Share

Pelakor Itu Pembantuku
Pelakor Itu Pembantuku
Penulis: Helminawati Pandia

Bab 1. Malam Maksiat

Bab 1. Malam Maksiat

*****

"Bagaimana,  Kak Mel? Sudah enakan?" Harum memijit betisku.

Gadis muda ini adalah pembantuku.  Usianya kira-kira sembilan belas tahun. Sejak dua bulan lalu dia sudah ikut bersamaku.  Saat itu aku bermaksud mencari pembantu karena kondisiku yang sedang hamil.  Dia datang bersama ibunya menawarkan diri. Bahkan sangat memelas.  Dengan alasan putrinya menganggur di kampung,  Mak Uda memohon-mohon.

"Lumayan,  Alhamdulillah. Kamu pintar mijitnya, " ucapku masih sedikit meringis.

Entah kenapa akhir-akhir ini kakiku sering keram.  Kata dokter yang kutemui dua hari yang lalu, itu biasa dialami oleh seorang perempuan yang sedang hamil tua.

"Kak,  kalau Kakak melahirkan nanti, Mak Tua ke sini, enggak?" tanya Harum lagi.

"Pastilah,  tapi mungkin enggak bisa lama.  Dia juga punya kesibukan di kampung.  Kenapa, kau mau nitip sesuatu  dari Mak Uda?" tanyaku.

Mak Tua adalah panggilannya untuk ibuku.  Sedangkan Mak Uda adalah panggilanku untuk ibunya.  Rumah orang tuaku di kampung bersebelahan dengan rumah ibunya.

"Enggak,  cuma nanya aja.  Memang lebih baik kalau dia gak usah lama-lama di sini," cetusnya.

"Kenapa?" Aku kaget mendengar ucapannya.

"Kan, udah ada aku yang ngerawat Kakak."

"Iya,  sih," sahutku menyimpan tanya.

Aku merasa ada sesuatu yang tersirat dari ucapannya. Naluriku mengatakan ada yang sengaja dia tutupi.

Sebenarnya kecurigaanku ini sudah sejak sebulan lalu.  Sejak Harum sering  bertingkah aneh.  Kerap kudapati dia mematut diri di depan cermin hias  saat membersihkan kamarku. Bahkan pernah kupergoki dia mencoba memakai gaun pemberian Mas Gilang suamiku.

Aku marah dan memintanya jangan pernah sembarangan memakai gaunku lagi. Sayangnya Mas Gilang malah membelanya.  Dengan alasan sudah lama kepingin gaun seperti itu,  pembantuku membela diri.  Esoknya Mas Gilang membelikan gaun yang sama untuknya.

"Jangan kasar!  Jangan buat dia tersinggung!  Nanti kalau dia merajuk pulang kampung, gimana?  Kita kehilangan pembantu,  kita juga dicap gak bagus di mata orang kampung," kata suamiku beralasan.

Aku menurut  dan kembali memperlakukan dia dengan  baik. Sampai malam harinya setelah kejadian itu,  aku dapati Mas Gilang duduk berdua dengan Harum di meja makan. Aku tiba-tiba haus malam itu.

 Aku pikir Mas Gilang masih sibuk di depan.  Suamiku memang punya usaha toko pupuk yang lumayan besar. Toko itu di depan rumah kami pusatnya.  Sedang cabangnya tersebar di beberapa kecamatan. Kadang dia bekerja sampai malam terutama bila ada pengiriman ke cabang. 

"Mas di sini?  Kirain di toko?" kataku mengagetkan mereka  berdua.

Aku tidak melihat dengan jelas,  karena lampu dapur sudah padam. Sepertinya aku melihat Harum duduk di pangkuan suamiku. Saat aku menghidupkan lampu,  gadis itu sudah bergeser.  Kucoba menghibur hati,  bahwa aku hanya salah lihat tadi.

"Iya,  ini si Harum dari tadi duduk menyendiri  di sini. Kebetulan aku baru pulang dari toko. Aku tanya ngapain gelap-gelapan.  Dia bilang masih sedih karena kamu tegur tadi.  Dia minta pulang kampung besok.  Dari tadi aku sudah membujuknya."

"Rum,  kakak udah minta maaf, kan?  Kenapa masih merajuk?" tanyaku ikut duduk.

Gadis itu meraba bibirnya. Kenapa ditanya malah meraba bibir?  Kulirik kancing bajunya terbuka dua buah bagian atas.  Dadaku berdesir,  saat itu sebenarnya aku sudah curiga. Namun,  aku tidak tahu harus curiga apa.  Perasaanku tidak enak,  seolah ada sesiatu milikku yang paling berharga telah salah letak.  Tetapi,  aku tidak tahu apa  dan di mana.

*

"Kak,  aku kembali  ke kamarku,  ya?  Kakak udah bisa tidur,  kan?"

Ucapan Harum membuyarkan lamunanku.

"Iya," sahutku menatap pungungnya ke luar kamar.

Kucoba memejamkan mata,  melupakan prasangka dan kegundahan.  Kurasakan gerakan bayiku seolah menendang.  Kubelai perutku penuh kasih sayang. Aku terlelap bersama gerakannya.

Aku tersentak saat sebuah tangan kekar tiba-tiba memeluk dari belakang.

"Mas,  sudah tutup tokonya?" tanyaku memegang tangannya.

"Sudah,  bagaimana,  masih keram kakinya?" tanyanya penuh perhatian.

"Sudah enakan.  Mas makan dulu sana!  Perlu aku hidangin?"

"Tidak usah,  Sayang.  Kamu tidurlah. Istirahat yang cukup,  ya!  Kata Dokter dalam minggu ini,  kan?"

"Iya,  Mas."

"Semoga bisa normal,  ya!"

Mas Gilang mencium tengkukku.  Tangan kekarnya meraba dadaku. Aku sadar kalau sudah seperti ini,  pasti dia menginginkan sesuatu. Aku juga tak hendak menolaknya. Aku bahkan telah bersiap-siap melaksanakan tugasku. Namun,  saat napasnya kian memburu dan kurasakan kian hangat menerpa tengkuk,  saat itulah dia menghentikan aktivitasnya.

"Kenapa,  Mas?" tanyaku mengerjap menahan sakit di kepala. Sungguh aku pun sangat menginginkannya.

"Gak tega sama  bayi kita,  Sayang. Takut kepalanya kesundul,” jawabnya dengan wajah tetap semringah. Sepertinya dia tak kecewa sedikitpun.

"Tapi,” sergahku menahan hasrat yang masih menggebu.

"Sabar,  enggak lama lagi dia lahir,  Sayang!"

"Bukan karena napsu Mas ambyar karena perut buncitku?"

"Enggaklah," sahut Mas Gilang mengucek rambutku.

"Tidurlah! Mas mau makan, setelah itu kembali ke ruang kerja mengecek laporan penjualan hari ini dari toko cabang!" Dia bangkit dan melangkah ke luar.

"Tunggu!  Ada yang mau aku tanyain."

"Apa sih?" Mas Gilang kembali menghadapku.

"Sudah tiga minggu, kita enggak pernah lagi. Aku gak tega,  Mas harus nahan selama itu.  Belum lagi kalau nanti aku habis lahiran," sergahku.

Mas Gilang tersenyum,  lalu berjongkok di sisiku.

"Aku sanggup nahan berapa bulan pun,  Sayang.  Demi kebaikan dirimu dan bayi kita." Dikecupnya lembut keningku.

Aku kembali mengerjapkan mata,  begitu bahagia.  Suami yang penuh pengertian.

"Makasih,  Mas," bisikku sambil tersenyum.

Dia melangkah ke luar,  kupejamkan mata,  aku terlelap lagi.

**

Entah berapa lama sudah aku tertidur.  Tiba-tiba aku terbangun karena mimpi buruk.  Seseorang yang entah siapa mencuri baju dasterku.  Aku kelelahan mengejar dan merebut kembali daster itu.  Tapi, kakiku terjerembab lubang kecil,  aku jatuh,  lututku berdarah.

Kucari Mas Gilang di samping.  Tidak ada.  Kupikir pasti dia masih di ruang kerjanya.  Tenggorokanku terasa kering,  kucoba bangkit dan melangkah menuju dapur.

Kulirik ruang kerja Mas Gilang sambil lewat. Sunyi tidak terdengar apa-apa. Apakah suamiku ketiduran? Kubuka pintu dengan pelan.  Aku heran melihat lampu tidak menyala di dalamnya. Segera ku tekan saklar di dinding dekat pintu.  Ke mana dia?  Mungkin dia harus keluar menemui pelanggan atau siapa, pikirku.

Tanpa  curiga aku melanjutkan langkah.  Sebelum sampai ke ruang makan,  aku harus melewati kamar pembantu. Saat itu telingaku seperti mendengar suara desahan. Kucoba menajamkan pendengaran. Aku tidak salah dengar. Suara desahan bahkan rintihan kini semakin jelas.  Kucari sumber suara itu.  Aku mundur beberapa langkah. 

Ini suara Harum. Desahan dan rintihan ini berasal dari kamarnya.  Kenapa dia?  Apakah dia sedang sakit?  Kenapa tidak membangunkan aku kalau sakit.

Aku mulai panik.  Sebegitu kesakitankah gadis itu? Ya,  Allah, jangan sampai dia kenapa-napa. Spontan kudorong pintu kamar.

"Harum ...  kamu kena – pa?"

Suaraku terpotong demi melihat pemandangan di dalam.  Tubuh Mas Gilang dan tubuh Harum dalam keadaan bersatu. Harum bahkan berada di posisi atas. Keduanya bermandikan peluh. Pakaian mereka berserakan di lantai kamar.

Aku terduduk lemas  di depan pintu, kupegangi kepalaku yang berdenyut hebat.  Bayi dalam perut ikut meronta-ronta.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
sakit hati istri mau lahiran...suami malah enak2 sama pembantu
goodnovel comment avatar
Shinta Ohi
semangat thor,
goodnovel comment avatar
Helminawati Pandia
mohon dukungan dan sumbangan GEM nya, ya. Terimakasih banyak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status