“BIANCA!”
Teriakan itu bergema marah. Dandy hartono, sang menantu yang digadang-gadang akan menggantikan mertuanya untuk menjadi direktur, datang dengan murka.
Ia baru saja melihat video yang tengah viral di sosial media, dan sialnya, dia tau betul siapa yang berada di dalam video itu meski wajahnya disamarkan.
“BIANCA!”
Bianca muncul di anak tangga teratas.
“Mas, akhirnya kamu pulang.” Bianca tidak bisa menahan air matanya saat melihat pria itu. Ia berlari menuruni tangga, lalu melompat ke dalam pelukan Dandy. “Akhirnya kamu pulang, Mas. Aku kangen kamu.”
Namun, dengan kasar pria itu mendorong tubuh istrinya menjauh.
“Mas?”
“DIAM! KAMU KAN YANG SUDAH SEBAR VIDEO SEMALAM?! KAMU GILA, HAH?!” bentak Dandy geram. Ia mencengkram lengan istrinya, membuat lengan putih Bianca memerah seketika.
“Video apa, Mas?” tanya Bianca dengan mata basah.
“NGGAK USAH PURA-PURA KAMU! INI APA?!” Dandy menunjukkan video yang tengah viral di jagat maya dari ponselnya.
Bianca menatap video itu tak percaya. Air matanya semakin menetes deras. “Kenapa kamu tunjukkin itu lagi?! Kamu belum puas nyakitin aku?!”
Wajah Dandy benar-benar memerah marah. Rahangnya mengeras. Ia menarik kasar tubuh Bianca.
“Jangan main-main kamu, Bi. Ini pasti ulah kamu dan teman-teman kamu.”
“Bukan aku, Mas! Bukan aku!” teriak Bianca terluka. “Sandra memang rekam kejadian ini semalam, tapi sudah kuhapus! Aku muak lihat kamu sama dia! Aku benci!”
Dandy mendorong wanita itu hingga terjatuh ke atas sofa. Bianca menangis terisak sambil mengusap tangannya yang memerah.
“Kamu pulang cuma karena video ini? Kamu bukan mau ketemu aku?”
Dandy mendengus sinis. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Bianca, hingga Bianca bisa mencium aroma tembakau dari mulut itu dengan jelas.
“Jangan mimpi, Bi, aku sudah bilang semalam, aku akan ceraikan kamu.”
Pria itu tersenyum puas saat melihat wajah Bianca yang memucat. Betapa lemahnya wanita itu. Sebentar lagi ia pasti akan bersimpuh di kakinya, memohon untuk membatalkan rencana perceraian itu. Walau bagaimana pun, Bianca yang bodoh tidak akan mampu hidup tanpanya.
“Aku bosan sama kamu. Aku muak. Aku akan ceraikan kamu!”
“MAS!” teriak Bianca keras. “Kamu lebih pilih perempuan itu dari pada aku istri sah kamu? Apa kurangku, Mas?”
“Kamu itu flat, Bi. Hidupku sama kamu benar-benar nggak menarik.”
“Tapi aku istri sah kamu, Mas! Aku nggak mau cerai dari kamu!”
Nah. Dandy tersenyum puas. Lihat kan betapa mudahnya mendengar kata-kata itu. Namun, ego lelaki Dandy masih belum puas jika tidak melihat wanita itu bersimpuh di atas kakinya. Dia harus tau tempatnya berdiri sekarang.
“Mas, aku akan berubah, tapi tolong jangan ceraikan aku,” isak Bianca panik.
“Oke. Aku nggak akan menceraikan kamu, tapi aku akan menikahi Nindi.”
“MAS!”
“SIAPA YANG IZINKAN KAMU MENIKAH LAGI, DANDY?” Suara itu mengejutkan Dandy. Ia melompat kaget, wajahnya memucat seketika.
Ia memang pria br*ngsek, suami yang buruk, tapi seorang Dandy hartono akan bertekuk lutut di hadapan ibunya. Jika ada orang yang paling ditakuti Dandy, maka itu adalah ibunya sendiri, Laksmi.
“I- Ibu? Kenapa Ibu ada di sini?” tanyanya panik.
“Kenapa kamu nggak jawab Ibu, Dan? Siapa yang izinkan kamu menikah lagi?”
Sh*t! Dandy menatap Bianca marah. Pasti wanita itu yang sudah membawa ibunya ke rumah mereka dan mengarang cerita tentang perselingkuhan Dandy dan Nindi.
Bagai kucing kecil yang disiram air, ia kini tampak mengerut di tempatnya.
“Berani-beraninya kamu mau ceraikan Bian!” bentak Laksmi.
“Bu, jangan salah paham.”
Laksmi berjalan dengan langkah marah.
“Bukannya minta maaf, kamu malah pilih perempuan murahan itu dan cerai dari istri sah kamu, hah?!”
“Bu, ini nggak seperti yang ibu pikirin, dan Nindi perempuan baik-baik, Bu.”
Bianca berlari memeluk mertuanya sambil menangis. “Mas Dandy lebih memilih perempuan itu, Bu,” isaknya perih, membuat wajah Laksmi berubah semakin marah.
“Mana ada perempuan baik-baik yang mau sama laki-laki beristri, Dan?! Dia itu cuma manfaatin kamu doang! Dia deketin kamu demi uang!”
“Bu!”
“BERHENTI! Jangan membantah lagi, Dandy! Mulai sekarang kamu harus tinggalin perempuan murahan itu! Kamu harus perbaiki hubunganmu sama Bianca. Ibu nggak mau dengar kamu main perempuan lagi. Dan sampai kapan pun Ibu nggak akan mengizinkan kamu menceraikan Bianca!”
Sejujurnya, Dandy juga tidak berniat benar-benar menceraikan wanita itu, setidaknya sebelum ia mendapatkan jabatan direktur di perusahaan keluarga Bianca. Namun, ia tidak pernah menyangka jika ibunya sendiri yang akan datang menentang.
“Berhenti temui perempuan itu! Mulai sekarang kamu harus langsung pulang ke rumah setiap dari kantor. Ibu sendiri yang akan pantau kalian. Mulai hari ini, ibu akan tinggal di rumah ini.”
“Ibu…,” tangis Bianca penuh haru. Hatinya bersorak puas melihat wajah Dandy yang dipenuhi hasrat membunuh.
***
“Jadi Mas nggak bisa ke tempatku lagi sekarang?” Nindi terdengar panik dan sedih di telepon saat Dandy menelepon ke esokan harinya di kantor.
“Maaf, Sayang. Ibuku ada di rumah. Perempuan s*alan itu bawa Ibuku. Aku nggak bisa pergi seenaknya.” Dandy meninju dinding di hadapannya.
“Tapi gimana kalau aku kangen kamu, Mas? Gimana kalau aku mau ketemu kamu. Aku juga butuh kamu, Mas.” Rintih manja Nindi membuat dada Dandy terbusung bangga. Ini lah yang dibutuhkan seorang pria. Pengakuan dan hasrat.
Bersama Nindi, ia kembali menemukan martabatnya sebagai pria. Gadis itu akan menuruti seluruh kata-katanya, membutuhkannya, dan selalu memiliki ribuan cara untuk memuaskannya.
“Kamu tenang aja, Sayang, kalau kita nggak bisa ketemu di luar jam kantor, kenapa kita nggak ketemu di dalam kantor?”
“Maksud kamu?”
“Kamu selalu bilang mau magang di perusahaan besar, kan? Apa kantorku sudah cukup besar?”
“Astagaa! Aku boleh magang di sana?!” pekik Nindi riang.
Dandy tersenyum puas. Membayangkan gadis itu menggunakan pakaian kantor yang s*ksi ternyata menarik juga. Ia juga bisa memenuhi semua fantasinya selama ini.
“Aku nggak sabar, Mas!” teriak Nindi penuh semangat.
“Aku juga nggak sabar ketemu kamu, aku kangen kamu.”
“Aku juga kangen kamu, Mas. Sampai ketemu nanti!” ujar Nindi, lalu menutup teleponnya. Keriangan yang tadi terdengar perlahan memudar, tergantikan raut panik yang merayapi wajahnya perlahan-lahan.
Ia melirik wanita yang duduk di seberangnya dengan tatapan takut.
Wanita itu tersenyum puas. Wajah cantiknya memang tidak berubah, tapi ekspresinya sangat berbeda dengan saat pertama kali ia melihatnya. Tidak ada air mata, tidak ada rintihan kekecewaan, tidak ada makian.
Sosok itu hanya tersenyum sambil menyesap pelan teh di tangannya. “Good girl,” bisiknya pelan, tapi bisa membuat Nindi sesak ketakutan.
Pria itu salah, istrinya bukanlah wanita yang lemah. Ia adalah ular berbisa yang bisa membunuh dalam sekali entakkan.
***
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR