. ‘Tolong jangan bilang dia beneran lihat aku.’ Belum sempat Anindya memproses apa yang baru saja terjadi, Sankara sudah berjalan menjauh, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar. “Yuk kita ke kafe baru di seberang kampus. Aku lihat review-nya bagus banget!” Jeane memecah keheningan dengan cepat. Anindya terdiam sejenak, wajahnya berubah kikuk. Dia ingat betul dompetnya nyaris kosong. Bahkan untuk sekadar membeli segelas kopi pun dia harus menghitung ulang isi saldo e-wallet-nya. Jeane yang peka langsung menambahkan, “Tenang, Laura yang traktir.” “Lah, kok aku?!” protes Laura, refleks menatap mereka berdua. “Bercanda! Aku yang traktir Anin. Tapi kamu nggak ya, Lau.” Jeane kemudian menjulurkan lidah. “Anak orang kaya juga masih aja mau ditraktir minum kopi.” Laura mendelik, sementara Anindya hanya bisa geleng-geleng, tapi senyumnya muncul juga. Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di kafe yang dimaksud. Bangunan modern dengan dinding kaca besar itu tampak ramai, tapi tidak terlalu sesak. Aroma kopi segar langsung menyambut begitu pintu terbuka, bercampur dengan wangi pastry yang baru keluar dari oven. “Wah, tempatnya cozy banget! Kayak kafe-kafe di drama Korea!” seru Jeane takjub. Laura hanya mengangkat alis, meski sudut bibirnya sempat terangkat tipis. “Aku akui, ini lumayan.” Mereka memilih meja di dekat jendela besar. Setelah memesan minuman dan camilan, Jeane sibuk memotret interior kafe untuk diunggah ke media sosial. Laura malah sudah menyalakan laptopnya, tenggelam dalam rutinitas. Sedangkan Anindya hanya duduk sambil memeluk tasnya. Pandangannya menerawang. Pikirannya kembali ke kejadian semalam, lalu terhenti pada momen tak terduga ketika Sankara tersenyum padanya. Rasanya jantungnya belum benar-benar tenang sejak saat itu. “Anin, jangan bengong gitu. Posenya yang cantik dong, sekalian buat feed aku!” Jeane sudah mengarahkan kamera ponselnya. “Hah?!” Anindya terlonjak, buru-buru menutupi wajah. “Jeane, jangan–” Kring! Suara lonceng kecil di atas pintu kafe berdenting, menandakan ada pengunjung baru. Anindya refleks menoleh. Tiga pria masuk bersamaan, aura mereka langsung mencuri perhatian. Dua di antaranya terlihat mengenakan kemeja rapi dan membawa map dokumen tebal. Namun pria yang berjalan di tengah itu … Arvendra. Tidak seperti dua pria di sisinya, Arvendra mengenakan kemeja lengan panjang warna gelap yang digulung hingga siku, dipadu dengan rompi lapangan abu-abu yang mempertegas kesan profesionalnya. Di pinggangnya tergantung ID card dan measuring tape. Celana panjang hitam yang dia kenakan masih sedikit berdebu. Tanda jelas bahwa dia baru saja turun langsung ke proyek. Meski penampilannya jauh lebih kasual dibanding kedua pria tadi, wibawa Arvendra justru terasa paling mendominasi. Rambutnya sedikit berantakan karena angin luar ruangan, tetapi justru menambah kesan maskulin. Mata hazelnya yang tajam menyapu seisi ruangan. Hingga akhirnya, tatapan itu berhenti tepat di meja Anindya. Anindya membeku. Napasnya tercekat, tangannya mencengkeram erat ujung blouse yang dia kenakan. ‘Ya Tuhan … kenapa dia ada di sini?!’ batin Anindya panik. “Anin, kamu kenapa?” bisik Jeane, bingung melihat wajah sahabatnya berubah drastis.Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta
“Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend
“Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r
“Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk
“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja
“Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se