“Kamu juga berhak bahagia, Bi,” bisik Sheila tulus.
“Apa, sih?” gerutu Bianca sambil melepas pelukan adiknya.
Sheila tersenyum penuh arti, lalu menoleh kepada Indra. “Jaga Bian ya, Kak. Kalau Kakak sampai macam-macam, apalagi mendua, Kakak akan berurusan langsung sama aku.” Sheila meletakkan ibu jarinya di leher, menirukan gerakan menyayat leher dengan wajah serius.
“Sheila!”
Indra menyentuh tengkuknya sambil berdeham berkali-kali.
“Udah sana pergi, aku mau istirahat.” Sheila melambaikan tanganya penuh semangat, tapi Bianca tetap mematung di tempat dengan tatapan ragu. “Kak Indra, sekarang tolong bawa orang ini pergi, aku benar-benar mau istirahat! Udah sana, Bi. Ampun deh. Kalau kamu nggak pergi sekarang aku akan tunjukin isi buku harianmu ke Kak Indra!”
“Sheila!”
“Hahahaha.”
“Mmm… memang apa isinya?” tanya Indra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bianca.
“Ehm, selamat pagi.”
Bianca dan Indra men
“Kamu apa?!” Indra mencengkram tangan Bianca dengan sangat erat. “Kamu bilang apa?” Tatapan datar Bianca membuat dada Indra semakin bergemuruh marah.Bianca melepaskan cengkraman tangan Indra dengan perlahan.“Kakak bisa pergi sekarang.”“BI!”“Kakak bisa suruh Mario buat jemput aku nanti.”“BIANCA!”Tanpa menggubris panggilan Indra, Bianca masuk ke dalam rumahnya, lalu menutup rapat pintu itu di hadapan wajah Indra.“Bianca, ini semua pasti nggak benar! Kita harus periksa lagi! Aku akan cari dokter yang terbaik! Kamu pasti akan baik-baik aja, Bi!”Di balik pintu itu, Bianca menyandarkan punggungnya yang terasa sangat letih. Matanya menatap kesekeliling ruang tamu yang begitu sepi. Lampu-lampu yang dibiarkan padam, kursi-kursi yang tertutup debu, bahkan lantai yang tak lagi terinjak, kini hanya menyisakan perasaan hampa yang menyesakkan.
“Kakak seharusnya nggak di sini.” Bianca menyentuh luka Indra yang sudah ia balut dengan kasa bersih seadanya. Meski berkali-kali ia mengatakan hal yang sama, tapi ia tetap tidak bisa melepaskan dekapannya pada pria itu.Indra mengecup kening Bianca dengan lembut. “Aku nggak akan ke mana-mana, Bianca,” bisik Indra. Jemarinya menelusuri jejak luka Bianca di pelipis, lalu menuruni tulang pipinya, dan menyentuh bibir bawah wanita itu. Sekali lagi, ia menundukkan kepala untuk mencium Bianca.Bianca tak lagi memberontak, ia justru membalas ciuman Indra dengan kelembutan yang sama.“Bi….” Indra menyeka air mata Bianca yang kembali menetes. “Aku nggak apa-apa. Kita akan baik-baik aja. Kita akan cari jalan keluarnya sama-sama.” Indra mempererat dekapannya. Menghapus sisa jarak di antara tubuh mereka berdua di bawah selimut.Bianca sama sekali tidak menjawab. Dadanya nyeri dan bahagia dalam waktu yang bersamaa
Ketika kembali dengan dua cangkir kopi yang mengepulkan uap panas, Bianca masih terlelap dengan damai. Indra meletakkan cangkir kopi di atas nakas, lalu duduk di sisi ranjang sepelan mungkin. Jemarinya terulur, menyentuh helai rambut Bianca yang menutupi wajahnya. Indra membungkukkan badan, mencium lembut kening wanita itu. Sekarang, setelah semua yang terjadi kepada mereka, ia semakin teguh berjanji untuk terus melindungi wanita itu, apa pun harganya. Bianca menggeliat pelan karena sentuhan Indra. Kedua mata indahnya mengerjap, mencoba menyingkirkan kantuk. Aroma tubuh Indra kini membaur dengan wangi kopi yang membuat Bianca sedikit terjaga. “Kak…,” gumam Bianca, masih separuh sadar. Matanya terasa begitu berat terbuka, entah karena kelelahan atau karena tangis yang tak kunjung usai. Namun, samar-samar akhirnya ia bisa kembali melihat sosok Indra yang berada di sampingnya. Senyum Bianca terkulum otomatis. Ternyata sebahagia itu menemukan orang paling kau say
Wajah Bianca terangkat tinggi, kedua tangannya terlipat di dada sambil menenteng tas Hermes mungil seharga mobil mewah.“Apa kata kamu? Perbaiki semuanya? Kamu pasti bercanda. Kamu lupa siapa aku?” Bianca tersenyum begitu anggun. “Aku Bianca Peruka, aku bukan orang yang akan perbaiki barang-barang rusak, Dandy. Aku akan buang dan beli yang baru, semudah itu.”Dandy menggeram marah. Andai tangannya tidak sedang terikat, dan tidak ada orang-orang di sekitar mereka semua, Dandy pasti sudah mengoyak mulut Bianca. Ia akan memberikan pelajaran yang pantas untuk membungkam keangkuhan wanita itu.“Sombong kamu, Bianca! Kamu pikir kamu hebat?!”Bianca tersenyum tipis. “Kamu sudah punya jawaban sendiri sekarang, kan? Silakan bandingin aku sama perempuan selingkuhan kamu itu. Ah! Kalau dipikir-pikir kalian jadi semakin cocok dengan seragam yang sama. Dan sepertinya aku belum bilang terima kasih ya sama kamu?” Bianca ma
Sebuket anggrek tersemat indah di atas makam bertuliskan nama Calistia Sandra. Embusan angin sore membuat aroma anggrek itu samar-samar membaur dengan aroma bunga kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman.Kelopak putih dan merah mudanya berguguran di atas pusara makam, seakan menjadi taburan bunga otomatis untuk makam yang jarang dikunjungi.Lagi-lagi, Bianca harus berdiri di samping makam orang yang disayanginya. Ia bahkan sudah tidak tau bagaimana caranya menceritakan apa yang ia rasakan kini. Karena sejujurnya, seluruh hidup Bianca sudah terlalu menyakitkan.“Bi….” Tini meremas tangan Bianca di sampingnya, tapi Bianca tetap bergeming.“Semuanya sudah selesai dengan baik, Bi, dan berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”Kedua mata Bianca mengerjap perlahan. Hatinya terasa kebas. Kematian Sandra kembali mengurung Bianca dalam lautan rasa bersalah tanpa dasar.“Justru dia pasti berterima kasih sama kamu, Bi
Senja memudar, cahaya jingganya membias dari jendela ruang perawatan Damian. Betapa ajaibnya takdir, padahal beberapa waktu yang lalu, tidak akan ada orang yang berani berpikir jika Damian akan terjatuh. Pria itu berdiri terlalu gagah di atas singgasananya, hingga mereka pikir ia takkan mungkin mengalami hal buruk, meski ia terus melakukan hal menjijikan.Namun hari ini, ia hanya seorang pria yang bahkan tak bisa menggerakan seujung jari pun di hadapan putrinya. Dulu sekali, Bianca sangat takut kepada malam. Ia tidak takut gelap, ia tidak takut hantu. Ia hanya gadis kecil yang takut terlelap. Karena saat ia jatuh tertidur, maka ia akan tersedot masuk ke dalam pusaran mimpi buruk yang sangat mengerikan.Usianya 11 tahun saat mendengar permintaan sang ibu untuk menutup mata, dan ketika ia kembali membuka mata, ibunya sudah menghilang. Wanita itu menjatuhkan diri dengan seluruh kesadarannya, lalu tewas di depan mata Bianca.Jiwa kecil Bianca san
Malam ku terjaga, berganti hari, berganti pagi.Akankah datang malamku tanpa mimpi buruk lagi?Jika kau di sini, di hariku yang tak pasti.Selamatkan Aku, dan peluklah Aku.Night Flower (Ind Vers) Yeeun Ahn.***Malam datang perlahan. Lambat tapi pasti. Kini lampu-lampu mulai menyala, mencoba menghalau kelam yang dibawa malam. Namun, tidak peduli sebanyak apa lampu yang menghiasi kehidupan Bianca, jiwanya tetap terjebak dalam sebuah pusaran hitam yang gelap.Ia menatap ayahnya dengan mata yang sembab. Luka yang terpendam belasan tahun kini pecah berantakan. Tidak ada darah, tidak ada luka ternganga, tapi jiwa Bianca aus dilalap pedih.Bertahun-tahun ia terus menanyakan hal yang sama, lalu tenggelam dalam jawaban menyakitkan yang sama juga.“Apa Ayah benar-benar benci kami?”Bagi seorang anak, pertanyaan itu meny
"Apa karena aku bukan anak kandung Ayah?"Indra memalingkan wajahnya. Itu adalah rahasia yang terkunci rapat selama bertahun-tahun lamanya. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan tentang itu, dan Indra pikir, rahasia kelam keluarga Peruka selalu tersimpan rapat, hingga hari ini."Bi, kamu harus tenang dulu.""Kakak sudah tau soal itu?" tanya Bianca dengan suara bergetar. Melihat Indra yang hanya terdiam tanpa jawaban, membuat tangis Bianca pecah semakin lirih. "Kakak sudah tau kan? Terus kenapa Kakak tetap diam? Kenapa kalian bohongi aku?""Bianca, aku minta maaf. Tapi ini semua demi kamu.""Demi aku?" tanya Bianca getir. "Demi aku? Apa Kakak tau betapa aku lelahnya mengharap kasih sayang Ayah. Apa Kakak tau bagaimana rasanya?" Bianca menatap sang ayah yang menangis tanpa suara."Setiap hari, setiap detik selama 28 tahun, aku selalu berharap Ayah sayang aku. Aku selalu berusaha berubah jadi lebih baik demi Ayah. Tapi ternyata