PLAK!
Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya.
“B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi.
Air mata Bianca jatuh berurai.
“Aku minta maaf, Mas!”
Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!”
Sampah?
Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu.
“Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!”
PLAK!
Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras.
“PEREMPUAN GILA! PELAJARAN?! KAMU YANG HARUSNYA DIKASIH PELAJARAN!” Dandy mencengkram erat tubuh wanita yang begetar karena tangis itu. “KAMU ITU GILA! S*NTING! AKU MUAK SAMA KAMU!” Dandy membanting tubuh wanita itu hingga terjatuh ke lantai.
“MAS! Jangan pergi, Mas! Aku minta maaf! Aku akan berubah sesuai kemauanmu, tapi tolong jangan temui perempuan itu lagi!!!” Bianca menahan kaki Dandy dengan tubuhnya saat pria itu membuka pintu kamar dengan kasar.
Dandy menarik kepala Bianca menjauh. “Minggir, br*ngsek!” desisnya sambil mengentak tubuh Bianca.
“MAS!!!” teriak Bianca dengan isak histeris. Namun, pria itu tidak pernah memedulikannya. Ia berjalan dengan langkah lebar. Diam-diam ia bersyukur karena hari ini ibunya pergi berbelanja, jadi ia bisa melampiaskan kemarahannya kepada perempuan itu.
Tadi siang, ketika ia mendapat telepon dari Nindi yang menangis terisak, ia sama sekali tidak bisa menahan emosinya. Dandy langsung bergegas pulang ke rumah untuk memberi pelajaran kepada istrinya.
Dan kini, ia sudah puas, meski tangannya sedikit memerah karena terlalu keras menampar.
***
“IBU!” sepeninggalan pria itu, Lia berlari histeris melihat majikannya terbaring di depan pintu sambil menutup wajah. “Ibu? Ibu nggak apa-apa?” tanyanya panik. Tadi, Bianca memang sudah memintanya tetap diam di dapur, tidak peduli apa pun yang ia dengar dari lantai dua, ia tetap tidak boleh datang.
Namun, siapa sangka semuanya bisa separah ini?
Andai tau begitu, Lia pasti tetap akan naik ke lantai 2 dan menghentikan kegilaan Dandy.
“Saya akan telepon ambulans,” isak Lia sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, tapi gerakan wanita itu langsung berhenti saat Bianca menyentuh tangannya.
“HAHAHAHAHA.” Tawa menggelegar majikannya membuat Lia tersentak kaget. Ia terjatuh duduk dengan wajah panik.
Bianca bangkit, meraba luka di ujung bibirnya. Darah merah menempel di ujung ibu jarinya. Ia menyentuh rambutnya yang berantakan. “Sempurna,” desisnya dengan senyuman misterius.
“Ibu. Ibu nggak apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit.”
Bianca tersenyum tipis. “Ayo, saya butuh visum sekarang.”
“Ibu mau laporin Pak Dandy?” tanya Lia cemas.
Bianca menggeleng dan tersenyum. “Ini bukan untuk laporan, Lia, tapi untuk koleksi pribadi. Kamu nggak perlu khawatir.”
Getaran ponsel di sakunya membuat Bianca mengernyit. Telepon dari Sera, sekretaris suaminya.
“Halo, Bu Bianca, Pak Dandy pesan tas.”
Ah. Ternyata ia ingin menyenangkan hati anjingnya yang baru Bianca injak-injak.
Jelas tas itu tidak mungkin untuk dirinya, bukan?
“Oke, kasih ke Madame Lea.”
“Tapi, Bu.” Sera terdengar ragu. Walau bagaimana pun, jika Dandy tau ia memberikan tas palsu, pria itu pasti akan memecatnya.
“Mmmm… aku sudah bilang aku akan menjamin keselamatan dan pekerjaan kamu. Atau, mungkin kamu mau suamimu tau kalau kamu tidur dengan bosmu?”
Suara Sera berubah gemetar di seberang telepon. “Iya, Bu, saya mengerti, saya akan lakukan sesuai intruksi Ibu.”
Bianca tersenyum puas, lalu menutup teleponnya. “Sampai di mana kita tadi?” tanya Bianca kepada Lia yang kini memucat di sampingnya. “Oiya, kita harus melakukan visum untuk koleksi saya. Kita nggak pernah tau kapan membutuhkannya, kan? Dan kalau sampai saatnya datang, saya sudah siap membunuh lintah-lintah pengkhianat itu, Lia.”
Lia menunduk ketakutan.
“Tapi bukan kematian yang instan, pengkhianat itu harus mati perlahan-lahan di tangan saya,” tambahnya dingin. Aura gelap yang mengelilingi sosok Bianca membuat asisten rumah tangga itu kian sesak.
“Relax, Li. Kamu nggak perlu khawatir. Saya Cuma buat perhitungan sama para pengkhianat, bukan orang-orang yang berdiri di pihak saya. Kamu nggak perlu takut. Dan kalau kamu bingung kenapa selama ini saya diam aja, itu bukan saya nggak tau, Lia.”
Bianca menuruni tangga. Suara ketukan sepatu hak tingginya memenuhi seisi rumah. “Saya selalu tau, tapi saya menunggu waktu yang tepat buat mematahkan tulang-tulang mereka.” Bianca berbalik dengan senyuman manis. “Apa pun itu pasti lebih enak dilumat setelah matang, kan?” tanyanya, dan Lia hanya bisa mengangguk singkat dalam ketakutannya.
***
“Astagaaaa… ini kan tas keluaran terbaru itu! Kok kamu punya?!” Risti terkagum-kagum saat melihat Nindi keesokan harinya. Terlebih ketika ia melihat tas selempang dengan brand ternama di bahu gadis itu. “Kamu beli ini, Nin?” tanya Risti takjub. Suara kerasnya membuat orang-orang melirik penasaran kea rah mereka.
“Hadiah,” jawab Nindi kalem.
“HADIAH? INI SIH GILA! Pacarmu keren banget! Ini mahal dan limited edition loh!!!!”
Nindi tersenyum puas.
Jessica dan Vira datang tidak lama. Keduanya langsung melempar pandag saat melihat tas baru Nindi.
“Jess! Lihat deh, ini kan tas yang kamu mau itu kan??? Wah kamu keduluan Nindi, Jess. Dia baru aja dikasih hadiah sama pacarnya!” Risti memberikan pengumuman dengan senang hati. Beberapa anak mulai berbisik-bisik iri.
Jessica menatap lekat tas itu. “Bukan kok, aku bukan mau yang ini, Ris,” katanya, tersenyum simpul.
“Ish, ini kan yang kemarin kamu kirimin fotonya itu, Jess! Nih aku masih simpen fotonya!” Risti mengambil ponsel dari dalam tas. Lalu menunjukkan foto yang dikirimkan Jessica beberapa hari yang lalu ke grup chat mereka.
“Iya, aku mau yang itu,” ujar Jessica, membuat kening Risti berkerut dalam. “Maaf ya, Nin. Iya, Ris, aku mau yang itu, yang asli, bukan fake begini,” ujar Jessica sambil melirik tas Nindi dengan tatapan aneh.
“INI FAKEEE??” pekik Risti kencang. Lagi-lagi membuat orang-orang tertarik kepada meja mereka.
Jessica mengangguk sungguh-sungguh. “Mungkin Nindi nggak tau karena nggak pernah pegang yang asli selama ini. Tapi tas kamu benar-benar palsu, bahkan entah KW berapa.”
Vira tidak bisa menyembunyikan senyuman gelinya, terlebih saat ia melihat Nindi melenggang ke luar kelas dengan wajah semerah tomat.
***
“Maaf, Kak, kartu ini sudah tidak bisa digunakan,” ujar seorang gadis muda yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Nggak bisa? Mbak salah kali. Kartu ini masih aktif kok, dan nggak akan expired!” ujar Dinda kesal. Ia menatap gadis resepsionis itu dengan tatapan sinis. Bisa-bisanya pegawai rendahan mencoba untuk mempermalukannya. Rissa menghela napas pelan, lalu mencoba kembali. “Maaf Kak, tetap tidak bisa,” ujar Rissa sesopan mungkin. “Heh, kamu anak baru, ya?! Kok nggak becus banget! Coba panggil pegawai lainnya yang lebih kompeten! Saya langganan di sini loh! Nggak mungkin kartu ini tiba-tiba nggak bisa dipakai!! Atau panggil manager kamu sekalian. Anak nggak becus kok ditaro di resepsionis. Nyusahin aja!” runtuk Dinda kesal. Salah satu temannya datang mendekat. “Kenapa, Din?” tanyanya bingung. “Nih, resepsionisnya b*go, begini aja nggak bisa!” maki Dinda kesal. Sena melirik ke meja resepsionis yang kosong. Tampaknya resepsionis
“Kamu mau kemana, Dan?” Langkah Dandy berhenti di depan ruang makan. Ia memperbaiki dasinya dengan santai, lalu menoleh ke meja makan, tempat Laksmi dan Bianca sarapan. “Aku mau ke kantor, Bu.” “Sepagi ini?” “Sarapan dulu, Mas,” panggil Bianca manis. Ia mengangkat piring Dandy, mengambil beberapa sendok nasi goreng buatan Lia untuk sarapan. Dandy menghela napas panjang. “Ada meeting, aku akan sarapan di kantor,” jawab Dandy seraya melanjutkan langkahnya. Wajah Bianca berubah sendu, lalu meletakan piring itu kembali ke atas meja. “Bi, Dandy kan lagi sibuk kerja, kamu jangan sedih, ya.” Laksmi menyentuh tangan menantunya, menunjukan empati yang terlalu berlebihan. “Yang penting kan sekarang Dandy sudah berubah. Dia selalu pulang ke rumah tepat waktu. Dia pasti sudah nggak ketemu sama perempuan murahan itu lagi. Jadi kamu nggak perlu cemas.” Bianca tersenyum tipis kepada kata-kata ibu mertuanya. “Iya, Bu, Bian ben
Beberapa tahun yang lalu.Sebuah keluarga bahagia menjalani sebuah pemotretan untuk menjadi sampul majalah. Ibu yang cantik, ayah yang gagah, dan dua putri yang begitu mempesona. Mereka menggunakan gaun berwarna emas, senada dengan sapu tangan yang tersemat di kantong jas sang ayah. Keempatnya tersenyum lebar di hadapan kamera, pun ketika masuk ke sesi wawancara.Tidak ada sedikitpun celah dari keluarga bahagia itu.Semuanya tampak sempurna.Setidaknya, sampai suatu hari si ibu ditemukan tewas setelah bunuh diri, melompat dari istananya sendiri.***Siang itu kantor mendadak riuh oleh kedatangan seorang anak magang yang baru. Belum apa-apa orang-orang sudah sibuk membicarakannya. Ia memang cantik dan s*ksi, tapi bukan itu yang membuat gunjingan mereka tak berhenti terdengar, melainkan kenyataan bahwa gadis itu turun dari mobil yang sama dengan manager manajemen mereka.Sera yang bertugas untuk menjelaskan r
BRAK!Indra menggebrak meja dengan kasar. “Apa kamu bilang? Si b*ngsat itu selingkuh?!” desis Indra marah. Beberapa pengunjung kafe melirik ke meja mereka, tapi Bianca tetap acuh dengan wajah sinisnya.“Si b*ngsat? bagus juga,” gumam Bianca senang. Akhirnya ia menemukan panggilan yang cukup pantas untuk pria itu.Indra mencengkram bahu Bianca. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa kamu diam aja?!”“Aku nggak diam aja, Kak.”Indra mendesis, bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di saat seperti ini?“Dan kenapa aku nggak bilang sama Kakak, karena aku tau Kakak akan begini. Sikap Kakak bisa saja akan merusak rencanaku.”Suara tenang Bianca membuat Indra terdiam. Kedua tangannya kembali jatuh, melepaskan sosok cantik itu.“Kakak pikir aku akan diam aja diselingkuhi dia?” Bianca bersidekap di kursinya, menatap jauh ke luar jendela. Lalu sebu
“Bi, Ibu sudah di mall.” Laksmi menelepon menantunya saat ia baru sampai di pintu mall. Bianca menerima telepon itu dengan wajah datar. “Oke, Bu, sebentar lagi Bian sampai, Ibu pilih-pilih aja dulu,” ujar Bianca padahal ia sudah ada di dalam parkiran mall sejak 10 menit yang lalu. Dinda mengerjakan tugasnya dengan cukup baik kali ini. Gadis itu bahkan sampai mengirim letak parkir mobil kakaknya, hingga Bianca bisa menemukan dengan sangat mudah. Bianca memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil itu, sambil menimbang haruskah ia menabrakkan mobilnya sekarang? Atau mengempiskan seluruh bannya? Bianca bersidekap sinis di depan mobil Dandy, memainkan pisau kecil di tangannya. Lalu, ia berjalan ke samping mobil Dandy, membuat goresan dalam di sepanjang sisi mobil itu sebelum berjalan menuju lift yang mengantarnya ke dalam mall. Namun tentu saja itu tidak membuatnya puas sama sekali. Bianca melirik sedeikit ke belakang punggungnya. Ia bisa mende
Kening Laksmi berkerut saat melihat kerumunan di depan toko pakaian dalam yang disebutkan menantunya tadi. Orang-orang tampak berkerumun dengan ponsel terbuka lebar, merekam sebuah keributan. “Hah! Nggak tau malu banget ribut di muka umum begini,” gerutu Laksmi sambil mengambil ponsel dari dalam tas. Ia harus menghubungi Bianca. “Parah, itu suaminya ngebelain pelakor?” bisik seorang gadis muda yang sedang merekam kejadian di dalam toko. Laksmi melirik sekila, tapi tidak peduli. Toh itu bukan urusannya, hingga akhirnya ia mendengar suara teriakan Bianca. Wajah Laksmi membeku, ia langsung mendorong kerumunan itu, membuat jalan untuknya. Dan betapa terkejutnya Laksmi saat melihat Dandy melindungi seorang gadis asing di belakang punggungnya. “MAS AKU ISTRI SAH KAMU!” teriakan Bianca terdengar sangat keras. Desisan penonton terdengar tidak setuju atas apa yang sudah dilakukan sang suami. Untuk beberapa saat Laksmi hanya mampu membeku. Ia me
“Ma?” Usia bianca 11 tahun saat itu. Ia terbangun karena angin kencang yang berembus dari jendela kamarnya. Sheila masih terlelap di sampingnya, mengkerut kedinginan. “Mama?” panggil Bianca. Ada syal ibunya di kaki ranjang, sebuah tas tangan, dan dua gelas minuman yang dibawa ibunya untuk ia dan Sheila. “Ma?” Bianca melongokan kepala ke luar pintu. Mengapa rumahnya mendadak sehening itu? Ke mana ibunya? Ayahnya? Para pelayan? Bianca harus mencari mereka. Tapi sebelum itu, ia berjalan ke jendela kamarnya yang terbuka. Jendela kamar itu terhubung dengan balkon, dan tepat di bawahnya adalah kolam renang mereka yang besar. bianca menarik salah satu pintu gesernya, mencoba menutup jendela itu, tapi ketika ia mendengar suara di luar balkon, ia bergerak perlahan. Tubuh Bianca membeku di balkon. Matanya menatap balkon lain yang terhubung dengan kamar orang tuanya.
Pukul 9 pagi, Nindi itu masih asyik membeli kopi di kafe lantai satu Abraham Inc Tower, tempat kantor mereka berada. Kaki jenjangnya berhias sepatu hak tinggi berwarna hitam yang seksi, sewarna dengan rok pensil yang membalut pahanya dengan ketat. Ia tersenyum tipis kepada gadis di belakang kasir saat mendapatkan minumannya, lalu melangkah sambil terus menatap ponsel. Biasanya di jam-jam seperti ini kafe akan lebih sepi karena orang-orang sudah masuk ke kantor masing-masing. Namun entah mengapa hari itu ada beberapa anak kecil yang berlarian di dalam kafe. Dua wanita berpakaian necis asyik mengobrol, menempati salah satu meja kafe yang berhiaskan bunga mawar dalam vas. Nindi memutar bola matanya saat melihat keributan itu. Ia jengah melihat anak-anak dan segala kekacauan yang bisa ditimbulkan mahluk-mahluk berisik itu. Sialnya, saat Nindi baru akan membuka pintu kafe, salah satu bocah berkucir dua menabraknya. Praktis ia langsung tersan