2 Bulan Sebelumnya.
BRAK! BRAK! BRAK!
“BI! BUKA!” Tini berteriak panik di depan kamar Bianca. Ia melirik Sandra yang juga berwajah serius.
“Sudah berapa lama Bianca di dalam?” tanya Sanda kepada Lia, asisten rumah tangga Bianca yang kini tampak pucat pasi. Ia meremas lap di tangannya, gemetar ketakutan.
“Se… sekitar dua jam…,” ujar Lia gugup. Ia berusaha mengingat-ngingat kembali untaian kejadian sebelum majikannya membanting pintu kamar, lalu mengunci diri dan belum keluar lagi setelah itu.
BRAK! BRAK! BRAK!
“BIANCA, BUKA PINTUNYA!”
Lagi-lagi Tini menggebrak pintu kamar Bianca yang masih tertutup rapat. Kedua tangannya sudah mulai memerah karena terlalu keras memukul pintu itu.
Setelah menerima telepon panik dari Lia satu jam yang lalu, keduanya langsung bergegas berangkat ke rumah Bianca. Wanita itu sangat panik, ia menelepon sambil menangis, mengatakan jika tiba-tiba saja majikannya terdengar berteriak di dalam kamar, lalu membanting segala sesuatu di dalam kamarnya.
“F*CK, BI! BUKA!” Kini Tini mulai gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang selalu Tini lakukan setiap merasa gelombang kepanikan.
PRANG!
Lagi-lagi suara bantingan terdengar keras sebagai jawaban dari teriakan Tini. Namun setidaknya itu membuat mereka tau jika Bianca masih hidup di dalam sana.
“Bi! Jangan sakiti diri sendiri! Let’s talk, okay?” Tini melirik Sandra lagi. “Kita bahkan nggak tau apa foto itu benar-benar Dandy atau bukan. Dia kan lagi ke Makasar katamu. Please Bi, jangan begini. Setidaknya kita harus cari tau dulu.”
PRANG!
Lagi-lagi suara sesuatu dibanting. Musik kencang yang diputar Bianca menyamarkan suara tangisan wanita itu. Namun mereka masih bisa mendengar raungannya dengan cukup jelas.
“Apa kita dobrak aja pintunya?” tanya Tini panik.
Satpam rumah Bianca berdiri gelisah di antara mereka. Jika ada yang harus mendobrak, maka ia lah yang harus melakukannya. Namun, selama ini ia belum pernah menghadapinya secara langsung. Terlebih lagi, ia takut menghadapi kemarahan Dandy jika mengetahui masalah ini.
“ARRGGGHHHH!” Lagi-lagi teriakan marah itu terdengar menyaingi kerasnya musik yang diputar. Lalu suara pecahan kaca kembali terdengar. Mereka yakin walking closet Bianca sudah hancur lebur sekarang.
“BI! Please. Kita bahkan nggak tau dia benar-benar selingkuh atau nggak. Mungkin mereka cuma teman, atau apalah. Ayo, Bi, buka dulu,” pinta Tini melembut. “Apa kita telepon tante Clara atau Shei aja?” tanyanya kepada Sandra.
Sandra menghela napas panjang, keduanya masih berada di Singapura saat ini. Kalaupun mereka bisa terhubung, akan membutuhkan banyak waktu sampai Clara atau Sheila datang.
“Kalau dia coba bunuh diri lagi kayak dulu, gimana?!”
Mendengar kata-kata bunuh diri, wajah Lia semakin pucat. Kalau sampai majikannya tewas bunuh diri, bukan tidak mungkin ia juga akan tamat. Ia semakin membeku ketakutan di tempatnya berdiri.
8 tahun yang lalu, ketika mereka masih kuliah, Bianca pernah sekali melakukan percobaan bunuh diri setelah putus cinta dengan senior mereka di kampus. Bianca yang impulsif sangat kecewa dengan keputusan sepihak itu. Ia menenggak habis cairan pembersih lantai, lalu berakhir di UGD.
“Kalau gitu, kita telepon polisi aja sekarang!”
Polisi? Tubuh Lia semakin gemetar ketakutan. Ia tidak menyangka buntut dari sikap majikannya akan separah ini.
Sandra masih terdiam, menimbang dengan wajah serius. Hal itu membaut Tini semakin kesal.
“FOR GOD SHAKE, SANDRA! JANGAN BILANG KITA MAU DIAM DAN TUNGGU DIA AJA?! KALAU DIA MATI DI DALAM GIMANA?!” teriak Tini kalut. “AYO DOBRAK AJA SEKARANG!” desak Tini tidak sabar lagi.
Namun, lagi-lagi tangan Sandra terulur untuk menahan wanita itu. Ia menggeleng pelan. “Kita tunggu 10 menit lagi.”
Tini ternganga tak percaya. “KAMU GILA?! KALAU KAYA DULU LAGI GIMANA?!” bentak Tini panik.
Sandra tau ketakutan Tini sangat beralasan. Ia juga sangat khawatir kepada sahabatnya. Terlebih ini sama saja mengorek trauma mendalam Bianca tentang perselingkuhan orang tuanya dulu. Namun, entah bagaimana ia tetap yakin jika Bianca akan keluar dari kamar itu setelah memuaskan seluruh amarahnya sendiri.
“BIANCA BUKA! ATAU AKU AKAN TELEPON AYAHMU KALAU KAMU NGGAK BUKA!”
Klik.
Pintu terbuka.
“Nggak perlu repot-repot. Dia nggak akan pernah datang.” Suara dingin Bianca membekukan teriakan kepanikan mereka semua.
Penampilan Bianca sudah sangat berantakan. wajahnya berlumur riasan yang luntur. Rambutnya kusut. Pakaiannya basah. Keadaan kamar di belakang punggungnya jauh lebih parah dari pada dugaan mereka.
Semuanya hancur tak bersisa. Potongan-potongan kain memenuhi lantai kamar, jelas itu adalah pakaian mahal Dandy yang digunting-gunting Bianca. Gorden ditarik lepas, ikut koyak tergunting dan terbakar. Kaca-kaca pecah berantakan, membaur bagai berlian dengan sisi runcing. Barang-barang lain bertaburan bagai pasir di pantai, hancur, pecah, dan hangus. Mereka semua bisa mencium bau gosong saat pintu kamar Bianca terbuka lebar.
Tak tok.
Suara langkah Bianca yang masih menggunakan sepatu hak tingginya menggema saat ia berjalan dengan anggun. Ia menyeret tongkat golf milik Dandy di tangannya. Jelas tongkat golf itu adalah senjata yang Bianca gunakan untuk menghancurkan kamarnya.
“Bi, kamu nggak apa-apa?” tanya Tini, wajahnya sudah sepucat mayat.
Bianca tidak menjawab. Mata indahnya mengerjap perlahan. Meski mereka bisa melihat jejak air mata Bianca, tapi tidak ada sisa kesedihan yang terlihat di kedua matanya. Tatapan itu begitu dingin dan tak terbaca.
Bianca menoleh pada sosok Lia yang mengkerut ketakutan. “Lia, bereskan semua. Panggil Handoyo untuk perbaiki yang rusak hari ini. Ganti semua, tapi harus dengan hal serupa, dan pastikan selesai sebelum suami saya pulang,” titah Bianca dingin.
Sandra tak berkedip saat melihat perubahan raut wajah Bianca. Ia pikir tidak ada yang lebih buruk dari kejadian beberapa tahun lalu saat gadis itu melakukan percobaan bunuh diri.
Namun, ternyata ia salah.
Hari ini, Bianca berubah menjadi sosok yang sangat asing di mata mereka. Gadis itu baru saja melepaskan iblis yang selama ini terkunci di dalam jiwanya.
“Ka… kamu nggak apa-apa, Bi?” tanya Tini sedikit ketakutan.
Senyuman miring perlahan muncul di wajah cantik Bianca. “Kamu bercanda? Aku nggak pernah merasa sebaik ini,” katanya, dan semua orang ditempat itu langsung membeku ngeri.
***
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR