“Kamu serius mau ceraikan perempuan itu demi aku, Mas?” Suara itu terdengar cemas dan senang di saat bersamaan. Ia memeluk manja punggung pria yang tengah memakai kembali kemejanya.
“Sayang, aku belum bisa ceraikan Bian sekarang. Tapi, gugatan cerai ini akan buat dia takut setengah mati. Kamu tau sendiri dia itu nggak bisa apa-apa tanpa aku. Selama ini ayah mertuaku cuma percaya sama aku buat handle semua kerjaan penting di kantor. Dia nggak bisa apa-apa, Sayang. Gugatan cerai ini akan buat dia sadar sama posisi dan kemampuannya, dan nanti, dia pasti akan ngemis-ngemis buat minta aku batalin gugatan ini.” Dandy berbali, memeluk mesra gadis itu.
“Tapi kalau sampai ayah mertuamu tau hubungan kita gimana, Mas?”
“Kamu tenang aja, Sayang. Walaupun tau, dia nggak akan peduli. Baginya uang itu yang paling penting, dan lagi pula, selama ini dia juga punya banyak simpanan. Makanya, selama keadaan finansial perusahaan tetap terjaga, dia nggak akan pernah mengusik kehidupan pribadiku, walaupun itu berhubungan sama Bian.”
“Ah, syukurlah, aku takut banget kalau tiba-tiba mertuamu pecat kamu, dan kita jadi nggak punya uang.”
Dandy tersenyum lebar, lalu menjawil lembut hidung gadis itu.
“Kamu nggak usah khawatir, semuanya ada di tanganku. Masalah Bian ini akan segera kutangani.”
“Tapi kayaknya aku nggak bisa ngekos di sini lagi, Mas. Kamu lihat sendiri semalam orang-orang kosan pada ikut grebek kita. Aku malu.”
“Iya, Sayang, Mas ngerti. Gimana kalau nanti kita cari tempat baru buat kamu. Kamu pindah aja, lagian kosan ini juga nggak terlalu bagus kok.”
“Mas serius???”
Dandy tersenyum lebar dan mengangguk. Kepalanya sudah kembali memanas saat merasakan Nindi menempelkan tubuh tel*njangnya dengan sengaja.
“Ah, aku jadi makin sayang sama Mas. Nanti malam aku kasih servis yang terbaik lagi!” ujar gadis 22 tahun itu dengan kedipan nakal. “Oya, kemarin temanku cerita di apartment tempat dia ada yang kosong lho, Mas.”
“Apartment?”
Nindi mengangguk. “Iya, perabotannya sudah lengkap, dan dekat juga ke kampus. Fasilitasnya juga lengkap banget, kita jadi bisa bernang berdua malam-malam.”
Dandy tersenyum lebar membayangkan kata-kata Nindi. “Berapa sebulannya?”
“Mmmm, katanya sekitar 4 jutaan gitu, tapi kalau yang murah ada kok tipe studio, sekitar 3 jutaan. Ya, walaupun agak kecil.”
Dandy mempererat pelukannya. “Ya sudah ambil yang 4 juta aja.”
“Beneran, Mas?!”
“Benar dong! Apa sih yang nggak buat kamu.”
Nindi tersenyum sangat lebar, bukan main bahagianya ia. Akhirnya ia bisa pindah dari kontrakan kumuh itu dan memulai kehidupan yang indah. Ah, betapa beruntungnya ia.
“Tapi soal servis terbaik yang kamu bilang tadi, bagaimana kalau nggak perlu menunggu malam?” Dandy berbalik menghadap gadis itu. Matanya langsung menatap tubuh sempurna Nindi di dalam dekapannya.
“Eh, tapi Mas kan harus kerja sekarang,” ujar Nindi manja sebelum memekik saat Dandy membawa tubuhnya rebah kembali di atas ranjang.
***
Ponsel Bianca terus bergetar sejak pagi.
Video itu melesat viral dalam semalam. Berbagai komentar dilayangkan. Beberapa simpati kepada sang istri sah, beberapa lagi memaki marah.
Bianca tersenyum puas saat membaca kolom komentar pada video yang tersebar itu. Wajah pelakunya sengaja diburamkan sedikit, tidak nikmat rasanya kalau mereka langsung menerima hukuman sekaligus.
Senyuman sinis tersungging di wajah cantik Bianca. Harus sedikit demi sedikit, setipis mungkin, akan ia kuliti lapis demi lapis kebahagiaan mereka, hingga hanya tersisa tulang belulang penuh kesengsaraan.
Cerai?
Mereka pasti bercanda.
Itu adalah hal terakhir yang akan Bianca lakukan. Bagaimana mungkin ia akan membebaskan mereka begitu saja tanpa menghadiahkan sebuah pelajaran yang sangat penting.
Dan, pelajaran pertama itu dimulai saat ini.
Brak! Brak! Brak!
Bukan ketukan lagi, pintu itu kini mulai digebrak kasar. Tak lama suara menggelegar ibu mertuanya terdengar ke seluruh bagian rumah.
“Mana Bianca dan Dandy?” tanya Laksmi kepada asisten rumah Bianca di lantai satu.
Bianca tersenyum, menatap wajahnya yang sengaja dirias sepucat mungkin. Pakaiannya masih sama seperti pakaian yang ia kenakan di video penggerebekan suaminya semalam, meski sekarang sudah sangat berantakan. Seakan ia menangis semalaman.
“IBU!!!” teriak Bianca sambil berlari menuruni tangga dengan derai air mata mengalir deras. Ia langsung memeluk sang mertua. “Mas Dandy, Bu… Mas Dandy…,” tangisnya perih.
Laksmi mendesah lelah. “Jadi video itu benar-benar Dandy?” tanyanya tak percaya. Wajah pria itu memang diburamkan, tapi suaranya, bentuk tubuhnya, tidak mungkin ia tidak mengenali putranya sendiri.
Bianca meraung di dalam pelukan sang mertua. Tangisnya begitu menyayat hati.
“Bian harus gimana, Bu? Bian sayang banget sama Mas Dandy, tapi dia tega-teganya begini.”
“Sssst, kamu sabar dulu, Bi. Sekarang Dandynya mana?”
“Dia nggak pulang, Bu. Dia pasti masih nginap di kosan perempuan itu.”
Laksmi memijat pangkal hidungnya yang nyeri. Sejak dikirimi video itu oleh putrinya subuh tadi, kepala Laksmi terasa mau pecah.
“Kamu tenang dulu ya, Bi. Kita tunggu Dandy pulang dan tanya semuanya secara langsung. Jangan-jangan ini salah paham. Ibu tau banget dia sayang sama kamu.”
Tangis Bianca semakin menggema keras.
“Sudah, kamu jangan terus-terusan sedih begini. Pernikahan kalian sedang diuji, selama ini kan tenang banget. Mungkin Dandy sedikit khilaf, tapi ibu yakin itu cuma keisengan yang kelewat batas. Cintanya dia cuma buat kamu, Bi.”
Bianca masih menangis dalam pelukan mertuanya. “Tapi Bian tetap sakit hati, Bu.”
“Iya, Ibu ngerti. Tapi sekarang kamu harus tunjukin kedewasaan kamu. Kalau dia datang dan minta maaf, kamu harus maafin dia. Ibu sendiri yang akan pastikan dia nggak pernah begini lagi. Ibu akan marahi dia.”
Bianca mengangguk di tengah isaknya. “Makasih, Bu, kalau Ibu nggak ada Bianca mau berbakti sama siapa lagi. Ibu sudah Bian anggap sebagai ibu kandung Bian sendiri, tapi kalau Bian dan Mas Dandy bercerai, Bian nggak bisa berbakti lagi sama Ibu, semuanya pasti terputus.”
Kata-kata Bianca seakan menohok Laksmi.
Ia mempererat pelukannya kepada sang menantu. Tidak. Mereka tidak boleh bercerai. Seluruh kenikmatan yang ia miliki kini adalah karena Dandy menikah dengan salah satu putri pemilik perusahaan kecantikan yang terkenal. Kalau sampai mereka bercerai maka pemasukannya, kemewahan hidupnya, bahkan kartu kreditnya akan tak berfungsi lagi.
“Nggak, Bi. Nggak akan Ibu biarkan kamu bercerai dari Dandy,” janji Laksmi sungguh-sungguh.
Dalam pelukan mertuanya, Bianca tidak bisa berhenti tersenyum sinis.
Kau akan mati di tanganku, Mas.
***
2 Bulan Sebelumnya.BRAK! BRAK! BRAK!“BI! BUKA!” Tini berteriak panik di depan kamar Bianca. Ia melirik Sandra yang juga berwajah serius.“Sudah berapa lama Bianca di dalam?” tanya Sanda kepada Lia, asisten rumah tangga Bianca yang kini tampak pucat pasi. Ia meremas lap di tangannya, gemetar ketakutan.“Se… sekitar dua jam…,” ujar Lia gugup. Ia berusaha mengingat-ngingat kembali untaian kejadian sebelum majikannya membanting pintu kamar, lalu mengunci diri dan belum keluar lagi setelah itu.BRAK! BRAK! BRAK!“BIANCA, BUKA PINTUNYA!”Lagi-lagi Tini menggebrak pintu kamar Bianca yang masih tertutup rapat. Kedua tangannya sudah mulai memerah karena terlalu keras memukul pintu itu.Setelah menerima telepon panik dari Lia satu jam yang lalu, keduanya langsung bergegas berangkat ke rumah Bianca. Wanita itu sangat panik, ia menelepon sambil menangis, mengatak
“BIANCA!”Teriakan itu bergema marah. Dandy hartono, sang menantu yang digadang-gadang akan menggantikan mertuanya untuk menjadi direktur, datang dengan murka.Ia baru saja melihat video yang tengah viral di sosial media, dan sialnya, dia tau betul siapa yang berada di dalam video itu meski wajahnya disamarkan.“BIANCA!”Bianca muncul di anak tangga teratas.“Mas, akhirnya kamu pulang.” Bianca tidak bisa menahan air matanya saat melihat pria itu. Ia berlari menuruni tangga, lalu melompat ke dalam pelukan Dandy. “Akhirnya kamu pulang, Mas. Aku kangen kamu.”Namun, dengan kasar pria itu mendorong tubuh istrinya menjauh.“Mas?”“DIAM! KAMU KAN YANG SUDAH SEBAR VIDEO SEMALAM?! KAMU GILA, HAH?!” bentak Dandy geram. Ia mencengkram lengan istrinya, membuat lengan putih Bianca memerah seketika.“Video apa, Mas?” tanya Bianca dengan mata basah.
“Jadi sekarang kamu mau pindah ke apartmentnya si Jess?” Pertanyaan itu mengandung dengusan tak percaya.Nindi mengibaskan rambut panjangnya yang kini lebih terawat. “Iya, kita nanti jadi tetangga, iya kan, Jess?”Jessica tersenyum tipis. “Mungkin,” katanya sambil mengangkat bahu tak acuh.Mereka berempat sudah berteman sejak pertama kali masuk ke kampus, dan baik Jessica maupun Vira tau betapa miskinnya Nindi, ia mengandalkan beasiswa untuk kuliah. Tapi bagaimana mungkin tiba-tiba saja ia bisa pindah ke apartment yang lumayan mahal seperti tempat tinggal Jessica.“Ah, kamu memang hebat, Nin!” sorak Risti riang.Nindi tersenyum lebar. Sebentar lagi ia bisa membalas tatapan sebelah mata orang-orang atas label kemiskinannya.“Eh, tunggu ada telepon.” Nindi mengangkat ponselnya yang bergetar.“Cieee dari pacarmu, ya?” goda Risti, yang hanya dijawab dengan ke
PLAK! Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya. “B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi. Air mata Bianca jatuh berurai. “Aku minta maaf, Mas!” Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!” Sampah? Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu. “Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!” PLAK! Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras. “PEREMPUAN GILA
“Maaf, Kak, kartu ini sudah tidak bisa digunakan,” ujar seorang gadis muda yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Nggak bisa? Mbak salah kali. Kartu ini masih aktif kok, dan nggak akan expired!” ujar Dinda kesal. Ia menatap gadis resepsionis itu dengan tatapan sinis. Bisa-bisanya pegawai rendahan mencoba untuk mempermalukannya. Rissa menghela napas pelan, lalu mencoba kembali. “Maaf Kak, tetap tidak bisa,” ujar Rissa sesopan mungkin. “Heh, kamu anak baru, ya?! Kok nggak becus banget! Coba panggil pegawai lainnya yang lebih kompeten! Saya langganan di sini loh! Nggak mungkin kartu ini tiba-tiba nggak bisa dipakai!! Atau panggil manager kamu sekalian. Anak nggak becus kok ditaro di resepsionis. Nyusahin aja!” runtuk Dinda kesal. Salah satu temannya datang mendekat. “Kenapa, Din?” tanyanya bingung. “Nih, resepsionisnya b*go, begini aja nggak bisa!” maki Dinda kesal. Sena melirik ke meja resepsionis yang kosong. Tampaknya resepsionis
“Kamu mau kemana, Dan?” Langkah Dandy berhenti di depan ruang makan. Ia memperbaiki dasinya dengan santai, lalu menoleh ke meja makan, tempat Laksmi dan Bianca sarapan. “Aku mau ke kantor, Bu.” “Sepagi ini?” “Sarapan dulu, Mas,” panggil Bianca manis. Ia mengangkat piring Dandy, mengambil beberapa sendok nasi goreng buatan Lia untuk sarapan. Dandy menghela napas panjang. “Ada meeting, aku akan sarapan di kantor,” jawab Dandy seraya melanjutkan langkahnya. Wajah Bianca berubah sendu, lalu meletakan piring itu kembali ke atas meja. “Bi, Dandy kan lagi sibuk kerja, kamu jangan sedih, ya.” Laksmi menyentuh tangan menantunya, menunjukan empati yang terlalu berlebihan. “Yang penting kan sekarang Dandy sudah berubah. Dia selalu pulang ke rumah tepat waktu. Dia pasti sudah nggak ketemu sama perempuan murahan itu lagi. Jadi kamu nggak perlu cemas.” Bianca tersenyum tipis kepada kata-kata ibu mertuanya. “Iya, Bu, Bian ben
Beberapa tahun yang lalu.Sebuah keluarga bahagia menjalani sebuah pemotretan untuk menjadi sampul majalah. Ibu yang cantik, ayah yang gagah, dan dua putri yang begitu mempesona. Mereka menggunakan gaun berwarna emas, senada dengan sapu tangan yang tersemat di kantong jas sang ayah. Keempatnya tersenyum lebar di hadapan kamera, pun ketika masuk ke sesi wawancara.Tidak ada sedikitpun celah dari keluarga bahagia itu.Semuanya tampak sempurna.Setidaknya, sampai suatu hari si ibu ditemukan tewas setelah bunuh diri, melompat dari istananya sendiri.***Siang itu kantor mendadak riuh oleh kedatangan seorang anak magang yang baru. Belum apa-apa orang-orang sudah sibuk membicarakannya. Ia memang cantik dan s*ksi, tapi bukan itu yang membuat gunjingan mereka tak berhenti terdengar, melainkan kenyataan bahwa gadis itu turun dari mobil yang sama dengan manager manajemen mereka.Sera yang bertugas untuk menjelaskan r
BRAK!Indra menggebrak meja dengan kasar. “Apa kamu bilang? Si b*ngsat itu selingkuh?!” desis Indra marah. Beberapa pengunjung kafe melirik ke meja mereka, tapi Bianca tetap acuh dengan wajah sinisnya.“Si b*ngsat? bagus juga,” gumam Bianca senang. Akhirnya ia menemukan panggilan yang cukup pantas untuk pria itu.Indra mencengkram bahu Bianca. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa kamu diam aja?!”“Aku nggak diam aja, Kak.”Indra mendesis, bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di saat seperti ini?“Dan kenapa aku nggak bilang sama Kakak, karena aku tau Kakak akan begini. Sikap Kakak bisa saja akan merusak rencanaku.”Suara tenang Bianca membuat Indra terdiam. Kedua tangannya kembali jatuh, melepaskan sosok cantik itu.“Kakak pikir aku akan diam aja diselingkuhi dia?” Bianca bersidekap di kursinya, menatap jauh ke luar jendela. Lalu sebu