Share

Bab 4

Penulis: NingrumAza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-22 18:26:04

[Iya, Num, aku mengerti. Maaf aku tidak sengaja. Mungkin karena aku dan Wulan masih pengantin baru.]

[Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu maafin aku 'kan?]

[Hanum ...]

Sepertinya chat Mas Juna tidak terbalas. Yang membuatku merasa aneh, kenapa Mas Juna seperti takut Hanum marah padanya? Ada apa sebenarnya?

Huffhh. Aku harus segera menemukan titik terangnya. Untung setelah selesai shalat tahajud aku inisiatif mencabut charger yang masih terhubung dengan ponsel Mas Juna. Dan entah kenapa aku yang biasanya cuek dengan benda pipih ini, sekarang tiba-tiba merasa penasaran untuk membuka. Ternyata Allah ingin menunjukkan hal ini padaku.

Oke, fix. Aku harus segera bertanya seberapa jauh persahabatan yang dijalin suamiku dengan wanita itu.

Ah, dari pada pikiranku kacau memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik aku nderes saja sambil menunggu subuh, gumamku.

Benar saja, setelah mengaji beberapa menit, adzan subuh berkumandang. Kukerjakan sholat qobliyah subuh ketika adzan selesai dan sebelum iqomah. Kupinta keberkahan dan kebaikan untuk rumah tangga yang baru kubina dua bulan ini bersama Mas Juna. 

Lalu setelah itu aku mengerjakan shalat fardhu dua rakaat. Barulah setelah itu aku membangunkan Mas Juna untuk shalat.

"Sudah subuh, Mas. Bangun, shalat dulu."

Dia menggeliat, lalu tak lama dia bangun dan mengambil air wudhu. Sementara itu aku menuju dapur untuk menyiapkan sarapan bersama ibu mertua yang cukup dekat denganku. Kegiatan yang hampir tiap hari aku lakukan setelah menikah

"Kamu sudah bangun, Nduk?"

"Sudah, Bu. Ibu mau masak apa hari ini?"

"Hanya masak nasi goreng. Kalau kamu masih ngantuk, tidur lagi gak pa-pa, biar ibu saja yang masak. Semalam kamu pulang larut 'kan?"

Kulihat memang hanya ada sisa nasi di teflon dan dua butir telur di dekatnya. Ibu sedang mengiris bawang dan bumbu lainnya.

"Iya, Bu. Sekitar jam setengah dua sampai rumah."

"Ya sudah, kalau begitu kamu tidur lagi saja. Gak pa-pa, Nduk. Ibu tidak akan memarahimu, apalagi membicarakannya pada tetangga. Santai saja."

Aku tertawa mendengar ucapan ibu. "Ibu bisa saja. Wulan udah gak ngantuk kok, Bu. Beneran."

"Ya sudah kalau begitu." Ibu akhirnya memperbolehkan aku membantunya. "Kamu panaskan wajannya saja, ini bumbunya sudah selesai ibu siapkan."

"Baik, Bu."

Sesuai arahan ibu, akhirnya aku yang memasak nasi goreng spesial ini. Disela-sela aku mengoseng nasi, tiba-tiba nama Hanum melintas di otakku. Dan entah bagaimana jalurnya, aku bertanya pada ibu perihal Hanum.

"Ibu kenal Hanum temennya Mas Juna, Bu?"

Ibu yang sedang mencuci tangan di wastafel menoleh padaku. "Hanum teman Juna waktu sekolah SMA?"

"Iya, Bu."

"Kenal. Kenal banget malah. Hampir tiap Minggu sekali dia menginap di sini."

"Apa, Bu! Menginap?" Seketika aku menoleh pada ibu. Gerakan tanganku yang sedang mengaduk nasi di penggorengan pun berhenti.

"Iya," jawab ibu santai sambil mengelap tangannya pada hand towel, lalu kembali berkata, "Dia pernah nylametin Arjuna waktu kena bullying dulu. Maklum, kami keluarga biasa yang masuk sekolah elit. Apalagi Juna cuma pakai beasiswa untuk bisa sekolah di sana."

Aku semakin penasaran. Segera kumatikan kompor yang kebetulan memang nasi gorengnya sudah matang lalu fokus mendengarkan cerita ibu. "Mas Juna pernah di-bully, Bu?"

"Sering." Ibu mengambil wadah untuk nasi goreng lalu memberikannya padaku.

Aku menerimanya. "Terus, gimana ceritanya Mbak Hanum akhirnya bisa menolong Mas Juna? Dia kan cewek, Bu," tanyaku semakin penasaran sambil memindahkan nasi goreng ke wadah yang diberikan ibu.

"Nasi gorengnya ditaruh di meja dulu, Nduk. Nanti ibu ceritakan," titah ibu dan segera aku laksanakan.

Kemudian Ibu mengajakku untuk duduk. "Beresin dapurnya nanti aja, sekarang sini duduk biar ibu ceritakan tentang Juna yang sering di-bully."

"Iya, Bu." Aku duduk berhadapan dengan ibu di kursi meja makan, dan bersiap untuk menyimak.

"Dari pertama masuk sekolah di sana, Juna cerita ada beberapa anak yang gak suka padanya. Dia sering diejek dan jadi bahan olokan. Juna sadar dia sekolah di sana karena beasiswa, makanya Juna hanya bisa diam tiap kali teman-temannya membully. Namun, saat salah satu dari mereka menghina almarhum bapaknya yang cuma supir angkot, Juna mulai melawan, hingga sempat berkelahi. Juna babak belur karena dikeroyok. Di saat itulah Hanum datang menyelamatkan Juna, dan membawa Juna ke rumah sakit. Kalau tidak ada Hanum, mungkin keadaan Juna semakin parah." Ibu menjeda cerita dan aku tak berkeinginan untuk menyela. Aku masih setia bersama mode nyimak hingga akhirnya ibu meneruskan ceritanya.

"Hanum juga membantu biaya rumah sakit sampai Juna sembuh. Dia juga berhasil mencegah yayasan mencabut beasiswa untuk Juna. Semenjak itu mereka berteman, dan gak ada lagi yang membully Juna. Hanum juga sering main ke sini. Mencarikan pekerjaan paruh waktu untuk Juna, dan banyak lagi yang lainnya. Tapi entah kenapa setelah mereka lulus, Hanum gak pernah ke sini lagi. Kata Juna dia kuliah di luar negeri."

"Apa mereka sempat punya hubungan spesial, Bu ... Pacaran misalnya?" Aku langsung bertanya saat ibu selesai bercerita. Semoga ibu gak menutupi apapun.

.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 67

    "Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 66

    "Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 65

    "Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 64

    POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 63

    "Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 62

    "Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status