Home / Romansa / Pelakor Harus Mati / BAB 6 - Harga Perempuan Suamiku (2)

Share

BAB 6 - Harga Perempuan Suamiku (2)

Author: Zia Cherry
last update Last Updated: 2021-12-01 12:07:21

PLAK!

Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya.

“B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi.

Air mata Bianca jatuh berurai.

“Aku minta maaf, Mas!”

Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!”

Sampah?

Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu.

“Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!”

PLAK!

Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras.

“PEREMPUAN GILA! PELAJARAN?! KAMU YANG HARUSNYA DIKASIH PELAJARAN!” Dandy mencengkram erat tubuh wanita yang begetar karena tangis itu. “KAMU ITU GILA! S*NTING! AKU MUAK SAMA KAMU!” Dandy membanting tubuh wanita itu hingga terjatuh ke lantai.

“MAS! Jangan pergi, Mas! Aku minta maaf! Aku akan berubah sesuai kemauanmu, tapi tolong jangan temui perempuan itu lagi!!!” Bianca menahan kaki Dandy dengan tubuhnya saat pria itu membuka pintu kamar dengan kasar.

Dandy menarik kepala Bianca menjauh. “Minggir, br*ngsek!” desisnya sambil mengentak tubuh Bianca. 

“MAS!!!” teriak Bianca dengan isak histeris. Namun, pria itu tidak pernah memedulikannya. Ia berjalan dengan langkah lebar. Diam-diam ia bersyukur karena hari ini ibunya pergi berbelanja, jadi ia bisa melampiaskan kemarahannya kepada perempuan itu.

Tadi siang, ketika ia mendapat telepon dari Nindi yang menangis terisak, ia sama sekali tidak bisa menahan emosinya. Dandy langsung bergegas pulang ke rumah untuk memberi pelajaran kepada istrinya.

Dan kini, ia sudah puas, meski tangannya sedikit memerah karena terlalu keras menampar.

***

“IBU!” sepeninggalan pria itu, Lia berlari histeris melihat majikannya terbaring di depan pintu sambil menutup wajah. “Ibu? Ibu nggak apa-apa?” tanyanya panik. Tadi, Bianca memang sudah memintanya tetap diam di dapur, tidak peduli apa pun yang ia dengar dari lantai dua, ia tetap tidak boleh datang.

Namun, siapa sangka semuanya bisa separah ini?

Andai tau begitu, Lia pasti tetap akan naik ke lantai 2 dan menghentikan kegilaan Dandy.

“Saya akan telepon ambulans,” isak Lia sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya, tapi gerakan wanita itu langsung berhenti saat Bianca menyentuh tangannya.

“HAHAHAHAHA.” Tawa menggelegar majikannya membuat Lia tersentak kaget. Ia terjatuh duduk dengan wajah panik.

Bianca bangkit, meraba luka di ujung bibirnya. Darah merah menempel di ujung ibu jarinya. Ia menyentuh rambutnya yang berantakan. “Sempurna,” desisnya dengan senyuman misterius.

“Ibu. Ibu nggak apa-apa? Ayo kita ke rumah sakit.”

Bianca tersenyum tipis. “Ayo, saya butuh visum sekarang.”

“Ibu mau laporin Pak Dandy?” tanya Lia cemas.

Bianca menggeleng dan tersenyum. “Ini bukan untuk laporan, Lia, tapi untuk koleksi pribadi. Kamu nggak perlu khawatir.”

Getaran ponsel di sakunya membuat Bianca mengernyit. Telepon dari Sera, sekretaris suaminya.

“Halo, Bu Bianca, Pak Dandy pesan tas.”

Ah. Ternyata ia ingin menyenangkan hati anjingnya yang baru Bianca injak-injak.

Jelas tas itu tidak mungkin untuk dirinya, bukan?

“Oke, kasih ke Madame Lea.”

“Tapi, Bu.” Sera terdengar ragu. Walau bagaimana pun, jika Dandy tau ia memberikan tas palsu, pria itu pasti akan memecatnya.

“Mmmm… aku sudah bilang aku akan menjamin keselamatan dan pekerjaan kamu. Atau, mungkin kamu mau suamimu tau kalau kamu tidur dengan bosmu?”

Suara Sera berubah gemetar di seberang telepon. “Iya, Bu, saya mengerti, saya akan lakukan sesuai intruksi Ibu.”

Bianca tersenyum puas, lalu menutup teleponnya. “Sampai di mana kita tadi?” tanya Bianca kepada Lia yang kini memucat di sampingnya. “Oiya, kita harus melakukan visum untuk koleksi saya. Kita nggak pernah tau kapan membutuhkannya, kan? Dan kalau sampai saatnya datang, saya sudah siap membunuh lintah-lintah pengkhianat itu, Lia.”

Lia menunduk ketakutan.

“Tapi bukan kematian yang instan, pengkhianat itu harus mati perlahan-lahan di tangan saya,” tambahnya dingin. Aura gelap yang mengelilingi sosok Bianca membuat asisten rumah tangga itu kian sesak.

“Relax, Li. Kamu nggak perlu khawatir. Saya Cuma buat perhitungan sama para pengkhianat, bukan orang-orang yang berdiri di pihak saya. Kamu nggak perlu takut. Dan kalau kamu bingung kenapa selama ini saya diam aja, itu bukan saya nggak tau, Lia.”

Bianca menuruni tangga. Suara ketukan sepatu hak tingginya memenuhi seisi rumah. “Saya selalu tau, tapi saya menunggu waktu yang tepat buat mematahkan tulang-tulang mereka.” Bianca berbalik dengan senyuman manis. “Apa pun itu pasti lebih enak dilumat setelah matang, kan?” tanyanya, dan Lia hanya bisa mengangguk singkat dalam ketakutannya.

***

“Astagaaaa… ini kan tas keluaran terbaru itu! Kok kamu punya?!” Risti terkagum-kagum saat melihat Nindi keesokan harinya. Terlebih ketika ia melihat tas selempang dengan brand ternama di bahu gadis itu. “Kamu beli ini, Nin?” tanya Risti takjub. Suara kerasnya membuat orang-orang melirik penasaran kea rah mereka.

“Hadiah,” jawab Nindi kalem.

“HADIAH? INI SIH GILA! Pacarmu keren banget! Ini mahal dan limited edition loh!!!!”

Nindi tersenyum puas.

Jessica dan Vira datang tidak lama. Keduanya langsung melempar pandag saat melihat tas baru Nindi.

“Jess! Lihat deh, ini kan tas yang kamu mau itu kan??? Wah kamu keduluan Nindi, Jess. Dia baru aja dikasih hadiah sama pacarnya!” Risti memberikan pengumuman dengan senang hati. Beberapa anak mulai berbisik-bisik iri.

Jessica menatap lekat tas itu. “Bukan kok, aku bukan mau yang ini, Ris,” katanya, tersenyum simpul.

“Ish, ini kan yang kemarin kamu kirimin fotonya itu, Jess! Nih aku masih simpen fotonya!” Risti mengambil ponsel dari dalam tas. Lalu menunjukkan foto yang dikirimkan Jessica beberapa hari yang lalu ke grup chat mereka.

“Iya, aku mau yang itu,” ujar Jessica, membuat kening Risti berkerut dalam. “Maaf ya, Nin. Iya, Ris, aku mau yang itu, yang asli, bukan fake begini,” ujar Jessica sambil melirik tas Nindi dengan tatapan aneh.

“INI FAKEEE??” pekik Risti kencang. Lagi-lagi membuat orang-orang tertarik kepada meja mereka.

Jessica mengangguk sungguh-sungguh. “Mungkin Nindi nggak tau karena nggak pernah pegang yang asli selama ini. Tapi tas kamu benar-benar palsu, bahkan entah KW berapa.”

Vira tidak bisa menyembunyikan senyuman gelinya, terlebih saat ia melihat Nindi melenggang ke luar kelas dengan wajah semerah tomat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ayu Cla
haha...sukurin lo dapet kw
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Hahahahaha emang enak dapet Kw
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 2

    “Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik

  • Pelakor Harus Mati   (Alternative Ending) - 1

    “Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka

  • Pelakor Harus Mati   SEPATAH KATA

    Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 15

    10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 14

    Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu

  • Pelakor Harus Mati   (Season 2) Epilog 13

    “Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status