Share

Bab 3

Pelakor Itu Tanteku

Selesai membersihkan rumah, aku langsung menuju dapur untuk mengecek bahan makanan dan juga bumbu.

"Emm ... ternyata banyak yang sudah habis. Aku harus segera belanja sekarang. Mumpung masih pagi. Lagian nanti siang masih harus masak juga," ucapku sendiri.

Aku segera ganti baju dan sedikit memoles wajah dengan bedak tipis-tipis dan juga lipstik agar tidak terlihat pucat. Aku menggendong Fadil dan menunggu taksi online yang sudah ku pesan.

Sebenarnya di rumah ada mobil dan motor yang terparkir di garasi. Tapi apa daya, aku memang takut menyetir mobil ataupun menaiki motor. Aku trauma membawa kendaraan sendiri karena pernah mengalami kecelakaan. Memang tidak parah, tapi entah kenapa setelah kejadian itu aku sama sekali tidak berani membawa kendaraan sendiri.

Tidak berapa lama taksi yang ku pesan sudah datang. Aku bergegas masuk untuk berangkat ke supermarket. Selain belanja bahan makanan dan bumbu dapur, aku juga ingin membeli baju tidur yang dari kemarin sudah menjadi planing.

Hampir dua puluh menit perjalanan, akhirnya sampai juga di supermarket yang kutuju.

Aku langsung masuk dan mengambil keranjang, mencari bahan makanan dan bumbu yang habis dengan membaca catatan yang sudah kutulis dari rumah.

Selesai belanja kebutuhan rumah, aku menuju ke toko pakaian untuk mencari baju tidur. Aku memilih baju tidur yang bahannya halus dan modelnya bagus. Karena ingin terlihat cantik saat malam hari menemani Mas Pram.

"Ini bagus juga ...," ucapku sendiri sambil memegang baju tidur yang ada di depanku.

"Si - Sifa ...? Kamu Sifa 'kan?" Tiba-tiba ada yang memanggilku dengan tanya ragu-ragu.

"Iya. Kamu siapa, ya? tanyaku balik tak kalah penasaran.

"Coba tebak! Aku kasih clue, ya. Hitam, gendut, kumisan lariii ...."

Aku mulai mengingat-ingat kata-kata itu. Kata-kata yang selalu di ucapkan olehku dan teman lainnya saat masih duduk di bangku SMP.

"Pak Bagio, benar 'kan jawabannya? Mmm ... berarti kamu satu sekolah juga denganku waktu SMP. Tapi aku masih belum ingat siapa kamu."

"Ya sudah, kita kenalan lagi! Namaku Panji. Sudah ingat?"

"Panji? Panji, Panji ... sebentar aku ingat-ingat dulu."

Aku berusaha mengingatnya. Hingga akhirnya tahu siapa dia. Aku tertawa lepas setelah ingat semua.

"Surat yang selalu kamu masukkan ke dalam tasku saat jam istirahat. Kamu salah satu penggemarku 'kan? Ha ha ha ...."

Panji terlihat menahan malu saat aku bicara seperti itu. Tetapi sekarang dia sangat berbeda. Dulu hitam dan kurus. Sekarang tampan dan sedikit kekar, kulitnya juga bersih.

"Ini anakmu, Fa? tanya Panji sembari memegang pipi Fadil.

"Iya. Ini anakku. Kamu sudah punya anak berapa?" tanyaku balik.

"Anak?"

"Iya, anak. Memangnya ada yang salah dengan pertanyaanku?"

Panji menjawab dengan tawa sangat kencang.

Drrtt drrtt drrtt ....

Terdengar getaran ponsel milik Panji yang menghentikan obrolan kami. Dia pun langsung mengangkat teleponnya. Selesai telepon, Panji pamit karena ada kepentingan. Tapi sebelum dia pergi, kami sempat tukaran nomor.

Aku mengambil kembali baju tidur yang sudah kupilih tadi, lalu membawa ke kasir.

Selesai belanja semuanya, aku memesan taksi online lagi untuk pulang.

"Terima kasih, Fadil. Kamu tidak pernah rewel. Anak mama yang baik," ucapku pada Fadil yang sedang tidur di gendongan.

-

Baru saja sampai di rumah dan membuka pintu, tiba-tiba Tante Lili datang.

"Lho, kok sudah pulang, Tan? Memangnya tidak masuk kerja," tanyaku

"Aku tidak enak badan, Fa. Jadi tadi izin pulang."

"Oh," jawabku singkat dan langsung masuk ke dalam.

Sekilas aku mencium bau parfum Mas Pram di baju Tante Lili.

Kenapa baju Tante bau parfumnya Mas Pram? Ah ... mungkin karena mereka tadi satu mobil, bisa saja tidak sengaja menempel. Pikirku tidak ada yang aneh.

Aku masuk ke kamar Fadil untuk menidurkan dia. Setelah itu langsung ke dapur menata semua belanjaan yang sudah kubeli tadi.

Tante Lili datang mendekatiku.

"Habis belanja, Fa?"

"Iya. Oh ya, Tan, besok aku minta izin mau bersihin kamar."

"Kamarku? Tidak usah, Fa, nanti Tante sendiri yang bersihin.

"Baiklah."

Aku pun istirahat sebentar di kamar. Menunggu sampai waktu masak untuk makan siang.

Perasaanku tiba-tiba begitu rindu dengan Mas Pram. Kenapa aku ini? Tidak biasanya merasakan hal seperti ini. Lagian Mas Pram sedang kerja, pikirku dengan senyum-senyum tidak jelas.

Aku bangun dari rebahan dan mengambil plastik belanja berisi baju tidur, lalu mencobanya. "Cantik. Cantik sekali, Sifa," kataku memuji diri sendiri saat berkaca

"Lebih baik aku cuci dulu bajunya biar kering dan akan kupakai malam ini. Pasti Mas Pram senang melihatnya."

Aku segera keluar kamar menuju tempat cuci baju dan memilih mencuci dengan tangan karena bahannya halus, lembut dan juga tipis.

"Nyuci apa, Fa?" tanya tante yang tiba-tiba datang.

"Baju tidur, Tan."

"Baru?"

"Iya. Mau aku pakai nanti malam untuk menemani Mas Pram," jelasku dengan senyum malu.

"Pram?" celetuk tante terlihat kaget.

"Iya .... Kenapa, Tan? Kok kaget gitu," tanyaku penasaran.

"O - oh tidak, Fa. Nanti Pram pasti pangkling melihat kamu memakai baju tidur itu. Pasti kelihatan cantik dan seksi."

"Ah ... Tante, bikin Sifa malu saja."

Aku segera menjemur baju tidur tersebut.

Kring ... kring ... kring ....

Terdengar suara telepon rumah. Dengan cepat aku pun menuju ruang tengah untuk mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum."

"Oh ... Mas Pram. Kenapa, Mas? Iya, ponselku ada di kamar. Barusan habis nyuci baju."

"Oke, Mas."

Aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Ternyata dari tadi Mas Pram meneleponku dan mengirim pesan romantis yang selalu dia kirim setiap hari. Katanya agar hatiku selalu berbunga-bunga.

Merebahkan tubuh di atas kasur sembari membaca beberapa pesan yang baru saja di kirim Mas Pram.

Mas Pram memang selalu membuatku merasa berarti sebagai seorang istri. Dia memperlakukanku begitu manja dan romantis. Aku sangat bersyukur memiliki suami seperti dia.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status