Bab 2. Drama Perselingkuhan
***
“Anakmu perempuan, Mel.”
Antara sadar dan tidak, sayup kudengar kalimat itu. Kepalaku terasa sangat berat. Sekujur tubuh sakit dan pegal. Sama sekali tidak bisa digerakkan. Yang paling nyeri kurasakan adalah di bagian perut. Kenapa aku? Apa yang terjadi padaku? Di mana aku?
“Mel, kamu sudah sadar, Nak? Buka matamu! Anakmu sudah lahir dengan selamat. Kau tidak ingin melihatnya?”
Itu suara ibu. Ibuku ada di sini. Dia berkata anak? Anakku? Spontan kugerakkan tangan. Tapi, terasa masih sangat berat. Kenapa aku begini lemah. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Anakku sudah lahir kata ibu. Kapan? Bagaimana bisa? Aku tidak ingat apa-apa.
“Kalau memang belum sanggup, ya, sudah! Pelan-pelan saja, ya, Nak! Yang penting sekarang kau harus tahu, kalau kau saat ini sudah sah menjadi seorang ibu. Selamat, ya! Berbahagialah! Putrimu sangat cantik. Persis seperti dirimu saat bayi dulu. Bedanya dia lebih mancung sedikit dari kamu. Mata dan bibirnya persis kamu, tapi hidungnya nurun Gilang. Pasti nantinya dia akan lebih cantik dari kamu, hehehe ….”
Kalimat ibu membuatku senang. Aku bahagia mendengarnya. Ingin sekali aku segera membuka mata, lalu melihat wajah putriku. Namun, mata ini sulit dibuka, rasanya diberi lem perekat. Perih sekali.
Mas Gilang di mana, ya? Kenapa aku tidak mendengar suaranya? Mas Gilang? Tiba-tiba ingatanku telah kembali seutuhnya. Aku ingat semuanya sekarang. Malam itu, peristiwa malam itu terbayang lagi di pelupuk mataku.
Kubuka paksa kelopak mata. Awalnya pandanganku masih gelap. Kupaksa lagi, cahaya putih terasa membias dan menyilaukan. Akhirnya pandangan sudah sempurna.
Kutatap wajah ibu yang duduk di sisi kanan. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Laki-laki itu duduk di sofa, menatapku lalu menunduk. Seketika darahku mendidih. Aku ingin bangkit, lalu menampari wajahnya, meludahinya, atau mencakar-cakar tubuhnya. Bila perlu ingin sekali kutikam dadanya dengan belati. Aku mau mencuci wajahku dengan darahnya. Tetapi … aku belum sanggup bergerak.
“Mel, kamu sudah sadar?” Ibu memeluk, lalu mengelus kepalaku.
“Kenapa Melur, Bu?” tanyaku dengan suara serak.
“Kata Gilang, kamu tiba-tiba pingsan tadi malam. Dia bawa ke rumah sakit, terpaksa dokter mengambil tindakan cesar. Bayimu sudah minta dilahirkan. Cita-citamu ingin melahirkan secara normal, enggak bisa dilakukan, Mel.”
Aku terdiam, jadi aku pingsan setelah melihat kejadian tadi malam? Mas Gilang tidak memberitahu ibu yang sebenarnya?
“Gilang! Istrimu sudah sadar, kenapa kamu masih di situ?” Ibu menatap menantunya heran.
“I … iya, Bu.” Lelaki itu bangkit, lalu melangkah ke arahku.
Kutatap tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Terbayang lagi saat tubuh itu telanjang dan bergumul dengan Harum tadi malam. Aku mulai mual.
“Oug … saya mau muntah, Bu,” ucapku menutup mulut dengan tangan.
“Oh, iya. Masuk angin kamu, ya? Muntah ke sini aja, ayo!” Ibu membuka kantongan plastik dan mendekatkan ke mulutku.
“Sudah, tidak jadi,” kataku setelah mulai tenang.
“Minum air hangat, coba!”
Aku menghisap air putih hangat yang disodorkan ibu menggunakan pipet. Mas Gilang tidak berani melanjutkan langkah. Dia berdiri mematung tak jauh dari ranjang pasien.
“Kamu temani Melur! Ibu mau ke kamar mandi sebentar,” perintah ibu kemudian.
Mas Gilang terlihat gugup. Terpaksa dia melangkah lagi ke dekatku. Kali ini hatiku telah kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah. Rasa benci dan dendam mulai menguatkan hati dan tekatku.
“Mel!” panggilnya seperti berbisik.
Aku memejamkan mata. Batapa ingin aku mencabik-cabik wajah dan tubuhnya. Tapi, kekuatanku belum pulih, percuma aku meradang sekarang.
“Aku sudah mengazani putri kita,” ucapnya lembut.
Aku diam.
“Dia cantik sekali. Kayak kamu,” ucapnya lagi.
“Mana orang tuamu?” ketusku tiba-tiba. Tidak perduli dengan ucapannya.
“Oh, mereka masih dalam perjalanan. Mungkin satu jam lagi sudah sampai. Mereka tidak mengira kalau kamu lahirannya sekarang jadi mereka ke tempat Kak Bulan . Perkiraan Dokter, kan seminggu lagi,” terangnya.
“Mana perempuan itu?” ketusku.
Kutatap tajam wajahnya yang kian pucat. Dia semakin gugup tak berani membalas tatapanku.
“Begitu datang orang tuamu, langsung kau talak aku! Di hadapan kedua orang tuamu dan ibuku. Kau paham?”
“Jangan begitu, dong, Mel! Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik. Jangan minta talak!”
“Kenapa? Kenapa! Auw!” Aku berteriak, tak sadar kalau perutku masih sangat sakit. Luka bekas dibelah dan dijahit ini terasa meregang saat aku berteriak.
“Jangan teriak-teriak dulu, Mel! Luka di perutmu masih basah!”
“Biar kau puas! Kalau aku kenapa-napa, kau puas, iya, kan?”
“Tidak, Sayang. Aku tidak mau kau kenapa-napa. Kau ingat, aku bahkan tidak berani menyentuhmu saat hamil. Aku tidak mau kau kesakitan, Mel.”
“Bohong! Kau Pembohong! Kau tidak mau menyentuhku bukan karena kasihan, tapi karena perut buncitku. Apa lagi ada perempuan murahan di rumah kita yang masih gadis, masih ketat, masih sempit yang bisa kau gunakan. Kau jahat! Kau telah berzina dengan anak gadis orang!”
“Hust! Suaranya jangan keras-keras! Nanti ibu dengar!”
“Jadi, maksudmu? Ibuku tidak perlu tahu kelakuanmu, begitu?”
“Mel, aku mohon. Masalah ini jangan sampai orang tua kita tahu. Aku toh, tidak pernah melakukan hal seperti ini. Baru kali ini, Mel. Itupun karena aku khilap. Aku tidak tahan menahan godaan.”
“Godaan? Godaan kau bilang?”
“Iya, Harum selalu menggodaku. Ternyata dia perempuan gak bener, Mel. Kita salah telah menerima dia bekerja di rumah kita.”
“Apa maksudmu, Mas?”
“Terus terang, sebanarnya dia sudah lama memancing-mancing agar aku mau melayani napsunya. Dia sudah tidak gadis, Mel. Bukan aku yang pertama menidurinya. Dia sudah tidak perawan selama ini.”
“Cukup!”
“Dia juga mengakui itu. Makanya dia tidak akan menuntut apa-apa dariku. Dia juga sudah pergi dari rumah kita.”
“Kau! Kau mau aku percaya, Mas?”
“Aku tidak memaksamu percaya, tapi kenyataannya memang seperti itu.”
“Aku tidak percaya!” teriakku bersamaan dengan ibu keluar dari kamar mandi.
“Ada apa, ini?” tanya ibu melotot.
“Melur menanyakan Harum, Bu. Dia tidak percaya kalau Harum sudah tidak di rumah,” sahut Mas Gilang seolah memohon pembelaan.
“Iya, Mel. Si Harum tadi pagi sudah pulang dijemput ibunya. Kami malah bareng berangkatnya ke sini tadi pagi sama Mak Udamu.”
“Kenapa bisa, Bu?” Suaraku serak, seperti tersekat di tenggorokan.
“Katanya, si Harum mau nikah. Enggak lama lagi ada yang mau datang melamar. Jadi Harum sudah harus dipingit di rumah. Alhamdulillah, akhirnya dia bertemu jodoh yang baik. Khabarnya orang kaya dari kota juga. Seperti suami kamu. Semoga calon Harum itu sama juga baiknya seperti Gilang. Orang kaya, tapi sangat menyayangimu. Padahal kita hanya orang kampung yang miskin. Iya, kan, Nak Gilang?”
“I … iya, Bu.”
***
Bab 150. Ekstra Part 5 (Pernikahan Mala Dan Diky)"Ayo, dong, dandan! Pak Penghulunya bentar lagi datang, lho!" Mas Diky mengalungkan tangannya di leherku."Mas Diky, ngapain masuk kamar, coba! Gimana aku mau dandan kalau dipeluk terus begini? Juru riasnya malah diusir keluar," protesku melonggarkan pelukannya."Aku takut, Sayang. Makanya, aku mau menjagamu dua puluh empat jam.""Takut apa?""Takut, kalau kau berubah pikiran. Karena, aku sangat paham, kau belum juga bisa menerima aku di hatimu.""Ya, enggak mungkinlah aku berubah pikiran. Secara, para tamu undangan udah pada datang, Pak Penghulu udah dalam perjalanan, masa iya, aku berubah pikiran."Wajahnya terlihat mendung, sorot mata itu kini sayu.
Bab 149. Balasan Kejam Buat sang Durjana ( Ekstra Part Akhir) VOP Fika Aku memang sudah berumur. Sudah hampir kepala empat. Hingga detik ini tak juga menikah, karena memang tak mau menikah Keputusanku tak mau menikah bukan karena apa-apa. Rasa kecewa karena pernah bertepuk sebelah tangan, membuatku tak mau membuka pintu hati pada siapa pun lagi. lebih baik hidup sendiri dari pada kecewa lagi. Fajar, pemuda yang telah mencuri hatiku. Sayang, dia tidak ada rasa sedikitpun untuk menerima kehadiranku. Cintaku tak berbalas. Cinta bertepuk sebelah tangan. Tetapi, aku tidak pernah membencinya. Saat dia memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya, aku turut berbahagia. Meski sakit, aku harus tetap waras. Fajar tidak bersalah. Wanita pilihannya juga tidak salah. Yang bersalah itu adalah aku.&nbs
Bab 148. Ekstra Part 4 VOP Gilang "Selamat menghirup udara bebas! Selamat datang kembali di dunia yang penuh sandiwara ini!" Aku terperangah. Seorang wanita tinggi semampai berkacamata hitam, menegurku. Aku tidak dapat mengenalinya. Lama kupindai wajah dan penampilannya. Rambut sebahu hitam legam, badan padat berisi, dan suara yang tegas penuh wibawa. "Selamat menjalani babak kedua dalam hidupmu?" ucapnya lagi. Jemari dengan berkutek merah terang itu memegang bingkai kacamata, lalu menanggalkannya perlahan. "Fika ...!" gumamku terkejut. Pengacara wanita yang telah membuat sang Hakim mengetuk palu, memutuskan hukuman penjara buatku. "Enggak ada yang jemput, ya? Kasihan banget kamu. Mana keluargamu?" Aku hanya m
Bab 147. Ekstra Part 3 “Oh, iya, sabar, ya, Bu. Sebentar saja, kok! Enggak lama. Mereka pelanggan tetap saya. Harus ekstra pelayanannya. Memang Ibu yang duduk duluan di sini, tapi, mereka yang memesan duluan.” Penjual es itu, tak menghiraukanku. “Saya duluan! Saya dari tadi di sini! Mentang-mentang mereka orang kaya, saya orang miskin, saya enggak dilayani, begitu? Saya bisa obrak abrik warung jelekmu ini tau?” teriakku mulai emosi. “Lho dari tadi ibu enggak minta, mereka pesan, baru ibu minta, sabar, dong!” Penjual es tak juga memenuhi permintaanku. “Pokoknya layani saya dulu! Saya sudah tidak sabar! Biar jadi pelajaran buatmu! Jangan pilih kasih sama pembeli, ya!” “Ya, sudah, ibu ambil yang sudah dibungkus itu, dulu, enggak apa-apa, saya akan ganti nanti buat mereka, tanggung ini, dua bungkus lagi!” “Saya e
Bab 146. Ekstra Part 2 Secara rutin aku memeriksakan diri ke dokter. Namun penyakitku tak juga kunjung sembuh. Awalnya tak menunjukkan gejala apa-apa. Tetapi setelah beberapa tahun kemudia, infeksi itu sudar menyerang bagian dalam tubuh. Mulai dari uterus, bahkan alat kelamin itu sendiri. Melihat kondisiku, tak ada lagi lelaki hidung belang yang mau menggunakan jasaku. Mereka merasa jijik dan takut tertular. Padahal aku tak pernah mengatakan tentang penyakitku. Aku hanya deman biasa, begitu alasanku. Tapi, melihat kodisi tubuhku yang kian kurus tinggal tulang, juga lemah tak bertenaga, mereka semakin curiga. Bokong dan dada besarku yang sangat terkenal di kalangan lelaki durjana itu, mulai menipis. Hilang sudah andalanku dalam menjerat mangsa. Aku menganggur. Makan tidur menjadi tanggunagn Bang Jordan. Dia mulai marah karena mengaggap aku tak lagi meguntungka
Bab 145.Ekstra Part 1 VOP Harum Kehancuran Kak Melur adalah target utamaku. Dia yang telah membawaku ke kota ini, semua masalah ini timbul karena dia, Aku dan keluargaku terusir dari kampung, juga karena dia telah menghasut orang kampung. Sekarang, Mas Yanto meninggal, Ibu di penjara, dan aku terlunta-lunta dengan penyakit di tubuhku. Ke mana aku akan bernaung sekarang? Setelah kucoba mengemis kepadanya, dia malah mengusirku dengan kasar. Harusnya dia bertanggung jawab dan menampungku. Sekarang, ke mana aku akan melangkah? Uang yang di berinya waktu itu hanya cukup biaya makan seminggu. Untung tempat tinggal aku enggak perlu bayar. Bekas toko ini bisa kugunakan untuk tempat bernaung. Tapi untuk makan besok, aku uang dari mana? Sebuah Mobil berhenti di depan toko. Gegas aku keluar melihatnya. Itu Bang Jordan, teman Mas Gilang sekaligus tempat
Bab 144. Cinta Pertama Dan Selamanya (Tamat) Itu Kak Bulan. Dia merekam video ini untukku? Kak Bulan tengah duduk di samping sebuah ranjang pasien. Sepertinya seseorang sedang berbaring di ranjang itu. Entah siapa, wajahnya tidak muncul di rekaman. “Maaf, ya, Mel. Sepertinya kamu sudah duluan lihat fhoto-fhoto itu baru buka plasdisc ini. Iya, kan? Pasti kamu sedang marah, emosi, kecewa dan mungkin kamu juga udah ngusir Reno. Aku enggak tahu persis apa yang terjadi di situ. Aku hanya berusaha memberi yang terbaik buatmu, adikku. Selama ini kami sekeluarga telah membuat hidupmu hancur. Untuk terakhir kalinya aku berusah setidaknya bisa menyelamatkan pernikahan yang baru saja kau mulai. Isi Plasdisc ini aslinya bukan ini, Mel. Sengaja kuhapus, dan kuganti dengan yang ini. Tapi, foto-foto itu enggak bisa kuganti, karena dia yang memesan karangan bunga itu. Kau tahu siapa? Ha
Bab 143. Kejutan Di Malam Pertama Pertama“Terima kasih sudah menjadi istriku, Mel! Aku sangat mencintaimu! I Love you, Sayang!” bisiknya lembut di telinga.“Kau juga tampan sekali, Mas, aku bangga dan sangat bersyukur bisa memilikimu. I love you, too,” balasku mengerjapkan mata.“Terima kasih.” Mas Reno tersenyum lagi. “Sekarang, ya?” tanyanya memohon izin.Aku tak menjawab, karena memang dia pun tak menunggu jawaban dariku. Mulutku tak lagi bisa berucap. Bibir kenyal mas Reno telah melumatnya. Awalnya begitu lembut, namun sesaat kemudian berubah kasar. Mas Reno melumatnya dengan begitu rakus.Aku membalas setiap lumatannya. Makin terhanyut saat lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Mas Reno menjelejah setiap inci rongga mulutku. Memeprmainakn lidahku de
Bab 142. Pernikahan Kedua Dan TerakhirkuKupaksa otakku berfikir keras. Mencoba membongkar memori ingatan, namun, tetap tak kutemukan. Tunggu, suaranya? Suaranya, sepertinya juga tidak asing. Sepertinya aku sering mendengarnya, tapi siapa? Apakah karena tertutup masker, sehingga suaranya agak susak kukenali. Rasa penasaram mengaduk hati, ok, aku akan cari tahu dari si pengirim karangan bunga itu.Aku bangkit perlahan, menuju sudut ranjang. Baru saja tanganku hendak meraih kertas kecil yang terselip di karang bunga yang lumayan cantik itu, seseorang memanggilku untuk segera keluar.“Mel! Ayo, rombongan mempelai pria akan segera tiba. Akad nikah akan segera dimulai.”Mala dan Rani berdiri di ambang pintu kamar. Keduanya berkebaya dengan warna dan model yang sama, rambut mereka berdua digelung rapi, wajah di make up cantik.