Share

BAB 6 - Harga Perempuan Suamiku (2)

PLAK!

Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya.

“B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi.

Air mata Bianca jatuh berurai.

“Aku minta maaf, Mas!”

Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!”

Sampah?

Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu.

“Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!”

PLAK!

Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras.

“PEREMPUAN GILA! PELAJARAN?! KAMU YANG HARUSNYA DIKASIH PELAJARAN!” Dandy mencengkram erat tubuh wanita yang begetar karena tangis itu. “KAMU ITU GILA! S*NTING! AKU MUAK SAMA KAMU!” Dandy membanting tubuh wanita itu hingga terjatuh ke lantai.

“MAS! Jangan pergi, Mas! Aku minta maaf! Aku akan berubah sesuai kemauanmu, tapi tolong jangan temui perempuan itu lagi!!!” Bianca menahan kaki Dandy dengan tubuhnya saat pria itu membuka pintu kamar dengan kasar.

Dandy menarik kepala Bianca menjauh. “Minggir, br*ngsek!” desisnya sambil mengentak tubuh Bianca. 

“MAS!!!” teriak Bianca dengan isak histeris. Namun, pria itu tidak pernah memedulikannya. Ia berjalan dengan langkah lebar. Diam-diam ia bersyukur karena hari ini ibunya pergi berbelanja, jadi ia bisa melampiaskan kemarahannya kepada perempuan itu.

Tadi siang, ketika ia mendapat telepon dari Nindi yang menangis terisak, ia sama sekali tidak bisa menahan emosinya. Dandy langsung bergegas pulang ke rumah untuk memberi pelajaran kepada istrinya.

Dan kini, ia sudah puas, meski tangannya sedikit memerah karena terlalu keras menampar.

***

“IBU!” sepeninggalan pria itu, Lia berlari histeris melihat majikannya terbaring di depan pintu sambil menutup wajah. “Ibu? Ibu nggak apa-apa?” tanyanya panik. Tadi, Bianca memang sudah memintanya tetap diam di dapur, tidak peduli apa pun yang ia dengar dari lantai dua, ia tetap tidak boleh datang.

Namun, siapa sangka semuanya bisa separah ini?

Andai tau begitu, Lia pasti tetap akan naik ke lantai 2 dan menghentikan kegilaan Dandy.

“Saya akan telepon ambulans,” isak Lia sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, tapi gerakan wanita itu langsung berhenti saat Bianca menyentuh tangannya.

“HAHAHAHAHA.” Tawa menggelegar majikannya membuat Lia tersentak kaget. Ia terjatuh duduk dengan wajah panik.

Bianca bangkit, meraba luka di ujung bibirnya. Darah merah menempel di ujung ibu jarinya. Ia menyentuh rambutnya yang berantakan. “Sempurna,” desisnya dengan senyuman misterius.

“Ibu. Ibu nggak apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit.”

Bianca tersenyum tipis. “Ayo, saya butuh visum sekarang.”

“Ibu mau laporin Pak Dandy?” tanya Lia cemas.

Bianca menggeleng dan tersenyum. “Ini bukan untuk laporan, Lia, tapi untuk koleksi pribadi. Kamu nggak perlu khawatir.”

Getaran ponsel di sakunya membuat Bianca mengernyit. Telepon dari Sera, sekretaris suaminya.

“Halo, Bu Bianca, Pak Dandy pesan tas.”

Ah. Ternyata ia ingin menyenangkan hati anjingnya yang baru Bianca injak-injak.

Jelas tas itu tidak mungkin untuk dirinya, bukan?

“Oke, kasih ke Madame Lea.”

“Tapi, Bu.” Sera terdengar ragu. Walau bagaimana pun, jika Dandy tau ia memberikan tas palsu, pria itu pasti akan memecatnya.

“Mmmm… aku sudah bilang aku akan menjamin keselamatan dan pekerjaan kamu. Atau, mungkin kamu mau suamimu tau kalau kamu tidur dengan bosmu?”

Suara Sera berubah gemetar di seberang telepon. “Iya, Bu, saya mengerti, saya akan lakukan sesuai intruksi Ibu.”

Bianca tersenyum puas, lalu menutup teleponnya. “Sampai di mana kita tadi?” tanya Bianca kepada Lia yang kini memucat di sampingnya. “Oiya, kita harus melakukan visum untuk koleksi saya. Kita nggak pernah tau kapan membutuhkannya, kan? Dan kalau sampai saatnya datang, saya sudah siap membunuh lintah-lintah pengkhianat itu, Lia.”

Lia menunduk ketakutan.

“Tapi bukan kematian yang instan, pengkhianat itu harus mati perlahan-lahan di tangan saya,” tambahnya dingin. Aura gelap yang mengelilingi sosok Bianca membuat asisten rumah tangga itu kian sesak.

“Relax, Li. Kamu nggak perlu khawatir. Saya Cuma buat perhitungan sama para pengkhianat, bukan orang-orang yang berdiri di pihak saya. Kamu nggak perlu takut. Dan kalau kamu bingung kenapa selama ini saya diam aja, itu bukan saya nggak tau, Lia.”

Bianca menuruni tangga. Suara ketukan sepatu hak tingginya memenuhi seisi rumah. “Saya selalu tau, tapi saya menunggu waktu yang tepat buat mematahkan tulang-tulang mereka.” Bianca berbalik dengan senyuman manis. “Apa pun itu pasti lebih enak dilumat setelah matang, kan?” tanyanya, dan Lia hanya bisa mengangguk singkat dalam ketakutannya.

***

“Astagaaaa… ini kan tas keluaran terbaru itu! Kok kamu punya?!” Risti terkagum-kagum saat melihat Nindi keesokan harinya. Terlebih ketika ia melihat tas selempang dengan brand ternama di bahu gadis itu. “Kamu beli ini, Nin?” tanya Risti takjub. Suara kerasnya membuat orang-orang melirik penasaran kea rah mereka.

“Hadiah,” jawab Nindi kalem.

“HADIAH? INI SIH GILA! Pacarmu keren banget! Ini mahal dan limited edition loh!!!!”

Nindi tersenyum puas.

Jessica dan Vira datang tidak lama. Keduanya langsung melempar pandag saat melihat tas baru Nindi.

“Jess! Lihat deh, ini kan tas yang kamu mau itu kan??? Wah kamu keduluan Nindi, Jess. Dia baru aja dikasih hadiah sama pacarnya!” Risti memberikan pengumuman dengan senang hati. Beberapa anak mulai berbisik-bisik iri.

Jessica menatap lekat tas itu. “Bukan kok, aku bukan mau yang ini, Ris,” katanya, tersenyum simpul.

“Ish, ini kan yang kemarin kamu kirimin fotonya itu, Jess! Nih aku masih simpen fotonya!” Risti mengambil ponsel dari dalam tas. Lalu menunjukkan foto yang dikirimkan Jessica beberapa hari yang lalu ke grup chat mereka.

“Iya, aku mau yang itu,” ujar Jessica, membuat kening Risti berkerut dalam. “Maaf ya, Nin. Iya, Ris, aku mau yang itu, yang asli, bukan fake begini,” ujar Jessica sambil melirik tas Nindi dengan tatapan aneh.

“INI FAKEEE??” pekik Risti kencang. Lagi-lagi membuat orang-orang tertarik kepada meja mereka.

Jessica mengangguk sungguh-sungguh. “Mungkin Nindi nggak tau karena nggak pernah pegang yang asli selama ini. Tapi tas kamu benar-benar palsu, bahkan entah KW berapa.”

Vira tidak bisa menyembunyikan senyuman gelinya, terlebih saat ia melihat Nindi melenggang ke luar kelas dengan wajah semerah tomat.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
haha...sukurin lo dapet kw
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Hahahahaha emang enak dapet Kw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status