"Bapak. Maafkan saya pak karena saya telah lancang." Senja kembali menundukkan wajahnya. Ia keceplosan saat melihat wajah yang tak asing baginya. Langit tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga sama terkejutnya denganmu." Langit berdehem. "Perkenalkan, aku Langit. Pimpinan hotel dimana kamu akan bekerja besok." Hampir saja Senja limbung mendengarnya. 'Jadi, orang yang dulu menolongku adalah pemilik hotel?' Senja memejamkan matanya tidak menyangka. Pantas saja para resepsionis itu tampak ketakutan saat Langit meminta mereka memberikan kunci kamar Han. Tubuh Senja semakin kaku. Bahkan bergerak sedikit saja seolah ia tidak mampu. "Kenapa kamu tegang begitu? Apakah aku terlihat sangat menakutkan?" Senja mendongak mendengar kalimat Langit. "Tidak, pak. Tidak sama sekali." Ia kembali menunduk sungkan. Berada di atmosfer yang sama dengan seorang pimpinan seperti Langit, seolah dadanya tiba-tiba merasa sesak. Hawa yang tadinya dingin berubah menjadi panas. Melihat Senja yang mulai
"Wah, ngapain di situ malam-malam? Open BO, ya?" tawa menyebalkan penuh hinaan. Vivi menatap sengit pada Sherly yang perlahan membuka pintu mobilnya. Sedangkan mata Senja menatap pada Han yang hanya diam saja melihat wanitanya menghinanya. Langkah kaki Sherly melangkah dengan anggun. Membuat Senja dan Vivi merasa muak dengan sandiwara yang diperankan oleh Sherly. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Senja dan Vivi. Memasang tampang menyebalkan dengan tangan bersendekap di dada penuh keangkuhan. "Lagi nungguin siapa? Open BO kah?" tanya Sherly dengan seringai menghina. "Oh, aku tau, pasti kamu jadi miskin 'kan makanya open BO untuk menghidupi dirimu sendiri. Secara sekarang mas Han sudah fokus memberiku nafkah lahir dan batin." Sherly sengaja menyiramkan bensin agar perasaan Senja terbakar. Ia sangat senang melihat mantan sahabatnya itu menderita setelah kehilangan semuanya. Termasuk suaminya. Senja sama sekali tidak peduli dengan kalimat Sherl
Mereka sontak menoleh. Senja terkejut, tapi buru-buru menetralkan wajahnya agar tidak terlalu kentara. Begitu juga dengan Vivi yang sampai menahan nafas melihat Bos besarnya yang tiba-tiba di depan matanya saat ini. "Siapa kamu?" tanya Sherly dengan tatapan tidak suka. Pria itu melepaskan cengkraman tangannya di tangan Sherly. "Kamu tidak perlu tahu aku siapa. Tapi satu hal yang kamu harus tahu jika aku tidak suka kamu menyakiti Senja." Sherly meringis kesakitan. Tangan yang satunya lagi mengusap tangannya yang memerah karena cengkraman pria di depannya. Han tidak tinggal diam. Ia mendorong pria itu hingga mundur ke belakang. "Kamu siapa? Berani-beraninya kamu membuat calon istriku terluka seperti itu." Senyuman sinis terbit di bibir Langit. Ya, dia adalah Langit. Saat Langit hendak pulang ke rumah, ia tidak sengaja melihat Senja berada di taman dengan calon mantan suaminya. Tentu ia tidak akan tinggal diam dan meminta Benji untuk memutar mobilnya demi melihat apa yang t
Setelah kejadian itu, Langit mengantar keduanya untuk pulang. Selama perjalanan, bibir mereka tertutup rapat, begitu juga dengan Langit yang kembali ke asal, angkuh dan tak terjamah. Vivi dan Senja menghirup udara banyak-banyak setelah mobil yang mereka tumpangi sudah hilang di telan malam. "Hah, lega. Akhirnya. Di dalam mobil dengan pak Langit, membuat dadaku sesak," cerocos Vivi. Itu juga yang dirasakan Senja. Seolah bernafas saja susah saat tanpa sengaja matanya bersitatap dengan mata tajam itu melalui kaca spion depan. Sungguh, itu membuat jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Ketika Senja akan melangkah masuk, Vivi menahan lengannya. "Sikap pak Langit aneh ya, Nja. Kayaknya dia pernah kenal gitu sama kamu. Apa iya?" tanya Vivi kepo. Karena kejadian ini di luar nalarnya. Ia yang hafal sifat boss nya itu mendadak terkejut dnegan perubahan sikap yang terkesan mendadak saat bersama Senja. Dulu jangankan berbicara pada karyawan, melirik sa
"Senja, apa yang kamu lakukan?" Tiba-tiba Han sudah berdiri di belakang mereka. Senja menoleh dan menggeser tubuhnya untuk memberi jalan pada Han untuk menolong calon istrinya yang terlihat mengenaskan. "Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Han yang tampak khawatir melihat kondisi Sherly. Senja membuang muka seraya ingin muntah mendengar panggilan sayang yang ditujukan untuk Sherly. Meski dulu Han memanggilnya dengan sebutan seperti itu, tapi ingatan kenangan manis sudah ia buang jauh-jauh. Yang tersisa hanya rasa benci yang mendalam pada mantan suaminya. "Lihatlah, Mas. Ini semua Senja yang melakukan. Aku tidak melakukan apapun, tapi Senja membuatku terlihat mengenaskan," adu Sherly dengan pura-pura menangis. Senja berdecih. Pandai sekali Sherly memutar balikkan fakta. Ia tidak akan sampai keluar batas jika wanita itu tidak mencari gara-gara terlebih dahulu. Han menoleh ke arah Senja dan menatapnya tajam. "Apa yang kamu lakukan pada Sherly, Nja? Apa kamu b
"Oh, pacar kamu datang lagi, Senja? Wah, hebat!!!" Han bertepuk tangan. Padahal terbakar hatinya sekarang melihat pria yang ia temui kemarin malam, sekarang tiba-tiba berada di depan mereka. Ada sejumput rasa tak rela menyelinap di hatinya. Langit melangkahkan kakinya dengan angkuh. Membuat manager dan Vivi membelah, memberi jalan untuknya demi bisa mendekat ke arah Senja. Senja menahan nafas. Kenapa bosnya itu kembali datang di saat yang tidak tepat. Ia sedang bekerja, tapi kenapa tiba-tiba ada sidak di saat ia terkena masalah seperti ini. Apakah ini tandanya ia akan di pecat. Saat ini Senja hanya bisa pasrah pada sang pencipta. Greep!! Sebuah tarikan membuat tubuhnya bergeser dan menempel sempurna di tubuh Langit. Ada perasaan tak nyaman, hingga ia bergerak pelan untuk melepaskan diri. "Lalu kenapa jika aku kekasih, Senja? Ada masalah?" Mata Vivi dan Sherly membulat sempurna. Bahkan, Vivi sampai kehilangan oksigen saking kagetnya. Langit y
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Senja langsung pergi untuk menepati janjinya pada Langit untuk bertemu di cafe hotel tempatnya bekerja. Saat memasuki cafe, banyak pasang mata yang menatap ke arahnya apalagi yang menjadi pusat perhatian mereka jika bukan seragam yang ia kenakan saat ini. Ia sengaja tidak berganti pakaian agar Langit menyadari siapa mereka sebenarnya. Kalimat kalimat yang Langit lontarkan seolah membuatnya sadar jika bosnya tersebut memendam rasa kepadanya. Inilah penolakan yang Senja lakukan tanpa mengucapkan kalimat. Senyum lebar langsung terpancar dari wajah Langit ketika melihat Senja yang melangkah menghampirinya. Walau Senja saat ini masih memakai seragam kerjanya, tapi itu tidak melunturkan rasa yang bersemi di hatinya. Langit langsung berdiri menyambut tamu spesialnya kali ini. "Maaf, Pak. Saya telat." Senja tetap bersikap sopan pada atasannya itu. "Tidak apa-apa senja Aku juga baru sampai satu menit yang lalu. Ayo silakan duduk."
"Apa ini mbok?" tanya Han saat melihat map coklat di meja makan. Sepeninggalan Senja, Han hidup sendiri di rumah yang mereka beli bersama itu. Terkadang Sherly juga menginap di rumah itu beberapa hari. "Tidak tau, Pak. Tadi saat membuka pintu, surat itu ada di meja teras." Han mengangguk seraya membolak-balikkan map itu. Rasa penasaran membuat langsung membukanya. "Surat dari pengadilan agama?" Jantung Han seolah lepas dari rongga saat menyadari sesuatu. "Pasti Senja yang mengirim ini." Gegas dia berlari keluar rumah untuk mencari jejak Senja. Matanya menatap sekeliling tapi sama sekali tidak menemukan apapun. "Sial!! Kenapa aku se-teledor ini? Aakhhrg!!!" Han mengerang prustasi sembari mencengkeram rambutnya sendiri. Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri merasakan terjangan kuat menghantam kepalanya. Setelah memastikan bahwa jejak Senja hilang, dengan langkah gontai ia berniat kembali ke rumah. Tapi belum juga kakinya sampai di teras, sebuah mobil masuk ke halaman membuat ate