Share

BAB 5 - Harga Perempuan Simpanan Suamiku

“Jadi sekarang kamu mau pindah ke apartmentnya si Jess?” Pertanyaan itu mengandung dengusan tak percaya.

Nindi mengibaskan rambut panjangnya yang kini lebih terawat. “Iya, kita nanti jadi tetangga, iya kan, Jess?”

Jessica tersenyum tipis. “Mungkin, katanya sambil mengangkat bahu tak acuh.

Mereka berempat sudah berteman sejak pertama kali masuk ke kampus, dan baik Jessica maupun Vira tau betapa miskinnya Nindi, ia mengandalkan beasiswa untuk kuliah. Tapi bagaimana mungkin tiba-tiba saja ia bisa pindah ke apartment yang lumayan mahal seperti tempat tinggal Jessica.

“Ah, kamu memang hebat, Nin!” sorak Risti riang.

Nindi tersenyum lebar. Sebentar lagi ia bisa membalas tatapan sebelah mata orang-orang atas label kemiskinannya.

“Eh, tunggu ada telepon.” Nindi mengangkat ponselnya yang bergetar.

“Cieee dari pacarmu, ya?” goda Risti, yang hanya dijawab dengan kedipan centil oleh Nindi.

Ia mengangkat teleponnya sambil berjalan menuruni tangga. Suara baritone pria di seberang sana menyapanya penuh kasih, membuat Nindi tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Ia menelusuri lorong-lorong kampus yang cukup ramai, lalu memasuki restoran cepat saji di depan kampusnya, memesan segelas kopi.

“Jadi Mas nggak bisa ke tempatku lagi sekarang?” Suaranya berubah panik saat mendengar penuturan pria itu. Jangan sampai kejadian kemarin membuat hubungan mereka merenggang sekarang. Ia sudah mengatakan kepada teman-temannya jika ia akan pindah ke apartment Jessica. Kalau sampai tidak jadi mereka pasti akan semakin menertawainya.

“Kamu tenang aja, Sayang, kalau kita nggak bisa ketemu di luar jam kantor, kenapa kita nggak ketemu di dalam kantor?”

“Maksud kamu?”

“Kamu selalu bilang mau magang di perusahaan besar, kan? Apa kantorku sudah cukup besar?”

“Astagaa! Aku boleh magang di sana?!” Nindi melompat kegirangan, membuat gadis di balik kasir dengan kopi pesanannya menaikkan alis kaget.

Ini jauh lebih baik dari perkiraannya. Terbayang betapa iri teman-temannya jika tau ia bisa magang di kantor sebesar itu. Nindi mengambil kopinya, lalu memberikan kartu kredit dari pria itu kepada kasir.

Hidupnya benar-benar berubah jauh lebih baik sekarang. Tidak rugi ia pergi ke luar kota untuk mencari peruntungan yang baru. Gadis cantik dan pintar sepertinya memang tidak seharusnya terkurung di dalam kampung kecil tanpa harapan itu.

“Aku juga kangen kamu, Mas. Sampai ketemu nanti!” ujar Nindi manja. Namun, ketika ia berbalik, wajah cantik yang tadinya begitu riang kini mulai memucat.

Perempuan itu…

Nindi mengerut ngeri saat menyadari keberadaan seorang wanita di meja belakangnya. Wanita itu menggunakan kaca mata hitam yang trendi, dengan dandanan yang begitu elegan dan cantik. Ia menyesap perlahan teh di gelasnya, seakan menikmati setiap tetesan  tehnya dengan begitu nikmat.

Ketika bibirnya tersenyum miring, Nindi tau mata di balik kaca hitam itu terus memperhatikannya sejak tadi.

Nindi menggenggam erat ponselnya. Detak jantungnya mulai berlompatan tak karuan. Bagaimana mungkin wanita itu tau kampusnya?

Good girl, have a seat.” Tangan wanita itu terulur, meminta Nindi duduk di depan mejanya yang kosong.

Menimbang sejenak, haruskah ia lari atau menuruti kata-kata wanita itu.

Padahal kemarin, saat pertama kali mereka bertemu, ia terlihat begitu rapuh dan bodoh. Namun mengapa hari ini penampilannya sangat jauh berbeda? Ada aura misterius yang muncul setiap kali wajah itu tersenyum.

Nindi duduk di kursi kosong di hadapan wanita itu dengan tangan sedikit gemetar.

“Lumayan juga kampusmu,” ujar wanita itu sambil menatap keluar jendela besar restoran.

“Kenapa kamu cari aku?”

Wanita itu mendengus sinis. “Saya cuma jalan-jalan, siapa sangka saya ketemu kamu di sini.”

Itu adalah kebohongan yang sangat nyata. Apa wanita itu pikir Nindi begitu bodoh?

“Kalau kamu mau bahas soal malam itu, silakan tanya suamimu, aku nggak mau ikut campur.” Nindi bangkit berdiri, tapi wanita itu langsung mengangkat telunjuknya, meminta gadis itu diam di tempat.

Bianca tersenyum sinis. Bisa-bisanya ia bilang tidak mau ikut campur.

“Ups, mungkin saya salah orang, seharusnya video itu nggak perlu diblur.”

Nindi tersentak. Itu jelas sebuah ancaman.

Bianca tersenyum puas saat Nindi duduk kembali.

“Jadi sejauh apa hubunganmu dengan suami saya?”

Nindi terdiam.

“Kamu nggak bisa jawab? Saya pikir anak yang mendapat beasiswa pasti pintar bicara.”

Nindi melotot, wanita itu pasti sudah menyelidiki latar belakangnya sekarang.

“Apa suami saya setampan itu? Padahal saya lihat banyak banget mahasiswa-mahasiswa yang jauh lebih tampan dari suami saya. Atauu… jangan-jangan apa karena isi dompet suami saya?”

Bianca tersenyum sinis melihat kemarahan di mata gadis itu.

“Padahal kamu cantik, pintar, dan berprestasi. Tapi ternyata kamu nggak jauh lebih baik dari sampah.”

Wajah Nindi mulai memerah marah. Ia meremas gelas kopinya. “Kayaknya aku tau kenapa Mas Dandy benci kamu. Kamu sombong, dan jahat.”

Bianca mendengus. Bagaimana mungkin ia menjadi pihak yang jahat padahal gadis itu yang merebut suaminya.

“Kalau kamu mau tau semuanya silakan tanya suami kamu sendiri. Dan kalau kamu marah sama hubungan kami, ceraikan saja Mas Dandy. Gampang kan?” Nindi kembali berdiri. “Karena asal kamu tau, bukan aku yang merayu Mas Dandy terlebih dulu, tapi Mas Dandy yang datang sendiri. Dan sekarang, setelah lihat kamu secara langsung, aku tau, sampai kapan pun Mas Dandy nggak akan bisa kembali sama kamu, karena kamu benar-benar nggak bisa menghargai orang lain.”

Omongan tidak masuk akal macam apa itu?

“Oke, aku akan belajar menghargai orang lain. Jadi, berapa harga untuk masuk ke balik rokmu?”

Byur!

Nindi menyiram kopinya ke wajah Bianca dengan marah. Beberapa orang yang melihat langsung membeku, terkejut bukan main.

“Wow.” Bianca berdiri, membiarkan tetesan kopinya menetes perlahan ke lantai.

Seorang pramusaji berlari menghampiri meja mereka, bersiap melerai kalau-kalau ada perkelahian.

Nindi mengentakkan kaki, lalu berjalan ke pintu, tapi belum sempat ia membuka pintu restoran itu, Bianca memanggilnya kembali.

“Hei!” teriak Bianca, menghentikan langkah Nindi.

Dalam sekali gerakan, Bianca menyiramkan seember air bekas mengepel lantai yang berwarna dan beraroma pekat. Teriakkan langsung terdengar saat cairan bau itu membasahi seluruh tubuh Nindi.

“Ups, maaf, kepeleset.” Bianca bersidekap puas melihat hasil karyanya yang sempurna. Ia meletakan ember itu, lalu meraih beberapa lembar uang berwarna merah dari tas tangannya, memberikan kepada pelayan yang ternganga di sampingnya. “Buat tip untuk orang yang akan membersihkan sampah ini. Maaf ya sudah mengganggu kalian, dan terima kasih,” ujarnya dengan senyuman manis yang anggun.

Ia berjalan melewati Nindi yang kini mematung malu di tempatnya. Langkah wanita itu terhenti sejenak, lalu menatap tajam gadis itu. “Watch your mouth, b*tch!” desis Bianca sebelum melenggang ke luar restoran dengan dagu terangkat tinggi.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Haha...pantas kamu Nindi bersanding dengan air kotor dn sampah² itu
goodnovel comment avatar
Iren Rogate
harga bagi wanita yang tak berarti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status